Thursday, June 30, 2005

Bu Guru Bosan Libur

Sekarang saya mengerti betul kenapa sebagian murid-murid saya protes kalau diberi libur terlalu lama. Menurut pendapat mereka, kita seharusnya sekolah tujuh hari seminggu. Hari Sabtu dan Minggu juga sebaiknya masuk. Saya yang mengangkat alis, tujuh hari? Akhir pekan saya, bagaimana kabarnya?

(Teman saya mencela, katanya tunggu sampai kamu SMP nak, pasti kamu kepingin sekolah dua hari seminggu saja.)

Ternyata saya sendiri bosan libur terlalu lama. Kemarin saya memutuskan untuk pergi ke sekolah. Ternyata teman-teman saya juga ada di sana (!) Jangan-jangan selama ini saya libur sendiri, yang lain bekerja.

Senang rasanya kembali ke habitat. Saya mengintip kelas saya. Semua rak buku masih dibungkus plastik supaya tidak berdebu. Dinding kelas saya sekarang mulus tanpa cacat, sudah dicat ulang. Selama setahun ini saya mengubah dinding kelas saya penuh totol-totol minyak sisa blue-tec dan sisa-sisa selotip. Saya memang senang sekali menempel hasil karya anak-anak kelas di sekeliling ruangan. Ruang kelas jadi hidup dan menyenangkan. Tahun ini saya akan melapisi dinding dengan tripleks dan plastik (pengajuan anggaran untuk softboard ditolak, terlalu mahal!)

Arena olahraga dan bermain di depan kelas saya sudah hampir jadi. Saya yakin, anak-anak kelas saya yang separuhnya laki-laki tahun ini tidak akan mengulur-ngulur waktu makan siang supaya punya kesempatan main di luar.

Seiring dengan berkembangnya sekolah kami, kelas saya tidak lagi menjadi satu-satunya kelas di gedung baru. Tahun ajaran mendatang ada tiga kelas yang menempati gedung ini. Pasti ramai sekali.

Sudah dulu ya, saya kembali bekerja.

Saturday, June 25, 2005

Menyusun Ulang Silabus

Saya lebih sering diam dan melamun.
Saya sedang bertanya-tanya sendiri, apa yang ingin saya masukkan ke silabus ini?
Apa yang ingin saya bawa masuk ke dalam ruang kelas saya?
Saya ingin anak-anak ini belajar apa selama kami menghabiskan waktu 5 jam sehari?
Apa yang penting untuk mereka?
Apa yang akan berharga untuk mereka bawa pulang, dan simpan di dalam hati?

Saya pikir tidak penting untuk mengajari mereka tahu tentang semua hal di dunia.
Saya juga tidak tahu.

Saya rasa tidak penting menggiring mereka merasa bahwa pintar itu penting.
Saya sudah (atau masih) terjebak di dalamnya. Itu tidak membuat bahagia.

I want them to have compassion.
I want them to have respects.
I want them to have dignity.
I want them to be brave

I do not know how to write them in my syllabus.

Wednesday, June 15, 2005

Serangan Fajar

Ini jam 4 pagi. Biasanya saya sudah tidur nyenyak tidak terganggu. Tadi saya tiba-tiba terbangun dengan ide muncul di kepala saya. I had a great idea about the first project in my next class. Lalu ide itu seperti awal air bah, kepala saya langsung berputar ke seantero ruang kelas dan membuka semua file silabus saya.

Jam 3 pagi saya memperbaiki silabus di tempat tidur!

Saya BAHKAN belum sempat libur.

Monday, June 13, 2005

Menyeberangi Jembatan

Saya bukan orang yang terampil melewati masa-masa pancaroba atau perubahan. Saya mencintai zona aman dan nyaman serta ingin tinggal di situ terus.

Sementara itu murid-murid kami adalah anak-anak yang lebih sering menunjukkan attitude haus tantangan dan siap menghadapi perubahan.

Anak-anak TK A di sekolah saya sudah tidak sabar ingin naik ke kelas TK B. Ruang TK A dan TK B menempati sebuah rumah berlantai dua, jadi naik ke TK B adalah secara literal naik tangga ke ruangan atas yang dipakai sebagai kelas TK B. KE-19 anak TK A sudah melakukan survey berkala ke ruang atas. Anak ke 20 memutuskan untuk menjadikan hari pertama di TK B adalah hari istimewa dan bersejarah. Ia tidak pernah ikut ketika teman-temannya berebut naik ke kelas atas dan bermain di sana.

Anak-anak TK B sudah hampir masuk Kelas 1 SD. Mereka juga sudah bolak-balik ke ruang kelas 1 sepanjang kuartal ini. Mereka mencoba bangkunya, menyanyi di sana, mengirim surat untuk gurunya, dan ngobrol dengan guru Kelas 1 juga. Mereka menganggap TK itu masih kecil, dan mereka sudah hampir besar.

Anak-anak Kelas 1 lain lagi tabiatnya. Seminggu terakhir ini mereka menciptakan chaos di kelasnya. Guru Kelas 1 sakit kepala dan lelah luar biasa. Saya bilang, mereka hanya ingin menjadikan perpisahan itu lebih mudah saja. Mereka kan gengsi untuk bermanis-manis dan bersendu-sendu. Kelas ini memang cukup maskulin dan mandiri.

Kelas saya, justru lebih melodramatik. Mereka sangat ekspresif mengungkapkan kekhawatiran mereka, rasa cemas, rasa ingin tahu, dan rasa sayang mereka. Tiga hari terakhir ini mereka menulis banyak sekali kartu dan surat ucapan terimakasih, kangen, selamat berpisah, dan sebagainya. Beberapa berkaca-kaca ketika saya membagikan foto kelas beserta surat di hari terakhir. Malu juga agaknya, jadi mereka menyembunyikannya dengan melontarkan lelucon-lelucon agar tertawa.

Bagi saya, surat-surat cinta itu adalah outlet positif untuk berbagai emosi yang mereka rasakan saat ini. Surat-surat itu membantu mereka menyadari ada perubahan pada saat ini, dan mereka lebih siap pindah ke kelas tiga. Mereka juga sudah lebih mengerti artinya istimewa. Tidak seorangpun mau melewatkan 'hari terakhir'. Mereka sudah tahu itu berbeda, tidak sama dengan hari yang lain. They value it as something special. They want to do special things, and they think it feels different.

Lucu juga ya?

Nanti, bulan Juli dan Agustus, biasanya adalah bulan-bulan tegang dan sulit. Semua orang sibuk menyesuaikan diri dengan ritme dan kelas yang baru.

Friday, June 10, 2005

Hari Terakhir

Ya, hari ini akhirnya datang juga. Hari ketika saya menatap mereka berdelapan dan merasa bahwa mereka sudah terlalu besar untuk kelas saya.

You may move on. You should. Be brave.
Thank you for being my greatest teachers.

Thursday, June 09, 2005

Anagram

Salah satu kegiatan favorit di kelas saya adalah kegiatan "Membawa Kata"*. Setiap hari, kami bergantian membawa sebuah kata baru ke kelas. Kata itu haruslah kata yang belum diketahui artinya oleh semua anggota kelas. Saya dan Bu Novi ikut dalam permainan ini. Kami juga punya jadwal membawa kata. Tetapi, kata yang dibawa siapa saja tidak harus belum kami ketahui.
Kata-kata yang terbawa dalam permainan ini cukup advance untuk anak usia 8 tahun. Ini beberapa contohnya : kalut, lirih, layak, mitra, bidak, acap, laktosa, rekomendasi, subsidi, tekstur, sepadan, abses, dan masih banyak lagi.

Kemarin, saya mengajak anak-anak bermain anagram. Saya meminta anak-anak membuat kata baru berdasarkan huruf-huruf yang ada di sebuah kata. Saya mengambil kata dari kumpulan kata di kegiatan tadi. Melihat hasilnya, saya tidak heran kalau kosa kata yang dibawa dalam kegiatan Membawa Kata seperti itu.

Cekatan
kata, cat, cetakan, ketan, cek, kaca, tekan, nekat, tak, akan, cetak, anak.

Menjuntai
unta, jamu, juni, juta, teman, jet, maju, meja, tamu, menu, menanti, jin, mei, intan, mati.

Rekomendasi
dasi, komedi, rak, rekor, mendaki, adik, ekor, nasi, koma, aki, modern, mode, kemarin, daki, resiko, mekar, koran, rekam, keran, mie, kode.

Kremasi
kera, merak, emas, kare, kemas, mei, remas, keram, rem, kami, kamis, mekar, maki, mie, seram, keras.

*Terimakasih untuk idenya, My Great Alexander.

Wednesday, June 08, 2005

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Saya sungguh-sungguh berharap kejadian seperti ini tidak pernah terjadi di kelas manapun yang saya ajar.

Tanpa sengaja saya menarik keluar sebuah brosur tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dari tas saya. Tanpa maksud apa-apa pula saya memberikan brosur itu untuk dilihat teman saya. Siang tadi teman saya menghampiri saya dengan wajah setengah sedih setengah tak percaya dan bercerita.

Kata teman saya, Ti... tadi brosur itu dilihat Baby. Dia tertarik sekali, dan langsung bilang begini, 'Wah Bu. Kalau ini sih sering. Papaku sering mukul mamaku. Ngusir juga pernah. Ini buat aku ya Bu ya? Tapi jangan bilang siapa-siapa."

Teman saya bercerita kalau dia tidak tahu harus berkomentar apa dan membiarkan anak itu mengambil brosurnya. Teman saya lalu meminta kembali brosurnya dan menjanjikan, ia boleh melihat kapan saja ia ingin, tapi di sekolah. Baby keberatan. Ia ngotot, minta dicatatkan nomor telepon yang ada di brosur itu.

Mendengarnya, hati saya mencelos. Personally, I do not like the parents. Saya pernah hampir bilang pada si ibu, boleh tidak anaknya saya ambil saja, daripada setengah tidak terurus seperti itu. Tapi tetap saja, saya hanya seekor orang dewasa di sebuah tempat di mana anak itu menghabiskan setengah hari setiap hari dengan rutin. Tidak lebih.

Idealnya, apa yang harus saya lakukan? Melaporkan keluarga itu pada polisi? Tidak mungkin kan? Dengan hukum yang selalu meminta bukti kasat mata... apa yang bisa saya berikan? Laporan bahwa si anak melihat ibunya dipukul atau diusir? Laporan bahwa si anak selalu dijemput 2 jam lebih lambat dari seharusnya? Mengeluhkan bahwa si anak sepertinya ditelantarkan? Halo?

In many cases, we, teachers, decide to stay behind the line while dealing with this domestic matters. Bukan apa-apa, profesi kami yang hebat ini sempurna sekali untuk meletakkan kami tepat di tengah-tengah masalah.


Diam memang bukan tindakan paling ideal. Diam juga tidak membantu mengurangi (atau justru membiarkan) KDRT terjadi. Hal minimal yang bisa kami lakukan adalah tetap awas dengan luka, lebam, dan rasa sakit yang tidak wajar. Ke 'awas' an yang memuakkan karena luka itu sebenarnya terlihat nyata di depan mata.

Ya, orang tua-orang tua yang tidak peduli, setiap hari kami bertemu anakmu.
Anakmu yang pencemas dan mudah marah.
Anakmu yang membeku diam tidak berani bergerak sesentipun.
Anakmu yang tidak bisa konsentrasi sama sekali bahkan pada hal yang paling dia sukai.
Anakmu yang membaca puisi-puisi sedih diam-diam, mengidentifikasikan diri dengan si 'aku'.
Anakmu yang sembunyi di bawah perosotan dan bercerita lirih pada temannya, tidak mau dipindah ke sekolah lain di kota antah berantah.

Monday, June 06, 2005

Cemerlang

Ketika kita adalah orang yang hebat, dipuji adalah bukan hal besar. Itu hal yang sepantasnya. Kata Alexander The Great; "Am I a lucky man? No, I deserve it. I worked hard for it."

Pujian, pengakuan, keberuntungan, adalah reward yang paling kita inginkan atas ... kemampuan yang kita miliki; kerja keras yang sudah kita lakukan (dan kita anggap tidak akan dicapai orang lain yang bekerja sama kerasnya tapi kurang pintarnya... hahaha)

Bagaimana kalau kita adalah orang biasa-biasa saja. Mediocre. Median kurva normal. Bagaimana kalau kita bukan bintang, tapi orang yang berhasil mencapai harapan minimal orang lain? Akankah seseorang memperhatikan pencapaian kita? Lalu, bagaimana rasanya ketika orang lain memuji pencapaian itu?

Ya, hari ini salah satu murid saya yang 'mediocre' kaget dan jadi berkaca-kaca karena saya memujinya; kamu sudah menunjukkan pada kami semua bahwa 'berhasil' bukan semata-mata gara-gara pandai, tapi karena kerja keras. Kami sebut pantang menyerah. Tidak mudah putus asa.

Dengan tulus saya katakan, saya terkesan pada kemajuannya sepanjang tahun ini. Selama ini kami, guru-gurunya, kesulitan mengenali dan mendeskripsikannya, karena ia betul-betul ada di tengah-tengah. Tidak cemerlang, tidak pula menyulitkan. Tidak pernah butuh bantuan, tapi tidak juga meluncur mulus menyelesaikan semua tugasnya. Ia bukan yang terbaik, ia juga bukan yang memprihatinkan. Dia tidak pernah mengeluh, tidak pernah kehilangan konsentrasi, tidak pernah ngambek, marah, apalagi menangis karena sulit, selalu berkata iya untuk tantangan apapun, ... she is a lucky charm for any first year teacher. Tahun ini ia berkembang pesat. Jauh melebihi harapan kami di sekitarnya. Mungkin juga, jauh di atas perkiraannya sendiri.

It must feel very good inside. Congratulation, girl!


Wednesday, June 01, 2005

Ketika Saatnya Tiba

Tahu tidak rasanya kalau tidak bisa melakukan sesuatu? Tahu tidak rasanya ketinggalan dari orang lain yang melesat lebih hebat?

Tidak semua anak di kelas saya super cerdas dan berbakat. Ada juga yang tidak. Tapi, saya tetap mengagumi murid saya yang satu ini. Ia, berusaha mengikuti pace teman-temannya yang cepat, tapi ia tahu kekuatan dan kecepatannya sendiri. Setahun ini, jujur saja, saya mencemaskannya. Anak ini belum bisa menulis dengan baik. Huruf-huruf yang dibuatnya miring ke mana-mana dan bentuknya tidak sempurna. Ia belum membaca dengan lancar, masih terpatah-patah. Artikulasi bicaranya sama sekali tidak bagus. Ia butuh waktu beberapa menit sebelum mengeluarkan satu kalimat yang tidak lengkap. Sementara teman-temannya sudah menyanyi dengan falsetto, dia bahkan tidak pernah berada di pitch yang tepat. Ia juga tidak senang dan tidak terlalu bisa menggambar. Seringkali saya harus memintanya menambahkan sesuatu pada stick figure yang ia gambar.

Tapi, saya tidak pernah melihatnya sedih. Kecuali kalau saya tanpa sengaja mengkritik pekerjaannya (huhuhu... saya tidak selalu jadi guru yang baik). Setelah kami saling mengenal lebih baik, saya baru mengerti bahwa he has his own time.

Mungkin teman-teman yang lain bisa membaca umur 5,5 tahun. Dia bisa membaca setelah umurnya 7 tahun. Lalu kenapa? Pemahaman bacaannya sama baiknya dengan mereka yang membaca lebih awal, sekarang. Ketika saatnya tiba, ketika dia ingin, ternyata dia bisa juga menulis sambung! Wah, hari itu saya senang sekali. I told him, I appreciate it. Ia tidak berhenti menulis dengan huruf sambung sekarang. Pada waktu yang ia inginkan, ia toh mengobrol banyak dengan saya. Bahkan bercerita dengan lancar tentang apa yang ia baca di majalah, atau apa yang terjadi di tempatnya belajar berenang. Kemarin saya mendapatinya menggambar wajah orang dengan detail yang lengkap. Ia bahkan mencoba menggambar gorila dengan buku panduan menggambar, hasilnya lucu. Ia sendiri senang. Dan walaupun pitch suaranya masih ke mana-mana, saya (terutama guru musiknya) senang luar biasa karena ia mau menyanyi keras-keras.

Semua terjadi pada waktunya tiba. Saya sudah tidak mencemaskannya lagi. Saya katakan pada ibunya, di luar segala kekurangannya dibandingkan anak-anak seusianya, he is just as good as them. Bahkan mungkin lebih baik.

Saya katakan pada gurunya di kelas 3 nanti. Just be positive to him. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, dan ia pasti melakukannya ketika saatnya tiba.