Thursday, February 24, 2005

"Apakah aku orang paling pikun di kelas ini, Bu Tia?"

Dua hari yang lalu saya benar-benar dibuat Saras geleng-geleng kepala. Selepas jam pulang sekolah tiga orang guru menghampiri saya sambil memberikan sumbangan untuk kotak LOST AND FOUND di kelas saya. Tiga-tiganya milik Saras; sebuah payung, sebuah jam tangan, sebuah jaket. Kejutannya, di kelas saya masih menemukan dua buah barang lagi. Semua punya Saras. Saya jadi bingung, apa yang dibawanya ketika pulang tadi?

Besoknya, jelas saya tegur. Apalagi ini bukan yang pertama kalinya. Ini yang keSEKIYAN kalinya, setelah tugas ketinggalan, buku hilang, dan entah apalagi.

Lalu pagi ini surat berisi kalimat itu muncul di kotak surat saya. Saya geli sekali. Jengkel saya langsung hilang. Saya membalas suratnya. Itu bukan masalah pikun, sayang. Itu masalah awareness. Hehe... tentu saja saya tidak menulis serius seperti itu.

Tapi, jujur saja, rasanya saya lebih memilih disuruh mengajari anak-anak itu bagaimana menulis dengan lurus atau mengenal nilai tempat pada bilangan ratusan daripada mengajari hal-hal kecil penting seperti ini. Tahu kan, seperti bagaimana mengurusi diri sendiri, bagaimana menghargai orang lain, bagaimana bersikap tanggap dan sigap, bagaimana berbicara dengan sopan, bagaimana bertanggung jawab pada barang-barang sendiri, bagaimana memecahkan konflik dengan teman, bagaimana membedakan bercanda dan membahayakan, dan seterusnya... dan seterusnya.

Semua ini hal kecil tapi harus dilakukan terus menerus setiap hari sepanjang tahun.

Well, sebenarnya, ... lewat hal-hal 'kecil' ini kita tahu bagaimana mereka tumbuh dan berkembang. And it is very, very, very... rewarding.

Friday, February 18, 2005

Happy Morning, Happy Family

Saya hampir selalu datang terlalu pagi ke sekolah. Sekitar pukul 7 pasti saya sudah turun mobil dan menggeret semua harta benda saya untuk hari ini.

Hampir setiap pagi pula, ada mobil yang sudah parkir di pelataran sekolah. Anak di dalamnya adalah salah satu murid di kelas saya. Orangtuanya adalah orang tua favorit saya ketika waktu terima rapor tiba. Saya selalu senang mengobrol dengan mereka.

Pemandangan tentang mereka setiap pagi adalah pemandangan paling indah yang saya pernah tahu. Anak ini selalu diantar ayah atau ibunya. Selalu dijemput ayah atau ibu dan kakaknya. Karena mereka sering datang terlalu pagi, dia seringkali baru bangun dan menghabiskan susunya di mobil, sementara itu ayah kelihatan membaca koran pagi. Kadang-kadang ia memangku anaknya dan membacakan cerita. Atau mereka bertiga mengobrol sambil tertawa-tawa.

Hmm.... pagi seperti itu yang selalu saya mau. Pagi yang tidak terburu-buru. Pagi dengan kopi atau teh panas dan koran pagi. Pagi dengan dongeng di radio, atau lagu-lagu tua yang klasik. Pagi penuh percakapan, pagi penuh cinta.Kerja mulai pagi-pagi juga. Pagi paling indah di dunia buat saya.

Tuesday, February 15, 2005

Good Questions!


Image hosted by Photobucket.com

Hari ini hari istimewa. Ada seorang dalang datang berkunjung. Anak-anak kelas 2 sudah meloncat-loncat di tempat saking excited-nya selama jam makan pagi. Adam mondar-mandir ke toilet sebagai alasan untuk bisa mengintip persiapan Pak Dalang sambil terus menggumam, "Wow... this is cool!"

Lebih kejutan untuk kami, para guru yang setiap hari pusing dengan tingkah polah anak-anak yang sering diluar kendali, melihat anak-anak duduk anteng penuh perhatian selama satu jam lima belas menit. Mereka bisa cukup sopan untuk mendengarkan dan tunjuk tangan dulu sebelum bicara. Believe it or not, thousand of questions raised up. Good questions!

+ Kenapa wayang mukanya hitam?
+ Bagaimana membedakan wayang yang satu dan yang lain?
+ Bagaimana mungkin lima kuku menjadi satu (refers to kukunya Bhima)?
+ Bagaimana membedakan Nakula dan Sadewa?
+ Kenapa dalang pakai batik? (Maksudnya pakai beskap)
+ Cerita wayang itu karangan Dalang atau bukan?

Menurut saya, inilah question of the day : Kalau cerita wayang sudah ada sejak dulu, kok bisa sekarang masih ada?

*Terimakasih banyak untuk Ki Marsudi dan Pak Hartono yang membawa cerita baru ke kelas kami.

Monday, February 14, 2005

Better Than One Head

Isi kepala saya mentok di kunang-kunang ketika harus mengingat hewan apa yang tubuhnya dapat menghasilkan cahaya.

Pagi ini Adam ingat bahwa sejumlah ikan di dasar samudera juga punya 'lampu' sendiri.


Terimakasih, Adam!

Thursday, February 10, 2005

Gimana dong?


Dua hari yang lalu, sepupu saya menelepon dari Surabaya. Ia ibu muda dengan tiga anak berusia 7 tahun, 5 tahun, dan 4 tahun.

"Tia, gimana ini anakku?"
"Kenapa, mbak?"
"Oki ini lho... dia nggak mau belajar. Terus Nino, sudah bisa mbaca tapi ndak bisa nulis."
"Begitu? Oki kelas satu kan."
"Iya... Nino tahun ini juga masuk kelas satu."
"Oki sekolah dari jam berapa sampai jam berapa, mbak?"

Meluncur lah cerita si mbak tentang Oki kecil yang sekolah di sebuah sekolah bernuansa Islam. Full day program. Masuk jam 7 pagi, pulang jam 2 siang. Istirahat dua kali, masing-masing 30 menit tapi pakai sholat dhuha, sholat dzuhur plus makan. Si Mbak yang sudah mulai stress dengan berbagai ulangan umum, ulangan harian, blah blah blah, pusing sekali melihat anaknya menolak disuruh menghadapi buku lagi sesampainya di rumah.
"Aku tuh capek ma... aku sudah seharian duduk di kelas mendengarkan bu guru. Aku mau main.!"

Siapa yang tidak, Ki?
Waktu tante Tia kelas 1 SD, sekolahnya cuma dua jam. Kalau istirahat kami makan kue sebentar lalu main kejar-kejaran. Kadang-kadang berjinjit dan mengintip kelas 3 yang sudah keren karena sudah belajar peta buta. Tante Tia tidak ingat capek mendengarkan bu guru, tapi ingat banyak permainan bersama teman-teman. Tentu saja ada PR, tapi tidak segunung. Hanya beberapa lembar yang menantang untuk dikerjakan sendirian.

Saya katakan pada sepupu saya, anaknya perlu bermain. Anaknya perlu waktu tidak terstruktur untuk dirinya sendiri. Saya juga capek dan tidak mau belajar lagi kalau saya sekolah 7 jam sehari dengan posisi duduk manis disuruh mendengarkan lalu menghafalkan. Believe me sis, i've been through that in my highschool years and i did exactly the same thing like your son.

Santai sajalah, Mbak. Anakmu masih kelas 1 SD. Jalan masih panjang. Asalkan dia tidak tertinggal, tidak perlu lah dipaksa menjadi yang terbaik, atau menjadi sesuai dengan standarmu. Biarlah semangatnya untuk maju tumbuh seiring dengan perkembangan kognitif dan sosial-emosionalnya. Biarlah dia menikmati bermain sepeda sampai bilur bilur terluka. Ia sedang belajar memahami dunianya yang makin hari makin besar.

Nanti kalau suaranya sudah tidak tegang lagi, saya juga ingin berbagi bahwa belajar tidak berarti duduk manis menghadapi buku dan mengerjakan PR. Sambil memasak kita bisa belajar, sambil jalan-jalan naik mobil, bisa juga belajar. Sambil main tebak-tebakan dan tertawa histeris, kita bisa belajar sesuatu. Learning is always fun when we have that perspective.

Friday, February 04, 2005

Ternyata itu menyenangkan!

Tiga hari yang lalu kelas kami membahas tentang puisi. Anak-anak tidak punya banyak referensi tentang puisi, jadi saya meminta mereka mencari puisi-puisi tentang Indonesia (hanya karena topik kami adalah Indonesia) di majalah bekas, koran bekas, internet, atau dari buku.

Dara muncul hari Senin pagi dengan sebuah buku puisi Sutan Takdir Alisyahbana (!). "Dibelikan ayahku, bu! Di Pondok Indah Mall." Ya ampun Ayah... anaknya kan masih kelas 2 SD.

The lesson was quite smooth. At the end, i ask them to write their own poem. Hasilnya memang belum terlalu bagus, tapi itu tidak penting. Saya cukup tersentuh ketika akhirnya, Mini bilang begini, "Bu, aku belum pernah membuat puisi. Ternyata membuat puisi itu menyenangkan juga, ya."

Ya, belajar hal baru memang menyenangkan. Terimakasih ya Mini, sudah mengingatkan Bu Tia.