Tuesday, November 29, 2005

Sehari di Sekolah

Kelas 1
Anak-anak sedang membahas tema komunikasi. Mereka sedang belajar tentang berbagai cara menyampaikan informasi pada orang lain. Selain sibuk mengerjakan majalah dinding, hari ini mereka kedatangan seorang tamu. Ia adalah reporter dari salah satu tv swasta. Pak Reporter bercerita tentang pekerjaannya, dan anak-anak berkesempatan untuk bermain peran. Ada yang menjadi anchor, kameraman, reporter lapangan, dan sebagainya. Mereka masih sibuk di kelasnya sampai jam makan siang.

Kelas 2
Anak-anak kelas 2 sedang belajar tentang mata uang dalam matematika, dan tempat-tempat umum untuk Pengetahuan Sosial. Hari ini kami membuka pasar. Empat orang anak menjadi penjual dan sibuk sekali membuka kios dan menghargai barang-barang jualannya. Jual apa? Apa saja yang ada di kelas; pensil warna, spidol, bola bekel, raket plastik, cat air, dan buku-buku. Enam orang anak menjadi pembeli. Mereka juga sibuk menghitung uang dan membuat daftar belanjaan.
“Selamat pagi, Pak Diadhri”
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu.”
“Saya mau membeli pensil warna satu. Berapa harganya?”
“Yang warna cokelat 500 rupiah, yang warna hitam 400 rupiah.”
“Kalau yang biru muda?”
“Dua ratus rupiah”
“Ya deh. Ini uangnya”
Sepanjang pagi anak-anak sibuk sekali. Ada yang lupa membayar, ada yang bingung menghitung kembalian, ada yang berteriak-teriak menyuruh temannya menunggu karena ia harus mencatat setiap transaksi yang terjadi.


Kelas 3
Belajar sejarah ternyata tidak membosankan. Anak-anak kelas 3 sedang membahas Perang Diponegoro. Hari ini kelas mereka ramai sekali. Bukannya mendengarkan ibu guru mendongeng sampai anak-anak mengantuk, kelas 3 memutuskan untuk bermain peran. Mereka membaca teks tentang Perang Diponegoro dan memilih peran yang mereka sukai dalam teks itu. Untuk merekonstruksi kembali ingatan dan pemahaman mereka tentang Perang Diponegoro, anak-anak memerankan sebuah fragmen tentang perang itu. Tak ada yang bosan, dan tak ada yang tidak mengerti pada akhirnya.


Lumayan, hari ini cukup sibuk.

Sunday, November 27, 2005

Berkunjung ke ACG

Minggu lalu ada pengumuman bahwa hari Jumat ini kami akan membawa semua anak SD berkunjung ke sebuah International School di daerah Buncit. Mereka mengundang kami untuk sedikit acara ramah tamah sambil memberi kesempatan kami untuk performing something. Karena kami sendiri sedang sibuk berlatih untuk pementasan tanggal 3 Desember besok di sekolah, kami memutuskan untuk menampilkan beberapa lagu yang akan kami pentaskan itu.

Anak-anak cemas sekaligus bersemangat. Mereka datang lebih awal, 07.30 dengan seragam sekolah. Kami berangkat dengan empat mobil besar. Somehow we were able to stuck 12 children and 2 adults inside every car.

Sampai di sana kami disambut kepala sekolah dan beberapa stafnya. Tiba-tiba dari belakang tempat duduk saya terdengar komentar
"Ya ampun, siapa itu? Ganteng banget. Seperti Josh Groban!"
For sure, it was one of my 8-years-old -girl-student.

Anak-anak segera kami bariskan supaya bisa masuk dengan tenang sampai ke aula dengan selamat. Kalau tidak, mungkin kami sudah diusir pulang.

ACG sendiri adalah sekolah baru. Muridnya berjumlah 90 orang, dari level TK sampai Senior High. Sebagian besar sudah berkumpul menunggu di aula. Sekolah kami mendapat giliran pertama untuk tampil. Anak-anak kelas 1 yang masih kecil-kecil sedikit malu, tapi mereka berhasil menyanyikan seluruh bait lagu mereka sampai selesai. Anak-anak kelas 2 menyanyi lantang penuh semangat. MEreka tidak menjadi kehilangan nyali meskipun harus mengulang lagi penampilan mereka akibat kesalahan teknis. Anak-anak kelas 3, tentu saja, menyanyi dengan sangat indah sampai saya sendiri jadi sesak nafas. Sebagai tambahan, sebagian anak kelas 2 dan 3 menyanyikan the famous "Getting To Know You". Sambutannya sangat meriah.

Sampai saat itu saya makin yakin bahwa murid-murid saya adalah banci tampil. They LOVE to be on stage. Kalau kami tidak memanggil-manggil mereka untuk turun, saya rasa mereka akan tetap ada di panggung dengan senyum lebar.

Murid-murid ACG memberikan tampilan balasan. Anak-anak menonton dengan tenang. Sebagian lebih tertarik pada seorang guru yang memberikan translasi dalam American Sign Language.
Mereka menganggapi tampilan anak-anak TK itu dengan komentar
"Mereka lucu ya, Bu.."

Anak-anak junior dan senior high menampilkan sejenis show and tell. Penonton diminta menebak siapa tokoh yang sedang mereka ceritakan. Saya sendiri hanya berhasil menebak satu, Colombus. Dhimas kecewa,
"I don't know any of them, Bu Tia."
"Well, I think you have to read more."
"Yes, you are right. Bu Tia, i think we can do this in our class. Let's try!"
My God, they are inspired by senior grades.

Setelah itu anak-anak berkunjung ke kelas-kelas yang sebaya dengan mereka. Tanpa malu-malu mereka langsung mengeksplorasi ruang sekitar dengan membacai buku-buku di sudut perpustakaan, mengamati siput peliharaan, dan entah apa lagi. Jujur saya yang agak cemas. Apalagi setelah kepala sekolah mereka meminta kami pergi ke ruang guru untuk minum kopi bersama, sementara anak-anak ditinggal di kelas. Rasanya saya memang over protective.

Akhirnya, semua kelas yang kami tinggalkan masih utuh, dan anak-anak pun selamat masuk ke mobil masing-masing.

Kunjungan seperti ini menyenangkan. Mungkin kami akan lebih sering mengadakan. Setidaknya agar anak-anak tahu bagaimana harus bersikap di rumah orang. Mereka cerdas dan sangat aktif. Tapi pasti menyebalkan kalau tidak tahu sopan santun. Ya, kan?








Thursday, November 24, 2005

Quotation

The Great Alexander met his soulmate. The soulmate gave me this wonderful quotation. An oriental proverb.

To plant a seed is to think a year ahead.
To plant a tree is to think 10 years ahead.
To educate a people is to think 100 years ahead.


Monday, November 21, 2005

Ke Pasar

Akhir minggu lalu saya menugaskan anak-anak untuk pergi ke pasar tradisional dan pasar swalayan. Saya minta mereka (tepatnya saya berpesan pada orang tua) untuk membeli sendiri satu atau dua barang, dan menceritakan pengalaman mereka. Karena anak-anak juga sedang belajar mengenal nilai uang, saya menyarankan agar anak-anak tidak disuruh membeli barang-barang dengan harga bombastis. Kalau bisa di bawah lima ribu rupiah.

Anak-anak menyerbu kelas saya pagi ini dengan penuh semangat bercerita bagaimana mereka berbelanja. Adinda bilang begini, "Bu ternyata di pasar itu setiap barang ada yang jaga."

Ini beberapa laporan mereka. Ya, tentu saja semua masih dalam kacamata anak-anak yang polos dan belum tercemar oleh paham-paham anti kapitalisme segala. Mereka hanya membandingkan dengan apa yang biasa mereka temui.


Saya pergi ke Pasar Santa. Saya membeli jeruk seharga Rp 5000. Saya menawar dari harga sebelumnya Rp 6000. Bibi penjual memperbolehkannya. Kemudian saya membeli beras dan telur. Harga telurnya Rp 5000 dan tapi harga berasnya saya tawar dengan harga Rp 4000 dan diperbolehkan penjualnya sehingga saya dikembalikan Rp 1000. Suasananya panas, becek, bau, tidak rapi barang-barangnya. Setiap penjual barangnya sama sehingga harus menawar. -Musa-


Suasana di pasar tradisional ramai, bau dan kotor. Sedangkan harga-harga barang-barangnya lebih murah dan bisa ditawar. Suasana di pasar swalayan bersih, rapi, dan teratur sedangkan harga-harganya lebih mahal dan tidak bisa ditawar. - Thalia-


Aku membeli kelapa parut setengah, harganya seribu lima ratus. Aku membayarnya sama dengan harganya jadi tidak ada kembalian. Orang-orang boleh menawar harga yang mereka mau. Ketika aku bertemu dengan si penjual kelapa parut aku bertanya: permisi mas... bolehkah saya membeli satu kelapa tua tapi diparut? Pedagangnya boleh dia langsung bekerja secepat mungkin. Setelah selesai memarut aku bertanya lagi: Mas, jadi harganya berapa? Ia menjawab harganya 1500. Setelah membayar aku melihat daftar belanjaanku. Setelah semua seudah dibeli aku pulang bersama embakku sambil jalan kaki. Suasana di pasar tradisional sangat ramai dan kotor dan juga bau.
Kalau di pasar tradisional boleh menawar harga barang. Terserah boleh harganya dinaikkan atau diturunkan pun boleh! - Adinda-


Di pasar swalayan saya membeli tomat. Harga tomatnya adalah Rp 8.062. Saya membayar Rp 10.000. Uang kembaliannya adalah Rp 1.950. Jika aku ingin membeli sebuah barang di pasar swalayan, saya akan masuk dan mencari di mana kelompok barang itu dijual. Saya membayarnya di kasir. Suasananya dingin, bersih, dan ramai.
Di pasar tradisional saya membeli buah mangga. Harga mangganya Rp 6.000 tetapi saya tawar menjadi Rp 5.000. Saya boleh menawar harga, waktu saya menawar harganya saya bilang seperti ini: "bu boleh tidak harga mangganya menjadi 5.000? Suasananya kotor, banyak sampahnya dan bau. Menurutku tidak ada yang menarik - Riri-

Friday, November 18, 2005

Berhitung, Mulai!

Minggu ini kami sedang berdiskusi tentang bagaimana olahraga membuat kita menjadi lebih sehat. Setelah anak-anak ribut sendiri tentang jantung yang memompa darah, paru-paru, pembuluh vena dan arteri serta celetukan Dhiadri,

Di rumah ibuku punya alat itu. Alat pompa jantung
...
Maksudmu, pengukur tekanan darah, Dhi?"
Ya. Mungkin.

saya mencoba mengajak anak-anak merasakan detak nadi mereka. Ini adalah tugas yang menantang bagi mereka (dan ternyata saya). Saya dan Bu Novi harus mencari nadi dipergelangan tangan mereka dulu, baru kemudian meminta mereka menggantikan jari saya. Itupun ditingkahi komentar "MANA BU? MANA BU? TIDAK ADA? KOK TIDAK TERASA?" Ketika kami mencoba di bagian leher, lebih parah lagi. Because you have to be quiet. Mana bisa terasa kalau pasiennya sibuk bicara.

Disitulah tantangannya untuk kelas saya yang ingin serba cepat dan serba instant dan serba lantang. Diam, itu adalah tantangan besar.

Tetapi, melihat binar mata mereka ketika menemukan ada 'sesuatu' di balik tubuh mereka, saya jadi ikut tertawa.

Untuk menambah tingkat kesulitan, saya mencoba mengajak anak-anak menghitung nadi mereka ketika dalam keadaan tenang dan santai, serta habis berlari-lari.

Berdasarkan pengalaman tahun lalu, saya cukup optimis kegiatan ini berhasil. Optimisme saja tahun ini tidak cukup, ternyata. Pada percobaan pertama, setelah waktu menghitung 10 detik berlalu, saya bertanya pada mereka

Coba, berapa hasil hitunganmu!
13 bu!
Aku 35.
Aku 5
Aku 1

Satu?
Iya. Satu. Habis itu berhenti.

Haduh!

Sunday, November 06, 2005

Sepatu Bertali

Suatu hari, Agung datang ke sekolah dengan wajah berseri-seri, “Bu Tia, look.. I have new shoes!” sambil memamerkan sepatu merah. Bangga sekali dia.

Waktu istirahat tiba, Agung menghabiskan waktu lima menit duduk berkutat dengan sepatu barunya. Saya menghampirinya. Agung biasa menggunakan sepatu dengan velcro yang mudah dibuka dan dipasang. Kali ini sepatunya bertali. Ternyata Agung sedang berjuang mengikatkan tali sepatunya. Ia baru belajar mengikat tali sepatu.

Sepintas, sebuah pikiran lewat di kepala saya : HA? SUDAH KELAS 2 SD TIDAK BISA MENGIKAT TALI SEPATU? YA AMPUUUN…. MANJA SEKALI SIH.

Agung memandang saya, “I already make the loop. Now what next? “
Saya duduk di sebelahnya, dengan sepatu yang sebelah lagi saya tunjukkan cara mengikat tali sepatu. Agung mengikuti dengan serius. Tidak langsung berhasil, tapi setelah mencoba sekali lagi, ia berhasil.

Agung tidak menguasai ketrampilan mengikat tali sepatu dalam sehari. Selama seminggu berturut-turut ia akan keluar kelas paling akhir untuk berusaha mengikat tali sepatunya sendiri.

Setiap kali kesabaran saya tinggal sedikit, saya menahan diri. Saya tidak mengikatkan talinya. Saya tidak menyalahkan cara mengikat tali sepatunya yang miring sana sini (bukan cara mengikat paling efektif, tapi paling tidak untuk saat ini adalah cara mengikat paling mudah). Dan saya memberi feedback positif untuk setiap usahanya mengikat tali sepatu yang memakan waktu ‘bertahun-tahun’ itu.

Ya, walaupun saya yang paling besar di kelas, paling tua, dan paling berpengalaman, saya tidak bisa terus-menerus memimpin medan pertempuran dengan kebanggaan sebagai Si Hebat. Sering sekali saya harus merunduk, berdiri sama tinggi dengan mereka, melihat dari sudut pandang dan ketinggian yang sama, mengulang kembali those past first experiences, dan sama-sama mengalami rasa puas dan bangga bersama anak-anak asuh saya untuk berbagai pengalaman pertama mereka berusaha menguasai sebuah ketrampilan, bagaimanapun kecilnya.
Meskipun mengikat sepatu bisa saya lakukan sambil menutup mata.

Thursday, November 03, 2005

Lebaran

Dari : +628111xxxxx
03/11/2005
9:28 am

Bu Tia yang baik, selamat hari raya Idul Fitri, semoga bisa dimaafkan semua kesalahanku.


Untuk : +628111xxxxx
03/11/2005
9:30 am

Terimakasih, maafkan juga kesalahan Bu Tia. Selamat Idul Fitri untukmu dan keluarga...

Wednesday, November 02, 2005

Tuhan (2)

Di hari terakhir sebelum libur lebaran selama dua minggu, kelas kami sempat berdiskusi tentang Lebaran. Dengan antusias anak-anak bicara tentang ke rumah nenek, makan ketupat, sholat Ied, dan sebagainya. Beberapa teman kami tidak merayakan Lebaran, jadilah kami pun bicara tentang hari-hari raya yang lain. Sekali lagi, saya harus mengakui bahwa berbicara tentang agama, tuhan, dan seks dengan anak-anak perlu keterampilan menggunakan bahasa dan analogi yang tepat tapi sederhana. Misalnya untuk menjawab pertanyaan -pertanyaan seperti ini :

Dila : Tuhan orang Islam dan orang yang agamanya lain itu beda, kan Bu?
Saya : Menurut Bu Tia, sama.
Dhiadri : Bu, kalau Tuhan itu cuma satu kenapa namanya banyak? Kenapa dipanggilnya berbeda-beda?

Setelah memutar otak sedikit saya mencoba menjawab

Saya : Menurutmu, apakah orang-orang di dunia ini hanya menggunakan satu bahasa?
Anak-anak : (terkikik-kikik geli dan menganggap pertanyaan saya konyol) ya tidak lah, bu! Ada bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Sunda, Bahasa Bali.. ada bahasa Perancis.
Saya : Riri, bagaimana kamu memanggil ayahmu?
Riri : Bapak
Saya : Agung, bagaimana kamu memanggil ayahmu?
Agung : Aji
Saya : Adinda, bagaimana kamu memanggil ayahmu?
Adinda : Papa
Dhiadri : Sometimes I call ayah " Daddy"..
Saya : Sama juga dengan orang-orang yang agamanya berbeda. Sepertinya mereka menyebut nama Tuhan dengan panggilan yang berbeda-beda juga. Menurutmu, maksudnya sama tidak?
Anak-anak : (berpikir sebentar ) Sama sih...