Saturday, October 28, 2006

Mengenalkan Puisi

Saya sedang senang-senangnya mendengarkan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Saya dengarkan berulang-ulang dan saya kagumi berulang-ulang. Apa sebenarnya isi kepala Bapak Sapardi itu sampai bisa menulis puisi seperti itu? Apa yang terjadi pada kehidupannya dan apa yang dilihatnya dari dunia hingga bisa menulis seperti itu?

Pertanyaan lain yang sudah lama mengganggu saya pun muncul, bagaimana cara memperkenalkan puisi pada anak-anak?

Pada satu titik, kita, saya, mungkin anda, menikmati puisi karena indahnya atau karena isinya mengena. Seorang teman saya mengingatkan bahwa puisi bukan hanya tentang keindahan tetapi juga tentang manusia. Ia benar. Setidaknya bagi saya, di dalam puisi dan berbagai turunan bentuknya, ada ruang untuk berpikir lebih jauh tentang saya sebagai manusia, as a part of human race.

Bagaimana saya bisa ajarkan bahwa puisi adalah tentang manusia dan kemanusiaan pada anak-anak berusia tujuh tahun?

Setiap kali saya mencoba membawa dan mengintegrasikan kegiatan membaca, menikmati atau bahkan mencoba menulis puisi, saya sering mendapati wajah-wajah bingung dan putus asa. Ya, ya, saya mengerti. Mereka baru saja berhasil melewati fase “saya sudah bisa membaca”. Maka mungkin memang terlalu ambisius kalau saya berharap mereka langsung bisa membedakan bentuk prosa dan puisi (lantas menulisnya pula). Sedang saya sendiri selalu cemas saat harus menjelaskan perbedaaannya, dan menjelaskan bahwa puisi nyaris tanpa aturan baku.

Sekarang mereka sedang mengeksplorasi apa saja yang bisa mereka lakukan dengan ketrampilan baru mereka itu. Maka saya merasa punya tugas untuk menunjukkan berbagai bentuk material tertulis yang bisa dibaca. Juga mengenalkan berbagai perlengkapan tambahan untuk bisa mengekspresikan diri dalam bentuk tertulis; seperti kosakata yang lebih luas, juga kesadaran tentang segala sesuatu di dalam diri mereka dan lingkungan sekitarnya.

Saya ingat, ketika kecil, kira-kira umur 8 – 10 tahun, saya senang menulis (sesuatu yang saya sebut) puisi. Saya menyukai kalimat bersajak yang saya buat. Saya tertantang untuk menceritakan segala sesuatu di sekitar saya termasuk yang remeh temeh. Untuk bisa membuat banyak “puisi” saya pun harus lebih banyak memperhatikan sekitar saya.

Barangkali, hal-hal sesederhana pengalaman kecil itu bisa menjadi sebuah jembatan besar untuk tertarik, menikmati, dan memaknai puisi sebagai bagian dari manusia dan kemanusiaan.


Nah, mendengarkan Sapardi dan terusik oleh kutipan dari teman saya, membuat saya jadi berpikir tentang hal-hal kecil yang bisa saya lakukan di kelas untuk mengajak anak-anak mulai mengapresiasi berbagai bentuk tulisan.

Thursday, October 19, 2006

Mengapa Saya Membaca

Jika kita mengintip segmen membaca dalam kurikulum nasional, yang terlihat adalah penekanan pada bagaimana cara membaca. Membaca dengan lantang, membaca dengan intonasi yang benar, membaca untuk mencari inti permasalahan, dan seterusnya. Sangat teknis.

Pertanyaan mengapa saya perlu membaca hampir tidak pernah dibahas. Membaca (dalam kurikulum itu) selalu terisolasi dalam bentuk bacaan, puisi, dongeng, dalam unit-unit buku pelajaran. Tidak ada kegiatan tentang membaca label, membaca rambu dan petunjuk, membaca novel yang bagus, membaca manual, membaca koran, membaca tabel, membaca daftar, membaca untuk mencari tahu, dan membaca untuk kesenangan.

Siang tadi, saya dan anak-anak membaca buku tentang olahragawan. Kami mengobrol tentang bagaimana caranya menjadi olahragawan yang hebat. Anak-anak setuju bahwa untuk menjadi olahragawan yang hebat harus berlatih dengan sungguh-sungguh, mengatur makan, dan istirahat yang cukup. Jawaban menarik muncul dari mulut Putri. Ia berpendapat bahwa untuk menjadi olahragawan yang baik, kita harus banyak membaca dan mencari tahu tentang olahraga itu. Belajar taktik dan strategi agar bisa menang.

Saya minta anak-anak berangan menjadi seorang olahragawan hebat. Cabang olahraganya boleh pilih sendiri. Ketika anak-anak membuat peta rencana menjadi olahragawan yang hebat, saya berkeliling mengintip pekerjaan mereka. Mereka menulis rencana latihan mereka(saya akan latihan tiga jam sehari dengan pelatih paling hebat), cara mengatur makan (saya akan makan sayur, minum vitamin, minum susu, mengurangi permen dan gorengan), dan istirahat (saya tidak akan tidur terlalu malam agar bisa bangun pagi dan latihan lagi). Banyak yang menulis tentang bagaimana belajar menjadi olahragawan yang hebat dengan

- mempelajari sejarah figure skating
- banyak membaca tentang catur.
- mempelajari cara kerja mobil balap.
- membaca buku tentang sepakbola.
- menonton rekaman figure skating dan mempelajari gerakannya.

Kalimat-kalimat ini membuat saya bisa melihat bahwa di kepala anak-anak ini, membaca adalah salah satu alat untuk mencari tahu tentang hal-hal yang mereka minati. Dalam lingkup sederhana (walaupun kalimat belajar sejarah tidak sederhana) tampaknya mereka sudah memiliki gagasan bahwa membaca adalah alat untuk belajar.

Kalau sudah sampai di sini, saya tidak akan heran kalau mereka banyak membaca. Bukan hanya karena mereka berminat, atau membaca itu menyenangkan, tapi lebih karena mereka membutuhkannya untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka.

Monday, October 16, 2006

Hutan Hujan

Seorang ibu menulis pesan pendek dalam agenda. Anaknya sangat menikmati tugas-mirip-riset tentang habitat. Ia membaca buku dan menggunakan internet sendiri untuk mencari informasi yang ia butuhkan tentang orangutan di hutan tropis.

Saya senang mendengarnya. Senang mendengar bahwa ia punya cukup ketertarikan untuk mendorongnya mencari tahu. Senang pula mendengarnya berbagi dengan nada prihatin, bahwa setengah dari hutan hujan sudah habis ditebang. Bahwa makin sedikitnya pohon berarti makin sedikitnya makanan dan tempat tinggal untuk orang utan, dan orangutan terancam punah.

Senyum saya makin lebar ketika teman-temannya menanggapi tentang kebakaran hutan lalu ada yang polos bertanya, "Ibu, katanya hutan-hutan dibakar karena banyak orang miskin. Aku nggak ngerti apa hubungannya orang miskin dengan hutan yang dibakar."

Di saat-saat seperti itu kadang saya ingin punya kekuatan super yang bisa menghentikan waktu; sehingga kami bisa menjelajah semua jawaban sesuai keinginan kami tanpa khawatir pada jarum jam, waktu musik, waktu makan, waktu main, waktu pulang, dan waktu-waktu lain.

Heran ya, saya cepat berubah dari tidak ingin ada di kelas dan ingin ada di kelas seterusnya.

Friday, October 13, 2006

Di Kandang

Hari ini kami membaca cerita tentang seseorang yang suka suara ribut. Waktu ia pindah dari kota besar ke desa kecil, tidak bisa tidur, karena kurang ribut. Jadi dibelinya banyak hewan, diundangnya banyak orang, supaya cukup riuh untuknya tidur.

Cerita ini sangat deskriptif. Saya meminta anak-anak menggambar selengkap mungkin, deskripsi yang mereka baca dalam cerita itu.

Empat puluh lima menit berlalu, anak-anak mulai datang silih berganti menunjukkan hasil kerjanya. Tara menunjukkan sebuah gambar nyaris tak berpenghuni, kecuali seekor hewan (saya lupa apa tepatnya).

Saya : Sepertinya di cerita ini banyak hewan-hewannya?
Tara : Iya.
Saya : Kok tidak kelihatan di gambarmu?
Tara : Mereka ada di sini (menunjuk sebuah rumah kecil di kanan kiri sebuah rumah kayu, dan sebuah rumah besar tak jauh dari situ). Ini kandang kucing, ini kandang anjing, ini kandang hewan-hewan lain.
Saya : (manggut-manggut berusaha mengerti)

Thursday, October 12, 2006

Ketemu!

Akhirnya sekarang saya tahu kapan saya sangat tidak ingin ada di kelas seharian bersama anak-anak.

Yaitu saat sedang sakit gigi.

Friday, October 06, 2006

Menghafal

Kali ini cerita saya bukan sesuatu yang indah dan menakjubkan.

Salah satu hal yang paling ditunggu-tunggu oleh kebanyakan murid kelas 2 saya adalah belajar perkalian.* Perkalian jaman dahulu kala, memang diajarkan dengan menghafalkan. Karena kita pun selalu punya kesempatan untuk maju mundur ke jaman dahulu kala dan sekarang, saya tak heran kalau anak-anak ada juga yang tahu perkalian dengan menghafalkan.

Masalah besar muncul ketika ada yang berpikir, this multiplication is a piece of cake because i've memorized it, lalu datanglah soal-soal tentang konsep perkalian, bukan fakta perkalian.

Saya diam saja ketika suara-suara piece-of-cake bermunculan.Setelah setengah jam bermain dadu membuat lingkaran penuh bintang-bintang, ternyata banyak yang kebingungan ketika tidak menemukan deretan soal fakta perkalian di lembar kerjanya, melainkan soal-soal yang membentuk konsep dasar perkalian.

Ketika suara-suara piece-of cake menghilang, barulah saya bicara pada mereka.


Tak ada yang bisa dibanggakan kalau hanya hafal dan tidak mengerti.
Setelah mengerti sehingga hafal, itu hebat.

Bisa jadi banyak yang tak sependapat dengan saya. Kadang-kadang menghafal perlu juga, seperti mengingat kata kerja tidak teratur, kosakata dalam bahasa yang baru dipelajari, dan beberapa contoh lain. Tetapi menghafal dalam matematika hanya akan berujung pada malapetaka. Setidaknya pada soal cerita yang mereka temui.


Mengingat fakta, apalagi banyak fakta sekaligus, memang bisa mempesona orang lain. Tetapi buat saya, begitu banyak fakta tanpa bisa menjalin hubungan antara satu dan lain, menggunakannya untuk memecahkan masalah, atau mengaplikasikannya, tak ada bedanya dengan menjadi kamus berjalan.


Saya tidak mau menjadi guru dari kamus berjalan. Sebab untuk jadi guru kamus berjalan terlalu mudah. Saya tidak perlu mengurangi jam tidur menyelesaikan silabus, saya tinggal membawa rotan seperti jaman es batu.

Alexander The Great berpendapat mulut saya terlalu pedas tentang ini. Ah, saya cuma agak sedih karena saya sedang berusaha menanamkan bahwa belajar adalah eksplorasi. Saya selalu berusaha memuji jawaban-jawaban kritis yang dimunculkan anak-anak saat mereka berusaha menghubungkan fakta satu dan lainnya. Saya tidak membiasakan diri memuji hasil hafalan (rote learning). Percuma, nanti juga lupa.

Ayo nak, jangan kurung pikiranmu dengan menghafal.

Ayo kita jalan-jalan dan gunakan segala yang kita punya untuk memaknai segala yang kita lihat, dengar dan rasakan.


*Sepertinya saya sudah menulis tentang perkalian tahun lalu.