Wednesday, January 25, 2006

Ilmuwan Kecil

Sudah satu bulan ini kami berkutat dalam tema Gaya dan Gerak. Walau awalnya anak-anak agak bingung membedakan gaya (style) dan gaya (force), lama-kelamaan mereka mengerti juga kalau gaya (force) adalah mendorong atau menarik, dan ternyata berbeda dengan gaya (style) seperti dalam berenang atau sedang difoto. Anak-anak sudah melakukan banyak kegiatan yang membuat saya sering terkaget-kaget saat menemani mereka berproses.

Poster

Anak-anak membuat poster berupa kumpulan gambar-gambar yang digunting dari koran bekas dan majalah. Mereka mencari gambar-gambar yang menunjukkan orang sedang mendorong atau menarik sesuatu dengan variasinya. Dhimas membuatnya sangat komprehensif dengan 16 gambar dan tanda panah di sana-sini untuk menunjukkan "gaya" yang terjadi. Dhimas bangga sekali ketika saya menempel poster karyanya tepat di depan kelas dan langsung dikerumuni teman-teman kelas sebelah saat istirahat tiba.

"Dhimas, this is wonderful!"
"I know that. I worked hard for it! My Mom helped me a bit. See, i found 16 pictures! That's a record!"


Mobil Mainan

Suatu hari saya minta anak-anak membawa mobil mainan. Kami mencoba mendorong mobil mainan dengan berbagai level kekuatan (dorong kuat-kuat dan dorong pelan-pelan, juga dorong sedang-sedang) lalu mengukur jarak tempuhnya dengan sedotan. Ya, anak-anak sedang belajar mencatat hasil pengamatannya, tapi mereka belum fasih betul menggunakan alat ukur sungguhan seperti meteran. Tentunya hal kecil seperti itu tidak perlu menghambat. Anak-anak toh sangat telaten untuk meletakkan sedotan atau stik es krim berturut-turut untuk bisa membandingkan panjang.

Karena anak-anak menjalankan eksperimen kecil itu dengan mudah, saya meminta mereka untuk membuat laporannya untuk kemudian diceritakan di depan kelas. Saya ambilkan kertas A3 dan memberi mereka instruksi untuk memilih judul eksperimen, menulis pertanyaan awal, mendeskripsikan alat dan bahan yang digunakan, merinci cara kerja mereka dan menuliskan hasilnya.

Mengerikan?

Tidak sama sekali. Saya tidak menuntut hasil sempurna. Ketika mereka membuat judul "Super Car Race" saya tidak marah. Mereka menulis alat dan bahan, cara kerja dan hasil tanpa kesulitan.

"Jika mobil mainan didorong kuat, ternyata bisa berjalan jauh. Jaraknya 19 sedotan. Jika mobil mainan didorong sedang-sedang, ternyata berjalannya agak dekat. Jaraknya 10 sedotan. Tapi kalau aku mendorongnya tidak kuat, ternyata jaraknya hanya 2 sedotan."

ITU saja sudah hebat sekali menurut saya. Anak-anak hanya agak kesulitan ketika harus menyusun pertanyaan. Pertanyaan seperti apa? Dalam penelitian orang dewasa menyusun pertanyaan adalah merancang hipotesis. Saya katakan pada mereka, pertanyaan yang seharusnya ditulis adalah pertanyaan yang jawabannya bisa kamu temukan dalam hasil. Apa yang membuatmu ingin tahu dan melakukan percobaan tadi? Saya tidak berharap banyak dari mereka. Ketika anak-anak menulis

"Bagaimana caranya supaya mobil bisa berjalan cepat?"

Saya biarkan saja. Kelompok Dhiadri lama mondar-mandir tanpa hasil. Saya tanya apakah mereka menemui kesulitan? Dhiadri mengeluh tidak dapat menyusun kalimat untuk pertanyaannya walaupun ia merasa "I think i get the idea". So, what is that, Dhiadri?

"Kalau aku mendorong mobilnya berbeda-beda apakah jarak yang ditempuh juga berbeda-beda?"

I think his work is super. Kalimatnya seharusnya berbunyi, apakah besar gaya mempengaruhi jarak dan kecepatan... semacam itu. Tapi buat saya kalimatnya sudah sempurna.


Sir Isaac Newton

Bosan dengan kegiatan reading comprehension yang begitu-begitu saja, saya memanfaatkan teks bacaan Isaac Newton untuk bermain "Aku Ingat!" Kami membaca dalam waktu singkat, lalu mencoba mengingat kembali informasi yang sudah dibaca sambil menulisnya di kertas bersama. Tiga puluh menit berlalu ketika sebagian besar anak-anak masih bersemangat angkat tangan dan bergantian menulis. Riri memandang saya, " Bu, aku masih bingung dengan hukum Newton yang kedua ini. Maksudnya apa?"

Saya mengajaknya beralih dari kelompok besar dan mencoba menjelaskannya dengan penggaris yang dilentingkan. Sebentar kemudan kami berempat (delapan orang lain masih sibuk main ingat-ingat) keluar kelas dan mencoba hukum-hukum Newton itu dengan otopet. Kami berempat senang sekali. Saya tidak yakin anak-anak betul mengerti, karena bukan itu tujuan saya mencoba bersama mereka. Saya tahu anak-anak senang mendapat kesempatan mencoba apa yang mereka tahu atau mereka baca. Saya tidak bermaksud membuat seisi kelas fasih menggunakan ketiga hukum Newton itu. (Saya bahkan jadi bertanya-tanya sendiri, mengapa saya cantumkan dalam bacaan?), tetapi ternyata sempilan ini justru bisa menjadi pengayaan buat mereka yang ingin tahu lebih jauh.

Mengukur Gaya

Melanjutkan cerita tentang Newton, Apel, dan Gravitasi, anak-anak mencoba membuat skala pengukur gaya. Kami gunakan ember kecil bertali karet gelang dan mencoba menimbang satu kardus aneka produk. Anak-anak membaca berat bersih tiap bungkus makanan (dan lain-lain) lalu memberi tanda pada karton yang kami gunakan sebagai skala. Setelah produk-produk itu habis ditimbang, beberapa anak mulai berinsiatif untuk menggabungkan beberapa produk untuk mendapatkan berat yang lebih besar. Kelas kami hiruk pikuk seperti pasar.

Tadinya saya menyiapkan kegiatan ini sebagai bagian dari integrasi sains dan matematika. Membaca label makanan, mengurutkan nominal berat dari yang terkecil sampai terbesar, itu sudah kegiatan belajar untuk mereka. Berkaitan dengan gaya dan gerak saya juga sudah bercerita tentang gaya gravitasi, hubungannya dengan berat, dan nama Newton yang diabadikan menjadi satuan. Kami pun sudah membaca bagaimana orang di luar angkasa melayang tanpa gravitasi.

Anak-anak tidak lupa bahwa berat benda sebenarnya adalah besar gaya tarik bumi terhadap benda itu. Ketika membicarakan gaya maka kita akan menggunakan satuan Newton. Seperti ketika kita membicarakan berat kita akan menggunakan satuan gram, dan ketika bicara tentang panjang kita akan menggunakan satuan sentimeter.

Saya sudah bersiap-siap membantu anak-anak melakukan konversi dari berat gram ke dalam satuan Newton. Nyatanya, saya cuma perlu memberi satu contoh saja. Anak-anak mengembalikan karton mereka pada saya dengan satu sisi ditulisi berat gram berturut-turut, dan sisi lainnya konversi ke satuan Newton. Tanpa kesalahan. Lengkap dengan gambar Sir Isaac Newton tidur di bawah pohon apel dan kejatuhan apel.

Saya bingung, anak-anak seperti apa sih yang sebenarnya ada di kelas saya. Kelas 2 SD atau kelas 2 SMP?





Thursday, January 19, 2006

Lelucon Hari Ini

Setting
Halaman sekolah dengan pohon rambutan yang dahan-dahannya hampir menjuntai ke bawah. Beberapa rambutan hijau mulai memerah.

Tokoh
Anak-anak Kelas 1 SD yang baru selesai melakukan kegiatan IPA di aula bersama guru-gurunya.

Si Anak Kelas 1 : (melihat ke arah pohon rambutan) Wah... daun singkong!
Si Guru kelas 1 : (keheranan) Coba kamu lihat dulu nak, buah apa itu? (menunjuk ke rambutan)
Si Anak Kelas 1 : durian bu...
Yang lain : *gubrak*
Si Guru kelas 1 : Itu buah rambutan namanya. Kalau buahnya rambutan, daunnya juga daun rambutan.
Si Anak Kelas 1 : Tapi bu,... Ibuku suka daun singkong.

Wednesday, January 18, 2006

Kami Sedang Belajar

Kegiatan musik hari ini cukup menantang. Ibu Musik mengajak anak-anak mendengar dan menebak not yang dimainkannya di keyboard. Lebih jauh lagi, anak-anak diminta mencoba menuliskan not baloknya di kertas bergaris lima.

Saya sedang mengurus pekerjaan lain sehingga tidak ikut duduk di kelas musik. Sepuluh menit terakhir saya baru datang dan melihat apa yang sedang dikerjakan. Anak-anak kelihatan gelisah, dan mereka tidak yakin pada apa yang sedang mereka kerjakan. Suara-suara mulai terdengar

Bu, kalau salah bagaimana?
Bu, salah tidak apa-apa ya?

Bu Musik menjawab lugas, tidak, pokoknya harus benar.

Musa menyahut tandas, Tapi kan kita sedang belajar!
Mukanya berkerut tidak senang.

Ya, Musa, kadang kami orang dewasa ini masih perlu diingatkan bahwa belajar adalah sebuah proses dan bukan hasil. Maka kesalahan saat belajar buka dosa besar. Itu bagian dari proses yang .... seharusnya menyenangkan!

Thanks for reminding us, honey.

Tuesday, January 17, 2006

Too Much, Too Soon

I am very afraid that i push them to grow up too soon....

Monday, January 16, 2006

Terrible, Horrible, No Good, Very Bad Day

Kami punya banyak waktu luang Jumat lalu. Jadi saya membacakan sebuah buku berjudul Alexander and The Terrible, Horrible, No Good, Very Bad Day (by Judith Viorst).

Buku ini bercerita tentang seorang anak laki-laki bernama Alexander yang sial sepanjang hari, dan selalu membayangkan dirinya bisa pindah ke Australia. Coba saja bayangkan, sejak pagi
- ia bangun dengan sisa permen karet menempel di rambut
- terpeleset skateboard
- sweaternya kecemplung wc
- kakak-kakaknya dapat hadiah dari cereal box masing-masing, dia tidak
- di mobil tidak dapat tempat duduk di dekat jendela, harus terjepit di tengah-tengah
- ibu guru tidak suka dengan gambar invisible castle yang ia buat
- ibu guru lebih suka gambar Paul tentang kapal laut
- ia menyanyi terlalu keras
- ia selalu melewatkan angka 16 ketika harus berhitung
- Paul bilang ia sekarang 'hanya' sahabat nomor 3
- semua orang dibawakan kue, jelly, cokelat, dan lain sebagainya dan Alexander hanya punya roti untuk makan siang.
- hanya Alexander yang giginya berlubang, dua kakaknya tidak.
- kakinya terjepit lift
- didorong Nick sampai jatuh ke kubangan
- diejek cengeng karena menangis
- dimarahi ibu karena baju kotor, menangis, dan ketahuan mau memukul Nick
- tidak kebagian sepatu yang dimaui karena nomornya habis
- membuat 'kecelakaan' di kantor ayah
- makan malam penuh sayur
- ada ciuman di TV
- si kucing maunya tidur bersama Nick
- lampu tidur Micky Mouse mendadak rusak.

It has been a terrible, horrible, no good, very bad day for Alexander.

Anak-anak sangat berempati pada Alexander. Beberapa berbagi cerita bahwa kadang-kadang mereka mengalami hari sial seperti itu juga. Lalu saya memancing mereka, Alexander tentu sedih sekali. Apa yang bisa kita lakukan untuk membuatnya lebih gembira? Dengan empatik juga anak-anak menjawab

Kita bersihkan saja kamarnya diam-diam waktu Alexander tidur, jadi dia tidak terpeleset lagi (Dhimas).
We buy him a sneaker with red and blue stripes (Musa).
Kita beri permen yang banyak (Dila).
Be his first bestfriend (Dhiadri)
Mengajaknya ke Australia (Riri)
Mengajaknya ke Disneyland di Hongkong (Adinda)

Saat ini kami sedang mengerjakan cerita berjudul Alexander Wonderful, Excellent, and Very Good Day!




Friday, January 13, 2006

Komentar

Politik Kelas

Tahukah anda kalau belajar berpolitik dan berorganisasi bisa dimulai sejak awal masa kanak-kanak? Saya juga baru tahu.

Hari ini anak-anak sedang mendiskusikan pembagian tugas untuk minggu depan dipimpin Sang Kapten Kelas. Saya berusaha tidak ikut-ikutan.

Adinda : Aku mau jadi Petugas Agenda minggu depan.
Saya : Ok. Menurutmu siapa yang jadi Kapten Kelas kita minggu depan.
Adinda : Riri. She is doing very well this week.
Saya : Ok.
Adinda : Sekarang Zaky...
Dhimas : Easy one... easy one... easy one...

Dhimas berusaha memberi kode Adinda agar menawarkan tugas yang mudah pada Zaky. Anak-anak ternyata mengamati kemampuan teman-teman sekelasnya. Mereka juga tahu siapa bisa diandalkan untuk siapa. Zaky yang memang pada umumnya bertingkah laku lebih muda dari rata-rata usia di kelas kami, seringkali masih diberi predikat anak bawang. Jangan salah, anak-anak hampir tidak pernah memojokkan atau mengisolir Zaky. Mereka tetap mau bermain bersama dan tidak pernah menolak dikumpulkan dalam satu kelompok. Hanya saja mereka tahu, manytimes they have to babysit...

Riri : Iya, tugas yang mudah tapi juga memberi kesempatan Zaky untuk berkembang...

Fisika

Di jam istirahat saya memanfaatkan waktu untuk memeriksa kembali bacaan mengenai Isaac Newton yang akan kami gunakan minggu depan. Selesai makan, Musa duduk di samping saya.

Musa : Ini siapa, Ibu Tia? (Menunjuk foto Sir Isaac Newton)
Saya : Isaac Newton
Musa : Siapa itu Isaac Newton ?
Saya : Orang yang menemukan gaya gravitasi. Kamu tahu apa itu gravitasi?
Musa : Ya.
Saya : Apa?
Musa : Ibu tahu luar angkasa?
Saya : Tahu.
Musa : Ya, di luar angkasa semua barang terbang-terbang begitu. Tapi kalau di bumi tidak. Semua jatuh ke tanah. Karena ada gaya gravitasi itu. Jadi semua ditarik oleh gravitasi, atau gravity.
Saya : (Mengangguk-angguk)


Thursday, January 12, 2006

Mencontek


Beberapa hari lalu saya mengobrol dengan sepupu-sepupu berikut anak-anak mereka yang masih berusia 6 -9 tahun. Sepupu-sepupu saya berbagi cerita, bagaimana anak-anak mereka sering menjawab asal saja kalau tidak terlalu mengerti pertanyaan ulangannya. Si anak pun menjawab santai,
"Aku nebak lho kalau aku nggak ngerti."
"Iya, aku juga. Atau aku tanya sama teman sebangkuku."
"Kalau nggak ngerti nyontek aja."
Kami hanya tertawa-tawa mendengar jawaban polos mereka.

Begitu kenal ulangan, saat itu anak-anak kenal mencontek. Diminta menghadapi kertas ulangan sendirian tanpa asistensi guru dan teman, suasana yang hening dan kaku, memaksa anak-anak untuk merasa "saya harus berhasil bagaimanapun caranya."

Tentang contek-mencontek, saya baru membahasnya dengan teman saya yang mengajar di kelas yang lebih tinggi. Ia bercerita bahwa anak-anak di kelasnya juga mulai mencontek sedikit-sedikit. Kalau teman saya melihat, ia akan menegur. Terutama kalau terlalu kelihatan. Anak-anak yang kecenderungan menconteknya tinggi dan hampir tidak berusaha mengerjakan sama sekali ia pindahkan ke deret paling depan. Teman saya juga sempat terlibat percakapan yang menurut saya hillarious, dan membuat murid-muridnya terdiam.

"Kok Ibu tahu sih kalau ada anak yang mencontek."
"Tentu tahu. Ibu tahu semua trik-triknya."
"Kok bisa tahu? Ibu dulu pernah nyontek ya?"
"Iya. Makanya Ibu tahu semua cara menyontek kalian."

Menurut teman saya ini, tidak ada salahnya anak-anak mulai belajar menyontek.Kadang-kadang ia membiarkan anak-anak melakukannya. Ia tetap menegur kalau si anak nyata-nyata kelihatan menyontek. Katanya, belajar nyontek pun harus belajar nyontek yang betul. Kalau masih ketahuan namanya belum bisa menyontek. Bahkan mereka harus tahu itu. Jangan sampai nanti keluar dari sekolah ini lalu jadi aneh. Nyontek tidak tahu, lihat orang nyontek kaget. Sekali mencoba ketahuan pula! Hey, kita hidup di dunia nyata, dan anak-anak harus tahu itu. Lagipula mereka tidak bisa selamanya dilindungi dari dunia yang kejam.

Percakapan ini menyegarkan. Sejujurnya saya setuju dengan teman saya. Mencontek hanya bagian dari mengerjakan tes tertulis. Bagian lebih sulit yang harus kami ajarkan pada anak-anak adalah bagaimana membuat pilihan yang benar. Dan yang paling sulit adalah menanamkan nilai menghargai diri sendiri termasuk menghargai hasil kerja sendiri. Kadang sebagai guru pun saya masih sering 'kelepasan' juga untuk kelewat mendorong anak-anak mendapat nilai baik bukannya berusaha yang terbaik.

Kalau tidak mau anak-anak mencontek sama sekali, jangan lakukan tes tertulis yang kaku seperti itu. Di kelas saya selalu mencoba berbagai kegiatan yang aneh-aneh dan tidak melulu tes tertulis dengan kertas dan pensil untuk mengevaluasi hasil belajar. Umumnya mereka juga tidak ingat untuk mencontek atau panik harus mendapat hasil yang baik. Proyek atau permainan yang dilakukan biasanya begitu mengokupasi pikiran hingga tidak sempat lagi berpikir untuk mencontek. Lagipula apa yang bisa dicontek? Tapi, perlu diingat juga bahwa saya memang bekerja dengan anak-anak yang lebih muda. Anak-anak yang akan saya bunuh pelan-pelan kalau saya hanya mengandalkan tes tertulis berupa ulangan.

Monday, January 09, 2006

Jurus Jurus Baru

Bersamaan dengan tahun baru dan kuartal baru, saya meluncurkan jurus-jurus baru di kelas.

Selama ini saya sangat concern dengan beberapa hal tentang perilaku anak-anak saya. Beberapa tampaknya memerlukan kerja keras kami, guru-gurunya, untuk mendorong rasa percaya diri mereka. Bahkan hanya untuk berbicara dengan suara keras. Beberapa anak lain membuat saya seringkali harus menghela nafas dalam-dalam saking ignorant-nya dengan lingkungan di sekitar mereka. Menghilangkan mainan atau alat tulis dianggap angin lalu. Bosan juga saya, terus-menerus jadi nenek cerewet.

Saya mencoba mencari celah dalam rutinitas kelas untuk membantu mengatasi concerns itu tadi. Selama ini -- seperti umumnya kelas-kelas di SD-SD Indonesia-- kami punya ketua kelas plus kelompok tugas harian. Pada kenyataannya tugas mereka tak lebih dari memimpin doa dan menghapus papan tulis. Itupun sering lupa. Saya percaya bahwa memilik tanggung jawab sendiri, meskipun kecil, banyak artinya bagi perkembangan konsep diri dan citra diri anak-anak. Saya tahu betul, sedikit tanggung jawab justru merupakan barang langka bagi anak-anak kelas saya yang tak ubahnya raja-raja dan ratu-ratu kecil di rumah masing-masing. Selalu ada orang lain yang mengurus semuanya.

Berdua, saya dan Bu Novi menciptakan beberapa jabatan tugas di kelas. Macam-macam. Ada yang khusus mengurusi pernak pernik berkaitan dengan alat tulis *, ada yang bertugas mengatur acara baris berbaris, ada yang jadi pustakawan mencatat semua urusan pinjam meminjam dan rapi merapikan buku. Ada yang ditugasi untuk mengurusi penggunaan papan tulis. Yang lain lagi tugasnya membantu segala bentuk distribusi kertas, lembar kerja, buku, dan sebagainya. Kami atur sedemikian rupa sehingga kami punya sembilan tugas berbeda. Satu orang lain akan diangkat jadi mandor berpangkat Kapten Kelas 2. Saya dan Bu Novi sadar betul bahwa dalam minggu-minggu pertama kami harus sabar dan telaten mengingatkan mereka akan tugas-tugasnya.

Saya buat kalung-kalung bertuliskan jabatan mereka di kelas. Saya tulis deskripsi tugas mereka di dinding, dan saya jelaskan aturan mainnya. Setiap anak akan menduduki posnya selama satu minggu. Anak-anak mengerti, meski tidak menunjukkan antuasiasme berlebihan. Dila bertanya pada saya, "Kalau semua ini kita yang mengerjakan, apa yang akan dikerjakan Bu Tia?"

Hahaha. Pertanyaannya persis sama dengan pertanyaan seorang murid dari guru yang metodenya saya tiru ini.

Hari ini adalah hari pertama jurus baru diluncurkan. To my surprise, anak-anak mengurus dirinya dan tugasnya dengan baik hari ini. Riri langsung menuliskan agenda esok hari di papan tulis. Agung yang biasanya cuek setengah mati selalu menginspeksi kerapian kelas kami tanpa disuruh-suruh. Ketika guru-guru yang mengajar perlu menggunakan kertas atau buku, anak-anak langsung menatap Dhiadri penuh arti "menyuruh" dan langsung antri mengambil alat tulis masing-masing. Thalia yang biasanya tidak bersuara bisa cukup berwibawa mengatur teman-temannya berbaris. Saya bahkan tidak perlu lagi mengatur lalu lintas acara cuci tangan. Zaky yang biasanya lupa semua hal hari ini selalu ingat untuk bertanya, 'Bu, papan tulisnya sudah boleh dihapus?"

Masih panjang perjalanan kami membuktikan bahwa little chores is good for your characters. Setidaknya pada hari pertama anak-anak menunjukkan pada saya bahwa mereka senang dan merasa berarti bisa berpartisipasi penuh di kelas kami.