Friday, March 31, 2006

Peta Rasa.

Saya sedang membaca sebuah buku karangan Tracy Kidder yang berjudul "Among School Children". Buku ini bercerita tentang seorang guru dan seisi kelasnya selama satu tahun ajaran.

Buku ini membuat saya tertawa karena jadi sering mengingat pengalaman saya sendiri.
Buku ini juga membuat saya sadar bahwa saya tidak sendiri. Sebagai guru, Christine Zajac dan saya punya peta rasa yang sama sepanjang tahun ajaran.

Bulan-bulan pertama penuh semangat dan kecemasan menghadapi kelas baru yang sebenarnya selalu sama.
Bulan-bulan selanjutnya yang mengesalkan karena anak-anak masih terus menguji batas-batas kesabaran gurunya.
Bulan-bulan tengah tahun yang mulai menyenangkan karena anak-anak mulai terlihat kemajuannya.
Lalu bulan-bulan menjemukan penyebab serangan panik, khawatir tidak menjalankan kelas denga baik.
Kemudian tahun ajaran itu akan berakhir melodramatis dengan rasa sedih karena harus berpisaha sementara gurunya sudah terlanjur jatuh cinta.

Saya jadi ingat ucapan salah satu trainer saya dulu,
"There is nothing new in education. You just go out, find what you need, and put them all together in your class. "

Tidak ada yang baru juga tentang jungkir balik perasaan guru kelas sepanjang tahun.

Wednesday, March 29, 2006

Nama Baru

Kemarin, di jam pelajaran matematika, guru matematika membagikan name tag berupa kalimat perkalian. Setiap orang di kelas harus menyematkan name tag itu di dada. Maka sejak saat itu nama orang tersebut berganti menjadi hasil dari kalimat perkalian yang tersemat.

Name tag saya bertuliskan 4 x 4.
Maka kemarin nama saya menjadi Bu Enam Belas.

Kemarin jadi penuh tawa cekikikan anak-anak. Sebab sulit bagi kami semua untuk berganti nama bersamaan dalam satu hari.Apalagi bagi mereka yang belum lancar mengingat fakta perkalian. Agung beberapa kali terlihat komat kamit beberapa detik sebelum memanggil nama teman atau gurunya. Lebih gawat lagi kalau pelupa seperti saya.

Anak-anak berinisiatif mencatat setiap kesalahan memanggil nama dan menghitungnya di akhir hari.Semua pasang telinga kalau-kalau ada teman yang tidak sengaja memanggil nama orang lain dengan nama sungguhan, bukan hasil perkalian. Banyak kalimat seperti ini, " Bu Enam Belas, tadi Dua Puluh Satu memanggil Delapan Belas dengan namanya!" Lalu mereka buru-buru ke papan tulis dan menambahkan satu angka di belakang nama Si Dua Puluh Satu.

Ini cara yang menyenangkan sekaligus mengesalkan untuk mengajak anak-anak mengingat fakta perkalian.

Coba tebak siapa yang mendapat angka paling banyak untuk salah memanggil?
... Bu Tia! Eh, Bu Enam Belas.

Eits, tidak berarti saya tidak hafal perkalian lho.


Saturday, March 25, 2006

Menggambar

Di awal kisah The Little Prince (Antoine De Saint-Exupery) , diceritakan bahwa tokoh "saya" yang berusia 6 tahun menggambar seekor ular besar memakan gajah. Gambarnya dipersepsi sebagai topi oleh orang dewasa di sekitarnya. "Saya" mencoba membuat gambar lain dari sudut pandang berbeda untuk memperjelas maksudnya. Alih-alih mencoba memahami, orang dewasa menyuruh "saya" untuk belajar sejarah, geometri, bahasa, dan lain-lain --bukannya menggambar yang aneh-aneh.

Si tokoh "saya" kemudian berhenti mengambar dan tak merasa bisa menggambar.

Tidak pernah ada yang salah mengartikan gambar saya waktu kecil, tapi saya sendiri juga tidak mengembangkan kebiasaan dan kebisaan menggambar. Menggambar di kelas-kelas saya masa kecil hanyalah bagian dari pelajaran kesenian, atau kegiatan iseng saat bosan.

Bekerja dengan anak-anak usia dini (berarti sampai 8 tahun, ya) membuat saya mengerti bahwa menggambar adalah alat pertama yang digunakan anak-anak untuk berkomunikasi secara tertulis. Di akhir masa usia dininya, kemampuan verbal anak-anak berkembang luar biasa cepatnya. Di usia 6 tahun mereka sudah punya 14000 kosakata (Papalia, 1998). Hanya saja mereka belum fasih betul menggunakan pensil dan kertas untuk menceritakan gagasan dan pendapatnya secara tertulis. Menggambar adalah sesuatu yang lebih mudah dan alamiah untuk mereka.

Saya perhatikan guru-guru kelas usia dini di sekolah saya saat ini sadar betul tentang hal ini dan justru mendorong anak-anak berkomunikasi lewat menggambar. Bahkan guru kelas 1 tidak selalu membuat tes dalam bentuk tulisan karena belum semua anak-anaknya bisa membaca dengan pemahaman penuh. Tes dalam bentuk membuat dan memilih gambar membuatnya bisa menilai dan mengevaluasi pemahaman atas materi tanpa dihambat oleh kemampuan membaca dan menulis. Mereka mengisi hari-hari dengan menggambar segala hal yang mereka tahu dan mereka pikirkan sambil berlatih menulis.

Demikian halnya di kelas saya saat ini. Anak-anak sudah bisa menulis dengan cukup lancar dan bercerita dengan runut. Tetapi saya tetap meminta mereka untuk menggambar. Saya tidak pernah memberi contoh atau mengajari mereka menggambar sesuatu. Anak-anak hampir tidak pernah bertanya, mereka selalu menggambar begitu saja.

Lebih jauh lagi, anak-anak sudah mulai mengerti bahwa komunikasi tidak hanya melibatkan hal-hal verbal tetapi juga visual. Kemampuan mereka menggambarkan segala sesuatu di sekitarnya dan di pikirannya seringkali membuat saya tercengang.

Suatu kali Musa pernah menggambar manusia dan dinosaurus. Bagaimana ia menggambarkan besarnya dinosaurus? Ia menggambar seorang anak laki-laki di samping kaki dinosaurus yang besar sekali. Jadi si dinosaurus hanya terlihat kakinya saja. Mengapa? Menurut Musa akan terlalu besar kalau digambar di kertas. Nanti orangnya tidak bisa kelihatan.

Lika memang saya kenal sebagai anak dengan kemampuan visual yang sangat baik. Ia sering menggambar orang dari berbagai sudut pandang yang tidak biasa digambar anak seusianya. Misalnya saja ia menggambar anak yang sedang sibuk menulis dari belakang.

The English Teacher pernah meminta anak-anak membuat gambar untuk kalimat-kalimat yang menceritakan kegiatan di pagi hari, mulai dari 'I wake up' sampai 'I go to school'. Ketika anak-anak selesai ditunjukkannya pada saya hasil gambar mereka.

Taruhlah dari lima orang anak yang menggambar adegan 'I get up', saya bisa melihat gambar seorang anak dengan rambut acak-acakan (close up), seorang anak yang menguap, dan seorang anak yang berdiri dari tempat tidur.

Dalam adegan "I take a shower" saya lebih heran lagi. Ada gambar tirai dengan tangan yang muncul sedikit, sedang memegang sikat punggung berbusa sabun, dan sebuah balon kata yang menceritakan bahwa si anak sedang menyanyi. itu buatan Adinda. Dhimas menggambar kepala dan kaki anak yang sedang berendam di bathtub. Dhiadri menggambar sebuah siluet anak di bawah shower di balik kaca buram.

Kalau saya dengan selintas dari obrolan teman-teman yang kerjanya membuat rekaman audio visual, mereka sering membicarakan tentang shot, semacam close up, middle shot, long shot dan entah apa lagi. Saya tidak terlalu paham. Tetapi melihat gambar anak-anak pada adegan 'I brush my teeth" saya jadi ingat mereka. Karena gambar anak-anak tidak ada yang sama. Ada yang menggambar sikat dan odolnya saja. Ada yang menggambar anak sedang menyikat gigi di depan wastafel. Ada yang menggambar hanya gigi dan sikat penuh busa odol. Wow! Lalu disambung dengan anak yang menunduk dengan cipratan air di sekitarnya karena "I wash my face"

Sayang sekali saya tidak bisa menyertakan gambar mereka di sini. Atau mungkin anda bisa datang ke kelas saya dan melihat sebuah gambar yang sering membuat orang tersenyum di depan kelas.

Gambar anak tersetrum listrik dengan rambut berdiri semua dan wajah kehitaman (hanya terlihat tangan, kepala dan setengah badan) dengan tulisan besar-besar : JANGAN MEMASUKKAN TANGAN KE DALAM STOP KONTAK.


Saya rasa dengan kebiasaan menggunakan gambar seperti ini, anak-anak tidak akan canggung berkomunikasi secara verbal dan visual ketika mereka tumbuh besar. Keduanya adalah alamiah untuk mereka.

Friday, March 24, 2006

Kunjungan Balasan

Ada beberapa hal yang harus saya ingat-ingat sebelum membawa seisi kelas pergi ke sebuah tempat

1. Seharusnya saya MENJELASKAN DULU, tempat seperti apa yang akan kami kunjungi, siapa yang akan kami temui.

2. Seharusnya kami MENYEPAKATI DULU aturan dasar untuk berkunjung ke tempat orang lain.

3. Seharusnya saya MEMASTIKAN SETIAP ANAK MEMBAWA MINUM SETIDAKNYA SEBOTOL SETIAP ORANG.


Bagaimanapun, lepas dari spontanitas dan mulut besar anak-anak, kami semua sama-sama senang dan mendapat pengalaman baru.

* Indah, Pak Toha, terimakasih untuk turnya mengelilingi ruang kerja, perpustakaan, ruang produksi, studio rekaman, ruang komputer, ruang rapat, dan ruang-ruang lainnya... kami senang sekali.

Tuesday, March 21, 2006

Cepat Besar

Bagi saya, anak-anak kelas 3 adalah anak-anak yang punya kecenderungan matang lebih cepat dari anak-anak seusia mereka pada umumnya.

Ketika saya mengajar mereka tahun lalu, ada saja hal-hal mengejutkan yang ternyata mampu mereka lakukan sendiri. * Lepas dari kelas saya, kejutan-kejutan yang mereka buat makin banyak dan makin sering membuat saya menggeleng-gelengkan kepala.

Sejak awal tahun ini mereka mempersiapkan Buku Tahunan Sekolah bersama beberapa guru. Salah satu guru yang sering mendampingi mereka pernah menunjukkan foto-foto yang dibuat Lika. Sejak melihat foto-foto itu, saya makin tidak berani memegang kamera dan jadi cemas setiap kali harus menggambil gambar. Lika punya sudut pandang menarik, awas pada pencahayaan, dan bisa bercerita melalui gambar.

Hari Sabtu yang lalu, sekolah kami mengadakan pesta keluarga. Dalam Pesta Keluarga Tahunan ini, mungkin ada sekitar 200 keluarga yang datang ke sekolah kami untuk ikut bermain dan bergembira, berarti ada sekitar 1000 - 1500 tamu.

Biasanya dalam pesta semacam itu, hanya kami guru-guru dan orang tua saja yang membuka stand permainan atau menjual makanan. Tahun ini, anak-anak kelas 3 ikut serta. Mereka membuka stand yang menjual Soda Markisa seharga 5000 rupiah segelas. Uangnya dikumpulkan untuk proyek Buku Tahunan. Mereka juga membuka stand Tebak Kerang, di mana tamu diminta memprakirakan jumlah kerang dalam sebuah wadah. Peserta yang bisa menebak dengan selisih paling kecil dari jumlah kerang sebenarnya akan mendapat hadiah buku.

Saya dan guru-guru lain sedang sibuk membagikan rapor, jadi kami agak terlambat bergabung. Selesai membagikan rapor, saya membeli segelas soda markisa (tanpa potongan harga) dan duduk bersama anak-anak di Stand Tebak Kerang. Tanpa saya duga, mereka cerdik sekali memasarkan permainannya. Coba lihat ini

Pengunjung : Ini stand apa?
Dara : Tebak Kerang, Om.
Pengunjung : Saya harus menebak apa?
Dara : Ini (menunjukkan kerang dalam sebuah wadah berwarna merah), coba om tebak ini jumlahnya ada berapa. Kalau tempat kecil ini kerangnya segini (menunjuk garis dua senti di bawah sebuah botol kuning) jumlahnya 116, nah karau di tempat merah ini berapa kira-kira?
Pengunjung : Tiga ratus?
Dara : Terserah Om nebaknya berapa. Yang paling mendekati jadi pemenang. Nanti ditulis di kertas ini. Sebentar lagi sudah mau dihitung lho...
Pengunjung : Oh, begitu. (Mengambil kertas dan spidol)
Dara : Kuponnya dua, om...
Pengunjung : Wah, saya nggak punya kupon.
Dara : Oh, kuponnya bisa om beli dulu di sebelah sana...

Jelas saja si om terpaksa beli kupon dulu baru kemudian menuliskan tebakannya.


Tampaknya anak-anak berhasil menjual minuman dan kupon menebak cukup banyak. Toh mereka sendiri sempat bermain di stand permainan dan mendapat banyak hadiah. Mereka juga sempat makan es krim. Kegiatan menodong om dan tante yang mereka kenal untuk membeli dagangan mereka tetap berjalan.

Selepas acara, saya dan teman-teman membicarakan mereka. Guru kelasnya bercerita bahwa sejak kemarin anak-anak sibuk membuat spanduk, membuat kartu tanda pengenal, membuat tanda "BUKA" dan "TUTUP" bahkan membuat tanda "SOLD OUT". Kami membicarakan bagaimana anak-anak bersemangat sekali berjualan meskipun masih sering bingung menghitung uang kembali, juga bagaimana anak-anak bisa merayu-rayu orang lain untuk memesan buku tahunan yang terbit bulan Juni nanti. Kami membicarakan Lika yang memegang kamera dan jadi seksi dokumentasi acara tadi.

Kami hampir lupa bahwa mereka baru kelas 3 SD. Saya bilang, jangan-jangan nanti waktu mereka kelas 6, merekalah yang mengorganisir seluruh acara dan kami tinggal duduk-duduk saja. Jangan-jangan nanti mereka yang menyiapkan produksi drama tahunan dan kami tinggal terima laporan.

Apa yang akan mereka lakukan ketika teman-teman sebayanya sedang belajar berjualan, mencari dana, mengorganisasi acara di SMU nanti? Jangan-jangan mereka sudah membuat partai politik sendiri...



* Lihat lagi lema blog ini bulan Januari 2005 - Juli 2005.

Wednesday, March 15, 2006

Manajemen Tugas

Dalam minggu terakhir tiap kuartal, selalu saja banyak tugas-tugas kecil yang menyita waktu. Bukan hanya untuk saja, tetapi juga untuk seisi kelas.

Pekerjaan merekam Audio Book cukup menyita waktu. Setiap anak perlu setidaknya 15 menit, berarti saya akan membutuhkan 2 - 3 jam penuh untuk merekam buku-buku mereka. Sementara itu tugas-kecil-akhir-kuartal tetap menumpuk. Saya memikirkan sebuah cara untuk membuat pekerjaan kami lebih efektif dan efisien.

Saya membuat delapan persegi dalam sebuah kertas dan menuliskan delapan tugas yang harus dikerjakan anak-anak dalam setiap perseginya.Setiap anak mendapat satu lembar. Saya siapkan pula semua peralatan dan bahan yang mereka butuhkan di satu rak yang paling mudah dijangkau. Saya juga menyediakan stempel warna-warni, harta benda saya yang paling berharga.

Kemarin saya beri penjelasan singkat pada anak-anak tentang cara menggunakan kertas itu. Setiap kali saya bilang INI WAKTUNYA KERTAS TUGAS, kalian harus memilih salah satu tugas yang harus dikerjakan. Tugas yang bertanda bintang berarti harus dikerjakan bersama Bu Tia atau Bu Novi. Sampai hari Jumat, kalian harus sudah menyelesaikan semuanya. Setiap selesai satu pekerjaan, boleh ditandai dengan stempel pilihan kalian.


Dua hari ini kelas saya tenang sekali. 8 dari 9 anak sibuk dengan perencanaan tugasnya sendiri. Saya panggil satu demi satu untuk merekam bacaan, sementara teman-temannya sibuk sendiri. Anak-anak tahu betul kalau saya atau bu Novi sibuk dengan dua orang, mereka akaan memilih tugas lain yang bisa dikerjakan sendiri.Mereka benar-benar bekerja! It is really amazing. Saya pikir gurunya Toto Chan dan Montessori cuma bercanda waktu mereka bilang bahwa mereka bisa membuat anak-anak bekerja sendiri. Ternyata memang bisa.

Ketika saya harus menggantikan The English Teacher hari ini, saya mencoba resep yang sama. Saya brief dua pekerjaan yang harus mereka lakukan, membagi kelompok dan ... sim salabim... saya makan gaji buta!

Tentu saja manajemen ini sulit berlaku kalau sedang mengajarkan konsep baru. Yang penting cuma tiga. Satu, instruksinya jelas. Dua, bahan dan alat tersedia siap pakai. Tiga, tingkat kesulitan tugasnya sedang dan menantang untuk semua anak di kelas.

Senang melihat semuanya sibuk dan tingkat kebisingan kelas masih dalam batas aman dan nyaman.

Tuesday, March 14, 2006

Tukang Ketik

Anak-anak masih membicarakan kunjungan Pak Ismail dan teman-teman.

"Bu, bagaimana caranya sih, Pak Ismail itu bisa mengenali huruf-huruf di komputernya? Lancar lagi. Aku tidak sempat tanya."

Saya menjawab sekenanya, "Diingat-ingat barangkali, Ri. Pasti ada cara belajarnya."

"Iya, tapi bagaimana ya?"

Selang beberapa menit kemudian saya mengetik di meja guru. Saya memang mengetik dengan cepat dan biasanya tidak lagi perlu melihat. Riri dan teman-temannya sudah berdiri di samping saya dan memandangi saya mengetik dengan tatapan heran.

"Wah, Bu Tia... kok bisa sih mengetik tidak melihat seperti tuna netra..."

Monday, March 13, 2006

Takut Gagal

Beberapa bulan terakhir ini Adinda sering sekali bertanya-tanya, pelajaran di SMP susah tidak sih, Bu? Di SMA bagaimana? Kuliah itu susah atau tidak? Sekali waktu saya mengobrol dengan mereka tentang apa bedanya SD, SMP, SMA dan kuliah itu.

Adinda : Kata ayahku, kalau mau jadi dokter harus belajar anatomi.
Saya : Iya, betul.
Adinda : Kata ayahku, anatomi itu ssssssuuuuusssaaaaah sekali. Hii... aku tidak mau jadi dokter. Aku mau jadi ibu rumah tangga saja!


Tadi pagi, saya mengingatkan anak-anak bahwa besok saya akan membuat evaluasi untuk IPA. Saya meminta mereka membuka kembali hasil pekerjaan IPA-nya selama kuartal ini. Anak-anak mulai cemberut dan berkeluh kesah.

Dila : Susah tidak, bu?
Saya : Tidak.
Dila : Iya, tidak susah buat Ibu.
Saya : Satu kuartal lagi kalian sudah naik ke kelas 3. Di kelas 3 setiap kuartal ada evaluasi. Jadi sekarang kita berlatih sedikit-sedikit.
Riri : Ah, kalau begini caranya aku tidak usah naik kelas saja.
Saya : Memangnya tidak bosan bertemu Bu Tia lagi?
Adinda : Aku tidak mau sekolah. Aku mau langsung kerja saja.
Bu Novi : Wah, kalau sudah bekerja lebih banyak lagi tugasnya.
Riri : Ya sudah, aku mau langsung jadi nenek-nenek saja. Enak. Di rumah terus.
Saya : Wow, you will miss a lot of things.


Menjadi anak-anak yang cerdas sama sekali tidak mudah. Bukan saja karena panjang akal dan pandai memecahkan masalah, anak-anak yang cerdas sangat awas pada citra dirinya. Anak-anak ini awas pula pendengarannya. Mereka menikmati pembicaraan ayah dan ibu pada orang lain tentang mereka. Mereka pandai memanipulasi situasi karena mereka bisa membaca dan meramalkan reaksi orang-orang di sekitarnya. Anak-anak cerdas ini tahu apa yang menggemparkan dan mengherankan orang lain. Pertanyaan seperti apa, komentar seperti apa, dan seterusnya. Perlahan-lahan mereka pun menikmati pujian, kekaguman, dan harapan untuk berhasil dari orang lain.

Anak-anak cerdas ini menganggap keberhasilan adalah bagian dari identitas mereka. Gagal menjadi satu momok yang menakutkan.

Saya melihat dua sisi wajah itu pada anak-anak saya. Suatu ketika mereka benar-benar tidak kenal gentar dan menerima tantangan apa saja. Saya bisa melihat mereka menikmati proses dan menghargai hasil kerjanya dengan objektif. Mereka bisa menerima kritik dan tidak segan memperbaiki pekerjaannya.

Di saat lain, saya pun melihat mereka mengkritik diri sendiri terlalu keras. Anak-anak jadi uring-uringan pada persoalan yang menurut saya pasti bisa mereka pecahkan dengan mudah. Jika mereka tahu bahwa performa mereka dinilai secara terbuka, anak-anak ini akan langsung meningkatkan kewaspadaan dan mengeluh panjang lebar.

Anak-anak pun punya cara yang khas untuk menghindari kegagalan.

Dhimas selalu mengerjakan segala sesuatunya perlahan-lahan dan menarik garis-garis halus dengan pensil.

Adinda punya satu prinsip dalam mengerjakan segala sesuatunya; CEPAT DAN SELESAI NOMOR SATU.

Dhiadri menghabiskan banyak waktu untuk melamun atau berkoar-koar memprediksi kegagalannya sebelum akhirnya berhasil menyelesaikan tugas dengan nilai A+.

Saya belum tahu bagaimana caranya mencetak anak-anak yang berani mengambil resiko dan tidak takut apa-apa. Saya juga tidak mengisolir mereka dari kegagalan dan hanya memberi pujian dan pengalaman berhasil saja.

Saat ini saya pikir, lebih baik saya biarkan mereka takut gagal dan berusaha mengatasinya daripada tidak pernah tahu apa itu gagal.


Sunday, March 12, 2006

Menjadi Orang Indonesia

Seperti sudah sering saya ceritakan, sebagian besar anak-anak di kelas saya senang, dan fasih berbahasa Inggris. Tiga diantaranya memiliki bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Karena itu saya sering menyemangati mereka untuk berbahasa Indonesia.

Sebagai anak Indonesia kamu harus pandai berbahasa Indonesia. Kalau saja kamu tahu, anak-anak seusiamu yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik itu langka. Kamu harus bangga dan menjadi lebih baik lagi.

Pada hari yang sama, di jam makan siang, saya duduk di sebelah Agung yang terkenal sulit makan. Saya katakan padanya untuk menghabiskan lauknya. Agung menoleh ke kanan dan ke kiri, "Lauk itu yang mana, Bu?"

Teman-teman yang mendengar langsung berkomentar.

Lauk itu temannya nasi! Nih, lihat, laukku itu abon.
Gimana sih, orang Indonesia kok lauk saja tidak tahu!

Tinggallah saya yang tersenyum-senyum dan Agung yang manggut-manggut.

Friday, March 10, 2006

Melihat Dunia Dengan Jari

Beberapa hari yang lalu saya menerima email dari seorang kawan. Ia bercerita tentang kegiatannya di World Book Day (fair) di Depdiknas. Dalam ceritanya, ia menyebut-nyebut tentang Mitra Netra, sebuah yayasan yang salah satu kegiatannya adalah membuat buku-buku braille untuk tuna netra.

Sementara itu kelas saya sedang ada di penghujung tema tentang komunikasi. Selama berminggu-minggu kami sudah mengeksplorasi berbagai alat dan cara menyampaikan pesan pada orang lain. Saya ingat betul tahun lalu saya mengundang teman saya, Adi Respati, untuk berbagi tentang bahasa isyarat. Tahun ini Adi tidak bisa hadir. Tetapi tahun ini saya "bertemu" dengan Mitra Netra.

Jadilah hari Minggu itu saya mengunjungi stand Mitra Netra yang hampir tutup dan menyampaikan maksud saya untuk mengundang mereka ke kelas saya. Mbak Indah yang kebetulan ada di sana senang mendengarnya. Ia memberi saya kartu nama Aria Indrawati, humas Mitra Netra.

Ketika saya menelepon beliau dan mengirim email undangan, respon beliau juga positif. Kesediaan mereka untuk datang dengan pemberitahuan kurang dari lima hari sudah membuat saya merasa berterimakasih.

Sebuah email lanjutan datang pada saya dan membuat saya lebih terharu lagi.

Lestia
Tim Mitra Netra yang akan datang adalah:
Mbak Indah -- yang Ibu temui di pameran --, nanti akan bertindak sebagai instruktur yang akan memperkenalkan huruf Braille pada murid-murid.Seorang murid tunanetra kelas empat SD, yang akan membacakan cerita dalam huruf Braille,Mas Ismail, seorang tunanetra yang berprofesi sebagai jurnalis, yang akan meliput acara itu, sekaligus diperkenalkan pada murid-murid bahwa tunanetra dapat bekerja sebagai wartawan. Mas Ismail nanti juga yang akan mendemonstrasikan bagaimana tunanetra menggunakan komputer bicara.

Artikel tulisan Mas Ismail ini akan dimuat di
Mitra Netra On Line, dan kami harap itu bisa menjadi sumber inspirasi sekolah lain untuk melakukan hal serupa yang dilakukan sekolah anda.
Sangat penting memang jika murid-murid mulai mengenal teman-teman mereka yang tunanetra sedini mungkin.
Antara lain adalah agar mereka belajar menghargai perbedaan.

Sekali lagi, terima kasih atas undangan yang disampaikan kepada kami.

Salam,
Aria.



Membaca email itu, saya terdiam cukup lama. Siapalah saya dan mereka begitu tulus hati serta sungguh-sungguh menyiapkan segala sesuatunya. Lebih dari yang saya butuhkan.

Hari ini Mbak Indah, Pak Ismail, dan Okky betul-betul datang ke kelas. Mereka memperkenalkan diri,membacakan cerita, memperlihatkan komputer bicara, bermain berama kami dan mengajari kami menulis dalam huruf braille. Untuk itu mereka membawa 12 pasang riglet dan stylus khusus untuk menulis braille. Anak-anak suka cita mencoba dan tidak putus asa meski berulang kali membuat kesalahan. Adinda bilang, susah sekali ternyata menulis dalam huruf Braille! Kita harus sabar...

Okky menunjukkan pada kami bagaimana ia dapat membaca cerita dengan lancar dalam huruf Braille. Anak-anak mendengarkan dengan seksama dan terkagum-kagum melihatnya. Hebat sekali bisa membaca dengan jari!

Bahkan tiga orang anak mendapat hadiah riglet dan stylus karena bisa menjawab pertanyaan.

Betul-betul hari yang istimewa. Saya bangga melihat anak-anak ternyata dapat menghargai mereka yang berbeda. Mereka tidak sungkan bertanya, minta dikoreksi, dan bahkan bergelanyut manja. Setiap ada sesuatu yang baru, ada saja yang berseru, "oooo.... this is so cool!!"

Mbak Indah juga bercerita tentang program Seribu Buku Untuk Tuna Netra di mana siapapun dapat menjadi relawan dengan mengetikkan buku dalam program MS Word dan mengirimkannya ke mitra netra untuk diubah dalam bentuk braille. Karena anak-anak kelas 2 masih terlalu kecil dan belum bisa mengetik, saya bertanya pada Mbak Indah, bolehkah kami membuat Audio Book? Menurutnya, bisa saja. Nanti bisa disimpan dalam perpustakaan Mitra Netra.

Jadi, minggu ini kami semua akan memilih sebuah buku kesayangan kami, membacanya dengan jelas dan lantang, dan merekamnya dalam kaset. Kami akan mengirimkan rekaman buku itu ke Mitra Netra sebagai ucapan terimakasih sambil menunjukkan semangat berbagi.

Ada yang mau ikut serta?



Thursday, March 09, 2006

Kerjasama Alam Semesta

" If you really want something the entire universe will conspire in helping you get it."
-Paulo Coelho, The Alchemist-


Ketika saya membacanya, saya hanya mengerutkan dahi.
Apalah saya bagi alam semesta.

Ketika saya ingin memberi sesuatu pada murid-murid di kelas saya, tiba-tiba -- ya-- tiba-tiba, seisi dunia bekerjasama untuk mewujudkannya.

Ketika saya merenung lagi, ternyata saya tidak pernah bekerja sendiri.
Orang-orang yang saya minta untuk datang ke kelas saya tak pernah setengah hati.
Mereka selalu datang sebagai yang terbaik.
Berbagi dari yang paling dalam.

Sepertinya seisi dunia berkonspirasi mendidik anak-anak ini.
Beruntungnya saya bisa ikut belajar bersama mereka.

Wednesday, March 08, 2006

Kebebasan Memilih

Saya punya seorang murid yang tumbuh di sebuah keluarga istimewa. Ayahnya beragama Islam, dan Ibunya beragama Katolik. Murid kecil saya ini seringkali mengatakan bahwa ia belum menentukan pilihannya.

Dua tahun yang lalu, ketika gurunya meminta ia membawa alat-alat ibadah agama masing-masing untuk keperluan pelajaran, ia membawa seperangkat mukena. Katanya, "Bu, aku belum memutuskan akan beragama apa. Tetapi aku ingin mencoba, dan ingin tahu rasanya beribadah menggunakan mukena. Jadi aku membawa mukena."

Setahun yang lalu, ia ikut berpuasa dengan gembira sepanjang bulan Ramadhan. Kadang-kadang sehari penuh, tetapi lebih sering setengah hari. Di tahun yang sama, ia sering mengenakan rok istimewa saat hatinya gembira. Katanya, "Aku senang hari ini. Jadi aku memakai rokku yang paling bagus, yang selalu aku pakai ke gereja." Ia senang ke gereja. Saya tahu, kegiatan di gereja sejalan dengan kesenangannya menyanyi dan suaranya yang memang merdu.

Tahun ini, guru pelajaran agama memujinya karena ia memiliki sikap toleran yang luar biasa untuk anak seusianya. Kami makin mengaguminya karena ia bisa menjelaskan dengan baik tentang agama yang akhirnya ia pilih.

Setiap kali mendengar cerita tentang murid saya ini, saya merasa tergetar. Saya iri pada pengalamannya untuk memilih dengan sadar apa yang akan ia sandari dan jadikan identitas sepanjang hidupnya. Dengan cara anak-anaknya, ia menghayati setiap pengalamannya beragama.

Saya kagum pada sang ayah dan ibu. Saya yakin, mereka mampu menekan ego dan keinginan masing-masing. Tanpa ayah dan ibu yang bijaksana dan rendah hati seperti mereka, tentulah murid saya ini tidak akan memiliki kebebasan memilih agamanya sendiri.

Kebebasan paling mendasar bagi seseorang.
Kebebasan menyakini apa yang ingin ia percayai.

Tuesday, March 07, 2006

Neverland

Bu Musik bertanya pada anak-anak, sebutkan beberapa nama komponis!

Dari sana sini terdengar,

Mozart!
Bach!
A.T Machmud!
Ibu Sud!
Daljono!

Tiba-tiba Adinda berteriak “ARIEL PETERPAN!!”

Monday, March 06, 2006

Menjadi Agen Perubahan

Seusai makan siang Zaky terisak-isak masuk ke kelas. Saya tanyakan apa sebabnya. Zaky menuduh Dhiadri menarik tangannya terlalu keras. Setelah berdebat beberapa saat, mereka menyelesaikan masalahnya.

Tetapi saya tahu Dhiadri masih tidak terima disalahkan karena ia merasa tidak menarik tangan Zaky terlalu keras. Saya katakan, kadang-kadang kalau kita terlalu bersemangat seperti sedang bermain di luar, kita tidak mengontrol kekuatan kita dan seringkali tidak sengaja seperti mendorong teman padahal hanya ingin memegang bahunya, dan semacam itu. Riri mengerti apa yang saya katakan dan ia memberi contoh lain.

Saya melihat kesempatan untuk mengajak mereka lebih -- menurut bahasa ayah saya -- peduli pada lingkungan. Maksud saya lebih hati-hati, pasang mata dan telinga, berpikir apa akibatnya kalau melakukan sesuatu. Saya mencoba memberi contoh dari hal-hal sederhana yang mereka lakukan sehari-hari seperti

Apakah kalian melihat Pak Ebit sedang menyapu kelas ketika kalian buru-buru masuk kelas tadi?
Apakah kamu menabrak seseorang dan tidak minta maaf ketika berlarian tadi?

juga contoh-contoh di jalan raya seperti tingkah laku metromini, kopaja, dan sepeda motor, atau orang yang menyeberang seenaknya. Sebagai pengguna jalan raya anak-anak pun ternyata memperhatikan komentar dan reaksi dari ayah, ibu, dan pak supir yang mengemudikan mobil. Mereka cepat menanggapi. Apalagi Zaky pernah ditabrak sepeda motor sampai kedua tulang kakinya patah.

Obrolan kami cukup seru sampai tiba-tiba Riri berkata, "Bu, aku berharap nanti kalau aku sudah besar Jakarta sudah berubah dan tidak seperti ini (tidak teratur) lagi."

Saya bilang, " justru kamu yang harus memulai perubahan."

Riri dan teman lainnya melotot, " Jadi kita harus jadi presidennya??"

Saya jadi tertawa. Seandainya semua orang mau menggunakan mata, telinga, dan kerendahan hatinya untuk tidak menganggap saya yang paling penting di dunia ini, saya yakin kita tidak akan punya kota atau negara semrawut seperti ini.

Tidak perlu menjadi presiden untuk mengubah dunia, Ri. Gunakan saja mata dan telinga untuk memperhatikan sekitar kita. Gunakan kerendahan hatimu untuk mau sabar menunggu dan tidak seenak sendiri menggunakan fasilitas umum.

Saturday, March 04, 2006

Tanda-tanda

Kapan saya tahu bahwa saya telah membawa sebuah kegiatan menarik ke dalam kelas?

Yaitu ketika anak-anak begitu sibuk dalam kegiatan itu hingga tidak punya waktu untuk memanggil saya dengan berbagai alasan, dan pada akhirnya mereka memeluk saya tanpa aba-aba.

Kapan saya tahu bahwa saya telah meninggalkan kesan ?

Saat kami duduk bersama dan tertawa terpingkal-pingkal. Juga saat kami membuat lingkaran dan semua berebut untuk menggandeng saya.


Oh, they are so sweet.

Friday, March 03, 2006

Red Line

Dua minggu ini anak-anak sedang membuat sebuah alat permainan bernama Penangkap Balon.

Penangkap Balon dibuat dari botol plastik ukuran 1,5 liter yang dipotong dua bagian. Bagian yang digunakan adalah bagian atas sehingga leher botol bisa menjadi pegangan. Anak-anak membuat kolase dari berbagai kertas untuk menutupi botol sehingga botol itu lebih personal. Setelah selesai, balon diikatkan dengan tali sedemikian rupa sehingga terciptalah permainan Penangkap Balon. Coba saja lemparkan balon bertali itu ke udara dan mencoba menangkapnya dengan si botol. Ternyata tidak semudah kelihatannya!

Anak-anak antusias sekali. Jam pelajaran ketrampilan yang ada tidak pernah cukup padahal sudah dua kali pertemuan kami mengerjakannya. Anak-anak terus merengek minta dibolehkan mengerjakan mainan itu setiap saat. Saya agak segan karena pekerjaan ini jorok sekali, kertas di mana-mana dan lem belepotan di mana-mana. Malas kan, kalau harus terus-terusan membereskan kelas setiap harus berganti kegiatan.

Akhirnya sebagai jalan tengah saya mencoba membuat ruang kosong di kelas. Besarnya sekitar 9 ubin persegi. Saya batasi ruang itu dengan lakban merah. Saya katakan pada anak-anak bahwa mereka boleh menggunakan ruang berlakban merah itu untuk mengerjakan mainan mereka. Tidak perlu dibereskan kecuali jika sudah waktunya pulang.

Jadi, di kelas saya yang rapi jali itu ada satu sudut berlakban merah di mana di dalamnya bertebaran segala kertas dan lengket oleh lem. Anak-anak berkunjung ke sana tiap ada waktu luang dan mencicil karya mereka.

Saya senang, anak-anak juga senang. Waktu beres-beres kami berkurang.