Monday, June 26, 2006

Visi

Televisi lagi.

Ibu yang sedang diwawancara ini menggendong bayi perempuan berumur satu bulan. Katanya, "I want Hannah to have a good citizenship. Dia harus tahu bahwa hidup ini bukan hanya tentang dirinya sendiri...Hidup ini juga tentang lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Saya ingin ia sadar bahwa ia harus memberi kontribusi, tidak hanya pada keluarga, tetapi juga pada masyarakat..."

Saya percaya ibu tadi tidak akan sibuk menciptakan anak ideal untuk memenuhi fantasinya sendiri. Visinya jelas, benar terarah ke depan, dan tidak lagi berorientasi pada diri sendiri.

I want to say goodbye to the old wishes of the newborn babies... "semoga jadi anak yang berbakti dan patuh pada orangtua..."

Ibunya Hannah sudah mengerti teori si Galileo Galilei yang mengatakan bahwa bumi bukan pusat alam semesta. Kita bagaimana?

Friday, June 23, 2006

Pergilah cemas

Ini adalah hal yang paling saya cemaskan saat ini.

Bahwa ada kemungkinan besar anak-anak ini akan pergi keluar Indonesia dan memutuskan untuk tidak pernah kembali lagi.

Pada akhirnya saya harus memilih untuk menganut pikiran bahwa

a. Pilihan saya untuk teguh tinggal di sini dan mengajar anak-anak ini sia-sia sudah. Agenda menyisipkan sedikit rasa cinta pada bangsa ini hangus menguap sia sia. (Ataukah sebenarnya tidak pernah saya lakukan?)

b. Saya harus berpikiran bahwa kemanusiaan barangkali lebih luas dari sebuah bangsa atau negara. Jadi biarkan saja mereka memiliki arti untuk dunia yang lebih luas dari Indonesia

Tuesday, June 20, 2006

Kelas 2005/2006

Sekali lagi saya jatuh cinta pada kelas saya, dan berpisah tetap saja meninggalkan rasa sedih.

Saya mencoba menikmati hari-hari terakhir bersama mereka sambil mengatasi segala keriuhan yang terjadi di akhir tahun. Tamu terakhir kami, acara memasak terakhir kami, pementasan terakhir kami, dan tentu saja piknik makan siang di halaman sekolah.

Seperti biasa juga saya selalu menyiapkan penghargaan-penghargaan kecil untuk setiap pencapaian mereka sepanjang tahun ini. Semua pencapaian, mulai dari jumlah nilai tertinggi sampai anak yang paling bersahabat. Sambil menyiapkan pita-pita, medali-medali, dan sertifikat-sertifikat, barulah saya bisa mengakui bahwa bagaimanapun mereka tumbuh besar dan berkembang menjadi lebih baik.

Bagaimanapun, tulisan ini sudah terlambat hampir dua minggu dari seharusnya. Saya sudah tidak ingat rincian komentar-komentar, pertanyaan-pertanyaan, dan kelakuan anak-anak di hari-hari terakhir kelas 2. Yang jelas kami banyak tertawa bersama. Anak-anak pun mengingat tahun ini sebagai tahun yang 'banyak tertawa'.

Ya, buat bu Tia pun demikian. Bu Tia banyak tertawa sampai berlinang air mata, tertawa karena terkagum-kagum, tertawa malu, dan tertawa kehilangan akal menghadapi kalian.

Beberapa tawa itu berbuah jadi puluhan tulisan pendek di sini. Kalian bukan hanya guru yang hebat untuk saya, tapi juga guru yang hebat untuk banyak orang di luar sana. Kami sudah belajar banyak dari kalian, tentang bagaimana menjadi anak-anak yang pemberani dan penuh kasih sayang.

Selamat melanjutkan perjalanan.


Saturday, June 10, 2006

Hasil Akhir

Apalagi yang lebih menggembirakan selain tahu bahwa

tahun ini Agung lebih bersemangat bangun pagi dan berangkat ke sekolah?

tahun ini Adinda membaca bahan pelajaran di sekolah seperti membaca novel anak?

tahun ini Dhimas sangat bersemangat mengeluarkan usaha terbaiknya agar hasil pekerjaannya istimewa?

tahun ini Dila dan ibunya sama-sama menikmati kegiatan mencari informasi dari berbagai sumber dalam tugas-tugas mingguan?

tahun ini Dhiadri jauh lebih gembira dan tidak suka ngambek lagi?

tahun ini Ai banyak tersenyum dan berani menari dan menyanyi di pentas?



Para orang tua memberitahu saya tentang semua itu. Saya juga menyampaikan rasa kagum saya atas keistimewaan anak-anaknya. Mereka sudah bekerja keras tahun ini.

Friday, June 09, 2006

Saat Paling Sulit

Setelah diskusi-diskusi panjang dengan banyak sekali orang dan literatur, saya harus menetapkan hati untuk memutuskan bahwa Zaky harus mengulang kelas 2. Ini bukan keputusan yang mudah bahkan bagi saya. Banyak hal yang harus saya pertimbangkan dengan sangat hati-hati. Saya tahu keputusan ini mengandung konsekuensi yang tidak ringan dan saya harus memastikan bahwa Zaky memiliki support system yang baik untuk mengatasi keadaan yang tidak enak ini.

Saat yang paling sulit adalah ketika saya harus menyampaikannya pada Zaky, dan pada teman-temannya. Saya memilih waktu yang tepat untuk bicara secara terpisah pada Zaky dan teman-temannya.

Pagi ini, saya meminta Zaky membantu Bu Novi membereskan perpustakaan, dan saya duduk bersama anak-anak lain untuk menjelaskan keadaannya. Hal pertama yang saya katakan adalah, selama ini saya sangat terbantu dengan sikap mereka pada Zaky. Saya sangat menghargai ketika mereka mau bermain dengannya, mau bekerja satu kelompok dengannya, mau membacakan soal untuknya, mau mengajarinya menulis dan menunggunya sampai selesai, mau bersabar ketika saya harus mencurahkan banyak waktu saya (yang sebenarnya juga milik mereka) untuk Zaky.

Saya sampaikan bahwa tahun depan Zaky akan tetap tinggal di kelas 2. Ada anak-anak yang perlu waktu lebih lama dan bantuan lebih banyak untuk belajar. Zaky adalah salah satunya. Bu Tia tidak ingin Zaky makin jauh tertinggal dan lebih putus asa di kelas 3 nanti.

Anak-anak menatap saya dan membisu. Saya jelaskan bahwa ini bukan hukuman, dan kami semua sudah memikirkannya matang-matang. Komentar pertama yang muncul datang dari Dila, "Ibu, Ibu jangan marahi Zaky ya..."

Anak-anak lain mulai mencemaskan bahwa Zaky mungkin akan sangat sedih dan menangis. Saya katakan, itu mungkin saja. Saya tanyakan bagaimana kita dapat membantunya? Karena Ibu rasa Bu Tia akan butuh lebih banyak bantuan kalian tahun untuk Zaky tahun depan. Bu Tia dan Zaky butuh bantuan dukungan. Tetap mengobrol, bermain, dan tidak mengejek Zaky adalah dukungan yang sangat besar.

Di luar dugaan saya anak-anak berbagi kata-kata yang empatik. Mereka bahkan sepakat akan membela Zaky kalau anak-anak kelas lain berkomentar yang tidak enak.

Saya minta mereka tidak membahasnya lagi hari ini, dan tidak perlu bercerita pada anak-anak di kelas lain. Tidak juga membicarakannya dengan Zaky karena saya akan bicara padanya sendiri. Anak-anak memenuhi permintaan saya.

Sampai siang hari ketika saya memilih waktu untuk bicara dengan Zaky tak seorang pun mengungkit masalah itu. Semua bersikap ramah dan wajar. Hanya saja di antara waktu bicara dengan mereka dan Zaky, Adinda dan Riri menghampiri saya. Dengan wajah serius mereka memperingatkan agar saya tidak membuat Zaky makin sedih.

"Bu Tia hati-hati ya kalau bicara dengan Zaky. Jangan membuat Zaky tambah menangis. Jangan sampai ketahuan sebelum Bu Tia bicara. Bu Tia kan suka begitu, sebelum bicara sudah kelihatan dari mukanya..."

Pun ketika mereka tahu saya sudah bicara dengan Zaky, anak-anak sama sekali tidak berkomentar dan tidak bertanya padanya.

Bicara dengan Zaky sendiri juga tidak mudah. Saya sendiri hampir menangis. Saya jelaskan sesederhana mungkin dan saya katakan bahwa saya sayang sekali padanya. Semua sayang padanya dan ini sama sekali bukan hukuman. Kami semua sedang membantunya. Saya bisa merasa bahwa hatinya kacau dan ia tidak tahu harus menolak atau menerima kata-kata saya.

Beberapa saat setelahnya Zaky sudah terlihat biasa. Saya tidak tahu apa yang akan menanti kami tahun depan. Tetapi melihat Zaky tetap datang pada saya ketika ia perlu bantuan kecil, dan mau menggandeng saya, saya melihat setidaknya kami masih terikat rasa saling percaya.

Ketika tiba saat saya harus menjelaskan dan merundingkan segala sesuatu dengan orangtuanya, saya pun menegaskan satu hal. Saya tidak membenci Zaky dan saya senang sekali bekerja dengannnya. Saya percaya Zaky akan baik-baik saja jika ia mendapat dukungan yang tepat. Ia cerdas dan baik hati. Ia hanya belajar dengan cara yang berbeda dan kita harus memahaminya.

Dalam semua situasi sulit ini saya bersyukur ada anak-anak lain. Mereka lah yang membuat saya sadar apa masalah Zaky dan bagaimana saya harus mendekatinya. Dari anak-anak lain saya belajar memiliki rasa maklum.

"Aduh Bu, kadang-kadang aku jera main dengan Zaky. Dia nakal sekali. Tapi menurutku kalau tidak ada dia rasanya sepi. Lagian Zaky mau diajak bermain apa saja."

Di belakang hari mereka juga yang meyakinkan saya bahwa Zaky sama seperti anak-anak lain. Ia istimewa, pantas disayangi dan dibantu sepenuh hati. Ia pantas diberi kesempatan, bukan disingkirkan dengan label yang membebaninya sepanjang hidup.

Itu yang akan saya berikan pada Zaky tahun depan, sekuat yang dapat saya lakukan.

Thursday, June 08, 2006

Nilai

Semua nilai sudah selesai diproses dan siap ditulis di dalam rapor. Pada umumnya "angka" prestasi mereka membaik. Ada juga yang tidak sebaik harapan saya, atau tidak lebih baik dari kuartal yang lalu.

Saya menaruh perhatian pada Thalia. Ia pekerja keras, pandai dan mandiri. Sayang sekali Thalia malu berbicara dengan suara keras. Meski dengan teman-temannya ia bisa bersenda gurau dengan ramai, begitu melihat saya atau guru yang lain ia langsung membisu. Ia senang diajak mengobrol, tapi biasanya hanya menjawab dengan senyuman atau memaksa saya pandai membaca bibir.

Saya memanggil Thalia duduk mendekat dan memperlihatkan nilai-nilai yang sudah diproses. Saya jelaskan bagaimana saya memberi dan menghitung nilai. Saya tunjukkan bahwa kesulitan kami mengamati partisipasinya karena ia menolak bicara mempengaruhi perolehan nilainya. Saya jelaskan bagaimana ia dapat memperbaiki nilai-nilai itu nanti di kelas 3. Saya katakan bahwa ia anak yang cerdas dan pantas mendapat nilai-nilai yang lebih baik dari ini. Ia bisa mengusahakannya.

Sementara saya duduk bersama Thalia, anak-anak perempuan lain berdiri pada jarak aman sambil mengamati kami. Saya memang melarang mereka mendekat karena nilai-nilai itu adalah privacy Thalia. Teman-teman Thalia menatap saya dengan pandangan kesal karena mereka ingin melihat nilai mereka juga.

Selesai dengan Thalia, saya beri mereka kesempatan juga untuk sedikit mengintip nilai mereka. Penjelasan saya tidak panjang karena tidak ada hal berarti. Anak-anak perempuan ini tidak cepat puas.

Dengan wajah serius, bergantian mereka memandang saya dan bertanya, " Kalau aku, apa yang harus aku lakukan supaya nilaiku lebih bagus lagi?"

Hei, saya suka semangat itu. Setidaknya saya lega bahwa angka-angka yang tertera di rapor mereka tidak menjadi satu stigma yang mematahkan semangat atau membuat mereka cepat puas.

Bel masuk usai istirahat tertunda sepuluh menit karena saya dan mereka terlalu asyik membahas strenght and weakness dalam performa mereka sehari-hari.

Haduh, seperti murid besar.

Wednesday, June 07, 2006

Tamu Terakhir

Tamu terakhir untuk tahun ajaran ini adalah Naoko. Saya lupa nama belakangnya. Naoko adalah ibu dari dua balita yang sekolah di playgroup sekolah kami. Naoko baru enam bulan tinggal di Indonesia. Ia datang dari Tokyo. Saya memintanya untuk berkunjung ke kelas kami dan berbagi tentang Jepang.

Ya, ya, kami sedang belajar tentang Jepang dan Indonesia.

Naoko datang dengan poster tentang Jepang. Ia bercerita banyak tentang iklim Jepang dan sakura yang hanya berkembang satu minggu di musim semi.

Naoko juga membawa satu kantong besar peralatan untuk menulis huruf Jepang dengan kuas. Seperti kaligrafi begitu, tapi saya tidak sukses menanyakan istilah yang benar karena kendala bahasa. Satu yang saya tahu namanya, shodo, sejenis benda yang menghasilkan tinta hitam untuk menulis.

Naoko "menggelar" dagangannya, berupa alas, pemberat kertas, kuas, tempat tinta, shodo, dan berlembar lembar koran. Ia menunjukkan cara mencairkan shodo menjadi tinta. Dengan penuh perhatian anak-anak memperhatikan dan mencoba membuat tinta.

Setelah semua siap, Naoko menunjukkan cara menulis kata umi dalam huruf hiragana yang artinya laut menggunakan tinta dan kuas. Tulisannya bagus sekali. Anak-anak bertepuk tangan dengan kagum.

Anak-anak mau mencoba. Semua antri untuk duduk dengan posisi yang betul, memeriksa kuas dengan teliti agar tidak ada tinta yang menetes, dan menulis dengan sekali tarikan. Anak-anak mencoba tidak hanya sekali, tetapi tiga kali.

Kegiatan menulis itu melatih banyak hal. Untuk bisa menulis huruf dengan baik, harus teliti, sabar, telaten, fokus, dan jelas disiplin. Duduknya saja harus betul. Belum lagi tidak boleh cepat menyerah, karena sering kali diulang puluhan kali baru hasilnya baik.

Teman saya yang bertugas membuat dokumentasi di kelas, menepuk lembut bahu saya,

"Hebat ya, orang Jepang. Sudah modern pun tetap setia menjaga tradisinya. "

Saya hanya bisa mengangguk dengan miris.

Rencana Naoko untuk ada di kelas selama setengah jam mundur berkepanjangan menjadi satu setengah jam. Ketika Naoko pamit pulang pun mereka masih sibuk melambaikan tangan sampai di depan kelompok bermain. Anak-anak ingin hasil karyanya dibawa pulang ke rumah hari itu juga.

Saya cuma berharap hari ini mereka tidak hanya belajar menulis huruf hiragana dengan kuas, tetapi juga punya contoh tentang bagaimana menyukai dan bangga pada bagian dari identitas mereka sendiri.



Tuesday, June 06, 2006

Tips

Saya meminta anak-anak membuat surat ucapan selamat datang untuk kelas 2 yang akan datang. Saya minta mereka membagi saran, bagaimana caranya melewati kelas 2 dengan baik dan selamat naik ke kelas berikutnya. Mereka sudah berpengalaman, bukan?

Riri menulis seperti ini

... kalau kamu bisa membuat Bu Tia tertawa, kamu akan bisa mengobrol lebih lama...




Monday, June 05, 2006

Minggu Terakhir

Here it comes.

Minggu terakhir.

Thursday, June 01, 2006

Empati

Sudah berhari-hari Adinda melontarkan pertanyaan yang itu itu saja pada saya.

Bu, Bu, jadi guru itu enak tidak? Mana yang Ibu paling suka, mengajar anak-anak, atau melakukan pekerjaan yang pulang sekolah? Apa sih enaknya mengajar? Apa yang ibu suka dari anak-anak?

Lama-lama, ganti saya yang bertanya. Memangnya Adinda ingin jadi guru?

Adinda menggeleng pasti dan melanjutkan dengan suara prihatin, Kalau aku melihat Ibu marah-marah, aku bisa membayangkan betapa repotnya mengurus anak-anak yang berisik seperti ini...

Saya menjawabnya dengan tawa yang panjang sampai saya mengeluarkan air mata.

Adinda bantu dong, supaya Bu Tia tidak repot.

Adinda menggeleng lagi.Tetap saja bu, walaupun aku bisa tenang, yang lain tetap saja berisik.

Saya belum sempat menjelaskan pada Adinda, bahwa sebetulnya tahun ini adalah tahun yang paling penuh senyum dan tawa justru karena mereka berisik, tidak pernah sungkan mengatakan apa yang ada di kepala mereka.

Dari mulut-mulut 'berisik' ini saya bisa melihat mereka berkembang begitu cepat. Saya jadi tahu apa yang mereka pelajari dari sekitar mereka. Saya jadi tahu bahwa mereka pun telah belajar memahami orang lain dan tidak lagi melulu peduli pada dirinya sendiri. Mulut-mulut berisik ini yang membuat saya mengerti bahwa mereka mengenali dunia sekitarnya tidak hanya dengan isi kepala, tapi juga dengan hati.