Friday, September 22, 2006

Sibuk Ngomong

Ternyata kelas saya yang ini luar biasa senang bicara dan bertanya.

Sudah dua hari ini susah sekali diajak pulang.
Diminta membereskan barang-barangnya, masih bu.. bu.. bu.. mau tanya.
Tadi juga sama saja.
Sudah di depan pintu, tinggal melangkah keluar dan pulang, masih bu.. bu.. bu... mau cerita.

Hei, kita kapan pulangnya, nak?

Wednesday, September 20, 2006

Video Game

Sudah dua hari ini anak-anak berhenti menjalankan Klub Kerja Bakti. Sepanjang minggu kemarin, mereka sedang senang-senangnya menyapu daun-daun kering di areal kelompok bermain. Dengan tekun mereka memunguti daun-daun satu persatu, atau memakai sapu lidi bertangkai panjang yang panjangnya hampir dua kali tinggi mereka. Entah mengapa kegiatan melelahkan ini jadi permainan yang mengasyikkan. Dalam waktu seminggu saja, kegiatan sapu-sapu iseng sudah berubah menjadi klub dengan mandor, anggota tercatat dan sistem evaluasi khusus. Sudah itu bosan.

Nah, dua hari ini anak-anak minta diajak main video game. Jadilah setiap habis istirahat makan siang kami main video game.

Video game versi sekolah kami tidak butuh listrik dan tidak butuh layar. Video game kami cuma perlu ruang, makin banyak pesertanya, makin luas tempat yang dibutuhkan. Video game kami juga membutuhkan koordinasi yang baik dari seluruh anggota tubuh, bukan hanya mata dan jempol saja.

Salah satu dari kami akan jadi penentu permainan. Saya suka peran ini karena saya bisa berbuat sesuka hati saya. Sebagai penentu permainan saya akan menentukan tantangan-tantangan apa saja yang muncul di setiap babak.

Anak-anak lain biasanya memilih icon jagoan mereka. Mereka harus menyeberangi si tanah lapang dengan tantangan-tantangan kreasi saya (kalau kebetulan saya penentu permainan). Saya bisa asal-asalan bilang, sekarang kita ada di dunia es, dan karena skormu belum cukup kamu tidak punya sepatu khusus es. Lalu anak-anak akan menyeberangi lapangan sambil berjingkat kedinginan atau pura-pura terpeleset.

Ya! Naik ke level 2. Kita masuk terowongan. Anak-anak akan merangkak-rangkak menyeberangi lapangan.

Terus saja menciptakan tantangan-tantangan baru seperti berjalan dengan barbel di kaki, lewat dunia ranjau, naik ke helikopter, terkena angin ribut, masuk ke danau pasir hisap, lewat bengkel yang lantainya tersiram oli, dan seterusnya, dan seterusnya.

Paling seru kalau harus masuk ke laut yang penuh hiu dan terpaksa kehilangan "nyawa" sampai tiga kali. Babak yang ditunggu anak-anak adalah Babak Bom Bola. Nah, biasanya ini perlu beberapa guru untuk jadi sukarelawan melempar bola-bola ketengah lapangan, anak-anak senang sekali karena harus tiarap berulang-ulang.

Saat mereka sibuk melewati babak demi babak sambil berteriak-teriak histeris, saya bisa melihat banyak hal. Ada anak-anak yang begitu penuh penghayatan dan menunjukkan koordinasi gerak yang sangat baik. Ada juga yang tak peduli apapun yang terjadi ia akan lari menerjang segala sesuatu sampai ke seberang. Geraknya cuma itu, lari.

Begitu bel berbunyi, semua tergeletak di karpet dan mengeluh, "Capek buuu...."

Sama, Bu Tia juga capek teriak-teriak di tengah hari.

Tuesday, September 19, 2006

Tidak Bisa Tidur

Bayangkan kalau otakmu bekerja lebih cepat dari tangan yang disuruh menulis.
Bayangkan kalau semua orang memiliki lensa biasa dan matamu adalah mikroskop elektron yang tentu melihat hal-hal tak terlihat oleh orang lain.
Bayangkan kalau di dalam kepalamu banyak orang-orang kecil yang sibuk bicara dan mempertanyakan segala sesuatu di waktu yang sama.
Bayangkan kamu selalu punya ide bagus yang kamu khawatirkan hilang sehingga kamu perlu mengatakannya, menuliskannya, atau menggambarkannya saat itu juga.
Bayangkan kalau semua hal yang ditangkap oleh seluruh inderamu mendesak-desak ingin dipahami bersamaan.
Bayangkan bahwa setiap saat ada hal baru.


Bayangkan kalau semua itu terjadi bersamaan pada dirimu.
Bayangkan kalau semua orang berteriak menyuruhmu diam.
Berhenti berpikir.
Berhenti ingin bicara.
Berhenti bertanya.
Berhenti ikut berbagi cerita.
Berhenti bergerak.
Berhenti.
Berhenti.

Bayangkan rem seperti apa yang harus kamu gunakan untuk menghentikan seluruh kegiatan dalam tubuhmu itu.

Bayangkan, setelah itu kamu bertanya-tanya mengapa kamu harus berhenti.


Ya, bayangkan saja dulu. Nanti saya akan bercerita lebih lanjut tentang anak berbakat dan ketidakbiasaan mereka.

Saturday, September 16, 2006

Waktu

Ternyata sebelas minggu berlalu sangat cepat.
Dalam sebelas minggu, anak-anak sudah begitu pandai bercerita di depan kelas.
Runtut, jelas, dan meyakinkan.

Kamis lalu adalah hari terakhir pertemuan problem solving untuk kuartal ini. Anak-anak datang dengan gulungan kertas berisi disain sepeda super mereka, kecuali Dhimas dan kawan-kawan. Ia agak marah karena Agung lupa membawa apa yang harus mereka presentasikan.

Saya duduk manis-manis di belakang, sementara anak-anak bergantian menceritakan isi disain sepeda super mereka.

Anak-anak sama sekali tidak malu-malu atau ragu menceritakan kehebatan sepeda mereka yang dilengkapi pelindung otomatis, robot pengayuh pedal, persediaan makanan dan minuman otomatis, berikut toilet dan kamar mandi merangkap tempat tidur. Belum lagi payung yang bisa terbuka otomatis begitu terkena tetesan air. Oh, ada juga yang melengkapi sepedanya dengan sayap dan "tutup" agar bisa menyelam. Terserah kalian lah nak, mungkin lima puluh tahun lalu telepon genggam dengan kamera video dan fasilitas push email juga tak pernah terpikirkan siapapun bahkan sutradara film.*

Lucunya, di tengah khayalan gila itu, anak-anak tetap logis mempertahankan pendapatnya.

Dhiadri : Sepeda ini bisa mengganti ban dengan otomatis. Jadi bannya akan berubah kalau berjalan di air, di batu-batuan, di pasir, atau di lumpur, sesuai keperluan.
Teman-teman: (berbisik-bisik) hihi.. bisa dipakai di tempat lumpur lapindo.

Dhiadri dan Riri terus menjelaskan tentang bagaimana sepeda mereka tetap kecil dan sederhana agar mudah dikayuh, juga dilengkapi dengan fitur penyedia makanan dan minuman otomatis. Mereka juga menjelaskan knalpot kecil yang ada di gambar.

Saras : Ada knalpotnya? Berarti pakai bahan bakar dong. Kita pakai sepeda, kan, untuk mengurangi polusi?
Dhiadri : Jangan kuatir, knalpot ini canggih sekali. Dia hanya mengeluarkan sediiiiit sekali asap enam hari sekali!
Riri : Sepedanya tidak pakai bahan bakar. Ini knalpot dari kompor tempat menyediakan makanan.
Yang lain : OOOOOOOOH... bilang dong.

Kelompok Adinda memilih untuk mendisain sepeda dengan mesin waktu dan mesin kebutuhan. Mesin waktu memungkinkan sepeda dikayuh ke masa depan atau masa lalu **, sementara mesin kebutuhan akan memberikan apa saja yang kita butuhkan.

Mini : Aku mau tanya! Mesin kebutuhan mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan dari mana?
Adinda : (kelihatan bingung) ya dari mesinnya....
Saya : Bu Tia tahu! Mungkin dari mesin waktu? Bisa mengambil barang di masa lalu atau masa depan?
Adinda : Iya betul!
Mini : Minta ijin dulu tidak, mengambil barangnya? Kita tidak bisa mengambil begitu saja, lho.

Di penghujung waktu, ketika semua sudah selesai presentasi, Dhimas berkomentar.

Dhimas : Dari semua gambar sepeda, tidak ada yang aerodinamis.
Yang lain : Apa tuh, aerodinamis?
Dhimas : ... Aku juga tidak tahu. (Barangkali maksudnya tidak bisa menjelaskan)
Yang lain : Duuuh....


Seharusnya saya rekam percakapan kami 40 menit itu, ya. Lalu saya buat verbatimnya.
Mengingat-ingat sepotong saja saya bisa tertawa sendiri sambil menyetir.

Lebih dari itu, saat mendengarkan mereka dari bagian belakang kelas, saya bisa tahu apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka mengaplikasikan apa yang mereka tahu.
Saya tak perlu menyuruh mereka diam mendengarkan saya.
Saya tak perlu membuat tes tertulis dan menuduh mereka tak tahu apa-apa karena tidak mendengarkan saya.




* Boleh saja saya dikoreksi. Lima puluh tahun lalu sudah ada belum sih, film tentang "masa depan" ?

** Adinda sudah membaca buku Momo (Michael Ende) dua kali setahu saya. Buku itu bercerita tentang keberadaan waktu. Teka-teki favoritnya datang dari buku ini. Saya salinkan:

Di suatu rumah tinggal tiga bersaudara, namun wajah mereka tiada serupa.
Ketika mau membedakan mereka bertiga, maka yang satu menjadi mirip yang dua.
Si sulung sedang tidak ada, dia baru mau pulang ke rumah.
Si tengah sedang tidak ada, rupanya dia pergi sudah.
Di rumah hanya ada si bungsu, sebab takkan ada yang dua tanpa dia.
Tetapi si bungsu yang dimaksud oleh kita, ada hanya karena si sulung jadi si nomor dua.
Dan setiap kali kita memandangnya, yang tampak selalu salah satu kakak.
Sekarang katakanlah: Apakah yang tiga itu hanya satu? Atau hanya dua? Atau sama sekali tidak ada? Jika kau sanggup menyebut nama mereka, kau akan mengenali tiga raja yangsangat berkuasa. Kerajaan besar yang mereka perintah bersama, sekaligus merupakan jati diri mereka.

Jawabannya klik di comments. Sekedar supaya anda penasaran saja.

Bagaimana bisa begitu? Baca saja bukunya.






Thursday, September 14, 2006

Fosil

Rai bercerita pada saya ular peliharaannya mati karena kepanasan. Saya takut ular, tapi tetap saja saya kaget mendengar itu. Saya tahu Rai bangga pada ular peliharaannya itu.

"Kemarin ularnya dikubur. Sekarang aku sedang menunggu kapan ularnya jadi fosil."

...

Wednesday, September 13, 2006

Cepat, Selesaikan

Karena anak-anak sedang belajar mengungkapkan apa yang ia rasakan secara verbal, kadang-kadang menangis masih jadi bagian dari proses belajar itu.

Begitu pula hari ini, ketika anak-anak sibuk membuat teka-teki tentang hewan. Mereka asyik sekali. Sebentar saja saya sudah dihujani teka-teki, karena setiap anak membuat tiga teka-teki. Ternyata seseorang tertinggal di belakang. Ia cemas dan menangis.

Ia terus menangis saat teman-temannya mulai membuka bekal makan siang mereka. Merasa tak ada yang bisa kami lakukan, kami semua diam saja. Anak-anak makan. Saya membereskan teka-teki mereka.

Putri memandangi si teman sambil menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri. Tak tahan rupanya Putri ini.

"Kamu nangisnya cepetan. Nanti nggak sempet makan lho. "

Tuesday, September 12, 2006

Anak-anak Menulis

Alexander The Great punya sepupu kecil yang berbakat menulis. Ia pernah mengirimi saya kumpulan tulisan si sepupu kecil untuk dibaca. Saya hanya mampu geleng-geleng kepala sambil bertanya, "Makannya buku apa ya?"

Selain senang menulis, Sepupu Kecil pasti senang membaca. Itu tak perlu ditanya. Yang juga saya kagumi, ia tidak takut meminta umpan balik. Tidak tanggung-tanggung, ia bisa menelepon Philip II, ayah Alexander The Great, untuk minta diperiksa isi tulisannya. Mengingat sepak terjang Philip II di surat kabar-surat kabar terkemuka negeri ini, Sepupu Kecil cukup pemberani. Saya tidak sepemberani Sepupu Kecil.

Ketika saya mendengar Sepupu Kecil minta tulisannya dibaca dan dikomentari beliau, saya nyengir. Apa kira-kira yang akan dikatakan Philip II sebagai masukan? Tulis menulis adalah dunia beliau. Sepupu Kecil umurnya belum genap 8 tahun kalau saya tidak salah. Apa yang akan dijadikan masukan agar Sepupu Kecil bisa memperbaiki tulisannya tanpa membuatnya takut salah dan berhenti menulis?


Kebetulan murid-murid di kelas saya kurang lebih sebaya dengan Sepupu Kecil. Jadi, saya cukup tahu seberapa jauh kemampuan dasar menulis anak-anak seusia ini. Umumnya mereka masuk kelas 2 dengan perasaan menulis itu membuat tanganku pegal. Mereka bisa berhenti menulis sewaktu-waktu dengan alasan tak terbantahkan, Aku Sudah Capek. Saya benar-benar harus menjadi cheerleader untuk menyemangati anak-anak agar mau menembus batas lima kalimat saat sedang menulis.

Sepanjang paruh tahun anak-anak masih akan berusaha menulis dengan ejaan yang benar, tidak menghilangkan huruf dalam kata, menggunakan huruf besar di awal kalimat, dan menggunakan titik di akhir kalimat.

Sebagai guru mereka saya seringkali perlu tarik ulur antara membiarkan mereka mengalirkan tulisan, sekaligus membiasakan mereka menulis dengan kaidah-kaidah kata dan kalimat sederhana seperti tanda titik dan huruf besar tadi.

Menulis yang mengalir itu penting. Ketika terlalu banyak harus dan jangan yang ditemui, aliran itu bisa mampet. Mereka berhenti menulis, maka mereka akan berhenti belajar.

Sementara itu menyunting tulisan adalah salah satu bagian dari belajar menulis. Ya, tidak?

Maka tips and tricknya adalah, menyunting tulisan dilakukan satu persatu.

Contohnya, anak-anak yang masih banyak salah mengeja hanya saya minta untuk membaca ulang tulisannya dan memperbaiki ejaan yang salah. Anak-anak yang sudah cukup lancar menulis tanpa salah mengeja, akan menyunting penggunaan huruf besar di awal kalimat dan tanda titik di akhir kalimat.

Anak-anak yang sudah tak perlu diingatkan menulis huruf besar dan titik yang paling dasar, bisa mulai menggunakan huruf besar di tempat-tempat lain, dan menambah tanda baca-tanda baca lain. Biasanya kesiapan ini akan terlihat dari tanda-tanda suka bertanya.
" Bu menulis INI pakai huruf besar tidak? "
" Bu menulis ITU pakai huruf besar tidak?"

Untuk mereka yang lebih percaya diri dan lebih lancar menulis, tidak terlalu banyak lupa dengan aturan-aturan di atas baru saya ajak untuk memperbaiki pilihan kata, susunan kalimat, atau susunan ide dalam satu tulisan. Saya suka mengambil contoh dari kalimat-kalimat yang dibuat anak-anak sendiri. Saya tunjukkan pada teman-teman mereka sambil memberitahu apa yang saya maksud bagus.

Sampai tahun ke tiga ini memang belum ada Abdurahman Faiz atau Sepupu Kecil di kelas saya. Saya juga heran pada mereka. Bagaimana caranya bisa menulis seperti mereka?

Sementara ketika tahun lalu anak-anak bisa bercerita cukup lugas dan runtut sebanyak satu halaman folio saja saya sudah senang. Setidaknya mereka tidak takut dan ragu kalau diminta menulis.

Bagaimanapun, menulis adalah masalah latihan.



Saturday, September 09, 2006

Senang Lagi (2)

Anak-anak sedang pura-pura jadi keluarga dan pura-pura mengisi kartu keluarga. Menantang sekali bukan, serombongan anak umur 7 tahun harus melengkapi 18 kolom dengan data khayalan?

Tantangan pertama adalah menentukan siapa kepala keluarga. Siapa yang boleh jadi kepala keluarga? Saya bilang, tak mesti harus ayah, ibu pun boleh saja.

Tantangan kedua. Ada kelompok-kelompok yang mulai bertengkar berebut jadi ayah dan bertengkar tak mau jadi istrinya ayah. Saya menengahi, coba kamu ingat berbagai bentuk keluarga yang sudah kita bahas. Keluarga tidak selalu sebangun dengan ayah ibu dan dua anak. Satu keluarga memilih jadi ayah dan tiga anak saja. Kalau ditanya ibu kemana, kata mereka pura-puranya sudah meninggal.

Tantangan ketiga. Menentukan umur dan menghitung tanggal lahir. Saya minta setiap anak menentukan sendiri umur dari perannnya. Kalau kamu jadi ibu, berapa umurmu? Kalau kamu jadi anak, berapa umurmu? Anak-anak bereksperimen dengan berbagai kelompok usia. Lumayan juga, mereka ternyata bisa memperkirakan usia dan peran dengan baik.

Menghitung tahun kelahiran berdasarkan umur, itu lebih repot lagi. Anak-anak kelas ini bukan penggemar matematika. Mereka pun baru belajar operasi bilangan sampai 1000. Saya juga tahu kalau mereka cukup tegang saat belajar tentang pengurangan dengan teknik menyimpan. Lucunya, setelah saya beritahu cara menghitung dengan mengurangkan tahun ini dengan usia yang dimaksud, mereka cukup anteng berhitung. Hasilnya pun betul semua!

Tara membuat saya terkesan ketika belakangan ia cukup teliti merunut tahun kelahiran dengan keterangan tentang tahun kepindahan. "Bu, Fia kan disini ceritanya lahir Juni 2003, sedangkan ceritanya kita pindah ke alamat yang ini Maret 2003, berarti di barisnya Fia tidak usah ditulis dong (bahwa dia pindah alamat). Kan dia belum lahir."

Anak-anak terus bertanya tentang ini itu, tentang golongan darah, tentang camat, tentang cap jempol. Sargie bertanya, "Bu, kenapa kalau cap jari harus pakai jari tangan kiri? Kita kan lebih sering pakai tangan kanan? "

Nah, untuk yang ini, tidak terpikir oleh Bu Tia apa jawabannya.

Kolom pekerjaan juga cukup seru. Anak-anak mau menentukan sendiri pekerjaan mereka apa. Saya ikut-ikutan brainstorming dan menyebutkan berbagai profesi. Ketika pada Bintang saya bertanya, apakah ia mau jadi wartawan, Bintang langsung terkikik-kikik.

"Enggak ah Bu, aku nggak mau jadi wartawan. Habis kerjanya ngomongin orang."

Teman-teman wartawan, jangan marah pada Bintang. Mungkin itu karena ia senang nonton tv dan tv kita penuh sesak oleh infotainment. Marahlah pada pemodal infotainment.

Senang Lagi (1)

Sejak kuartal baru mulai, saya agak kesepian. Saya jarang mendengar pertanyaan-pertanyaan yang mengejutkan dari kelas saya. Ada sih beberapa, tapi saat saya ingin menulis, susah mengingat-ingatnya.

Jumat kemarin saya senang sekali. Akhirnya! Akhirnya saya mendengar lagi pertanyaan-pertanyaan spontan penuh rasa ingin tahu dari anak-anak kelas ini.

Kami sedang membahas tentang dokumen-dokumen penting seperti akte kelahiran, ijazah, kartu keluarga, dan lain sebagainya. Sepertinya bahan ini membosankan, tapi ternyata sama sekali tidak. Diskusi merembet ke KTP, SIM, Paspor, lalu tiba-tiba Medina bercerita bahwa ibunya baru pulang dari Beijing dan sebelum berangkat perlu mengurus visa. Visa itu untuk apa?

Saya bilang bahwa jika ingin pergi ke sebuah negara kita perlu ijin dari negara itu. Ijinnya disebut visa. Biasanya kita mengurus surat ijin ini ke kedutaan negara itu. Misalnya kamu ingin pergi ke Perancis, kamu harus pergi ke kedutaan Perancis. Disana akan ditanya untuk apa pergi ke Perancis, akan tinggal di mana, berapa lama, dan lain-lain. Kalau diijinkan datang kita akan diberi visa yang diletakkan di paspor. Nanti, di tempat tujuan paspornya akan diperiksa.

Kedutaan itu di mana?

Wah, pertanyaan menarik karena kemarin-kemarin anak-anak sempat membahas bendera sebagai lambang negara. Jadilah anak-anak asyik bercerita kalau pergi ke Jalan Kuningan banyak gedung yang benderanya berbeda-beda.

Lalu kalau gedung yang benderanya banyak itu kedutaan apa, Bu?

Ibu, kalau ke Singapura juga perlu mengurus visa?

Kesempatan! Kami melihat peta dan melihat negara-negara di Asia Tenggara. Anak-anak jadi tahu bahwa kalau kita ingin berkunjung ke negara-negara ASEAN tidak perlu visa. Malaysia dan Singapura termasuk ASEAN. Kita tak perlu visa untuk pergi ke sana.

Bintang menyahut, buat apa ada kedutaan Malaysia kalau tidak perlu visa ke Malaysia?

Gara-gara kedutaan, somehow beberapa anak juga mempertanyakan apa itu catatan sipil. Tahu bahwa catatan sipil mengurus masalah-masalah pencatatan kependudukan seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, ada saja yang menanggapi

Bu, kalau orang sudah mati kenapa harus dibuat suratnya? Kan tidak bisa dibawa?

Aduh, anak-anak ini. Sekali mesinnya sudah panas, pertanyaannya tak berhenti. Saya ingin menjawab terus, tapi waktu di kelas begitu cepat berlari menuju waktu pulang.

Thursday, September 07, 2006

Hasil Karya

Tahun lalu, di kelas problem solving, anak-anak senang sekali saat saya meminta mereka merancang sebuah bak mandi. Mereka begitu bersemangat sampai-sampai membuat bak mandi tingkat tiga lengkap dengan perlengkapan dapur. Bangganya juga bukan main, sampai guru kelasnya pun diberitahu.

Jujur saya agak heran juga bagaimana mereka bisa tertarik sekali dengan ide merancang bak mandi. Mungkin kalau tia kecil disuruh merancang bak mandi yang aneh, bisa menangis karena bingung.

Tahun ini saya ingin mengulang lagi ide rancang merancang itu. Lebih seru tampaknya karena ada 15 anak yang ikut serta. Tahun ini saya minta mereka membuat sepeda super. Permintaan yang disambut sorak sorai sampai Bu Tari yang masih mengerjakan sesuatu di kelas tertawa.

Anak-anak sungguh serius membuat rancangan sepeda super itu. Saya biarkan mereka asyik sendiri selama satu jam, saya cuma berkeliling melihat-lihat. Dhimas dan teman-teman membuat sepeda berkanopi dan mesin turbo. Ibu-ibu kelas 4 memikirkan tempat untuk kantong-kantong belanja. Riri dan teman-teman membuat sepeda dengan juicer di bagian belakang. Mereka menjelaskan pada saya bahwa cara kerja juicer membuat jus dan mengalirkannya ke gelas di bagian depan sepeda sama dengan cara tumbuhan mendistribusikan air, yaitu dari akar sampai ke daun.

Saya bisa melihat mereka bangga menjadi perancang. Kalau tidak sibuk berbagi dengan kelompok lain, mereka mati-matian menyembunyikan rancangannya dari mata teman kelompok lain agar tidak ditiru. Usai kelas, Bu Andin pun bercerita kalau Dhiadri sempat memamerkan karyanya.

Bagus, tidak bangga sekedar ikut-ikut.

Seandainya saja saya seperti mereka. Menikmati ide-idenya dan tidak takut disalahpahami.

Hari ini beberapa orang tua anak-anak yang jadi subjek tulisan-tulisan saya menemukan blog ini. Adinda pun (Hai Adinda Laksmi!) konon sudah ikut membaca. Jujur saja saya cukup panik, meski heran kenapa harus panik. Ini adalah dunia maya yang tidak berbatas. Tak mungkin saya ngumpet terus-terusan. Bisa jadi karena tidak seperti anak-anak, saya tidak terbiasa berbagi ide saya dengan santai pada siapa saja tanpa takut dinilai.




Orangtua yang baik,

Senang bertemu anda di ruang ini. Ruang tempat saya merekam cerita tentang anak-anak yang saya kagumi. Saya memang tidak menulis nama anak-anak sesuai nama panggilan mereka sehari-hari. Yah, mungkin nama samarannya tidak cukup berhasil karena dicomot sembarangan dari nama-nama mereka juga. Setidaknya, saya ingin bilang bahwa saya tidak ingin mengeksploitasi mereka.

Kebetulan saya suka menulis, dan tentu tidak kebetulan kalau hari-hari bersama anak-anak ini selalu menarik untuk diceritakan. Dua-duanya bisa saling membantu, bukan?

Sekedar mengingatkan, tulisan-tulisan di ruang ini adalah tulisan-tulisan spontan. Saya jarang mengunjungi tulisan lama untuk melakukan peyuntingan. Semoga tidak ada yang terlalu sadis.

Selamat Membaca,
Bu Tia

Di Saat Paling Aneh Hari Ini

Teman-teman saya punya beragam anggapan tentang anak-anak. Ada yang menganggap anak-anak itu lucu, menggemaskan, menakjubkan. Sebagian lain beranggapan bahwa makhluk-makhluk kecil ini sangat mengganggu dan merepotkan. Suka lari-lari dan teriak-teriak. Bikin pusing kepala.

Kelompok terakhir hampir selalu mempertanyakan mengapa saya mau-maunya mengurung diri dengan makhluk macam itu sepanjang hari.

Kenapa ya?

Menurut saya seperti apa mereka adalah bagaimana cara kita melihat. Ya, kalau saya misalnya, memandang anak-anak itu lucu dan menggemaskan, lalu mereka sampai tahu, bisa habis saya dimanipulasi oleh wajah polos itu.

Kalau saya melihat mereka sebagai anak kecil tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa, betapa bosan hidup saya melihat segerombolan anak yang tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa di kelas setiap hari.

Begitu pula kalau anak-anak dilihat sebagai sekawanan makhluk liar yang harus dijinakkan. Dengan beberapa kata-kata dan peringatan yang itu dan itu lagi, mereka mungkin jinak didepanmu. Tidak bersuara, tidak berbunyi kecuali dibunyikan, dan membiarkanmu bicara sampai puas. Tapi jangan mengeluh bahwa mereka tidak mengerti, bahwa mereka suka melamun dan tidak perhatian. Bagaimana kita tahu mereka mengerti kalau satu-satunya hal yang boleh mereka lakukan adalah diam, dan membiarkan pikiran mereka melamun entah kemana hanya tuhan yang tahu?

Dari kelas saya tahun lalu, saya belajar bahwa ada kalanya anak-anak mempekerjakan seluruh anggota tubuhnya untuk memahami suatu persoalan. Kadang-kadang mulut mereka memang perlu terus bicara untuk membuat mereka sendiri paham tentang itu. Kadang-kadang mereka memang berdebat sendiri tanpa tahu siapa bicara siapa mendengarkan, tapi justru saat itu mereka belajar sesuatu yang baru.

Ya tentu mereka perlu tahu bagaimana seharusnya mendengarkan orang lain. Susahnya, mereka belajar dari bagaimana kita mendengarkan mereka, bukan belajar dari bagaimana kita menyuruh mereka mendengarkan.

Memang sulit mendengarkan anak-anak. Mereka belum bisa bicara dengan runtut dan efektif. Mereka suka bercerita tentang diri mereka sendiri sebab mereka hanya tahu itu, dunia kecilnya yang seakan seluas planet bumi. Mereka juga suka bicara di waktu-waktu tidak terduga. Misalnya waktu makan, waktu berjalan ke toilet, atau waktu kita ingin didengarkan.

Tapi, tahu tidak, teman. Kalau mau mendengarkan, mereka akan bercerita tentang banyak hal menakjubkan tentang tempat-tempat yang tidak mungkin kita datangi. Anak-anak mungkin tidak langsung menjawab pertanyaan kita saat itu dengan jawaban yang memuaskan. Tetapi bersama mereka beberapa saat, akan memudahkan kita melihat bahwa anak-anak "menjawab" di saat-saat paling aneh hari itu.

Saya sudah sering melihat anak-anak praktek ilmu fisika dasar di lapangan bermain.
Saya juga pernah melihat mereka menganggap bulatan-bulatan itu not balok lalu bernyanyi sendiri, tapi tidak di ruang musik.
Ketika mencuri dengar, saya pun tahu anak-anak berbagi isi buku yang mereka baca saat mengobrol dengan teman, bukan saat menjawab lembar kerja.
Barangkali para orangtua tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan menarik mereka muncul sebelum berangkat tidur, waktu sikat gigi, atau di tengah jalanan macet.

Anak-anak punya "jadwal" sendiri untuk menjadi besar.
Anak-anak juga punya bahasa sendiri. Jika kita mau belajar bahasa asing untuk memahami orang di belahan dunia lain, mengapa tidak mau belajar bahasa anak-anak untuk mengenal mereka?




Saya tulis ini untuk seorang teman, dan untuk mengingatkan saya sendiri.
Kadang-kadang saya juga lupa kalau mengajar bagaimana mendengarkan adalah dengan mendengarkan lebih dulu.

Wednesday, September 06, 2006

Majas

Medina adalah satu dari anak-anak yang sudah tidak biasa berbicara dengan melagukan kalimat bernada merajuk. Selama dua bulan ini ia bicara lugas pada saya dan teman-temannya, tanpa harus jadi galak. Wah, bahkan soal ini saya harus belajar darinya.

Masalah kurang air bersih di Jakarta berimbas juga ke sekolah kami. Kadang-kadang tidak ada cukup air untuk aktivitas di kamar kecil. Kadang-kadang pula, saluran pipa dan ledeng sering ikut ngambek. Saya sudah cukup kebal untuk tidak kesal atau panik kalau tiba-tiba ada yang muncul di depan pintu kelas sambil berlagu, 'Buu... di kamar mandi tidak ada aaaiiiiir...."

Kemarin, giliran Medina yang kesulitan air saat ke kamar kecil. Ia kembali ke kelas dan berkata.

Toilet sekolah kita itu lucu, bu.

Kenapa memangnya?

Kalau semprotan dihidupkan, airnya tidak keluar. Tapi pipanya bocor jadi air menetes ke mana-aman. Lucu kan?

Hehehe. Benar juga ya.