Sunday, April 27, 2008

Topik Kontroversial

Kelas lima sedang belajar membuat laporan berimbang. Satu tulisan yang mencakup dua sisi pendapat dari sebuah topik. Saya meminta anak-anak mencari topik kontroversial sendiri, karena contoh topik yang kami dapat dari buku sama sekali tidak seru.

Hm, ternyata cukup menantang juga, mencari topik yang kontroversial itu. Beberapa kali, anak-anak mengusulkan topik yang cenderung disetujui semua orang. Ah, contoh dari mereka saya lupa, tapi kurang lebih seperti "Semua orang harus makan."

Setelah berdebat satu jam pelajaran, kami menyepakati 10 topik kontroversial ala SD 5 sebagai bahan tulisan. Perlukah homeschooling? Apakah sekolah harus pakai sepatu? Apakah anak-anak perlu dibatasi menonton televisi? Apakah lulus SD harus melalui UN? Apakah boleh memelihara unggas di Jakarta? Apakah anak-anak sudah perlu berdiet? Apakah sebaiknya setiap anak di Indonesia belajar 1 tarian daerah? Apakah anak-anak boleh dibebaskan pulang ke rumah jam berapa saja?

Karena semua anak harus saling mewawancara satu sama lain, saya membuat dua barisan dan meminta anak-anak bergerak berputar secara bergiliran. "Jadi, tanyakan apa pendapat temanmu, berikut alasannya."

"Kalau ada yang jawabannya kurang jelas, boleh aku tanyakan lagi, Bu?"

"Ya, boleh saja, Nak. Itu namanya probing."

Setelah saya bercerita pada Alexander The Great, dia ngomel-ngomel lagi. Sebab cara melakukan wawancara berikut probing baru kami pelajari semester tiga. Kalau anak-anak yang bertanya, tentu saja saya jawab sepatutnya, bukan?

Saya duduk di salah satu bangku kosong dan menjadi timer. Anak-anak terlihat antusias bertanya dan menjawab. Adam misalnya, dia selalu menjawab dengan kalimat formal, dan menutupnya dengan ucapan seperti, "Terima kasih kembali, Bapak Bram."

Dito selalu melongok-longok temannya untuk mengetahui jawaban apa yang harus ia persiapkan berikutnya. "Haduh, aku setuju atau tidak ya?" begitu gumamnya.

Sambil mengamati, saya baru sadar betapa kompleksnya kegiatan ini. Tentu tidak mudah bagi anak-anak berbicara mengungkapkan pendapat sekaligus alasannya dengan meyakinkan. Si pewawancara pun punya tugas sulit untuk tetap netral, mendengarkan penjelasan temannya (yang belum tentu bicara runtut) lalu mencatat dalam waktu singkat.

Tetapi yang paling menarik adalah, di kesempatan ini saya benar-benar melihat apa yang disebut dengan bisa menerima pendapat orang lain yang berbeda. Tak hanya bisa menerima, bahkan mereka menikmatinya! Setuju atau tak setuju tidaklah penting. Alasan di balik setuju dan tidak setuju itu menarik untuk didengarkan.

Bahkan ada kalanya, anak-anak memilih untuk mengambil sikap yang berseberangan, "Wah, kalau semua setuju, aku tidak setuju deh Bu. Soalnya..." sekedar untuk membuktikan bahwa ada sudut pandang lain untuk mendekati masalah yang sama.

Setiap kali sampai di depan bangku saya (bangku istirahat, kata mereka) mereka lantas membuat laporan.

"Aku sudah wawancara 4 orang, kurang enam lagi."

"Bu, ini sudah ada yang setuju dan tidak setuju, tapi belum ada yang membicarakan hal yang sama. Susah juga ya dapatnya."

Maksudnya begini, anak-anak ini sudah belajar bahwa kalau membuat laporan berimbang, sebaiknya membahas hal yang sama dari dua sisi yang berbeda. Contohnya, kalau kami berbicara tentang tambahan jam olahraga, ada yang setuju untuk mencegah kegemukan, maka yang tidak setuju bisa berkata bahwa kegemukan bisa diatasi dengan mengatur pola makan.

Maka saya bilang, tidak apa-apa. Coba saja sebisamu dulu.

Ketika Mita ada di sepan saya, dia bilang begini, "Kegiatan ini asyik, ya Bu. Waktu Bu Tia SD pasti tidak pernah seperti ini."

"Iya, tidak pernah. "

Mini menyambut dari sebelahnya, "Mungkin sudah takdirnya Bu. Tuhan tahu anak sekarang perlu belajar dengan lebih menyenangkan."

Hahahaha.


Lama-lama saya jadi ingin ikut kegiatan mereka. Saya memilih topik, "Apakah sebaiknya PR dihapuskan?"

Putu setuju, ia jadi punya lebih banyak waktu untuk membaca novel.

Kebanyakan anak tidak setuju, alasan mereka PR adalah kesempatan untuk mempelajari lagi apa yang mereka belum mengerti di kelas. Kalau tidak ada, nanti mereka repot sendiri. Atau, salah satu dari mereka bilang, Bu Tia yang akan repot, sebab anak-anak akan terlalu santai di kelas dan tidak peduli pada apa yang terjadi.

Jawaban paling mengejutkan datang dari Leo, "Aku tidak setuju Bu. Kalau tidak ada PR tidak ada kegiatan menarik yang bisa dilakukan anak-anak selain menonton TV dan main game. "

Anak terakhir yang belum menjawab survei saya adalah Adam.

"Ayo Adam, apa pendapatmu?"

Adam melirik ke kanan dan ke kiri. "Semua pasti tidak setuju, ya, Bu?"

"Lho, Bu Tia kan tanya pendapatmu, bukan pendapat temanmu. "

"Kalau aku, aku setuju PR dihapuskan. Kadang-kadang, anak-anak juga ada acara lain sepulang sekolah, misalnya les. Kalau sampai malam, kan sudah capek. Ditambah lagi membuat PR, tambah capek. "

Ah, sayang sekali hanya dua orang yang setuju. Kalau semua setuju PR dihapuskan, mungkin saya berpikir untuk meniadakan PR. Bagaimana?

Saturday, April 26, 2008

Dulu dan Sekarang

"Tugas di rumah! Buat booklet tentang salah satu bencana alam yang sudah kita pelajari. Cara membuat bookletnya seperti ini (saya melipat-lipat kertas) dan isinya apa saja ya?"

"Apa penyebabnya!"

"Bagaimana cara menghindarinya?"

"Memang semua bisa dihindari?"

"Hm, enggak sih. Ok, bagaimana cara menyelamatkan diri!"

Selagi anak-anak seru menentukan isi booklet dan suit serta hompimpah memilih salah satu topik, tiba-tiba Mini nyeletuk, "Memang bookletnya buat apa?"

Saya bilang, untuk memberitahu orang lain. Kita ada di negara yang memang nasibnya akan sering terkena aneka bencana alam. Tidak semua orang tahu mengapa negara kita sering kena gempa atau sering ada gunung meletus. Dan masih banyak orang menjawab pertanyaan, "Mengapa terjadi banjir?" dengan jawaban "Karena banyak sampah".

"Memangnya banyak yang tidak tahu, Bu? Waktu sekolah dulu nggak diajarin?"

Saya tertawa. Seingat saya dulu, waktu SD banyak hal harus dihafalkan. Indonesia terletak di antara dua benua. Indonesia terletak di antara dua samudera. Gunung tertinggi di Indonesia adalah bla bla (sudah lupa). Gunung Krakatau meletus tahun sekian. Mana pernah ada pembicaraan tentang letak geografis Indonesia di antara tiga lempeng bumi sambil menggeret geret meja-meja. Mungkin itu terjadi di SMA, tapi saya sudah terlalu bebal dan alergi dengan kata pelajaran. Hihihi.

Saya beri contoh lain. Memang bagaimana dulu kami belajar perkalian? Pakai dadu, lingkaran dan bintang-bintang seperti kalian? Ya tentu tidak. Kami harus menghafalkan perkalian lalu nanti dipanggil satu per satu untuk membuktikan hafalan. Kalau tidak hafal bagaimana?

"Ya, disuruh duduk lagi untuk menghafalkan," kata Saras tenang.

"Hehehe, tentu tidak. Berdiri di depan sampai hafal. Enak saja boleh duduk."

Mini melanjutkan, "Jadi, gurunya memberi tahu, lalu muridnya mendengarkan saja. Tidak perlu berpikir."

"Ya, kurang lebih seperti itu."

"Pantas, kakakku marah-marah terus."

Friday, April 25, 2008

God Is Great

Tak seperti biasanya, Jumat siang ini kelas sunyi senyap serius. Biasanya, jam art and craft itu ramainya seperti pasar. Saya memakai jam pelajaran itu untuk menggambar peta dengan skala.

Setelah sunyi senyap serius berlalu beberapa saat, Saras bilang begini, "Bu, doing this map makes me realize how great God is. Cuma disuruh menggambar saja, baru sedikit aku sudah capek sekali.

Hihihi...

Monday, April 21, 2008

Green Festival

Topik Senin pagi; apa yang menarik di akhir minggu kemarin?

Sebagian murid di kelas saya bercerita kalau mereka datang ke Green Festival di Parkir Timur Senayan.

Baguskah? Saya tanya. Saya tidak datang.

Bagus, kata mereka. Lalu mereka bercerita tentang beli tikus-tikusan.

Dasar anak-anak kelas 5, kalau tidak protes tidak puas.

"Bu, Bu, masa ya, di Green Festival itu sampahnya banyak banget, di mana-mana. Styrofoam di mana-mana."

Saya juga heran. Di Green Festival ada yang berjualan makanan pakai styrofoam?

Iya!

Wah, sepertinya mulai dari diri sendiri dan di sekitar kita dulu saja itu.... SUSAH sekali.

Friday, April 18, 2008

Kertas Kotor


Minggu lalu saya memberi anak-anak tugas untuk mengamati tanah di masing-masing rumah dan mencoba mengklasifikasikannya seperti apa yang sudah kami pelajari di kelas.

Minggu ini, kertas-kertas kerja mereka sudah ada di meja saya. Laporan mereka baik, seperti biasa. Yang membuat saya tersenyum adalah sisa-sisa tanah yang menempel di kertas.
Saya tak tahu kalau ada guru lain yang juga senang menerima kertas kotor, tapi kemarin saya senang sekali.

Saya tahu mereka mengerjakannya sungguh-sungguh, dan semoga, dengan gembira.

Lalu, seperti biasa, Si Mbak ngomel lagi.

Mita (yang tersipu-sipu karena saya menunjukkan noda tanah di kertasnya) bercerita, "Mbakku marah-marah, Bu'Ngapain sih gali-gali tanah!' Aku cerita aja kalau ada PR. 'PR apa itu!' Begitu."

Hihihi....

Ngomong-ngomong tugas mengamati tanah di sekitar rumah bukanlah tugas lumrah di Jakarta yang sempit ini. Salah seorang murid saya sempat mengeluh, "Ibu, di rumahku kan nggak ada tanah."

Aduh. Saya kok tidak peka.

Friday, April 11, 2008

Film

Sudah, sudah, saya tidak marah lagi karena youtube ditutup. Pakai akal sedikit, saya sudah bisa senyum lagi kok, hehehehe.

Akhirnya anak-anak bertanya juga. Tentang film itu, film youknowhat. Nanti kalau saya sebutkan, blog ini ikut diblokir juga lagi.

Ada apa sih dengan film youknowhat, tanya mereka. Maka berceritalah saya sesederhana mungkin tentang film itu. Bagaimana si youknowho yang membuat youknowhat menampilkan potongan-potongan ayat tanpa konteks dan menciptakan kesan tertentu.

Mengapa si youknowho membuat film itu?

Hm, saya juga tidak tahu apa sebabnya. Mungkin untuk mengadu domba saja.

Iya, apa untungnya?

Saya nyengir. Entahlah.

Pembicaraan terus berlanjut, mengapa tidak boleh ditonton, mengapa orang-orang marah, benarkah semua teroris itu orang islam, dan seterusnya. Saya bilang, iya, saya juga kecewa pada reaksi mereka yang membalas dengan aksi marah-marah. Tidakkah itu membenarkan apa yang dikatakan youknowho?

Sungguh tidak sulit membuat anak kelas 5 SD mengerti logika itu. Lika menambahkan, "Iya ya, kenapa sih malah marah?"

Mini mencoba menengahi, "Wajar lah, Lika, siapapun kalau diejek pasti reaksi pertamanya marah."

Anak-anak di kelas saya, tidak bisa tidak berusaha memberi solusi pada masalah apapun yang mereka temukan. Mereka melihat film ini dan reaksi marah-marah ini juga masalah. Maka, Mita pun mengajukan idenya.

"Bu, kalau begitu kita buat film juga saja. Itu, kita punya ayat-ayat yang isinya baik-baik. Kita buat film-nya saja!"

Kebetulan kami sedang membahas tentang menolong dalam pelajaran agama. Anak-anak (bersama orang tua mereka) menemukan banyak ayat yang bersahabat. Anak-anak ini belum pernah membuat film dan tidak tahu persis bagaimana repotnya. Tapi mereka melihat bahwa meski sulit, ada yang bisa dilakukan. Anak-anak kecil ini sepertinya mulai berpikir untuk memberi jalan keluar yang membangun, bukan hanya jalan keluar yang hanya sementara.

Siang itu, mereka menyiapkan poster berisi ayat-ayat tolong menolong bersama Ibu Evi. Ketika belakangan saya bergabung, Ibu Evi bercerita, "Anak-anak bilang, ingin memilih ayat-ayat yang isinya tidak mengecam siapapun."

Sebentar kemudian mereka sudah asyik berbagi tugas, dan menulisi bagian atas poster itu dengan judul yang penuh cinta.

Nah, sekarang saya sedang berpikir keras.


Siapa yang cara berpikirnya lurus, anak SD ini, atau siapapun yang memutuskan untuk main blokir-blokiran?

Apakah menurut anda, sebaiknya saya mengajar mereka saja?

Tuesday, April 08, 2008

Menanam Ubi

Pagi ini Saras datang membawa kantong plastik berisi ubi dengan sulur-sulur berwarna ungu.

"Bu Tia, aku punya ubi di rumah tapi aku kelupaan, akhirnya ubinya tumbuh. Boleh aku tanam di sekolah saja?"

Akhirnya siang ini Saras dan teman-temannya menggali lubang di samping kolam, menanam si ubi, dan menyiraminya. Anak-anak TK A memperhatikan mereka nyaris tak berkedip.

Hehe.

Monday, April 07, 2008

Tutup Semua Akses Belajar

Pagi-pagi saya diteriaki anak-anak. Bu, youtube mau ditutup katanya.
Meski saya sudah dengar dari hari sebelumnya (saat saya kesulitan melihat blog sendiri) tetap saja saya tidak bisa menahan diri untuk mengatakan bahwa itu sungguh konyol.

Siangnya kami membuktikan bahwa youtube masih baik-baik saja, sambil mengagumi tari saman.

Ya, ya, tutup saja semua akses belajar. Biar sekalian anak-anak kelas lima SD ini saja yang disuruh jadi menteri.

Sunday, April 06, 2008

Memuji

Adalah hal yang lumrah di sekolah kami untuk memberi pujian dan penghargaan meskipun kecil. Kini setelah duduk di kelas 5, anak-anak di kelas saya masih suka menceritakan bagaimana mereka menyimpan sederet penghargaan dan medali-medali yang mereka dapat saat kelas 1, 2 atau 3 SD. Padahal penghargaan dan medali-medali itu bukanlah medali tingkat nasional. Itu hanya medali menang cerdas cermat di kelas, atau penghargaan sebagai murid paling bersahabat kuartal ini. Jelas tidak laku kalau disertakan dalam CV.

"Aku masih ingat kok Bu, Olimpiade waktu kelas 2 itu. Aku masih menyimpan pialanya."

"Oh ya?" Saya agak terkejut. Tentu saya sudah lupa bagaimana olimpiade-olimpiade-an yang saya adakan bersama mereka di kelas 2 itu berjalan, tapi anak-anak masih ingat. Samar-samar saya juga ingat bahwa saya dan Bu Novi membuat piala dari aluminium foil yang... sebenarnya bisa berdiri tegak pun sudah bagus. Dan piala aluminium foil ini yang disimpan oleh Lika hingga sekarang.

Kami, para guru ini, percaya bahwa penghargaan kecil semacam itu akan membuat mereka lebih mengenal kekuatan dirinya dan semoga lebih percaya diri. Dengan aneka penghargaan yang diterima oleh setiap teman, mereka juga belajar untuk tahu bahwa setiap orang punya keistimewaan dan prestasi. Mereka pun belajar saling menghargai.

Harapan-harapan itu ada dalam angan-angan kami. Sampai kemudian kemarin Lika menyerahkan sebuah amplop pada Bu Evi. Bu Evi bercerita bahwa Lika, presiden kelas kami kuartal ini, berniat menyerahkan penghargaan dan ucapan terima kasih pada menteri yang dinilainya punya kinerja paling baik minggu ini.

Di amplop itu Lika menulis, "Senang bekerjasama denganmu."

Di jam terakhir saya melihat Mini membuka amplop itu kemudian mengenakan medali sederhana buatan Lika.

This is one thing.

Ketika Lika dan Saras berkampanye singkat sebagai calon presiden kelas kuartal ini, mereka membuat saya terkejut. Lika mengedepankan bahwa ia akan memimpin dengan kemampuannya menjalin hubungan yang baik dengan semua anggota kelas. Saras memberi tawaran program baru dan solusi yang terstruktur ; majalah kelas dan kotak saran. Teman-teman yang mendengarkan kampanye mereka dan terus menghujani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan, tampak terkesan dan kebingungan. Mereka punya dua kandidat yang menarik. Ide-ide Saras sungguh menarik.

Lika menjadi presiden. Saras tidak keberatan. Ia pun menjadi salah satu menteri yang dipilih Lika. Sebenarnya apa yang dilakukan Lika, memperhatikan dan menghargai kinerja timnya, bukanlah hal yang aneh karena itulah yang dijanjikan Lika saat ia berkampanye. Lagipula menurut saya, tidak semua pemimpin bisa memberi apresiasi pada anggota timnya. Ya, tidak?

Ia mengadopsi cara kami guru-gurunya memberi penghargaan kecil, medali dengan tulisan tangan penuh stiker, tetapi berarti besar. Ketika murid-murid kami menerima penghargaan itu dengan bangga dan sangat gembira, kami juga senang. Penghargaan kecil kami ternyata berarti.
Ketika hari ini, saya melihat pekerjaan kami berbuah pada sikap Lika, Mini, dan mungkin teman-teman lainnya, saya sudah tidak bisa mendeskripsikan perasaan saya lagi. Amat terkesan. Itu saja barangkali.

Saturday, April 05, 2008

Bangunkan yang Sedang Tidur!

Baru dua hari berbicara tentang Indonesia, anak-anak mulai berkomentar.

“Bu, sepertinya dulu Indonesia is so innocent. Kenapa sekarang jadi begini, ya?”

“Iya Bu, kenapa sepertinya orang-orang tidak peduli ya? Padahal banyak hal yang menarik sebenarnya.”

“Menurutmu, mengapa?”

“Seharusnya di sekolah-sekolah lain guru-guru harus membangunkan anak-anak yang suka tidur di kelas. Jadi mereka mendengarkan dan tahu apa yang terjadi,” kata Mini.

Saya tertawa mendengarnya. Memang di sekolah lain anak-anak suka tidur di kelas (saya bertanya pura-pura tidak tahu)?

Empat pasang mata memandang saya dan mengangguk penuh keyakinan.

“Bu Tia, pernah terpikir untuk jalan-jalan keliling Indonesia, tidak?”

Ya, tentu saja.

Aduh, saya berharap sekolah-sekolah maha mahal yang menyelenggarakan field trip ke luar negeri untuk murid-muridnya, mau berpikir seperti mereka. Kalau bisa beli tiket seharga sepuluh juta untuk ke Eropa, kenapa tidak field trip ke Papua saja, ya? Melihat pantai dengan pasir seputih susu bubuk dan kemudian merasa sayang untuk merusaknya?

Ayo bangun... bangun!

Friday, April 04, 2008

Main Setan-Setanan

Pelajaran IPS kami masuk ke tema Indonesia. Anak-anak sedang menghafalkan nama-nama provinsi dan ibukotanya. Mengapa harus dihafalkan kalau nanti berubah lagi?

Dari pada tidak tahu sama sekali dan akhirnya jadi tak peduli, pilih mana? Lagipula akhirnya kami mencoba banyak cara dan permainan untuk berlatih menghafalkan. Contoh saja ide kami, jika anda membutuhkan!




Main MENGINGAT KALIMAT

Biasanya kami bermain dengan peta untuk mengingat letak ibukota provinsi. Caranya, kami duduk melingkar. Saya akan memulai dengan kalimat, “Saya pergi ke… (isi dengan nama ibukota provinsi, seperti Bandung).” Dito di samping saya akan mengulang kalimat saya dan menambahkan kata baru. “Saya pergi ke Bandung dan Makasar.” Adam yang ada di samping Dito akan mengulang kalimat Dito dan menambahkan kata yang baru, “Saya pergi ke Bandung dan Makasar dan Pekanbaru.” Makin panjang kalimat yang diulang, permainan akan makin seru. Gagal atau berhasil itu nomor dua. Yang seru adalah ketika teman-teman berusaha memberi petunjuk seperti:

"Saya pergi ke Bandung dan Makasar dan Jayapura dan ... dan..."

“TOK TOK TOK”

“…hm… oh ya, PALU!”


"Saya pergi ke Bandung dan Makasar dan Jayapura dan Palu dan Pekanbaru, dan Padang dan... dan...."

“Ini lho, ini lho…(memegang-megang telinga)!”

“…KUPANG?”


"Saya pergi ke Bandung dan Makasar dan .... dan Pekanbaru dan Kupang dan... dan..."

“Narkoba! Narkoba!”

“Kok narkoba sih?”

“Iya, BANDAR Lampung.”

Hihihih…

Meskipun beberapa anak mencari petunjuk dengan mengingat temannya menyebutkan nama kota apa, lebih banyak lagi yang menekuni peta, mengingat “perjalanan” dengan menunjuk kota-kota dalam peta, dan sibuk sendri, “Di mana sih Kendari itu?” Saya memberi mereka waktu untuk menemukan letaknya dalam peta. Itu tujuan kami, tak hanya menghafalkan nama, tapi juga tahu letaknya dalam peta.


Main MEMORY CARDS

Ini permainan tua, tapi kami masih suka memainkannya. Biasanya ada sejumlah kartu yang akan diletakkan terbalik. Anak-anak bergiliran membuka dua kartu. Jika dua kartu yang mereka buka sama, kartunya boleh diambil. Kalau dua kartu yang dibuka berbeda, kartu-kartu itu harus ditutup kembali. Pemain berikutnya akan melakukan hal yang sama. Sebagai modifikasi, kartu bergambar sama saya ubah jadi kartu yang berpasangan. Nama provinsi dan nama ibukota provinsi.

Minggu lalu saya meminta anak-anak menulis nama provinsi dan nama ibukotanya dalam kartu-kartu kecil. Mereka menulis dengan warna yang sama, atau memberi gambar-gambar yang bisa menjadi “reminder” nama. Contohnya ya tadi itu, telinga untuk Kupang. Setiap anak membuat satu set kartu dan selalu bisa memainkannya di mana saja.

Dara adalah momok menakutkan bagi teman-temannya saat bermain Memory Cards, karena ia hebat dalam mengingat. Anak-anak mulai protes, “Yah, Ibu, kalau main Memory Cards yang menang pasti Dara!” Mulut-mulut cemberut.


Main SETAN-SETANAN

Maka, saya menantang anak-anak mencari permainan baru dengan kartu-kartu mereka. Mita muncul dengan ide main setan-setanan. Ia menyembunyikan satu kartu dan membagi rata kartu sisanya. Mereka akan saling mengambil kartu di antara para pemain, untuk memasangkan kartu nama provinsi dan kartu nama ibukota provinsi. Anak yang memegang kartu terakhir (dan tentu saja tidak punya pasangan untuk kartunya, karena kartu itu disembunyikan) dialah yang ‘dapat setannya.”

Seharian ini kami main setan-setanan.

Awalnya banyak teriakan, “Iiiih, Adam! Masa Makasar ibukotanya Riau. Ngaco kamu!”

Atau pertanyaan ragu-ragu Leo, “ Bu ini benar tidak?”

Saras mengintip kartu Leo yang bertuliskan PADANG dan DI JOGJAKARTA lalu tertawa tertahan.”

Seru sekali mereka bermain, sampai terlambat makan pagi. Saya berharap perlahan-lahan mereka akan ingat nama-nama kota dan provinsi di Indonesia itu. Menghafal, juga bisa sambil bersenang-senang!

PS: Ada yang punya ide lain?

Wednesday, April 02, 2008

Memindai Bacaan

Lepas dari kelas 2 SD, anak-anak lebih sering bergumul dengan kesulitan memahami bacaan daripada melafalkan bacaan. Ini adalah keluhan umum yang terdengar dari berbagai kelas. Mengapa anak-anak tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana tentang satu teks?

Bisa membaca memang tidak otomatis mengerti apa yang dibaca. Kebanyakan anak memerlukan bantuan untuk bisa "mengolah data" dari sesuatu yang dibacanya. Salah satunya adalah menyaring informasi yang penting atau yang kita butuhkan saja.

Ada kalanya kita membaca suatu teks hanya untuk mendapatkan informasi yang spesifik. You don't have to struggle through the whole text only for a spesific information. Maka kemarin saya mengajak anak-anak berlatih memindai bacaan.

Saya memberi anak-anak teks mengenai struktur bumi. Ada banyak data-data faktual dan istilah baru di dalamnya. Saya katakan pada mereka bahwa saya akan mengajukan pertanyaan dan mereka boleh adu cepat menemukan jawabannya. Saya katakan bahwa saya hanya akan menggunakan kata tanya apa, siapa, berapa, kapan, dan di mana untuk bertanya. Saya tidak akan menggunakan kata tanya mengapa dan bagaimana sebab itu membutuhkan pemahaman yang lebih kompleks. Petunjuknya adalah, cari kata yang paling penting.

Apa itu kerak bumi?

Anak-anak cepat menyusuri teks mereka, dan Mita segera menjawab; lapisan bumi yang paling luar.

Kata apa yang kamu cari tadi?

Kerak bumi.

Kami mencoba berkali-kali dan saya mencoba sebuah pertanyaan yang lebih rumit. Lapisan bumi apa yang suhunya paling tinggi?

Tidak ada kata suhu tinggi dalam bacaan itu. Anak-anak agak kebingungan sampai Bram mengacungkan jari dan menjawab dengan tepat. Inti bumi.

Dari mana kamu tahu, Bram?

Aku melihat semua angka yang ada di dalam bacaan dan mencari angka yang paling tinggi.

Well done.

Setelah mereka menjawab, saya memang sengaja selalu bertanya bagaimana mereka bisa mendapatkan jawabannya. Thinking out loud. Teman-teman yang tidak punya petunjuk harus bagaimana bisa mendapatkan titik cerah.

Kami mengakhiri pelajaran ini sambil tertawa-tawa karena saya iseng bertanya, Siapa yang menciptakan planet bumi dan anak-anak siap memindai sebelum mereka sadar, mereka bisa menjawabnya dengan segera tanpa perlu mencari tahu.