Thursday, July 23, 2009

Peraturan Kelas


Setiap kelas di sekolah Kembang selalu membuat dan menyepakati peraturan kelasnya sendiri. Satu hal yang saya pelajari; selalu buat peraturan kelas dalam bentuk positif. Hindari kata "Tidak" dan "Jangan". Peraturan kelas sebaiknya bisa menjadi panduan tentang tingkah laku yang diharapkan, bukan yang tidak diharapkan.

Salah satu peraturan di kelas 5 tahun ini adalah:

Selalu berusaha mengerjakan segala sesuatu sebaik-baiknya dan penuh semangat.


Saya baru menemukan manfaat peraturan ini jika ada anak yang bertanya, "Ini diwarnai atau tidak, Bu?"

Saya tinggal menunjuk ke peraturan kelas.

"Oh, iya."

"Berapa banyak yang harus kutulis, Bu? Berapa kata minimal?"

Tunjuk lagi.

"Oh, iya."

Yang terbaik, itu tidak ada batas minimalnya.



* gambar dari sini

Obat Kangen

Suasana hidup sedang tidak bagus, jadi saya perlu banyak booster untuk tetap optimis. Mini dan teman-temannya menagih cerita karena kangen SD. Kebetulan, hari ini saya ingin cerita sedikit tentang kelas baru yang bikin saya akhirnya bisa senyum-senyum.

Kali ini saya bisa dibilang kembali mengajar penuh waktu di kelas. Sama seperti mereka yang sedang menyesuaikan diri di sekolah baru, saya pun begitu. Mesti berpikir keras, menyesuaikan langkah dan strategi. Contohnya ya, saya memundurkan unit sejarah ke kuartal akhir. Pertimbangannya, itu unit yang agak sulit dan biasanya kurang diminati. Tidak cocok untuk mengenal kecepatan kerja dan kemampuan dasar anak-anak.

Apa kata kelas baru saya? "Asyiiik... sejarah!"

Nah lho.

***

Kuartal ini saya dan bu arum mencoba strategi baru untuk belajar bekerja dalam kelompok. Kami membuat kelompok tetap yang berlaku sepanjang kuartal. Kami akan mencatat perkembangan tiap kelompok dalam bentuk evaluasi diri.

Tugas pertama kelompok-kelompok ini adalah memilih nama kelompok. Saya minta mereka memilih nama tokoh dari para penulis, ilmuwan, seniman, atau mereka yang bergerak di bidang kemanusiaan. Anak-anak memilih Leonardo Da Vinci, Enid Blyton, Isaac Newton dan Helen Keller.

Dua hari terakhir mereka sedang mengumpulkan informasi dan menulis biografi singkat tokoh pilihan mereka. Senang, melihat mereka sibuk dan ikut nimbrung mengobrol.

Fia, Rai dan Maira sedang menyusun poster Leonardo Da Vinci. Saya berkomentar, "Konon Leonardo Da Vinci itu bisa menulis dengan dua tangan sekaligus, lho."

"Wah, kalau bikin PR pasti cepat ya, Bu!" kata Fia.

Di meja lain, Gita sedang mengagumi Helen Keller yang ternyata memberi kuliah dan menulis buku pula. Ia bertanya pada saya, "Teladan itu apa, sih, Bu?"

"Teladan itu apa yang bisa kita contoh," dan Gita kembali ke teman-temannya untuk meneruskan poster Helen Keller. Ketika salah satu temannya mulai mengeluh soal pekerjaan, "Ih, baru begitu sudah mengeluh. Gimana mau meneladani Helen Keller."

Iya, betul, Gita. Mari kurangi mengeluh dan lebih bersemangat !

Wednesday, July 15, 2009

Being Optimistic

Memulai tahun ajaran baru, meski sudah berkali-kali, tidak bisa dibilang mudah. Apalagi tahun ini guru-guru sedang disibukkan berbagai workshop sehingga waktu untuk menyiapkan kelas rasanya sempit. Makin dekat hari tahun ajaran baru tiba, makin deg-degan rasanya! Seakan semua belum cukup siap untuk menyambut anak-anak tiba di kelas kami.

Situasi seperti ini tentu mudah mengundang si uring-uringan datang. Syukurlah anak-anak tiba tepat waktu untuk mengingatkan bagaimana seharusnya kita bersikap menghadapi tantangan baru.

Melihat anak-anak kelas 1 dan TKA yang gagah berani masuk kelas sendiri sudah membuat saya tersenyum. Anak-anak yang lebih besar tentu sudah lebih dulu gedubrakan masuk kelas masing-masing.

Saya membunyikan bel tepat pukul 8 (yang tidak berguna, karena anak-anak sudah duduk manis tidak sabar di kursinya), dan partner in crime saya tahun ini, Bu Arum, memulai pekan orientasi kelas 5.

Salah satu tugasnya meminta anak-anak saling mewawancara tentang aneka hal kesukaan dan harapan mereka. 'Jika saya boleh mengajukan satu keinginan, maka keinginan saya adalah...'

"Menjadi penyanyi terbaik di dunia!" kata Gita.

"Menjadi pembalap motor!" kata Fia. Tak ada sekat laki-laki dan perempuan di benaknya. Semua bisa berharap jadi apa saja.

'Jika saya punya uang 5 juta rupiah, saya akan...'

"Beli satu apartemen. Bisa tidak, Bu?" Alma bertanya malu-malu. Ah, nak, tak ada harapan yang dihancurkan di hari pertama, bukan? Tulis saja.

Sederhana dan selalu membuat saya terkesan; bagaimana anak-anak begitu polos mengungkapkan perasaannya.

"Even the sky is not our limit," begitu kesepakatan Adinda dan kawan-kawan yang kini duduk di kelas 6.

Baiklah, ternyata tidak sulit memulai tahun ajaran baru dengan optimis. Selamat belajar!