Wednesday, May 27, 2009

Belajar Sepanjang Hayat

Saya punya kesulitan menjelaskan bahwa suka belajar tidak sama dengan suka mengulang pelajaran aka duduk manis dan menghafalkan pelajaran. Ini, barangkali membantu menjelaskan.

Saya dan beberapa murid saya terhubung melalui facebook. Dari posting mereka, saya jadi ikut tahu apa yang mereka lakukan. Saya tahu mereka sedang suka sebuah film berlatar belakang Vatikan yang sedang diputar di bioskop sekarang. Yah, sebenarnya tidak perlu facebook untuk tahu ini, hehehe.

Suatu ketika mereka membagi beberapa foto saat main di rumah teman. Kegiatannya? Memasak, menonton, dan ... bermain kamera. Beberapa foto yang mereka ambil berasal dari buku sejarah mengenai Roma dan peta dunia.

Tampaknya rasa senang pada film itu menggelitik mereka untuk mencari tahu lebih banyak. Istilah hebatnya, they do some research. Tetap saja, sambil bermain.


Inilah belajar sepanjang hayat itu. Terus menerus tertarik pada sesuatu yang baru, terangsang untuk mencari tahu, bertanya, mencoba, membaca. Bukan hanya hal maha besar, tapi juga hal-hal kecil yang (kelak) jadi besar juga.

Keren.

Melihat mereka bersikap seperti ini menjelang kelulusannya, sungguh melegakan hati. Mengingatkan saya kembali bahwa tujuan akhir lulus sekolah bukan nilai yang tinggi, tetapi kecakapan hidup. Mereka sudah punya ketrampilan belajar yang mengesankan. Apakah kelak suatu hari mereka memutuskan untuk sekolah lagi hingga mendapat sederet gelar, atau mereka memilih menjadikan hidup sebagai sekolah, saya bisa merasa yakin bahwa mereka akan terus belajar sepanjang hidupnya.

Monday, May 11, 2009

Pulang Ujian : Hari 1

Siang itu, topik pembicaraan kami di ruang makan adalah insomnia dan maag yang kumat semalam. Iya, rasanya pengen muntah juga pagi tadi.

Itu kami, guru-guru dengan pengalaman pertama mengantar muridnya ujian (iya nak, pengalaman pertama kalian ujian juga). Guru-guru yang sibuk menyuruh semua anak tenang, istirahat, jangan tegang, sementara dalam hati justru cemas setengah mati.

Saya datang sebelum pukul 6.30 dan sekolah sudah ramai. Ramai dengan para orang tua dan anak-anak yang... berseragam merah putih. Hohoho, khusus untuk ujian, anak-anak akhirnya pakai seragam SD. Lucu melihatnya. Mendadak wajah-wajah yang nyaris dewasa itu kembali jadi anak-anak lagi.

Melihat anak-anak bercanda-canda, cemas saya berkurang sedikit. Tidak lama, pasukan kami sudah lengkap. Sebagian anak-anak perempuan membawa tas lengkap dengan papan jalan, pensil cadangan, dan lain-lain.

Leo dan Adam melompat keluar dari mobil dengan tangan kosong. Kata Bu Nanda," Lho, kalian tidak bawa apa-apa?"

"Kan, alat tulisnya sudah dibawakan Bu Nanda, kartunya juga."

Bu Nanda geleng-geleng kepala. Di punggungnya dan di tangannya sudah ada tas berisi perlengkapan perang hari ini; kartu ujian, pensil cadangan, rautan, file anak-anak berisi nomor telepon dan nama orang tua, papan jalan, tisu basah, tisu kering, minuman dan makanan kecil.

Di mobil, mereka masih bisa tertawa dan membicarakan twilight. Saya jadi lebih lega.

Sampai di sekolah tetangga, cemas saya naik lagi setengah senti. "Jangan lupa ya, kalau bertemu guru-guru memberi salam."

"Cium tangan, bu?" Anak-anak ingat ajaran Bu Andin.

Saya diam sebentar. "Ya, boleh saja."

Maklum, di sekolah kami yang sering terjadi adalah "HAI BUUU!" "PAGI BUU!" dari lantai dua atau seberang lapangan.

Kami mengintip kelas sebentar, dan anak-anak dipanggil untuk pengarahan di lapangan. Iya! Pengarahan seperti apel pagi di lapangan bersama anak-anak SD tetangga.

Kikuk anak-anak disuruh berbaris. Lencang kanan itu ke mana, semua celingukan.
Tapi mereka bersikap cukup manis, senyum-senyum simpul pada saya yang terpaksa ikut baris di depan, mendengarkan apa kata Pak Kepala sekolah dan ikut berdoa.

Saya dan Bu Nanda menunggu di kantor sekertariat. Sekali-kali cemas, uh, anak-anak bisa tidak ya, berdoa sendiri di kelas. Aduh, lupa tidak ya, memberi salam pada guru pengawas?

Ya,ya, kalau sudah seperti ini akal sehat saya untuk percaya pada anak-anak mulai menipis. Padahal, ternyata anak-anak baik-baik saja.

Pak Kepala Sekolah SD Tetangga bilang, kami boleh melihat sekali-kali. Jadi tiap setengah jam saya atau Bu Nanda mengintip. Bilang hai saja dari jauh. Sampai lima belas menit terakhir mereka masih membolak-balik kertas. Pulang ujian, kalau ditanya, "Tadi diperiksa lagi atau tidak?"

Jawabannya, "Aku sudah lima kali, dan dia sepuluh kali."

Itu betulan, lho, Bu.

Begitu ujian selesai, anak-anak sudah berdiri di depan pintu ruang sekertariat.

"Bagaimana, tadi?"

Dan semua langsung cerewet bercerita bahwa ada kupu-kupu masuk kelas, Leo jadi takut. Ada suara anak menangis, ada lagu Rayuan Pulau Kelapa terdengar. Ibu pengawasnya baik hati, dan cantik sekali. Soal yang susah nomor 7,8, dan 12. Tadi Putu diajak mengobrol sama pengawasnya. Dito juga.

Semua senyum-senyum saja, ceria-ceria saja.

Pfiuh. Cukup lega.

Tinggal berdoa, semoga perjalanan si kertas lembar jawaban sampai menjadi nilai tanggal 30 Juni nanti lancar-lancar saja dan tidak kurang suatu apa.

Percaya tidak, tadi anak-anak sempat mengelap meja dulu pakai tisu sampai bersih. Sempat juga bercanda lempar-lemparan sampah plastik sebelum para pengawas datang.

Hm. Saya ternyata membawa rombongan sirkus ujian.


Semoga besok tetap lancar ya!