Tuesday, October 13, 2009

Paradigma Baru

Tahun ini kami mulai mengubah format rapor. Jika tahun-tahun sebelumnya kami mencantumkan rata-rata kelas, tahun ini kami tidak melakukannya. Kami meletakkan standar nilai minimal di samping perolehan nilai anak sepanjang kuartal. Untuk melengkapinya, kami menambahkan deskripsi mengenai kegiatan dan pencapaian anak di setiap pelajaran. Kerja keras untuk para guru, tentunya.

Perubahan paperwork, itu soal mudah. Perubahan paradigma, itu lebih sulit diterima.

Kurikulum 2006 yang sebutannya berbasis kompetensi memang punya paradigma berpikir jauh berbeda dengan kurikulum 1994 dan sebelumnya. Salah satu yang paling besar menurut saya adalah kurikulum 2006 memberi ruang untuk melihat setiap anak sebagai individu yang unik, dan menuntut kerja keras para guru untuk membuat anak-anak memenuhi kompetensi yang dibutuhkan.

Apa konsekuensinya? Salah satunya adalah, laporan berkala tentang prestasi belajar anak tidak lagi diletakkan dalam bingkai "di kelas ia ada di posisi mana?" tetapi "seberapa jauh ia sudah menguasai kompetensi yang diminta dalam tingkatnya?"

Sebagai guru di kelas, sudut pandang ini membuat saya lebih terarah untuk berhenti melabel anak pintar dan bodoh. Saya jadi tidak keburu pesimis dan patah arang pada anak-anak yang biasa menempati posisi tiga terbaik dari bawah. Fokus saya sebagai guru berubah menjadi "apa yang bisa saya lakukan agar mereka menguasai hal ini atau hal itu?", bukan memandang mereka sebagai pecundang di kelas. Begitu mereka menunjukkan bukti-bukti bahwa mereka menguasai hal-hal yang kami syaratkan, maka itu cukup. Langkah berikutnya adalah memikirkan apa yang bisa kami lakukan untuk membuat mereka "lebih baik" lagi, atau memenuhi kompetensi-kompetensi yang belum tercapai sehingga mereka siap naik ke tingkat berikutnya. Daripada menyalahkan dan menilai, sudut pandang ini membuat kami merasa harus bersikap lebih aktif dalam perkembangan anak-anak di kelas.

Begitu pula pada pandangan saya kepada anak-anak yang cerdas di kelas. Begitu kami berhenti menghitung jumlah nilai total, kami pun berhenti menganggap anak yang cerdas harus serba bisa. Kini lebih mudah bagi kami mengenali kemampuan-kemampuan khusus anak-anak di dalam kelas. Oh, si A memang berbakat di matematika. Oh, si B memang jago olahraga. Jika sebagai guru kami diminta membesarkan anak-anak yang mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri, bahagia menerima diri mereka apa adanya, sekaligus terpacu untuk terus memperbaiki diri, sudut pandang ini sangat memudahkan kami.

Di sisi lain, banyak orang tua masih merasa cemas. Dari mana saya tahu anak saya hebat kalau saya tidak tahu apakah teman-temannya hebat atau tidak? Bagaimana kalau nilai 9 anak saya adalah yang terburuk di kelas karena semua dapat 10? Di luar sana kompetisi terus terjadi. Bagaimana anak saya bisa berkompetisi kalau dia tidak bisa membandingkan peringkatnya dengan peringkat teman-temannya?

Hm, mari kita coba membuat sebuah ilustrasi. Anggaplah saya menentukan tujuan belajar bahwa anak di kelas saya harus bisa membaca dengan lancar. Kapan sebaiknya saya berhenti mengajar? Apakah ketika 3 anak sudah bisa membaca dengan lancar, atau ketika seluruh kelas bisa membaca dengan lancar? Seandainya pada akhir masa belajar, 3 anak itu hanya bisa membaca terbata-bata dan 17 sisanya belum bisa membaca sama sekali, dapatkah saya menyebut 3 anak pertama sebagai anak paling cerdas di kelas? Banggakah kita sebagai orang tua melihat paparan statistik itu?

Ketika saya ingin membesarkan anak-anak menjadi anak yang jujur --misalnya--, maka tentu tujuan akhir saya adalah mendapatkan seisi kelas yang jujur, bukan hanya satu atau dua anak paling hebat yang jujur. Tujuan akhir kami mengajar adalah agar anak-anak memenuhi 100 % kompetensi yang disyaratkan, atau hal-hal yang menurut kami seharusnya mereka kuasai. Kalau semua anak di dalam satu kelas mencapai angka 90 % tentu kami bahagia sekali! Itu tidak membuat mereka kurang hebat, meski seisi kelas peringkatnya sama semua.

Ketika saya mengajar, tentu saya ingin semua murid saya berhasil. Tujuan akhir saya bukan menyeleksi siapa yang berhasil atau tidak berhasil, tetapi membuat semua murid saya berhasil. Di sini, saya akan dituntut untuk bekerja keras. Saya dituntut untuk mengerti seluk beluk setiap murid saya sehingga saya bisa membantu mereka dengan cara yang paling efektif agar mereka bisa mengembangkan dirinya. Pandai atau bodoh, saya tetap harus menghargai mereka sebagai anak-anak yang potensial untuk berkembang.

Maka, itulah yang ingin kami sampaikan pada para orang tua. Ini yang kami kerjakan bersama anak-anak di kelas. Ini yang kami harapkan untuk dicapai anak anda. Ini yang ia capai, dan kami bangga melihatnya berkembang. Ini yang belum dicapainya, dan kami memikirkan cara yang tepat untuk membantunya mencapai tujuan itu.

Apakah anak-anak belajar untuk berkompetisi? Ya. Anak-anak bermain dan berlomba di antara kawannya setiap hari. Mereka belajar menikmati kemenangan dan menerima kekalahan. Ini lebih mudah dikenali anak-anak yang masih berpikir konkret dan belum tentu bisa memikirkan konsekuensi jangka panjang dari perbuatannya. Secara alami, Tuhan sudah membuat mereka mengenal kompetisi lewat berteman dan berbagi dengan kakak adiknya. Kami berusaha memberi ruang ini dalam kegiatan sehari-hari.

Sekali lagi, ternyata tidak mudah melihat anak-anak kita sebagai mereka sendiri, bukan mereka dibandingkan kita, kakak, adik, atau temannya! Mari kita luangkan waktu sebentar, meninggalkan semua kecemasan kita tentang mereka, dan melihat bahwa setiap anak adalah istimewa.