Sunday, July 31, 2005

Pancasila

Sebagai bagian dari masa-masa adaptasi dengan kelas baru, saya masih sering kangen dengan kelas saya yang lalu -- meskipun tiap melihat mereka saya selalu merasa mereka sudah terlalu besar untuk saya. Kami masih bertemu seminggu sekali karena saya dan mereka punya satu kegiatan ekstrakurikuler. Selebihnya, saya juga masih sering mengobrol dengan guru mereka.

Suatu pagi, teman saya bertanya, "Punya gambar Garuda Pancasila yang besar, nggak, di rumah?" What a question! Tentu saja saya nggak punya. Sayangnya sekolah ini tidak seperti sekolah masa kecil kami yang punya lambang itu plus bendera merah putih dan foto presiden di setiap kelas.

Lagipula untuk apa? Teman saya cerita bahwa perkenalan pada Garuda dan sebagainya itu masuk dalam silabusnya bulan ini. Wah, selamat berjuang, teman! Anak-anakmu tidak akan mau terima mentah-mentah. Tidak seperti kita dulu, mengiyakan semua yang diletakkan di depan muka kita. Menjawab soal ulangan dengan patuh lalu sudah cukup bahagia kalau nilainya bagus.

Sementara itu di ruang makan kami semua cekikikan tidak habis-habis berusaha mengingat letak gambar padi dan kapas, rantai serta yang lain di tempat yang tepat. Kami mencoba melafalkan lagi lima sila itu, lalu mendebat apakah kepala Garuda menghadap ke kiri atau ke kanan.

Esoknya, teman saya mampir ke kelas pagi-pagi. "Bener lho. Anak-anak tanya. Tanya semuanya!". Hehe, senang bisa tertawa pagi-pagi. Berceritalah teman saya bahwa anak-anak kelasnya bertanya;

Bu, ini maksudnya apa? (menunjuk bunyi sila ke dua)
Bu, kenapa Garudanya menghadap ke kanan? (tuh, kan, apa saya bilang!)
Kenapa Garuda warnanya kuning?
Kenapa burung Garuda dan bukan burung yang lain?

Dulu, kita semua disodori Pancasila ketika belum mengerti betul tentang simbol, lambang, dan teman-temannya. Jadi kecil kemungkinan kita berebut bertanya seperti itu pada guru-guru kita dulu. Anak-anak ini, sudah tahu bahwa sebuah gambar, simbol, dan lambang mempunyai arti tertentu.Mereka bahkan sudah bisa menggunakannya dengan tepat pada banyak kesempatan. Gambar, simbol, lambang itu bicara. Tentu saja mereka ingin tahu apa yang sedang dibicarakan.

Saturday, July 30, 2005

Tim Yang Besar

Seperti saya selalu bilang, kelas saya tahun ini luar biasa ; ributnya, keras kepalanya, imajinasinya dan kelucuannya. This is another example of their funny side.

Setiap selesai makan siang, seperti biasa, saya akan menarik keluar boks berjudul "LETAKKAN TUGAS YANG SUDAH SELESAI DI SINI" dan mulai menyortir dan memberi nilai serta komentar untuk lembar kerja mereka. Biasanya tugas ini memberi saya rasa bosan, atau cemas. Saya adalah sejenis guru yang langsung mengaitkan hasil kerja anak-anak dengan kemampuan saya membawakan materi di kelas.

Saya sampai di kertas kerja milik Dimas. Ada pertanyaan, mengapa kita tidak boleh berbagi sikat gigi dengan orang lain? Jawaban Dimas adalah seperti ini:

Karena kalau seseorang memakai alat-alat pribadi kita, kuman-kumannya akan berkombinasi menjadi tim yang besar.

Friday, July 29, 2005

Dua Minggu

Saya tidak pernah merasa lelah luar biasa seperti dua minggu ini. Setiap kali kelas saya pulang, saya betul-betul sudah kehabisan energi dan ingin ikut pulang.

Saya marah-marah, terkejut dan tertawa sama banyaknya di kelas ini. Ketiganya menguras energi saya. Saya juga tidak pernah harus buka mulut sesering ini di kelas-kelas saya sebelumnya. Tiap detik harus menegur si A, menanyakan B apa masalahnya, meminta C untuk tidak membanting pintu, menjawab pertanyaan D, sekaligus bernegosiasi dengan E untuk menghabiskan makanan

Semua keluh kesah dan obrolan di ruang makan bersama rekan-rekan mengajar saya hanya ditanggapi mereka dengan tawa. Guru-guru yang lalu dari kelas ini pecah tawanya ketika saya bilang pada mereka, saya capek sekali ngomel di kelas ini. Persis seperti apa yang kami rasakan dulu, kata mereka. Kelas ini memang tidak mudah ditangani (yea... right) tapi juga menyenangkan.

Teman saya yang mengajar di kelas 3 memandang saya lekat-lekat dan berkata," Saya yakin kamu pasti bisa mengatasi mereka. Harus bisa. Soalnya tahun depan saya yang ketemu mereka."

Damn.

Wednesday, July 27, 2005

Percakapan Hari Ini

Adinda : Bu Tia, kita tidak boleh menjilat-jilat piring, kan?
Saya : Ya.
Adinda : Lalu kenapa orang menciptakan kata menjilat kalau menjilat tidak boleh?


Dhiadri: Bu, I am worry.
The English Teacher : What are you worry about?
Dhiadri : I am worry because i have nothing to be worried about.
The English Teacher : Ok, i will give you something to worry about after this.

Senjata Rahasia

Kelas saya baru saja selesai berbagi cerita mengenai serangkaian foto masa kecil yang mereka bawa. Mereka bercerita ketika masih bayi mereka tidak bisa apa-apa kecuali menangis, tertawa, tengkurap, minum ASI dan makan bubur. Mereka juga sudah menyadari bahwa makin besar makin banyak ketrampilan yang mereka kuasai. Yang paling menarik adalah, ketika mereka menunjukkan foto mereka yang paling baru; foto diri mereka sekarang. Kebanyakan menulis seperti ini :

Ini aku ketika berumur 7 tahun. Sekarang aku sudah bisa membaca, menulis, berlari, bermain. Aku sudah bisa hampir semuanya.”

Anak-anak tujuh tahun ini beranggapan bahwa tidak ada hal di dunia ini yang tidak bisa mereka lakukan.

Selama ini saya selalu kagum dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin manusia-manusia berukuran kecil ini begitu berani menghadapi dunia sebesar ini. Tidak pernah capek, tidak pernah hilang semangat, selalu ingin tahu, dan hidup dengan mata berbinar setiap hari. Bukankah kita selalu berpikir anak-anak adalah makhluk rapuh yang harus dilindungi, diajari, dan dijaga baik-baik? Tapi anak-anak justru berpikir bahwa mereka bisa melakukan semua hal. In fact, mereka hampir tidak takut apapun.

Sekarang saya tahu mengapa. Salah satu rahasia untuk berani bertualang menemui hal-hal baru di dunia dan tidak berhenti belajar adalah memiliki rasa percaya diri. A Thing that I lack of because I worry about zillion other things

Tuesday, July 26, 2005

Chemistry

Aduh, saya belum dapat chemistry dengan kelas saya yang baru. Ketika hari lesson plan tiba... saya langsung cemass.... kemana semua ide-ide cemerlang itu? Lenyap entah ke mana.
I had a boring class.
Saya cenderung jadi bawel dan suka marah-marah di kelas.

This is not fun anymore. Not yet.

Saturday, July 23, 2005

To Win His Heart

Ada sebuah hukum tidak tertulis untuk seorang guru : AVOID FAVOURITISM.

Yah, saya setuju walaupun saya mengakui ini tidak mudah. Sebagai manusia biasa yang seringkali bergantung pada approval dan acceptance orang lain, godaan untuk bisa disukai atau menyukai satu dua orang pasti datang silih berganti. Sama tidak mudahnya dengan mencegah keterikatan yang terlalu dalam dengan murid-murid saya. Kalau yang satu ini levelnya sudah setengah mustahil buat saya yang terobsesi dengan pekerjaan nyaris tujuh hari seminggu. Saya hanya hati-hati sekali jangan sampai anak-anak yang tergantung dan terikat terlalu dalam dengan saya. Kasihan mereka, dan kasihan guru berikutnya. Bisa mati gaya.

Saya masih bisa menghindari favouritism, bagi saya setiap anak adalah anak-anak. Mereka punya kepolosan dan keceriaan yang kurang lebih sama dan tetap membuat saya jatuh hati; bagaimanapun penampilan mereka, pencapaian akademis mereka, atau sikap mereka sehari-hari.

Lepas dari semua itu, setiap awal tahun ajaran saya selalu penasaran dengan salah satu anak di kelas saya. Anak yang membuat saya merasa tertantang untuk memenangkan hatinya. Tahun lalu saya sangat penasaran dengan seorang anak perempuan yang saya tahu sangat ekspresif tapi menjaga jarak dengan saya. Saya ada di kelas yang mana seluruh penghuninya selalu gembira dengan semua kegiatan yang saya bawa. Anak perempuan ini tidak. Ia selalu berpartisipasi, tapi lebih sering memperhatikan saya dengan pandangan mengawasi. Satu kuartal ia tidak mau saya dekati, tidak mau diajak mengobrol apalagi bermanja-manja seperti teman-temannya. Saya hampir mati penasaran rasanya. Ternyata seiring tahun ajaran berjalan, kami justru makin akrab. Saya gembira dengan perkembangannya sepanjang tahun. Liburan kemarin kami juga tidak berhenti saling kirim sms seperti orang pacaran.

Tahun ini, there is a handsome boy that makes me.... penasaran juga! Anak ini sangat cerdas, sekaligus sangat emosional. Tidak bisa ditegur sedikitpun, air matanya pasti langsung membanjir. Setiap kali kami kembali ke meja untuk mengerjakan sesuatu, ia langsung melamun. Tidak bersemangat. Saya pernah mengajaknya mengobrol, dan bernyata kegiatan apa yang paling disukainya. Tahu apa jawabnya? "Thinking. I like to think".

Beberapa hari ini saya tidak berhenti mengamatinya dan berpikir keras, apa yang harus saya lakukan untuk memenangkan hatinya.

Apa ya?


Thursday, July 21, 2005

Tuhan

We discuss about living things and non-living things during science. Diskusi ini ramai sekali, dan anak-anak bisa dengan sangat logis mematahkan argumen saya bahwa mobil bisa saja termasuk makhluk hidup.

Saya bertanya pada mereka, bisakah kamu memberi contoh apa saja makhluk hidup itu?
Seorang menjawab saya, "Tuhan!"
Tidak yakin apakah Tuhan itu makhluk atau konsep, saya tersenyum, " Makhluk hidup apa saja yang diciptakan Tuhan?"
Ia balik menjawab, "Malaikat!"

Sekarang saya tahu kenapa orang tua sangat ketakutan kalau anak-anak menghampiri mereka dengan pertanyaan tentang seks dan tuhan. You may have good theories and advices... face it yourself!



Tuesday, July 19, 2005

Satu Minggu

Sudah satu minggu berjalan dan saya belum bercerita sepotongpun tentang penghuni kelas saya yang baru. Ouch! Bukan berarti saya tidak menyukai mereka, sungguh -- walaupun mereka lebih berisik -- anak-anak ini sama manisnya dengan anak-anak tahun lalu.

Seperti saya pernah katakan, bulan Juli adalah bulan yang melelahkan. It takes the whole energy to handle and doing some getting to know you activities. Saya dan anak-anak sedang mencoba saling mengenal kebiasaan satu sama lain. Ada banyak ujicoba, pertanyaan, teguran, perubahan, kunjungan peri gigi, ulang tahun, dan sebagainya.

Lagipula, kelas saya kali ini sangat komikal. Sulit sekali diceritakan ulang hanya dengan kata-kata. Padahal minggu ini adalah minggu paling banyak tertawa untuk saya.

Be right back.

Saturday, July 16, 2005

Buku dan Bacaan

Masih ingat tidak berapa banyak buku pegangan belajar yang harus kita bawa ke sekolah dulu? Satu untuk matematika, satu untuk Bahasa Indonesia, dua untuk IPA, dan seterusnya. Saya tahu kebanyakan sekolah saat ini juga masih tergila-gila pada buku cetakan berbagai penerbit itu. Saya juga tahu kalau buku pelajaran itu adalah bisnis yang menjanjikan banyak uang.

Saya tidak bisa percaya penuh pada salah satu dari buku-buku itu (ini berarti saya percaya pada beberapa halaman, tapi tidak satu buku). Saya juga tidak meminta anak-anak menggunakannya di sekolah.

Saya selalu menyiapkan sendiri semua lembar kerja dan bacaan untuk anak-anak yang saya ambil dari berbagai tempat. Cukup merepotkan untuk saya, juga sama merepotkannya untuk para orang tua yang rajin menemani anaknya membahas materi pelajaran di sekolah. Tapi menurut saya ini cara paling luwes untuk beradaptasi dengan anak-anak di kelas saya yang memiliki rentang kemampuan, minat, dan fasilitas yang cukup besar.

Kalau saya memilih buku pelajaran cetakan A atau B, saya bisa membunuh anak-anak yang minatnya besar dan kebetulan cerdas. Dengan demikian saya bisa ikut serta menciptakan teroris di kelas saya. Tanpa buku cetak saya bisa menemani mereka mengeksplorasi tema yang kami bahas sesuka hati.

Memang cara ini agak merepotkan. Merepotkan saya yang harus selalu konsentrasi menyiapkan bahan pelajaran, juga merepotkan orang tua yang tidak pernah bisa menduga ke mana saya akan melangkah.

Beberapa orang tua kemarin menghampiri saya, minta saya mencantumkan referensi website mana yang bisa mereka kunjungi bersama anak-anak sambil belajar, atau buku apa yang saya gunakan.

This is a good idea, anyway. More things to do, Teacher.


Friday, July 15, 2005

Meet The Parents

Hari ini saya menemui semua orang tua baru dari kelas saya. Sekedar berkenalan dan memberi contekan kisi-kisi kelas saya nanti akan seperti apa. Beberapa dari mereka adalah orang tua yang sama dengan tahun lalu.

Terus terang tadi pagi saya grogi sekali, tapi ternyata grogi saya tidak beralasan. Seperti anak-anak, saya mulai senang jadi pusat perhatian, hahaha.

Satu hal yang paling saya sukai dari mengajar di tempat ini adalah saya bertemu dengan orang tua-orang tua yang sangat peduli pada perkembangan anaknya, cerdas, dan cukup umur. Boleh dibilang sebagian besar ibu yang saya temui di sini melahirkan anak pertamanya setelah usia 25 tahun. This is a big deal. Bolehlah orang bilang usia paling sehat untuk melahirkan adalah 20 -25 tahun. Buat saya, anak-anak yang paling sehat lahir batin justru lahir dari ibu-ibu yang sudah lebih tua.

Orang tua murid-murid saya umumnya tidak lagi emosional dan meledak-ledak. Mereka berpikir logis, sangat cermat, dan senangnya, saya dan mereka selalu dapat berbicara tentang anak mereka melalui sudut pandang yang sama. Ketika saya memperhatikan bahwa si A tampak sangat memuja kakaknya. Si Ayah datang pada saya dengan cerita yang menguatkan dugaan itu. Kemudian kami bisa berbicara bersama-sama untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kami temui berkaitan dengan si anak. Tidak cuma satu, setidaknya 80 % orangtua murid di kelas saya seperti itu.

This is a real privilege for me. Saya benar-benar beruntung.

Saya bisa berempati pada teman-teman guru dengan orang tua yang tidak suka anaknya sekolah karena menurutnya tidak berguna, tidak menghasilkan makanan. Apalagi pada mereka yang bertemu orang tua tipe pemodal; Saya sudah bayar banyak maka kamu harus buat anak saya bisa A,B,C,D, .... Z. Kalau tidak kembalikan uang saya.

Saya bertemu orang tua yang mengerti apa arti bermain untuk anak-anaknya.
Saya bersama orang tua yang dengan senang hati menularkan kebiasaan mereka membaca (bukan lagi bermimpi anaknya suka membaca).
Dan yang paling saya suka, kami sama-sama ingin anak-anak tumbuh dengan gembira.

Thursday, July 14, 2005

"Akhirnya..."

Kelas saya berdekatan dengan areal playgroup. Tahun ajaran lalu, kalau saya lewat playgroup, ada seorang anak perempuan berambut keriting selalu memegang tangan saya. Ia akan bertanya " Tante, kakak SD sedang apa?". Ia sudah mengasosiasikan saya dengan gerombolan anak besar yang disebut gurunya kakak SD. Ia akan menanyakan ini berulang kali. Misalnya begini.

"Tante, kakak SD sedang apa?"
"Sedang belajar musik."
"Tante, kakak SD sedang apa?"
"Sedang belajar musik bersama bu Henny di kelas."
"Tante, kakak SD sedang apa?
...

Kemarin, akhirnya saya bertemu dengannya di kompleks TK. Hari pertama sebagai anak TK A. Saya menyapanya. "Hai, Fawzia! Senang di sekolah hari ini?"
Ia tersenyum lebaaaar sekali sambil membawa goody bag dari gurunya, "Akhirnya aku sekolah di sini."

Tuesday, July 12, 2005

Menyanyi Bersama Ibu Sud dan Pak Kasur

Sejak kemarin saya sibuk mencari-cari lagu untuk pekan orientasi. Saya sengaja ingin mencari lagu berbahasa Indonesia. Saya masih akan mengajar anak-anak yang senang menyanyi, dan kebetulan juga lebih senang berbahasa Inggris. Perbendaharaan lagu berbahasa Inggris mereka sudah sangat baik. Mereka hafal di luar kepala puluhan lagu yang seringkali hanya mampu saya nyanyikan dua baris. Habis itu lupa.

Saya punya keyakinan sangat kuat di dalam hati bahwa lagu-lagu anak-anak Indonesia bagus-bagus. Jauh lebih bagus dari nursery rhymes. Guru musik di sekolah saya setuju dengan pengamatan saya bahwa lagu anak Indonesia jaman dulu itu sangat melodius. Lagu untuk anak TK saja terhitung susah dinyanyikan. Saya juga memperhatikan bahwa lagu-lagu itu menggunakan kosa kata yang sangat indah dan sayang dilewatkan. Sementara kita sering melewatkan karena dulu kita sekedar menyanyi saja, sampai hafal, tapi tidak terlalu memikirkan artinya. Apalagi bertanya pada guru, apa arti kata-kata itu (Sekarang tidak mungkin tidak, anak saya PASTI bertanya.)

Siapa yang tidak pernah dengar lagu PERGI BELAJAR ciptaan Ibu Sud?

O Ibu dan ayah selamat pagi.
Kupergi belajar sampai kan nanti.
Selamat belajar nak penuh semangat.
Rajinlah selalu tentu kau dapat.
Hormati gurumu sayangi teman.
Itulah tandanya kau murid budiman
Latihlah badanmu nak supaya sehat
Latihlah batinmu supaya kuat
Tetapkan hatimu gagah berani
Selalu gembira dan lurus hati
O Ibu dan ayah terimakasih.
Kupergi sekolah sampai kan nanti

Nah, tidak perlu pakai segala kurikulum berbasis kompetensi, pancasila, komunisme apalah namanya. Pakai lagu ini saja. Semua tujuan atau cetakan anak Indonesia harusnya seperti apa sudah ada di lagu ini.

Lagu yang lebih sederhana, tentu kebanyakan ciptaan Pak Kasur. Saya tidak kenal orang lain lagi yang bisa menciptakan lagu dengan hati-hati agar tidak memuat huruf r. Supaya anak TK yang biasanya masih belum berhasil bilang r bisa merasa bangga dan berhasil menyanyi dengan sempurna. Tapi beberapa lagu di bawah ini ada huruf r-nya.

Jika ku sekolah nanti
kuberangkat sendiri
Berjalan berhati-hati
Di tepi sebelah kiri

Lagu lain lagi.

Jika kau makan pisang, jangan dengan kulitnya
Kulit dilempar kranjang, kranjang apa namanya
Jika kumakan pisang, tidak dengan kulitnya
Kulit dilempar kranjang, kranjang sampah namanya

Keren nggak sih rimanya? I know, some of you may laugh dan bilang betapa mengguruinya lagu-lagu ini. Saya juga sedang tertawa, betapa banyaknya hal sederhana yang dilupakan kita semua, sampai kacau sekali jalan-jalan di kota kita.

Monday, July 11, 2005

Surat Menyurat

Akhir tahun ajaran lalu saya berpikir untuk mengirim surat selamat datang untuk setiap calon murid di kelas saya. Sayang, karena beberapa kesibukan saya tidak sempat memberikan surat itu di hari terakhir sekolah. Tapi saya sempat membawa pulang daftar alamat mereka.

Di tengah liburan, saya tulis semua surat itu dengan tulisan tangan lalu saya kirimkan lewat pos. It is very traditional, tapi menurut saya cara ini justru sangat personal.

Isi surat saya kira-kira seperti ini,


Adinda,

Selamat datang di Kelas 2! Selama Kelas 2 nanti Ibu Tia akan menjadi guru kelasmu. Kita akan bermain dan belajar banyak hal bersama-sama. Ibu Tia sudah tidak sabar bertemu Adinda di Kelas 2 nanti. Selamat menikmati libur, dan sampai bertemu di hari pertama sekolah tanggal 13 Juli 2005.

Kemarin, saya menerima sebuah surat balasan dari Adinda. Di amplop bagian depan, ia menulis nama saya dan alamat sekolah, sertadua buah perangko seharga Rp. 1000,00. Tapi surat itu dititipkan pada teman saya di sekolah, bukan dikirim lewat pos.

Ketika saya buka, ada sebuah kertas bergambar hati yang BESAR SEKALI dan beberapa kalimat di atasnya.

Bu Tia, aku juga sudah tidak sabar naik ke kelas 2. Terimakasih untuk suratnya. Aku baru pertama kali menerima surat.


Mungkin maksudnya menerima surat lewat pos. Sebab di sekolah kami, anak-anak sangat terbiasa saling mengirim surat. Setiap anak dan setiap kelas punya kotak pos sendiri-sendiri. Saya juga punya satu kotak pos di kelas saya tempat anak-anak mengirim berbagai pesan.

Surat dari Adinda tadi pagi membuat saya tersenyum. Tanpa sengaja saya ikut serta dalam pengalaman barunya menerima surat lewat pos. Saya mencoba mengingat-ingat rasanya. Dulu saya juga senang sekali kalau pak pos membawakan surat untuk saya dari teman-teman. I just can't wait to read it through the end, and write another letter to answer it.

Sunday, July 10, 2005

Elitist

Alexander The Great baru pulang dari sebuah workshop tentang knowledge sharing di Eropa sana. Pada suatu kesempatan ia bercerita pada seseorang - i think she is a professor from South America - tentang kelas saya.

Mendengar cerita tentang sebuah kelas di INDONESIA berisi delapan orang saya plus cara belajar seperti yang selalu saya ceritakan, profesor ini berkomentar ;

"Wow, what an elitist."

Uhm.... benar juga apa yang dikatakan. Saya jadi agak malu. Saya membayangkan sekelompok orang yang sibuk memikirkan umat manusia di dunia, dan saya jejingkrakan karena senang pada pekerjaan dan kelas mini saya.

Mungkin itu juga yang membuat saya agak segan membaca Kompas beberapa bulan terakhir ini. Saya agak lelah merasa sesak nafas setelah selesai membaca. Mengingat apa yang saya lakukan sekarang tidak ada sebesar upil dari seluruh permasalahan pendidikan di negara ini.

Jadi sebenarnya... buat apa saya ada di sini ya?
*sambil memikirkan folder warna warni untuk kelas saya*

Friday, July 08, 2005

Menunggu

Teman-teman dan saya sedang bekerja dengan kecepatan tinggi setiap hari. Beberapa hari lagi penghuni-penghuni kelas kami akan datang. Beberapa baru kembali dari liburan dan panik mengurusi segala paperwork yang harus siap sebelum kelas mulai. Ada yang akan menghadapi kelas pertamanya. Saya datang ke sekolah dengan batere fully charged. Sinting menawarkan ide-ide baru lagi ke rekan kerja saya yang mulai memelototi saya. Katanya tidak ada waktu. Saya bilang, bisa saja. Akhirnya kami pulang setelah matahari hampir hilang.

Ada juga yang baru berangkat berlibur.

Ada rasa panik sekaligus tidak sabar. Gembira sekaligus was-was. Saya tidak tahu bagaimana seorang guru yang berpengalaman belasan tahun menghadapi hari pertama di tahun ajaran baru mereka.

Ini kali ke tiga saya masuk kelas saya menghadapi tahun ajaran baru. Masih ada rasa tidak ajeg yang muncul. Seperti apa ya, kami nanti?

Bulan lalu saya bekerja bersama anak-anak yang sudah hampir kelas 3. Mereka tenang, matang, dan sangat sibuk. Minggu depan saya akan bertemu anak-anak yang baru naik kelas 2. Biasanya mereka sangat senang tapi gugup. Mereka penuh ingin tahu dan masih menduga-duga bagaimana saya akan menjadi guru mereka. Biasanya mereka masih bergulat dengan kelancaran membaca dan menulis. They are young and playful.

Kelas saya tahun ini punya karakteristik yang amat berbeda dari kelas yang lalu. Tahun lalu saya punya murid-murid yang manis dan sangat suportif. Tahun ini saya akan memiliki 10 anak yang kompetitif, penuh rasa ingin tahu, ekstrim, dan punya banyak energi.

Saya sangat bersemangat sekarang ini. Juga khawatir tidak sempat mempersiapkan semuanya tepat pada waktunya.

Saya tidak sabar menunggu hari pertama!

Tuesday, July 05, 2005

Dengan Hati

Salah satu teman diskusi saya yang terbaik adalah ayah saya. Darinya saya belajar banyak tentang hidup dan bekerja. Kami sering berbeda pendapat, tapi beliau adalah salah satu orang yang bisa menerima kalau kami berbeda pendapat.

Pembicaraan yang sering mengalir di antara kami adalah obrolan tentang pengalamannya menjadi orang tua. Menjadi orang tua juga melalui proses belajar, katanya. Karena tidak ada yang pernah menjadi orang tua sebelumnya. Acara ngobrol-ngobrol tentang topik ini makin menghangat sejak saya kuliah di fakultas psikologi.

Mungkin kutipan saya tidak persis sama, tapi saya selalu ingat bahwa ayah saya bilang, ia tidak pernah tahu apakah caranya membesarkan kami benar atau tidak. Saya kemudian bertanya, lalu bagaimana dulu papa mengambil keputusan ketika membesarkan kami.

Karena sayang, jawabnya. Saya hanya membayangkan bahwa saya menyayangi kamu, saya tidak ingin menyakiti kamu.

Rasa sayang itu menjadi panduan instinktif baginya untuk menjadi orang tua. Rasa sayang itu membuat saya, adalah seorang manusia juga di hadapannya. Saya bukan properti atau benda milik.

Sekarang saya belum menjadi orang tua. Kelak kalau saya menjadi orang tua, mungkin panduan hati itu yang akan saya gunakan. Bukan buku-buku developmental psychology yang saya punya.

Kalau anda bertanya, mengapa dan bagaimana saya menjadi guru yang seperti ini. Saya hanya ingin menjawab bahwa seringkali saya tidak punya penjelasan scientific atau filosofis dibelakangnya. Saya sudah mulai mencontoh ayah saya, berhubungan dengan orang lain menggunakan hati.

Karena saya sayang sekali pada murid-murid saya.

Sunday, July 03, 2005

Lantas Ke Mana?


There are stars in my eyes, when people started to ask me about what i am doing now. I will, with all my heart, retell the stories of my class, my students, my bare feet in the classroom, my passion, and everything.

Ada beberapa tanggapan yang sering saya terima :

1. Nanti saya boleh titip anak saya ya?
2. Saya ingin sekali-kali berkunjung ke kelasmu.
3. Pasti sekolah mahal.
4. Pasti kamu dibayar mahal.
5. Nanti kalau ujian bagaimana? Status sekolah itu apa?
6. Nanti ke mana mereka melanjutkan sekolahnya?

Saya menjawab
1. Ya, boleh saja.
2. Mungkin suatu waktu (kalau memungkinkan) saya akan mengundangmu ke kelas saya. It is a waiting list, for your information.
3. Ya.... apa boleh buat. Pendidikan memang mahal sekali.
4. Lebih baik dari rekan-rekan saya yang mengajar enam kelas sekaligus di sekolahnya, mereka yang mengajar anak jalanan, KeJar Paket A,B,C,.. dan seterusnya. Tapi jujur, saya malu sama mereka. Beban kerja saya, output kerja saya, tidak ada apa-apanya dibanding mereka. I am a spoiled teacher.
5. Untung sekarang sudah tidak ada ujian SD


Sejujurnya, saya masih belum tahu jawaban nomor enam. Beberapa orang sudah mewanti-wanti saya, bahwa saya terlalu memanjakan murid-murid saya. Menurut mereka saya akan membuat mereka kaget bukan kepalang ketika berada di sekolah pada umumnya, dan membuat mereka tidak bisa survive.

Saya bayangkan mereka akan sangat tertekan dengan guru-guru yang lebih suka bicara daripada mendengarkan, teman-teman yang anti pada anak yang beda sendiri, bangun kelas yang kaku, budaya haus nilai ujian dan rapor, ... selanjutnya bayangkan sekolah anda dulu di Indonesia. Saya pernah amat sangat kaget dengan perubahan semacam itu, dan hasilnya tidak baik untuk diri saya. Luka itu masih menganga dan tidak sembuh-sembuh juga.

Tegakah saya membuat murid-murid saya mengalami itu semua? Tidak. Dan saya lebih tidak tega lagi kalau harus membuat mereka semua mengalami model sekolah seperti yang saya alami dulu. Meski sebentar, saya ingin mereka merasakan senangnya belajar dan sekolah.

Tadi sore saya mendapat pertanyaan nomor 6 itu lagi. Tadi saya menjawab begini, tapi menurut saya kita tetap harus mulai, tante. Kita tidak bisa terus-terusan menjadikan cara sekolah yang non-sense di level selanjutnya sebagai alasan untuk tidak memperbaiki cara sekolah di level dasar. Saya berharap, ketika sudah saatnya mereka sekolah di tingkat menengah, sudah ada sekolah yang mengakomodasi itu. Semoga salah satu teman-teman saya yang lebih tertarik pada pendidikan selanjutnya mau buka sekolah untuk mereka. Saya yakin akan ada. Hanya, saya tidak yakin sekolahnya affordable.

Saya agak malu memang, dengan fakta bahwa saya mengajar di sebuah sekolah yang cukup mahal, dan mau tidak mau jadi terpisah dengan kelompok sosial ekonomi yang lain. Tapi (garuk-garuk kepala) bagaimana ya? Saya cuma pekerja, tidak punya modal, dan tangan saya cuma dua!

Yang saya punya adalah kepala saya dengan ide-ide idealis semau gue, passion ini, ruang kelas itu, anak-anak yang dikirim ke kelas saya itu, fasilitas lengkap yang ternyata bisa saya dapat... inilah yang bisa saya lakukan sekarang. Saya tidak punya hati baja untuk membuka sebuah rumah singgah. Saya tidak punya mulut yang cukup lantang untuk membuat semua pejabat diknas mati kata.

This is the small thing i could do. Lebih baik saya lakukan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan menular ya, ke orang lain yang juga mau melakukan hal ini lebih baik lagi, untuk lebih banyak orang lagi. Diajak juga saya mau..