Friday, December 19, 2008

Hari Terakhir Kuartal 2

Hari terakhir itu seru.

Kelas 5 masih ada presentasi untuk laporan buku yang mereka buat. Habis itu mengerjakan evaluasi diri, tentunya sambil curhat panjang lebar tentang setengah tahun ini. Di luar, kelas 1 piknik sambil makan burger dan minum juice. Di samping mereka, kelas 6 sedang dipanggil satu persatu oleh guru kelasnya untuk membahas isi rapor mereka. Di lantai atas, kelas 3 mengadakan fashion show dan mengundang murid kelas 2. Kelas 4 agak sedih karena tidak diundang.

Sementara itu para guru hiruk pikuk menggembala anak-anak sambil membereskan semua nilai dan komentar.

Dhimas bertanya pada saya, "Will you write this in your blog?"

Tadinya saya bilang tidak ah, sudah pernah.

Tapi tidak jadi deh, ditulis saja.

Anak-anak menanyakan dua teman di kelas 5 yang belum pernah disebut namanya. Mereka minta nama mereka ditulis sebagai Nina dan Anna. Baiklah, anak-anak, all yours.

Nina mengatakan sesuatu yang menarik memang hari ini, "Bu, ibu itu guruku yang dari dulu sampai sekarang selalu sama. Ya begitu dari dulu, sekarang juga seperti itu. "

Perlu waktu bagi saya mencerna kata-katanya, hingga saya sadar, konsistensi ternyata masuk hitungan penilaian.

Berat rasanya, menjadi guru mereka kalau begini. Huhuhu.

Friday, December 12, 2008

Memanjat Pohon

Di sekolah kami adalah sebuah pohon kamboja, kelas memanjat pohon bagi seratusan murid kami.
Saya sit in di salah satu pelajarannya hari ini.

Siang hari, seorang anak TK B naik ke dahan yang cukup tinggi, dan tiba-tiba ia terserang panik karena merasa tak bisa turun. Pak Banyo mengampiri dan membujuknya untuk turun.

"Ayo dicoba dulu, turunkan kakimu ke sini."

Seperti si gadis kecil ini masih merengek ketakutan.

"Iya, percaya saja. Kamu tidak akan jatuh. Pak Banyo ada di sini. Sebelum jatuh pasti ditangkap. Kamu harus mencoba dulu."

"Ayo, Pak Banyo bisa saja menurunkanmu, tapi nanti lain kali kamu tidak tahu bagaimana caranya turun. Coba, yuk. Ini, kakimu letakkan di sini."

Tak lama, ia sudah turun dan sampai dengan selamat di kaki pohon kamboja.

Saya yakin, besok dan lusa ia (juga teman-temannya) tak akan kapok memanjat pohon lagi.

Tuesday, December 09, 2008

Menjelang Evaluasi

Minggu depan sudah evaluasi alias ulangan umum. Tidak aneh dong, kalau minggu ini mendadak semua pelajaran ada kuis (ulangan harian). Beberapa hari lalu Adinda membaca sepotong karton berisi jadwal kuis minggu ini sambil berulang-ulang menggumamkan kata, "Tidaaak!" yang makin lama makin tinggi.

Saya masuk dan memberi usul, "Hari Kamis juga ya, kuis Bahasa Indonesia!"

"Tidaaaaaaaak!"

Memang tidak jadi sih, tapi hari ini tetap kuis IPA. Menjengkelkannya, hanya 30 persen yang bisa dapat di atas 80. Sisanya, hanya tujuhpuluh sekian, atau kurang. Tidak biasa-biasanya.

"My Mom's gonna kill me," keluh salah satunya.

Kenapa cuma segitu?

"Banyak PR Bu!" ada yang mengeluh begitu.

"Di sekolah lain setiap pelajaran ada 1 PR untuk setiap pertemuan. PR dari Bu Tia hanya satu halaman dan itupun boleh ditawar-tawar kapan dikumpulkan."

"He-he, iya sih."

"I know what is 'banyak PR'."

Anak-anak cekikikan.

Agaknya anak-anak kelas 5 masih belum terbiasa bahwa saya jarang bermurah hati memberi soal hafalan yang ditandai dengan kata "anu adalah..." atau "apa yang dimaksud dengan..." Jadi tadi briefing dulu, deh, Bu Tia, langkah-demi langkah mengerjakan soal-soal cerita tentang cahaya dan perubahan wujud benda.

Ya sudah, semua yang kuisnya di bawah 70 harus menyerahkan perbaikan besok pagi, atau nilainya tergantung di langit-langit tidak bisa masuk berkas nilai. Kejam memang. Tapi kalau tidak begitu nanti nilai 26 dan 56 itu hanya dipandangi sambil bersedih hati.

Kalau anak-anak mendapat nilai kuis di bawah batas yang kami tetapkan, saya selalu meminta mereka memperbaiki kesalahannya dengan melihat kembali lembar kerja dan buku mereka.

Tadinya, saya buatkan soal kuis baru, tapi biasanya tidak berguna. Masalah "mengerti"nya belum diperbaiki, mau diberi tugas apa saja hanya akan dipandangi.

Curang dong, nyontek. Tidak. Saya perhatikan bahwa anak-anak yang salah menjawab atau tidak bisa menjawab umumnya tidak tahu di mana letak informasi yang mereka butuhkan itu dalam catatan dan lembar kerja mereka. Jadi, kalau disuruh melihat lagi, mereka juga harus berlatih mencari.

Kalau tidak bisa juga? Hm, ini juga terjadi, kadang-kadang. Maka saya atau guru lain akan duduk di samping mereka dan mencari dan menyusun jawabannnya bersama-sama memakai bahan-bahan yang seharusnya mereka pakai. Nah, ketahuan kan, kurang pahamnya di mana, atau tidak telitinya di mana, atau salah strategi belajarnya bagaimana.

Benar-benar belajar dari kesalahan. :)

Saturday, December 06, 2008

Sudut Pandang

Kami sedang menonton film tentang anak-anak yang dijadikan tentara. Protes-protes mulai bermunculan. Mengapa gereja diserang? Itu kan, rumah ibadah. Mengapa anak-anak diambil di sekolah? Itu kan sekolah, Bu.

Riri : Jadi, sebenarnya siapa yang salah, Bu? Tentaranya atau gerilyawannya.
Dhiadri : Perang itu bukan tentang benar dan salah, tapi tentang menang dan kalah.
Bu Tia : *manggut-manggut saja*.



Kami sedang berusaha membuat periskop sendiri. Agak susah juga membuat ukuran yang tepat. Dhimas sudah selesai lebih dulu, dan berjalan keliling kelas dengan periskop jingga di depan matanya. "Hei, seperti ini rasanya jadi tinggi!"

Kami tertawa jadinya. Dhimas memang mungil, tapi ia masih 10 tahun. Lihat saja, tiga empat tahun lagi, pasti melesat tinggi.


Meski bukan hal baru, tawaran sudut pandang baru mereka di keseharian kami sering memicu saya untuk out of the box.

Kemarin saya dan teman-teman duduk bersama dan mengeluhkan anak-anak yang tak mau bekerja kalau tidak ditunggui dan terus ditanya, "Ayo, nak, kerjakan." "Ayo, selesaikan." "Ayo, jangan bengong dulu. "Ayo, bagaimana ya caranya?"

Sebenarnya mereka tidak bodoh. Kami tahu, karena kami duduk di samping mereka sebenarnya hanya bilang ayo-ayo saja. Keluhan dan harapan bahwa anak-anak ini lebih mandiri terus bermunculan di laporan hasil belajar mereka.

Pembicaraan kami memanjang sampai ke keadaan di rumah-rumah mereka. Terkadang miris saya mendengarnya. Beberapa saja anak yang beruntung dengan perhatian penuh orang tuanya, dan berkesempatan membicarakan apa saja dengan bapak ibunya, atau setidaknya ditemani dan dipeluk sepuluh menit saja setiap hari.

"Mungkin," kata saya, "Anak-anak memang perlu kita temani. Capek memang. Bosan kadang-kadang. Kita juga tahu mereka bukannya tidak bisa, tapi minta ditemani saja. Mungkin, hanya saat kita temani itu, mereka dapat perhatian satu lawan satu seperti apa yang mereka butuhkan. Jadi berikan saja. "