Monday, April 27, 2009

My Comfort Zone

Teaching is always be my passion. Saya masih harus banyak belajar, pengalaman mengajar 3 tahun itu bukan apa-apa. Saya harus mengakui bahwa tahun ini saya bukan guru yang baik. Saya tidak mengajar dan memperhatikan anak-anak dengan baik. Entahlah, pikiran saya terbang bercabang-cabang. Saya punya sifat buruk ingin melakukan semua hal sekaligus, dan kadang-kadang, eh, seringkali... kenyataannya tidak bisa seperti itu.

Sekarang, saya harus berpikir lebih panjang. Melihat lebih luas. Menimbang lebih banyak. Saya benci memilih dan dan berpikir jika saya memilih untuk mengajar, saya mengambil pilihan egois.

Sekarang, saya harus sadar bahwa saat ini mengajar adalah zona nyaman, dan tidak apa-apa, tia, menarik diri sebentar dari zona nyaman. Kalau tidak, tak akan pernah naik kelas, bukan?

Tuesday, April 21, 2009

Tidak Siap

Kalau anda sedang memilih nama untuk calon anak anda, coba pikirkan sekali lagi baik-baik. Apalagi kalau atas nama keunikan, anda memilih jalur "sulit dieja".

Sistem pendidikan kita belum siap menerimanya. Mereka tidak bisa mengetikkan nama dengan benar ke dalam daftar nama peserta ujian, misalnya.

Saya tidak yakin sih, dalam 12 - 18 tahun ke depan, sistem pendidikan kita akan siap mengakomodasi nama anak yang unik dan sulit disebut. Yang gampang disebut saja salah ketik.

Asal tahu ya, memperbaiki nama di daftar ujian, ijazah, kartu-kartu lainnya itu benar-benar menguras... emosi. Jauh, lagi.

Oh ya, belum tentu benar lho.

Think about it twice.

Sunday, April 12, 2009

Berenang Melawan Arus



Membuat keputusan atas beberapa pilihan tidak pernah sederhana. Menjelang ujian, beberapa murid saya dan keluarganya mulai mengerucutkan pilihan dan menimbang-nimbang keputusan.

Bimbang tentu saja, mendengar banyak saran dan masukan dari seluruh penjuru mata angin. Mana yang harus dipilih, mana yang terbaik. Terbaik untuk siapa? Saya, dia, kami, atau mereka?

Beberapa malam lalu saya dan salah satu ibu murid saya saling berkirim sms. Anaknya cukup beruntung punya beberapa pilihan untuk melanjutkan sekolah. Mereka masih bimbang memutuskan, sekolah mana yang terbaik.
Saya tak bisa banyak membantu. Saya tahu, si anak mungkin akan lebih senang di sekolah A. Tapi, saya juga tahu bahwa sekolah B mungkin menawarkan lebih banyak kesempatan saat mereka harus memilih lagi tiga tahun ke depan.

Sang ibu menjawab sms saya, " Jika anak saya memilih A, maka kami pun harus siap melawan arus pendapat umum seperti saat kami memilih SD ini."

Jawabannya membuat saya termangu.

Saya sedang berada di sebuah awal perjalanan melawan arus. Pilihan saya (kami) melawan gelombang besar pandangan umum. Tentu tidak mudah untuk berdiri tegak. Capek rasanya menjelaskan alasan berkali-kali, pun belum tentu dimengerti.

Saya mencoba membayangkan apa yang dirasakan keluarga ini sekarang. Enam tahun lalu berenang melawan arus, dan kini, semoga, mereka sudah bisa tersenyum lega dan bangga. Tak perlu lagi menjelaskan mengapa saya berjalan ke sini dan bukan ke sana seperti kalian semua.

Barangkali saya pun perlu berterima kasih pada pilihan berani keluarga-keluarga yang mengirim anaknya ke sekolah kami. Pilihan mereka juga turut mengubah hidup saya. Menyaksikan anak-anak ini berkembang barangkali serupa dengan akhirnya melihat matahari terbit di puncak gunung. Setelah lelah mendaki, nyaris mati barangkali, berpikir untuk berhenti, dan kemudian semua luluh begitu saja.

Keindahan yang tinggal. Kagum, dan merasa kecil.

Sulit dan beresiko tinggi bukan alasan untuk mencoret sebuah pilihan dari hidup kita. Aneh dan tidak umum juga bukan alasanuntuk berkata tidak. Arus yang deras, jalan yang menanjak, sulit dan repot, itu hanya ujian untuk keteguhan hati, untuk sampai di tujuan.

Let us be the last to smile.

Wednesday, April 08, 2009

Moral Cerita

Di awal kuartal, saat menyusun silabus Bahasa Indonesia untuk kelas 5, ibu guru kelas 6 mengingatkan agar saya memasukkan lagi materi tentang memahami amanat cerita. Konon dalam analisis hasil UASBN Bahasa Indonesia, soal mengenai amanat cerita paling rendah poin perolehannya (Padahal menurut saya, soalnya saja yang tidak bisa membedakan mana amanat cerita dan mana ringkasan cerita. Ini terbukti dalam try out nasional kemarin)

Jadi, kemarin saya meminta anak-anak melengkapi sebuah dongeng dengan tanda baca yang tepat. Dongeng ini dongeng Afrika. Ceritanya tentang seeorang perempuan yang ingin diterima oleh anak tirinya. Perempuan ini sudah berlaku penuh kasih sayang, tapi anak laki-lakinya tetap saja tidak menyukainya. Si perempuan minta tolong "orang bijak" untuk membuatkan ramuan agar si anak bisa menyayanginya seperti ia sayang pada anaknya. Si orang bijak menyuruh perempuan ini mencari tiga helai cambang macan. Meski awalnya kebingungan, si perempuan memutuskan untuk mendekati macan setiap hari dengan makanan. Lama kelamaan si perempuan bisa berada di dekat si macan tanpa si macan merasa terancam.
Tiga helai cambang dibawa ke orang bijak. Orang bijak menolak. Kalau mendekati macan yang buas saja, ia berhasil, tentu ia bisa juga mendekati anak laki-lakinya perlahan-lahan.

Dhiadri senang membaca akhir ceritanya.

Saya bertanya pada anak-anak. Jadi, pesan apa yang bisa kita dapat dari cerita itu?

Anak-anak terdiam.

Satu tangan teracung ke atas. "Kalau mau menaklukkan anak-anak kita harus menaklukkan binatang buas dulu."

Adinda ikut angkat tangan. "Oh! Aku tahu! Sebaiknya kita tidak menikah dengan pria yang sudah punya anak."


Jadi, moral cerita dari pelajaran ini adalah....