Tuesday, March 27, 2007

Jangan Gampang Percaya

Anak-anak di sekolah sedang senang game console baru keluaran N. Banyak yang sampai termimpi-mimpi, tampaknya.

Bintang, belajar sesuatu yang penting dari game console ini. Jangan percaya begitu saja dengan otoritas. Kalau bisa, carilah sumber informasi sebanyak-banyaknya agar bisa membedakan mana yang benar dan tidak.

Saat istirahat ia bercerita pada saya,

Bu, bu... sekarang sudah banyak lho yang punya NDS itu. Aku kan juga kepingin, jadi aku tanya sama ayah, "Yah, NDS itu harganya berapa sih?" Kata ayahku, harganya 20 juta. Kan mahal banget ya Bu.

Meskipun mahal, Bintang tidak merasa putus asa tanpa daya. Ia tahu ia punya kemampuan mengakses informasi dari sumber lain yang mungkin bisa memberi data lebih akurat.

Suatu kali aku pergi sama ayah ibuku ke tempat elektronik-elektronik itu. Lalu aku tanya sama mbak-mbak yang jualan. "Mbak, Mbak, NDS seperti ini harganya berapa sih?" Tahu nggak bu, mbak-nya bilang, "Harganya 900 ribu-an" . Haaa... aku kaget banget. Jadi aku ceritain sama ayah. Salah satu dari mereka bohong, ibu tahu kan, yang mana?

Anda juga tahu, kan?

Saya rasa kita sendiri juga sudah cukup umur untuk tidak mudah percaya pada katanya si anu. Meskipun si anu itu dihormati sejuta umat.

Monday, March 26, 2007

Kunjungan Singkat

Hari ini saya kebagian menggantikan Guru Kelas 3 untuk dua jam pelajaran. Kegiatan titipannya? Menulis!

Senang sekali bertemu mereka lagi. Tetap senang melihat tujuh anak sudah duduk di mejanya dengan tenang, sementara Dhimas masih belum selesai bermain peran jadi angin tornado ke seluruh penjuru kelas. Anak-anak juga ikut senyum-senyum waktu saya memandangi Dhimas tak henti-henti sampai dia bertanya - seperti biasa - "What?"

Karena bertemu baru sekali (setelah sekian lama) saya belum bisa marah. Saya cuma cengar-cengir. Sekali saya harus memindahkan kotak pensilnya ke meja guru karena ia asyik membuat film dengan alat tulisnya. Beberapa kali saya bertanya, barangkali ia ingin pindah ke sebelah saya.

Tak ada lagi yang perlu ditemani menulis. Semua khusyuk menulis cerita karangan mereka masing-masing, bahkan seperti Dhimas, ia menggambar komik di satu kertas dan menulis ceritanya di kertas yang lain.

Ya, saya bisa melihat mereka makin besar "Ya iyalah bu... nggak ditemani lagi, sekarang kan sudah kelas tigaaaa...", tapi juga masih konyol seperti anak seusia mereka.

Adinda : (memegang krayon warna biru dan ungu) Yang mana yang warna marun bu?
Saya : ????

Saya : Apa yang akan kamu lakukan seandainya kamu punya sayap?
Dhimas : I will fly non stop to America, of course.

Saya juga senang melihat wajah berseri tapi tersipu-sipu-nya Thalia saat saya memuji tulisannya bagus sekali. Betul lho Bu Andin, cerita karangan Thalia sempat membuat saya berdebar-debar ingin tahu kelanjutannya.

Senang ketemu kalian lagi, nak.

Tuesday, March 20, 2007

Menghapus Perbedaan

Hari ini saya membaca artikel yang ditulis anak-anak sebuah sekolah dasar islam. Mereka menulis tentang seragam dan headlinenya berjudul "Seragam Menghapus Perbedaan".

Saya langsung teringat salah satu unit pelajaran yang sedang saya siapkan. Judulnya toleransi. Kegiatan-kegiatan yang saya susun mengajak anak-anak melihat berbagai hal yang sama dan berbeda pada dirinya dan teman-temannya. Kegiatan-kegiatan itu memuat satu tujuan, memahami bahwa berbeda itu tidak apa-apa.

Anak-anak itu menulis sebuah anggapan yang saya ingat betul pernah didoktrinasikan guru-guru saya sekitar tahun delapan puluhan. Seragam membuat anak-anak yang miskin tetap terlihat sama dengan yang kaya. Tidak ada kecemburuan sosial. Oleh karena itu seragam diseragam-seragamkan sampai sepatu dan kaos kaki. Sayangnya, tas dan aneka kotak pensil tidak bisa diseragamkan. Cerita tentang liburan juga tak bisa diseragamkan.

Di sekolah tempat saya mengajar anak-anak tidak menggunakan seragam. Semua anak memakai apa yang mereka suka dan mereka anggap nyaman untuk berkegiatan. Ada anak-anak yang sejak kecil sudah menunjukkan cita rasa berpakaian dengan aneka eksprerimen atau keharusan menggunakan warna yang sama dari atas sampai bawah. Ada juga yang tak peduli dan cukup bahagia dengan aneka t-shirt dan celana jeans. Ada yang saling mencela? Tidak.

Saya ingat betul dua tahun lalu gadis-gadis kecil di kelas saya ingin janjian memakai rok tertentu. Hal pertama yang mereka lakukan sebelum memutuskan Hari H janjian itu, mereka bertanya pada salah seorang teman yang "kurang mampu", apakah ia punya jenis rok yang ingin mereka kenakan. Si teman menjawab tidak. Maka kumpulan gadis kecil itu berunding ulang, pakaian apa yang bisa mereka kenakan bersama-sama agar si teman "kurang mampu" bisa ikut serta.

Saya bangga sekali pada mereka.

Sejak itu saya berpendapat, prejudice tentang kelas sosial sebenarnya diajarkan orang dewasa.

Di dalam artikel yang saya baca tadi, anak-anak itu menuliskan beberapa saran untuk merawat pakaian seragam agar tetap bagus dan tidak mendadak jadi gombal.

Salah satunya, mereka menganjurkan anak-anak agar tidak bermain lari-larian waktu istirahat, melainkan makan lantas ke perpustakaan.

Wah, saya ingat lagi guru SD saya dulu. Ia marah sekali kalau anak laki-laki masuk kelas berkeringat. Semua disuruh tunggu di luar kelas sampai mereka kering. Sebaliknya saya justru membiarkan anak-anak di kelas saya berlarian jungkir balik saat istirahat tiba, sampai mereka tampak habis main di sungai. Kalau berkeringat, saya minta mereka ganti baju.

Anak-anak perlu bergerak supaya sehat. Anak-anak perlu berteriak-teriak untuk melepaskan ketegangan di dalam kelas. Anak-anak perlu keseimbangan antara tenang dan riuh, diam dan gerak. Anak-anak biar menjadi anak-anak. Tidak perlu menjaga citra dengan duduk manis diam-diam.

Saya kok agak ngeri kalau anak-anak yang pada dasarnya suka bermain lantas punya anggapan bermain itu dosa demi pakaian bersih. Kenapa mereka tidak dipakaikan pakaian tua saja supaya bisa main sampai jelek?

Di bagian lain artikel itu, mereka menceritakan pengalaman mereka menulis untuk media massa. Para penulis adalah perempuan. Mana anak laki-lakinya, tanya redaksi. Anak-anak itu menjawab, oh, anak laki-laki bagusnya di matematika. Lagipula tulisan tangan mereka jelek.

Saya terdiam lagi.

Anak-anak usia 10 tahunan ini sudah punya nilai bahwa perbedaan itu buruk dan harus dihapuskan atau tidak diperlihatkan. Mereka juga sudah punya nilai bahwa anak perempuan tidak bisa berpikir logis, bisanya cerewet dan rapi jali seperti bibi titi teliti.

Pikiran saya tidak bisa tidak beralih ke kelas saya. Oh baguslah, tulisan Tara bagus dan isinya menarik. Putri juga mengalami kemajuan luar biasa dalam bermatematika dan menggunakan komputer. Seingat saya semua anak suka main lari-larian, main sepak bola (laki-laki dan perempuan) maupun bermain drama keluarga-keluargaan.

Saya akan kembali pada unit pelajaran tentang toleransi itu, sampai besok ya.

Monday, March 19, 2007

Refleksi

Setiap minggu terakhir sebelum kuartal berakhir adalah minggu evaluasi. Dulu, waktu saya masih sekolah saya mengenalnya dengan ulangan (umum). Di sekolah kami, anak-anak kelas 1 dan 2 belum mengalami ulangan umum itu. Anak-anak kelas 3 keatas yang ber-ulangan umum.

Murid-murid saya bersemangat menghadapi evaluasi. Pasalnya sederhana, separuh evaluasi memang merupakan soal-soal ulangan tertulis. Separuhnya lagi adalah Cerdas Cermat plus adu lari. Yang menang dapat medali. Tara yang biasanya sangat santai, kali ini begitu menggebu-gebu menyelesaikan semua soal secepat yang ia bisa. Medina berusaha keras supaya tidak sakit. Ia tidak mau kehilangan kesempatan main cerdas cermat.

Sargie juga mengaku belajar IPS habis-habisan setelah gagal mendapatkan medali emas di nomor PLKJ tentang nutrisi. She was doing good meskipun tidak dapat medali emas.

Jumat pagi, ayahnya bertanya, " Kamu sudah belajar belum untuk evaluasi hari ini?"
"Belum," jawab Sargie santai.
"Memangnya evaluasi apa hari ini?"
"Evaluasi diri."

Sargie menceritakan percakapan di mobil pagi itu pada saya. Buat saya percakapan itu lucu. Pernahkah terbayang oleh anda di tengah-tengah ulangan umum yang seringkali mencemaskan itu ada yang namanya evaluasi diri?

Saya dan guru-guru lain menjadian evaluasi diri sebagai acara rutin tiap kuartal. Anak-anak selalu kami ajak bicara tentang apa yang sudah mereka capai dan apa yang ingin mereka capai di kuartal mendatang. Terlalu mengerikan? Tidak juga. Anak-anak cepat menjawab, wah bu, sekarang aku sudah bisa menulis sambung, matematikaku sering dapat A+, aku baru tahu kalau huruf braille itu bentuknya titik-titik, aku pikir seperti huruf biasa saja tapi bisa diraba, kuartal ini aku sudah tidak nangis lagi di sekolah.

Anak-anak juga selalu kami minta untuk mengisi sebuah lembar berisi beberapa pernyataan tentang dirinya seperti apakah mereka suka bertanya, pandai berkomunikasi, berani mengambil resiko, dan berpengetahuan luas. Anak-anak mengisi kotak di samping tiap pernyataan dengan wajah tersenyum jika pernyataan itu sesuai dengan dirinya, dan menggambar wajah cemberut kalau tidak sesuai dengan dirinya.

Anak-anak yang sudah lancar menulis biasanya akan diminta untuk menulis komentar mengapa ia memilih wajah tersenyum atau cemberut. Oh ya, anak-anak juga suka memodifikasi dengan menggambar senyum datar (berarti kadang-kadang sesuai, kadang-kadang tidak sesuai), tertawa lebar (iya, ini aku banget), atau menangis tersedu-sedu (aku tidak begitu sama sekali).

Saya sudah tahu bahwa memulai kegiatan seperti ini tidak bisa asal memberi kertas. Harus penuh persiapan, dan terutama membuat mereka memiliki suasana hati yang baik.

Ini waktunya kamu melihat ke dalam dirimu sendiri, begitu saya kadang-kadang memulai.

Sargie berkomentar, "Lah, bu, bagaimana bisa? mataku kan di sini?"

Bintang menyambut dengan menenggelamkan wajahnya ke balik bajunya. 'Lihat ke sini maksudnya bu?"

Hehe. Dari beberapa kali kesempatan mengisi lembar evaluasi diri, saya bisa melihat mereka berkembang. Mereka makin terampil menulis jawaban-jawaban mereka dalam kalimat-kalimat ekspresif yang khas.

Ini jawaban-jawaban yang saya ingat dari mereka.


Tentang bertanya, berpikir, menyelidik, dan mencari tahu.

Ya, aku suka bertanya. Aku sering bertanya pada orangtuaku dan mereka selalu mau menjawab.

Ya, aku sering sekali bertanya. Kadang-kadang pertanyaanku membingungkan orang.

Tidak, aku tidak suka bertanya. Aku sudah tahu semuanya.

Aku suka berpikir. Tapi kalau berpikir terus menerus kadang-kadang aku bosan.

Aku bisa mengambil keputusan dan memecahkan masalah. Kadang-kadang aku membantu orang lain memecahkan masalah.

Aku suka mencari tahu dengan membaca hal-hal yang aku belum tahu. Aku juga suka menyelidiki orang-orang.

Tentang berkomunikasi

Tidak. Aku tidak cocok dengan komunikasi. Aku bicaranya kurang jelas.

Aku tidak terlalu sering mendengarkan orang lain. Untungnya orang lain mengerti kalau aku bicara.

Aku suka mendengarkan orang lain. Dari mendengarkan aku belajar banyak hal.


Tentang mengambil resiko

Aku berani mengambil resiko.Contohnya aku pernah takut meluncur di kolam renang, tapi aku coba saja dan ternyata tidak apa-apa.

Aku berani mengambil resiko. Aku berani mencoba makanan baru yang aku belum tahu rasanya.

Aku tidak terlalu berani. Kadang-kadang aku takut salah.


Tentang berpengetahuan luas

Aku tidak terlalu, soalnya aku jarang membaca buku.

Aku tahu banyak hal. Kalau anda tanya, nanti aku kasih tahu.

Aku ada yang tahu ada juga yang tidak tahu. Kalau aku tidak tahu aku tanya saja.


Menariknya, saya sering mengamati jawaban anak-anak dan korelasinya dengan performa mereka di kelas. Memang tidak pernah dihitung-hitung secara kuantitatif, tapi saya sering menemukan bahwa anak-anak yang memiliki penilaian positif tentang dirinya memang menunjukkan prestasi belajar yang sesuai dengan potensi mereka. Anak-anak yang memiliki penilaian negatif tentang dirinya, seringkali adalah anak-anak yang membuat saya gemas karena menganggap prestasi belajar mereka bisa lebih baik lagi jika melihat potensi yang mereka punya.

Cukup mengejutkan buat saya melihat anak-anak bisa menilai dirinya sendiri dengan ketepatan seperti itu. Jarang saya melihat anak-anak yang faking good dan mengisi semua kolom dengan senyum lebar. Lebih-lebih sebaliknya.

Saya ingin sekali suatu hari nanti menjajarkan lembar evaluasi diri mereka sejak kelas 1 sampai kelas 6. Apa yang akan saya lihat, ya?

Tuesday, March 13, 2007

Kompetisi

Seperti biasa tiap pagi kelas saya hiruk pikuk. Sebagian anak-anak sedang menulis agenda untuk esok hari, sementara teman-teman lain sudah jumpalitan kian kemari

Maira : HEIII.... lihat nih. Puisinya Sekar dimuat lho di koran anak. Tiga-tiganya lagi.
Bintang : Mana lihat?
Semua langsung mengerumuni mereka.
Medina : Bagus ya Bu, semuanya bersajak.
Putri : Aduh, kalau gini caranya aku harus nulis dong.


ITU yang saya mau. Memang ITU yang saya tuju. Sekali waktu saya dan teman saya memikirkan ini, memberi anak-anak pengalaman dan kesan menyenangkan tentang menulis. Saya benar-benar senang mendengar komentar spontan Putri. Ekspresinya saat mengatakan "aku harus menulis" membuat saya geli.

Saya : Tulislah, Putri. Apa saja yang kamu suka. Ingat poster orangutanmu dulu? Kamu bisa buat lagi. Cari tahu tentang sesuatu yang kamu suka, lalu tulis saja. Nanti kita perbaiki sama-sama.

Putri mengangguk-angguk saja. Saya tidak tahu, mungkin sekarang proyek menulisnya sudah dimulai.

Monday, March 05, 2007

Bebek Yang Gila-Gilaan

Sambil mengeluarkan makan siangnya, Dewa berseru gembira, "Ibuuu... hari ini aku bawa bebeeek!"

Maksudnya ia membawa bebek goreng.

"Habiskan ya!" saya menjawab dengan pesan standar.

"Iya, Bu. Aku suka bebek. Aku gila-gilaan bebek."

Ini sudah yang keduakalinya Dewa gila-gilaan. Sambil senyum-senyum saya menjawab, "Maksudmu tergila-gila, Dewa?"

"Iyaaaa.... gila-gilaan Bu!"

"Ibu, bebeknya tanpa tulang, lho."

"Ibu, bebek apa ya yang tidak ada tulangnya?"

"Oh, itu bebek biasa, Dewa. Tapi bebeknya dimasak dengan cara khusus supaya semua tulangnya menjadi lunak. Kamu bisa memakan semua bagian bebek itu termasuk tulangnya. "

"Ya, kata ibuku bebeknya bebek tulang lunak."

Rai yang sudah selesai makan dan akan memulai mengerjakan puzzle alat pencernaannya, membisiki saya, "Atau Bu... itu bebeknya habis dililit ular piton."

Untunglah, meski saya takut dan jijik sama ular, saya masih ingat kalau ular piton tidak berbisa tapi melilit mangsanya sampai remuk. Jadi saya bisa menertawakan kelakar Rai.

Sunday, March 04, 2007

Proses Pencernaan

Sudah sebulan lamanya anak-anak selalu mengomentari makanan yang mereka bawa saat makan pagi dan siang.

Bu, lihat aku bawa mie! Ini mengandung karbohidrat kan?
Bu, aku bawa buah hari ini! Kira-kira buah anggur vitaminnya apa ya?
Bu, sosis itu mengandung protein bukan?
Buuuu.... si anu bawa cokelat lagi! Kan nggak boleh sering-sering. Itu kan banyak gula dan lemaknya!

Di hari yang lain, setelah koran anak membahas tentang cokelat dan

Katanya makan cokelat itu menghindari serangan jantung lho, Bu.

Sebagai penutup tema nutrisi, saya mengajak anak-anak melihat gambar-gambar alat pencernaan sambil (ceritanya) membaca buku. Acara membaca buku kurang sukses karena anak-anak bertanya terus.

Coba kita bayangkan, setelah makanan masuk mulut (saya pura-pura memasukkan makanan ke dalam mulut dan pura-pura mengunyah) apa yang terjadi?

Makanan dikunyah, bu!

Apa yang mengunyah makananmu?

Lidah!

Saya memandangnya penuh tanda tanya.

Eh, maksudku gigi!

Setelah makanan dikunyah gigi, makanan jadi lebih lembut dan masuk ke dalam tempat ini. Tempat yang seperti tas dan bisa memanjang. Saya menunjukkan gambar lambung. Namanya lambung. Di dalam lambung, makananmu dihancurkan lagi sampai halus seperti bubur.

Caranya bagaimana?

Lambungnya bisa bergerak meremas. Juga dibantu cairan-cairan yang asam. Namanya enzim.

Kok tahu bu kalau cairannya asam?

Memang anak-anak tak ada matinya kalau bicara tentang tubuh sendiri. Mereka sungguh ingin tahu semuanya.

Bu, apa bedanya syaraf dan pembuluh darah?

Ujung-ujung syarafmu ada di pancaindera. Ia mengirim pesan tentang apa yang kamu lihat, dengar, dan rasakan ke otak. Nanti otak akan mengirim perintah kali ke tubuhmu, apa yang harus dilakukan tubuhmu. Darah di pembuluh darah mengirim oksigen dan makanan ke setiap anggota tubuh agar semua bisa bekerja.

Jadi darah itu seperti tukang pos?

Kurang lebih begitu.

Kalau syaraf itu seperti alat komunikasi?

Hehehe, sepertinya. Boleh saja kalau kamu ingin mengingatnya begitu.


Seperti biasa, kalau sedang seru, waktu seperti berlari-lari. Waktu makan siang tiba dan saya membubarkan anak-anak untuk cuci tangan lalu makan.

Mereka bertanya, "Sudah, cuma ini saja? Kita tidak perlu membuat lembar kerja?"

Saya. "Nanti setelah makan. Bu Tia punya puzzle untuk dikerjakan."

"Kok tidak tadi saja, Bu?"

"Habis kalian tanya melulu sampai waktunya habis."

Medina menyahut, "Lho, aku kan cuma ingin tahu."

Hihihihi....

Friday, March 02, 2007

Serba Serbi

#Sekar sedang senang-senangnya membuat puisi. Hari ini ia membuat dua puisi tentang Burung Kutilang (yang SANGAT BAGUS) dan Kupu-Kupu. Semua pekerjaannya selesai lebih awal, jadi ia mondari mandir menyalin ulang puisi-puisinya dan memberi ilustrasi di sana-sini. Saya selalu memintanya membacakan puisi-puisi itu keras-keras di depan teman-temannya.

#Anak-anak sedang pusing dengan matematika. Mereka sedang belajar operasi hitung campuran dengan bilangan tiga digit. Misalnya 345 + 267 = SEGINI. Atau soal variasinya seperti 123 + BERAPA = 555. Mendadak anak-anak jadi pelupa dan tampang mereka sangat memelas waktu pelajaran matematika. Kalau biasanya anak-anak bersemangat mencari nilai A+ , sekarang mereka sudah bahagia kalau lembar kerjanya selesai tepat sebelum bermain.

#Mereka mengubah jalan penghubung antara TK dan SD menjadi sesuatu bernama terowongan casablanca. Penyebabnya adalah acara pembongkaran gedung sebelah yang mengakibatkan puing-puing ikut nyasar ke jalan penghubung itu. Sebagai bagian dari upaya melindungi atap (saya lupa apa nama bahan lembaran yang transparan itu), beberapa tripleks dipasang. Jalan penghubung menjadi agak gelap. Sepanjang siang ini anak-anak perempuan di kelas saya mondar-mandir di antara jalan penghubung hingga kelas 2 sambil menjerit-jerit sok ketakutan.

#Hasil audisi untuk konser sudah diumumkan. Tadi, di depan seluruh sekolah nama mereka dipanggil satu persatu. Tentu saja semua guru sudah memberi pengantar mental di kelas masing-masing agar anak-anak berbesar hati dengan hasilnya. Saya selalu bilang setiap anak istimewa dalam hal-hal berbeda dan punya kesempatan berbeda untuk menunjukkannya. Enam belas anak terpilih dalam audisi, lima diantaranya dari kelas saya. Enam belas anak itu bereaksi seperti finalis American Idol, berteriak dan peluk-pelukan. Lucu sekali. Setelah acara usai saya bertanya pada Dewa sambil bercanda, "Bagaimana, kamu terpilih tidak?'
Dewa menjawab, "Tidak. Tapi yang penting aku sudah berusaha."
Saya jadi tertawa, "Hebat kok, nak..."

Ada hiruk pikuk apa lagi ya?

Thursday, March 01, 2007

Puisi Kecil

Kemarin, Sekar mengisi jurnalnya dengan sebuah puisi. Saya menyukai puisinya dan bertanya apakah Sekar mengijinkan kalau saya berbagi puisi ini dengan teman-teman saya?

Sekar tidak keberatan. Ia juga menyukai puisinya dan sudah membuat dua salinan untuk dipajang di kelas.

Pelangi

Pelangi, pelangi
Datang saat aku pergi
Datang saat ibuku pergi
Saat semuanya pergi
Aku di sini sendiri
Bersama pelangi.

(N. Sekar A.)