Sunday, August 31, 2008

Kembali ke Sekolah (kami) *

Hampir jam dua pagi, dan jalanan kosong.

Dia : Senang rasanya kembali lagi ke tempat itu.

Saya : Ya.

Semua diam. Saya berpikir tentang segala hal yang sudah berubah di tempat itu selama sepuluh tahun terakhir. Saya berpikir tentang bagaimana tempat itu telah mengubah hidup saya (kami) sepuluh tahun terakhir.

Dia : Suatu hari nanti, suatu hari, nggak tahu kapan, kita harus kembali ke sana. Untuk mengajar, maksudku.

Saya : Ya. Ayo.

Semua diam lagi. Di dalam kepala terlintas pendidikan saya dan intervensi sosialnya. Di hati saya mengalir ucapan terima kasih. Di telinga saya terngiang lagu yang ternyata diam-diam sering saya gumamkan waktu sendirian menyetir berangkat ke tempat bekerja.

...satu rasa persaudaraan
satu dalam berkarya
membangun jiwa yang luhur
berbakti bagi sesama...



PS; Selamat untuk teman-teman yang baru wisuda, dan sudah bertambah 'S' nya.
Selamat berbagi dengan sekitarmu...


*kali ini postingnya personal. Maklum blognya cuma satu.

Thursday, August 28, 2008

Mengajar Sehari

Tahun ajaran ini saya hanya mengajar 8 jam seminggu, maka baru terasa bahwa saya benar-benar suka berada di kelas. Lupa semuanya, lupa panik, lupa stress, lupa kalau sedang tidak enak badan.

Hari ini saya seharian mengajar di kelas 5. Datang dengan berbagai perbekalan, saya masuk ke kelas yang sunyi sepi. Anak-anak cuma menggumam, 'Hai, Bu' nyaris tanpa menatap saya. Berjingkat-jingkat saya menghampiri meja guru dan berbisik pada guru kelas 5, "Mereka sedang apa, sih?"

"Meneruskan komik yang kemarin..."

Barulah saya ingat. Selasa lalu saya mengajak anak-anak membuat komik dari cerita rakyat Macan Kemayoran dalam pelajaran PLKJ mereka. Kebetulan (eh, disengaja) nyambung dengan bahasan Bahasa Indonesia kami tentang unsur cerita. Selasa itu saya mengajak mereka menyarikan 8 urutan kejadian penting dalam cerita. Anak-anak agak kewalahan karena ceritanya panjang. Hampir 8 halaman. Maka saya mengajak anak-anak memperhatikan peralihan latar tempat dan waktu, lalu mencari peristiwa paling penting di setiap latar tempat dan waktu.

Nah, pekerjaan jadi lebih mudah. Kami juga membuat tabelnya di papan tulis. Latar tempat dan waktu ini nanti akan menjadi bagian dari komik yang mereka gambar. Jadi background-nya tidak asal-asalan. Setelah selesai menyimpulkan garis besar ceritanya, barulah anak-anak membuat komik.

Sambil mulai menggambar, saya mengajak anak-anak mengobrol tentang penokohan Macan Kemayoran. Menurutmu Murtado itu pakaiannya seperti apa ya?

Anak-anak malah keterusan. Kalau perempuan Betawi jaman itu pakai apa, bajunya? Kalau si Bek Lihun ini anak buah kompeni, bajunya masih pakai celana komprang dan kopiah juga? Hmm, tangan-tangan mereka sibuk, mulutnya juga terus bertanya.

Dhiadri ngomong sendiri, "Ah, ini si Mandor Bacan ini aku buat alisnya tegas melengkung ke bawah."

Saya tahu sih, untuk apa, tapi saya ingin teman-teman Dhiadri juga mendengar alasannya. "Mengapa kamu gambar seperti itu?"

"Kalau kugambar biasa saja, jadinya tidak beda dengan Murtado. Kalau alisnya begini (menekuk ke bawah) jadi lebih galak. "

Saat waktu habis, dia pun mengeluh, "I am enjoying this, Bu."

"Nanti kamu bisa lanjutkan lagi, nak, sambil menunggu ekskul mulai."

Itulah asal muasalnya mengapa saja didiamkan saja sepanjang pagi. Dua puluh menit berlalu, dan Ibu Guru Kelas 5 bertanya, "Mau disuruh berhenti?"

Saya menggeleng, biarkan saja. Saya tulis di papan tulis apa saja yang bisa kami kerjakan sepanjang pagi. Maka pagi tadi sebagian anak terus menyelesaikan komik, sebagian lagi melanjutkan cerpennya, dan Adinda mengedit cerpennya bersama saya.

Asyik.

Siangnya kami ke perpustakaan. Membaca dan meminjam buku mingguan. Saat turun kembali ke kelas, saya menoleh ke barisan di belakang saya, ternyata semua jalan sambil baca buku. Hihihi.

Di kelas, kami belajar tentang kata penghubung. Anak-anak saya ajak bermain dengan kartu kata penghubung.Kami tertawa-tawa terus jadinya. Lama-lama anak-anak menantang saya mengeluarkan kalimat-kalimat yang lebih sulit. Setelah lebih dari 10 kalimat yang salah hanya 1-2 orang saja, itupun bergantian, barulah kami beralih ke lembar kerja untuk latihan. Kelas kembali sunyi dan sepi. Semua khusyuk bekerja.

Enak benar ya jadi guru kalau begini.

Sebelum pulang, Musa menutupnya dengan kalimat yang membuat sakit kepala saya seharian ini hilang, "Ibu, Bahasa Indonesia hari ini menyenangkan sekali. I enjoyed it."

Bu Tia juga.

Friday, August 22, 2008

Perlu Diingatkan

Kepada siapa kau mempertanggungjawabkan pekerjaanmu?

Saya pernah berdebat keras tentang pertanyaan itu dengan Alexander The Great. Pasalnya saya marah melihatnya harus melakukan suatu pekerjaan besar tanpa dukungan yang memadai. Saya tidak bisa mengerti mengapa banyak malam harus dikorbankan tanpa tidur untuk urusan yang bahkan tidak dipedulikan si pemilik kerja. Gila, apa. Kayak nggak punya kerjaan aja. Dengan suara tak kalah keras dan ngototnya, ia bertanya, apakah saya akan diam saja kalau tanpa dukungan, saya harus bekerja untuk anak-anak? Murid-murid saya?

Pertanyaan itu membuat saya diam.

Ya, ada kalanya saya masih harus diingatkan kepada siapa saya mendedikasikan apa yang saya kerjakan. Bukan, bukan kepada pencapaian saya. Bukan rasa bangga dan berhasil saya. Bukan uang, dan bukan bos saya.

Berseratus, bertiga, sendirian, atau bahkan tanpa mata atau kaki, saya akan terus mengerjakan apa yang seharusnya saya kerjakan.

Untuk anak-anak.

Masih Agustus

Kira-kira dua bulan terakhir ini sudah tiga orang yang menyuruh saya membaca tentang Tan Malaka. Seorang teman mengirimi buku Tan Malaka dari jauh. Obrolan beberapa malam lalu bersama Alexander The Great tentang Tan Malaka dan anjuran mencari Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO berjudul "Bapak Republik Yang Terlupakan" membuat saya mulai terusik ingin tahunya.

Maklum, sisa-sisa produk lama, kalau ditanya sejarah masih suka bengong. Tapi saya suka membawakan sejarah di kelas, itu artinya saya jadi terpaksa belajar lagi, dan akhirnya malah senang menggoda anak-anak untuk berpikir dan berandai-andai.

Kemarin Bu Andin bercerita tentang bahasan perjanjian Linggarjati dan Renville yang mendapat protes keras dari anak-anak kelas 6. "Kok mau-maunya sih tanda tangan perjanjian yang jelas-jelas merugikan Indonesia. Apa yang dipikirkan Sutan Syahrir waktu itu, sih?"

Dan kemudian mereka menulis panjang lebar tentang apa yang akan mereka lakukan jika mereka Sutan Syahrir. Kecuali Dito, sepertinya semua memilih perang daripada diplomasi yang menurut mereka merugikan.

Saya dan Bu Andin tertawa-tawa saat membahas ini. Bukan, bukan karena jawaban mereka lucu. Tapi karena saat kami menghadapi bahasan yang sama sekian tahun lalu, kami bahkan tidak berpikir untuk bertanya. Apalagi berpikir bahwa pemimpin (di masa lalu) bisa membuat kesalahan dan bisa dibantah atau ditantang pemikirannya. Ini bukan hanya masalah mereka hebat karena kritis dan kami dulu tolol karena hanya mau menghafal.

Seakan dalam kepala mereka kini, semua manusia adalah manusia. Pahlawan atau penjahat bisa benar dan bisa salah. Pada satu titik, ini pemikiran yang mulia. Di ujung yang lain saya mulai ngeri.

Baru tiga halaman membaca Tempo, saya menemukan ini:

".... Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. ... Baginya perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu nonsens. "

(Tempo, 17 Agustus 2008, hal. 25)

Friday, August 15, 2008

Napak Tilas Ke Depan

Di bulan Agustus, "hawa" napak tilas sedang tinggi. Lihatlah di sekitar kita, semua menjadi melankolis mengingat rangkaian peristiwa 63 tahun lalu, atau bahkan lebih jauh lagi. Di koran, saya baru membaca napak tilas Anyer Panarukan.

Saya baru mengobrol dengan teman kecil-menjelang-besar, saya. Ia mengeluh bahwa sekarang sering merasa aneh alias asing dengan dirinya sendiri. Saya bilang padanya, memang begitu adanya saat kita akan berpindah jenjang. Rasanya serba aneh dan kikuk. Sudah, kata saya, terima saja, tidak perlu dipikirkan.

Teman saya menjawab, tapi aneh pun kadang rasanya menyenangkan.

Tawa saya tak terbendung, jadinya. Lalu saya jadi bicara terlalu absurd padanya. Benar, teman, merasa aneh kadang memang perlu. Perasaan anehlah yang membuat kita jadi mencari tahu sebenarnya apa sih kita ini.

Saya makin senyum-senyum karena teman saya bingung dan saya pun jadi napak tilas ke masa-masa aneh saya dulu. Masa-masa tanggung yang serba salah.
Lalu, kata-kata mencari identitas yang sungguh klasik itu jadi muncul lagi. Yes, it was a nonsense sylable words to me. Sekarang pun masih tetap nonsense untuk teman saya, apa lagi yang Bu Tia bicarakan tentang menjadi Mini yang seperti apa atau menjadi Mita yang seperti apa.

Maksudnya?

Sayang, ini adalah pencarian seumur hidup. Jadi tak usah khawatir kalau tidak tahu apa maksudnya.

Iya, ya, nanti kalian jadi orang yang seperti apa? Dhimas begitu yakin bahwa ia ingin jadi perancang mobil. Ketertarikannya pada gambar, rancangan, mobil, dan pemahaman ruangnya memang luar biasa baik. Ia mantap pada kata-katanya, mengingatkan saya bahwa pada usia yang sama saya pun sudah tahu saya hendak ke mana mau jadi apa dan mau bikin apa. Sebagian sudah saya jalani. Sebagian, saya belum tahu.

Hari ini Dhimas menunjukkan kesungguhan hatinya saat ikut lomba membangun gedung dengan sedotan. Bersama kelompoknya Dhimas mengubah 50 sedotan menjadi sebuah rangka gedung yang tak bisa jatuh. Hanya 2 dari 6 kelompok yang berhasil membuat bangunan tinggi. Hanya kelompok Dhimas yang berhasil membuat gedung yang tidak roboh-roboh meski sempat terjadi kerusuhan banjir di aula. Dhimas dan teman-temannya membuat pondasi "bangunan" dengan sedotan saling silang yang kuat, DAN ajaibnya lagi masih sempat membentuk sedotan paling atas menjadi atap.Dhimas loncat-loncat kegirangan melihat hasil karyanya. Jauh dalam hati saya tahu persis ia sedang berjalan ke sana, ke arah cita-citanya.

Sampai malam ini saya masih terkagum-kagum kalau ingat.

Itu maksudnya, teman, tentang kamu yang seperti apa kelak.

Semoga berhasil ya.

Wednesday, August 13, 2008

For Teachers

Saya baru melihat sebuah situs untuk guru. Lengkap dengan video -video pendek mengenai classroom management (ini amat penting, tapi jarang yang menyadarinya) serta memberi instruksi dalam membaca dan menulis.

Saya senang sekaliiii!!!!

Pakai Otak


Sudah berhari-hari Dhimas bercerita bahwa ia baru saja mendapat hadiah buku anatomi manusia. Maka kemarin, begitu saya masuk kelas, Dhimas sudah langsung berteriak "LOOK AT MY BOOK, BU TIA!!"

Buku itu memang mengagumkan. Sampulnya bergambar kepala manusia dengan bagian otak yang terbuka. Jika tombolnya ditekan, lampu-lampu kecil yang tersebar di gambar otak itu menyala kelap kelip, menunjukkan sinaps neuron dalam otak. Di halaman lain, ada pop up utuh berisi paru-paru, jantung dan tulang iga manusia. Bunyinya? Dag dug dag dug debar jantung. Keren ya? Membaca penjelasannya pun menarik dan mudah dimengerti.

Kami tak sempat lama membahas buku itu karena larut dalam permainan untuk mengulang materi tentang aneka istilah anatomi.

Siangnya, kami akan menulis cerita pendek. Anak-anak menyusun rencananya dulu dengan mendeskripsikan konflik, solusi, tokoh dan latarnya. Semua asyik bekerja ketika Adinda terus menanyai saya. Penyakit yang menyerang otak itu apa saja? Akibatnya apa? Apa contohnya? Apakah autisme termasuk salah satunya? Saya bilang pada Adinda penyakit yang menyerang otak banyak macamnya, banyak penyebabnya dan banyak pula akibatnya. Tidak cuma satu.

Adinda tidak puas. Ia mendekati saya. Katanya, ia sedang membuat rencana cerpennya dan perlu melengkapi diagram bagian konflik. Ia merasa perlu alasan logis untuk membangun konflik di antara tokoh-tokoh cerpennya.

Buku anatomi Dhimas jadi bisa membantu kami. Saya menunjukkan salah satu gambar diagram otak yang dilengkapi warna warni sebagai penunjuk fungsi. Kalau yang merah ini rusak, kamu tak bisa melihat. Kalau yang hijau rusak, bicaramu akan kacau. Kalau yang kuning rusak, kamu tidak bisa mengerti apa maksud pembicaraan orang lain. Adinda manggut-manggut. Oh, Bu, rumit sekali ya.

Coba deh, penulis naskah sinetron, tanyakan pada Adinda, sulit tidak sih sedikit berpikir dan ingin melakukan "riset" sebelum menulis cerita?

Monday, August 11, 2008

WRBNKERITNEKUIWELEWEILK

SETJEN
ITJEN
DIKTI
MANDIKDASMEN
PNFI
PNPTK
BALITBANG
PADATI
BAS
BASNAS
JARDIKNAS
NPSN
NUPTK
NISN
BNSP
KTSP
KBK
DIKDASNET
LPMP
BPPLSP
P4TK
UPBJJUT
LJUASBN
BNSPPUSKURDITJENMANDIKDASMEN
PUSPENDIK
SAS
DAPODIK
SKL
DIKDASDKI


Sekarang saya sudah jauh lebih realistis. Tujuan hidup saya bukan lagi turut serta memajukan pendidikan Indonesia. Tujuan saya sekarang cuma 1, mengerti apa maksudnya deretan huruf di atas. blagh.

Ada yang bisa bantu?

Friday, August 08, 2008

Pendidikan Seks

Anak-anak kelas 6 sedang belajar tentang reproduksi makhluk hidup. Berbekal pengetahuan mereka tentang sistem reproduksi manusia tahun lalu, anak-anak pun mulai bertanya tentang bagaimana pembuahan terjadi. Lebih tepatnya, bagaimana pembuahan dapat terjadi pada manusia?

Dalam bungkus apapun, pertanyaan mengenai seks selalu membuat jantung orang tua mau copot. Pertanyaan-pertanyaan mengenai seks adalah pertanyaan yang didoakan tak pernah muncul. Inilah saat orang tua berharap anaknya tak cerdas-cerdas amat jadi tidak tanya macam-macam.

Inilah hari di mana ayah dan ibu saling pandang, saling melirik memberi kesempatan kalau bisa suit sekalian.

*grin*

Pendidikan seks selalu jadi topik yang kontradiktif. Ada yang menganggap perlu untuk pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang tepat sekaligus menumbuhkan sikap terhadap seksualitas yang tepat. Ada yang menganggap pendidikan seks terlalu berlebihan, kebarat-baratan, berbahaya dan menggiring anak pada pengetahuan yang “belum waktunya” lalu membuat anak-anak jadi lebih permisif.

I never think that way. Sejak kira-kira 20 tahun yang lalu, ibu saya ternyata sudah cukup advance dengan memberi pembekalan dasar tentang pubertas kepada saya. Ia menjelaskan dengan baik (dan komprehensif) tentang apa yang akan terjadi saat tubuh saya menjadi dewasa. Tentang menstruasi saya mengerti, tentang roller coaster emosi, saya tak percaya. I was ten, I was happy and I didn’t believe that my life could be miserable. She was right, and I was wrong.

Bagaimanapun, pengalaman bersama ibu ini membuat saya yakin bahwa pendidikan seks itu perlu. Bayi pun sudah belajar anatomi ayah dan ibu yang berbeda. Beranjak besar, saat mandi dengan kakak dan adik anak juga belajar bahwa laki-laki dan perempuan punya tubuh yang berbeda. Kelak akan jadi seperti ayah atau seperti ibu.

Pendidikan seks menurut saya adalah bagian dari perkenalan pada identitas diri. Semakin baik pemahaman kita terhadap diri sendiri; termasuk tentang anatomi kita, lebih besar kesempatan kita memiliki konsep diri yang sehat. Orang dengan konsep diri yang baik bisa menghargai dirinya sendiri, dan kemudian menghargai orang lain.

Alasan lain yang menguatkan adalah saya berpendapat bahwa orang tua (dan guru) mestinya bisa menjadi sumber terdekat dan terpercaya bagi anak-anak untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka tentang apa saja. Termasuk tentang seks. Lagipula, ini adalah kesempatan bagi orang tua (dan guru) untuk berbagi nilai keluarga yang berkaitan dengan agama, tradisi, keluarga, kasih sayang, keragaman, dan kesehatan tentunya.

Bagaimanapun mencemaskannya bicara tentang seks pada anak-anak, saya yakin bahwa ayah dan ibu akan memilih untuk jadi sumber informasi yang benar bagi anak-anaknya daripada membiarkan anak-anaknya mendapat informasi dan mitos-mitos aneh dari entah siapa di luar sana.

Saya memilih untuk jadi sumber informasi yang benar itu.

Sadar bahwa sebagai guru saya juga akan mentransfer tentang beragam nilai, maka saya tahu pula bahwa nilai yang saya miliki tentang kesetaraan jender akan tercermin dalam perilaku saya.

Pada anak-anak yang lebih kecil, ini saya mulai dengan hal-hal sederhana. Saya tak suka anak-anak bermain di sekitar kamar kecil, karena itu adalah tempat privacy dibutuhkan. Anak laki-laki dan perempuan berganti pakaian di tempat terpisah, dan tidak ada acara saling menakuti bahwa temannya sedang mengintip. Saya menekankan semua orang di sekolah harus memperlakukan semua orang dengan rasa hormat. Tak ada perilaku atau kata-kata yang membuat rasa tidak nyaman bisa ditolerir. Saya juga mendorong anak-anak mau bercerita tentang apa saja dan menunjukkan sikap mau percaya serta bisa dipercaya. Memeluk dan mencium adalah ekspresi kasih sayang yang baik, tapi mari kita lakukan dengan keluarga saja di rumah.

Anak laki-laki dan perempuan harus saling menghargai, itu saja dulu.

Di kelas yang lebih besar, saya merasa bahwa saya harus mempersiapkan diri lebih baik. Situs ini amat membantu. Situs ini memberi informasi yang lengkap tentang bagaimana dan apa yang harus saya sampaikan pada anak-anak di jelang waktu remaja ini dengan benar.

Salah satu hal kunci adalah mengajari anak bahwa orang tua, guru dan dokter seharusnya menjadi sumber utama dalam pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksinya. Dari situs ini saya banyak belajar tentang kegiatan yang melibatkan orang tua, sehingga mereka tahu apa yang sedang kami bahas di kelas. Di sisi lain, anak-anak pun terdorong untuk berdiskusi pula dengan orang tua tentang apa yang sedang kami bahas di kelas. Saya pun akan cepat tahu apakah topik yang kami bahas masih ada dalam jalur nilai masing-masing keluarga, atau ternyata sudah tak bisa diterima.

Beban terberat untuk bicara tentang seks adalah karena topik ini sering diselimuti mitos dan dipercaya selalu berhubungan dengan afeksi-afeksi dewasa tertentu. Nih, saya saja ngomongnya sampai ngumpet-ngumpet. Ini menghindari search di goggle yang tidak perlu.

Maka, hal berikut yang saya tetapkan sejak awal adalah, kami akan membicarakan seks secara ilmiah. Hanya secara ilmiah. Itu berarti kami akan memakai kata-kata yang ilmiah, dan tidak memakai bahasa bayi. Kami akan memakai kata vagina, penis dan payudara seperti kami memakai kata tangan kaki, hidung dan mata. Karena ini adalah hal yang ilmiah, saya pun bersikap selaras dengan berbicara dengan tenang dan intonasi yang wajar, sehingga tidak bisa dipersepsi ambigu.

Sejak awal ini adalah salah satu aturan dasar yang saya kemukakan di awal pembahasan tema pubertas. Saya juga menegaskan bahwa kami akan bicara secara ilmiah, itu berarti tidak ada yang lucu, tak ada yang tertawa, menertawakan, dan ditertawakan. Apa yang kami bahas adalah confidential; itu berarti tidak membicarakan pengalaman orang lain di luar diskusi. Itu berarti tidak mempermalukan siapapun. Ada kegiatan yang membutuhkan wawancara, misalnya, tapi saya hanya akan meminta slip bahwa anak sudah melakukan wawancara, lalu hasilnya akan kami bahas secara lisan saja.

Untuk menjembatani rasa enggan atau malu yang mungkin masih ada, saya membuka kotak pertanyaan. Anak-anak boleh memasukkan pertanyaan, anonim atau tidak, dan kami akan menyisihkan waktu untuk membahasnya di akhir sesi pelajaran. Anak-anak saya beritahu bahwa ada pertanyaan yang bisa saya bahas di dalam diskusi kelas, ada yang mungkin akan saya jawab secara pribadi, atau ada juga yang tidak akan saya jawab, atau mungkin saya anjurkan untuk ditanyakan pada orang tua atau ahlinya (dokter, misalnya). Saya tak pernah khawatir anak-anak bertanya terlalu jauh sebab saya tahu mereka akan bertanya sesuai kapasitas pemahaman mereka. Kalau mereka tanya, berati mereka sudah siap untuk tahu atau sudah mulai berpikir sampai situ.

Mengingat salah satu misi pendidikan seks bagi saya adalah mendorong sikap saling menghormati, maka saya membicarakan organ reproduksi dan pubertas pada laki-laki dan perempuan bersama semua anak laki-laki dan perempuan. Tujuan ini saya nyatakan dengan eksplisit sejak awal. Pada akhirnya saya memperhatikan bahwa anak laki-laki lebih tertarik pada bahasan tentang laki-laki, begitu juga anak perempuan. Beberapa bulan setelah itu, anak-anak masih saling mengingatkan bahwa menstruasi dan mimpi basah bukanlah mainan untuk ditertawakan dan untuk mengejek teman. Kita mempelajari semua itu agar saling menghormati satu sama lain.

Bagaimana hasilnya? Barangkali orang tua bisa bercerita lebih jauh. Guru kelas 6 melaporkan anak-anak masih ingat dan bisa bercerita dengan baik tentang sistem reproduksi manusia. Anak-anak pun bicara tentang sistem reproduksi dengan bahasa yang tepat, tidak pakai malu-malu atau salah tingkah, seperti mereka bicara tentang sistem pernafasan dan pencernaan.

Anak-anak jadi tahu banyak, dong, Bu? Tentu saja. Mereka pun mengajukan banyak pertanyaan sebagai hasil dari “insight” selama belajar. Jadi kalau aku sudah menstruasi, tandanya aku sudah bisa hamil? Apakah sperma dan ovum bisa bertemu lewat berciuman? Tentu tidak, jawab mereka sendiri. Mengapa? Karena jalurnya berbeda, bu. Hidung dan mulut tidak termasuk sistem reproduksi.

Kalau mereka bertanya macam-macam, apa yang bu tia lakukan? Saya jawab baik-baik. Mereka bertanya karena mereka ingin tahu. Mereka bertanya pada saya sebab mereka percaya saya akan memberi tahu mereka informasi yang benar, tidak bohong, dan tidak menyesatkan. Saya memilih untuk menghargai rasa percaya mereka.

Maka ayah dan ibu, daripada khawatir, mungkin lebih tepat bersyukur jika anak-anak bertanya tentang seks. Anak-anak percaya pada anda untuk membicarakan hal-hal yang disebut orang tabu atau sensitif. Anda sudah pegang kuncinya; rasa percaya itu. Anda bisa menggunakannya untuk membawa mereka masuk ke dalam nilai-nilai keluarga yang ingin anda teruskan pada mereka.

Selamat berbagi.


Tuesday, August 05, 2008

Brokoli di Kamar Mandi

Tahun ini, tema sistem pernafasan benar-benar menyerap perhatian anak-anak kelas 5 sampai sudut terkecil. Mereka selalu riang gembira setiap kali saya datang dan selalu bertanya, 'Lagi? Percobaan lagi?'

Ya, saya tidak heran mereka senang, karena sejak hari ke dua saya sudah mengajak mereka main air untuk mengukur kapasitas paru-paru. Hari ini saya membawakan mereka coffee straw dan sedotan biasa utk mencoba bernafas dengan "trakea mengecil".

Hari ini, sekali lagi saya mengajak murid-murid saya bicara dengan rokok.

Thalia yang suaranya masih kecil (tapi relatif jauh terdengar) memekik keras saat kami membaca komposisi tar. Dan Riri langsung menemukan taglinenya.

Ditanya apa yang akan dia katakan kalau diajak merokok, jawaban Riri adalah, "Maaf, mulutku bukan kamar mandi."

Saya ceritakan apa yang saya baca pada anak-anak.

Saya : 1 dari 4 orang perokok mulai merokok sebelum usianya 10 tahun.

Dhimas : Kalau begitu aku pasti bukan 1 dari 4 orang itu! (dia baru saja ulang tahun yang ke 10)

Saya : Kabarnya 1 batang rokok memperpendek hidupmu 4 menit.

Anak-anak : WAH! Coba kalau dikalikan 100!

Adinda : Waktu itu Dhimas juga cerita, dia membaca kalau makan 1 brokoli memperpanjang usia 12 menit.

Dhiadri cekikikan di meja yang lain. Ia mulai berhitung bersama Agung, bahwa 3 batang rokok setara dengan 1 brokoli.

Hihihihi.


Kami membicarakan berbagai istilah tentang perokok pasif, serta social smoker.

Dhimas bilang, "Ayahku hanya merokok dengan teman-temannya. Ayah tidak pernah melakukannya di rumah. Sayangnya, Ayahku jarang di rumah. Dia cuma di rumah kalau sakit. Lucunya bu, sekarang dia sakit seminggu sekali. Setiap hari Minggu."

Halah, kelas ini....

Friday, August 01, 2008

Super Hero

Saya punya separation anxiety, jadi masih sering clingy.

Kelas 6 (sekarang bersama Bu Andin) sedang belajar tentang ciri-ciri khusus makhluk hidup. Bu Andin membuat rencana pelajaran dengan meminta anak-anak merancang satu superhero berdasarkan hewan tertentu. Jelas, mereka harus paham betul ciri-ciri khusus si hewan atau superheronya jadi tidak super (dan habis dibantai teman-teman).

Beberapa kali anak-anak bercerita selintas tentang tugas ini. Dhara chatting dengan saya sambil "browsing tentang superhero". Mita yang bergelantungan di ayunan juga bercerita bahwa Adam sangat bersemangat dan serius menyiapkan superheronya.

Ketika unit ini selesai, Bu Andin pun terheran-heran. Ternyata anak-anak kelas 6 sudah jago ngeles, alias pandai membantah dan mempertahankan pendapatnya. Semua daftar kata yang direncanakan Bu Andin untuk dipelajari anak-anak pada unit ini, muncul saat presentasi tanpa kecuali dan tanpa paksaan. Mereka memang butuh kata-kata itu untuk menjelaskan superheronya dengan baik.

Saya percaya bahwa anak-anak memang menguasai bahan dan jelas tidak akan mudah lupa.

Itu adalah tantangan terbesar bagi saya saat menyiapkan rencana pelajaran. Bagaimana, apa, yang dapat saya lakukan untuk membuat anak-anak sepenuhnya terlibat? Bagaimana saya tahu mereka terlibat dan kegiatan itu bermakna bagi mereka?

Parameter "bodoh" saya adalah:
1. Kegiatan menjelaskan, diskusi terpimpin, atau semacam itu, hanya terjadi 15- 20 menit saja.
2. Selebihnya anak-anak mengerjakan sesuatu tanpa kecuali. Tak ada yang diam saja, atau sibuk mengganggu teman. Dan ini terjadi dengan sendirinya tanpa saya suruh dan tanpa saya peringatkan bahwa mereka harus tenang. Bahkan, biasanya mereka akan tetap berbicara tentang apa yang dikerjakan, tapi tidak mengobrol
3. Saya tidak dihujani pertanyaan boleh gini boleh gitu atau aku nggak ngerti. Jika terlibat penuh, anak-anak tahu bahwa saya ada dan siap membantu mereka, tapi mereka lebih ingin mengerjakannya sendiri.
4. Mereka marah kalau waktunya habis.

Parameter ini saya gunakan untuk melihat berkeliling kelas selagi menunggui dan membantu mereka bekerja.

Menyiapkan kegiatan yang akan membuat anak-anak terlibat sepenuhnya memang perlu waktu sedikit lebih panjang dan usaha sedikit lebih banyak. Tetapi melihat hasilnya, kadang-kadang saya merasa mau saja mengusahakannya dua kali lipat lebih keras.

Tidak hanya ingatan anak-anak bertahan lebih lama, tapi masalah-masalah perilaku di kelas juga jadi menurun drastis. Tak ada acara ngambek dan bertengkar. Saya tak perlu marah karena suara anak-anak terlalu keras. Saya juga tak perlu kesal karena merasa anak-anak lambat, tidak antusias, tidak kreatif, malas-malasan, dan semacamnya. Saya tak perlu jadi gembala yang sibuk menghela-hela kambing ke satu arah saja.

Karena kami, saya dan anak-anak, sama-sama menikmati pengalaman belajar itu dengan perasaan gembira....