Tuesday, September 27, 2005

One Week Break

Kami sedang libur satu minggu. Anak-anak menanggapinya dengan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang mau main sepeda setiap hari tidak berhenti di rumah nenek yang lokasinya dekat sawah dan lapangan-lapangan luas.
Ada yang berencana untuk main ke timezone on weekdays.
Tidak ada rencana bepergian ke luar kota atau luar negeri --so far -- karena ayah ibu tidak bisa cuti. Lagipula semua les piano, les balet, les vokal, berenang dan sebagainya tidak libur.
Ada yang mau menghentikan hobi berpikirnya, lalu tidur sepanjang hari (saya agak meragukan keberhasilan rencana ini)
Ada yang berencana untuk menemani mama di restorannya yang baru. Sepertinya seru.
Hanya satu anak yang berseru gembira karena libur. Yang lain menanggapi dengan dingin.

Bagaimana libur Ibu Tia? Well, berkurang satu hari untuk terkapar di tempat tidur karena diare berat. Sisa hari mau dipakai untuk sering-sering berenang, meneleponi (dan mungkin bertemu) teman lama untuk minum kopi dan bersenang-senang. Pastinya ke toko buku untuk beli peta Jakarta yang besar dan buku-buku menarik lainnya.

That's it. Empat hari cukuplah, sebelum mereview silabus-lesson plan-other plans dan berdenyut-denyut memikirkan operet akhir tahun.

Good Bye. We are on holiday.

Sunday, September 25, 2005

Pertanyaan Paling Umum

Orang lain : Sudah ambil S2?
Saya : Belum. Saya masih bekerja.
Orang lain : Di mana?
Saya : Saya mengajar.
Orang lain : Oh. Dosen?
Saya : Bukan.
Orang lain : Di SMA?
Saya : Bukan. Saya mengajar di SD
Orang lain : Oh. Bahasa Inggris?
Saya : Tidak. Bahasa Indonesia.
Orang lain : Lalu mengajar apa?
Saya : Semuanya. Saya kan guru kelas.
Orang lain : Oh. *speechless*

Saya seringkali mengalami percakapan seperti ini. Terutama percakapan dengan seorang distant relatives. Sungguh nggak matching sepertinya, tampang saya dan pekerjaan saya. Hihihi...

Wednesday, September 21, 2005

Melamun

Dhimas adalah salah satu energizer di kelas saya. Ia super aktif sehingga sulit sekali diam barang semenit. Bahkan ketika ia terokupasi pada suatu pekerjaan pun, bisa dipastikan ia juga sedang mengkhayalkan dunia yang lain.

Ketika anak-anak makan siang hari ini, suasana cukup sepi. Kecuali Dhimas tentu saja. Ia mengambil kantong plastik bekas roti coklat yang dibawanya. Ia melipat plastik itu kemudian menempelkannya di depan mata. Dhimas berlagak seperti robot dengan kacamata super.

Saya dan Bu Novi sudah terkikik-kikik geli di meja guru. Riri memperhatikan Dhimas tanpa berkedip.

Riri : What are you doing?
Dhimas : I am daydreaming. My brain is stimulated, you know that.
(kembali menirukan robot berkacamata)


Saya tertawa mendengar obrolan serius itu. Dhimas menyimpan plastik bekas coklat lengket itu dan membawanya keluar waktu bermain.

Thursday, September 15, 2005

Untung Rugi


Sekolah kami adalah sekolah yang tidak berdasarkan agama apapun, dan memutuskan untuk tidak mengajarkan agama apapun sampai kelas tiga.

Kebijakan seperti ini memang disetujui oleh semua yang memasukkan anaknya ke sekolah ini. Tapi, tetap saja kadang-kadang terdengar keluh kesah. Saya sih tidak heran kalau ada orangtua yang bangga karena anaknya pandai menghafal serentetan doa sejak batita. Barangkali berkerut muka mereka melihat anak-anak di sekolah kami tidak ada pelajaran agama di kelasnya.

Apa ruginya mengajarkan agama sejak awal di sekolah? Tidak ada kan?


Ya, tidak rugi. Saya tahu banyak orang tua yang ingin menanamkan segala sesuatu sejak dini pada anak-anak mereka, termasuk agama dan tiga bahasa asing sekaligus. Tidak rugi memang.

Hanya saja kami berpikir dengan cara yang berbeda. Kami berpendapat bahwa hal pertama yang harus diketahui anak-anak adalah bahwa setiap orang adalah sama. You have to respect each and every person you meet today. You have to love your friends, your pet, your tree and yourself.

Kami beranggapan anak-anak usia TK dan SD awal belum perlu menyisihkan waktu istirahat dan bermain mereka untuk antri wudhu dan sholat. Makan sendiri saja masih susah payah.

Kami tidak menggiring anak-anak menyadari perbedaan jendernya dengan memisahkan barisan sholat mereka di depan dan belakang. Kami lebih dulu mengajari mereka sama berani, sama pintar dan sama penyayangnya, laki-laki atau perempuan.

Kami memberi mereka jurnal untuk mencatat serba-serbi hari yang mereka lewati, senang, sedih, kesal, cemas, ide baru yang muncul dan impian-impian mereka. Kami tidak memberi mereka jurnal untuk mencatat berapa sholat yang mereka lakukan atau tinggalkan hari ini, juga berapa ayat yang mereka baca hari ini.

Kami tidak merasa perlu membebani pikiran-pikiran segar mereka dengan rentetan doa dan arti yang harus mereka hafalkan. Kami lebih merasa perlu mendampingi mereka menggunakan kesegaran itu untuk mengeksplorasi dunia tempat mereka tinggal. Biar mereka menikmati dan mengagumi setiap keajaiban baru yang mereka temui. Saat itu mereka sedang mengagumi Tuhannya.

Kami tidak mengenalkan perbedaan agama dengan membuat kelompok dan memisahkan anak-anak yang tidak beragama A dengan yang beragama A ketika di kelas ada pelajaran agama A. Kami tidak ingin kelompok anak yang jumlahnya lebih sedikit merasa dikecilkan artinya dibanding kelompok beranggota besar.

Mari hidup bersama-sama. Seperti ketika bulan puasa tiba dan setiap anak di sekolah sama antusiasnya, apapun agama mereka. Jika anak-anak yang tidak diharuskan puasa dalam agamanya ikut puasa, bukan karena ada islamisasi atau karena mereka mengkhianati agamanya. Coba lihat lebih dekat, anak-anak itu hanya ingin berempati pada temannya, ikut merasakan pengalaman temannya.

Kami tidak mengajar mereka bagaimana seluk beluk beribadah sejak dini. Kami belajar pada mereka untuk menerima bahwa setiap orang, apapun agamanya, berhak hidup bersebelahan. Boleh tercatat sebagai satu keluarga dalam kartu keluarga.

Mengapa tidak kita biarkan anak-anak menganggap semuanya indah, semuanya menarik. Jangan dulu menyuruh mereka mengotak-ngotakkan semua dalam surga dan neraka. Biarkan mereka belajar tentang benar atau salah, tanpa takut dosa atau diiming-imingi pahala. Biarkan mereka menggandeng semua temannya, memilih siapapun jadi ketua kelas, tanpa lebih dulu menimbang apa agama dan jendernya.


Saya pikir, itupun tidak rugi.

Monday, September 12, 2005

Dari Hati Ke Hati

Thalia adalah salah satu murid di kelas saya. Ia gesit dan cerdas. Hanya saja suaranya tidak terdengar. Kami, guru-guru dan teman-temannya tidak pernah bosan menyemangati Thalia untuk sedikit mengeraskan suaranya. Tapi, kami juga sudah mulai bisa hidup dengan itu.

Hari ini saya sedang sibuk mengerjakan paperworks ketika Thalia tampaknya ingin bicara pada guru bahasa Inggrisnya. Ibu guru itu sedang sibuk dengan murid yang lain. Adinda melihat Thalia celingukan, dia menyarankan Thalia untuk menemui saya.

Saya memasang bahasa tubuh siap mendengarkan. Thalia mendekati saya, tetapi tidak berkata apa-apa. Saya terus menunggunya, sambil sekali-kali bertanya apa yang ingin ia katakan. Thalia tetap tidak bersuara.

Sudah waktunya istirahat makan siang. Semua teman-teman Thalia sudah bergerak mencuci tangan dan mengambil makan siang masing-masing. Thalia masih berdiri di depan meja saya, tidak mengatakan apa-apa. Saya berusaha menjaga kontak mata dan bersikap menunggu.

Lima belas menit kemudian saya bertanya pada Thalia, apakah ia ingin menceritakan sesuatu atau ingin makan sekarang?
Tidak ada jawaban.

Kepala saya mulai berdenyut-denyut. Saya ingin mengalihkan pandangan tapi tidak berani. Saya ingin menyuruhnya beranjak pergi, tapi saya rasa ia butuh waktu untuk didengarkan. Saya tidak ingin mengusir.

Saya jelaskan padanya saya tidak sedang marah. Kalau Thalia ingin bicara, saya akan menunggu dan mendengar. Kalau Thalia lapar, Thalia boleh makan. Thalia tidak berkata apa-apa. Mulutnya bergerak-gerak, tapi saya bahkan tidak bisa membaca bibirnya. Saya mencoba mengatakan yang lucu-lucu, dan Thalia tersenyum malu. Saya katakan nanti orang lain mengira saya marah padanya. Dia tertawa.

Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan, atau apa yang saya harapkan. Saya merasa tidak sabar sekaligus sedih. Seandainya saja saya bisa membaca pikiran.

Kami duduk berdua saling berpandangan tanpa suara selama 60 menit. Betul! 60 menit. Thalia kehilangan kesempatan makan siang. Saya juga sudah sangat ingin ke toilet.

Terakhir, sebelum teman-teman lain berdatangan untuk pelajaran berikut, saya bertanya pada Thalia, " Thalia, boleh Ibu Tia bergabung dengan teman-teman lain untuk belajar? Atau Thalia masih ingin Ibu Tia di sini untuk mendengarkan apa yang ingin kamu katakan? Kalau Thalia tidak menjawab, ibu Tia akan menunggu di sini."

Dengan sangat perlahan ia menganggukan kepala.

Riri, Adinda, dan Ai masuk ke kelas dan mengerumuni meja saya. Ada apa sih Bu? Lalu saya jelaskan. Saya bertanya pada Adinda, "Tadi sebenarnya Thalia ingin apa sih, Adinda?"

"Itu bu... tadi Thalia ingin tanya, pembatas buku yang sudah selesai harus ditaruh mana.."

Itu saja? Adinda mengangguk dan Thalia tersenyum malu.

Sungguh, kesabaran saya betul-betul diuji hari ini. 60 menit berusaha bicara dari hati ke hati tanpa mulut.

Sunday, September 11, 2005

Katakan

Anak-anak bertengkar setiap waktu, setiap hari.Mereka bertengkar untuk berbagai alasan, kecil dan besar. Lima menit kemudian berbaikan kembali. Tetap saja mereka sedang belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain. Tetap saja mereka sedang belajar bagaimana mengungkapkan perasaan dan keinginannya dengan tepat, tidak destruktif. Lima menit pertengkaran itu tetap lima menit yang tidak mengenakkan, mungkin penuh rasa bersalah atau marah. Mungkin juga penuh air mata.

Saya berusaha tidak sering ikut campur dalam pertengkaran anak-anak, kecuali masalahnya melibatkan sesuatu yang berbahaya atau sesuatu yang sama sekali unacceptable. Anak-anak tetap datang pada saya, mengadu, atau membela diri. Saya tetap berkata pada mereka, coba selesaikan sendiri.

Coba katakan apa yang kamu rasakan.
Coba katakan apa yang kamu ingin ia lakukan.
Coba katakan apa yang kamu ingin ia tidak lakukan.

Anak-anak cepat belajar. Dari boneka tangan hingga mempraktekkannya sendiri ketika benar-benar bertengkar dengan teman, lugas selalu mereka katakan
"Aku tidak suka kamu mendorongku. Itu membuatku marah. Lain kali jangan mendorong lagi."

Beruntung anak-anak tidak pernah mendendam. Tangan mereka cepat terulur dengan maaf. Cepat memaafkan. Cepat bermain lagi sebelum bel berbunyi.

Sepertinya saya harus belajar dari mereka. Sebab saya masih sering diam seribu bahasa ketika marah dan menolak bicara pada siapapun. Sepertinya saya harus meniru mereka, mengatakan apa yang saya rasakan, apa yang saya ingin orang lain tidak lakukan, apa yang saya ingin orang lain lakukan.

Lebih susah jadi orang dewasa daripada anak-anak.

Saturday, September 10, 2005

Soal Bonus

Dulu, saat Alexander The Great masih sekolah, Aristoteles selalu menyiapkan ekstra soal. Masalahnya Alexander The Great selalu menyelesaikan tugasnya dua kali lebih cepat dari teman-teman yang lain. Kalau dibiarkan begitu saja, ia akan lasak mengganggu teman-temannya. Sebelum hal itu terjadi, Aristoteles mengambil langkah preventif dengan memberi soal tambahan. Alexander The Great tidak pernah menyadari hal ini sampai ia agak besar, dan itu membuatnya sangat kesal.

Di kelas, saya juga punya sebuah kotak menarik dengan label KOTAK BONUS. Di dalamnya saya meletakkan banyak sekali soal tambahan berupa teka-teki, puzzle, soal-soal matematika dan bahasa yang lucu-lucu. Maksudnya lucu karena biasanya bergambar dan meminta anak-anak untuk ikut menggambar, mewarnai, dan sebagainya.

Begitu juga dengan guru-guru spesialis yang lain, mereka selalu siap dengan lembaran tugas tambahan berjudul SOAL BONUS. Anak-anak selalu bersemangat dan merasa bangga setiap kali mendapatkan SOAL BONUS. Kalau guru matematika mereka sudah bilang, "Ya, Riri boleh mengambil soal bonus," pasti Riri langsung berseru gembira.

Padahal sebetulnya kan mereka mendapat tugas tambahan, ya?

Kemarin, untuk pertama kalinya Agung menyelesaikan tugas jatahnya dua puluh menit lebih awal. Ia boleh mengambil soal bonus dan katanya, 'Wow, this my first bonus!" dan minta diijinkan tinggal sepulang sekolah untuk menyelesaikan bonusnya.

Saya sedang bertanya-tanya sendiri. Kalau suatu hari nanti mereka sudah besar, marah tidak ya mereka, mengetahui bahwa di balik label SOAL BONUS itu sebenarnya mereka diminta bekerja lebih banyak dari seharusnya?

Wednesday, September 07, 2005

Tidak ada yang istimewa

Tidak ada yang istimewa hari ini. Semua berjalan normal-hiruk-pikuk seperti biasa. Seperti setiap Rabu pagi saya ngebut merancang rencana pelajaran untuk minggu depan. Anak-anak datang silih berganti, mampir ke meja untuk bercerita atau mencari-cari tugas yang belum selesai.

Adinda datang terisak-isak. Katanya Dimas sengaja menendang bola kena matanya. Saya mengajak Adinda menyelesaikan ini dengan Dimas. Di mana Dimas? Masih main bola dengan teman-temannya. Melihat kami dari jauh, Dimas langsung berhenti, " I already said sorry four times!"
Adinda masih ngotot untuk bilang, "Aku (hiks).. tidak suka (hiks) kalau kamu menendang bola (hiks) ke arah mataku (hiks)..."

It was almost 8 o'clock. Teman saya mengingatkan bahwa jam 8 ada casting untuk operet Lutung Kasarung yang akan kami pentaskan Desember nanti. Saya membagi dua kelas. Anak-anak yang tidak ikut casting peran hari ini mengerjakan anu anu dan anu. Yang ikut casting berkumpul di aula. Setelah mondar mandir kian kemari, saya berakhir dengan mengasuh anak kelas 1 yang gurunya harus mengurusi casting, dan guru yang lainnya absen karena flu berat.

Saya kembali ke kelas, sudah hampir setengah sembilan. Saya membacakan buku tentang kehidupan tiga generasi yang berbeda. Di akhir buku itu anak-anak sudah menyusun puluhan pertanyaan untuk mewawancara kakek dan nenek masing-masing. Dan mereka kesal karena belum selesai ketika sudah waktunya pelajaran musik.

Karena satu dan lain hal, guru musik tidak ada. Saya menemukan lagu bagus di internet, dan memainkan midi file-nya. Lagunya gembira sekali. Anak-anak senang dan cepat bisa. Saya memutuskan untuk memainkan lagu ini untuk konser berikut.

PAGI-PAGI - Ibu Sud

bangun ! bangun ! hari sudah siang

ayo kawan-kawan segeralah jaga
lekas ! lekas ! lekaslah bekerja
jangan turutkan watak yang malas

dengar ! dengar ! ayamku berkokok
bersambutan dengan suara bunyi murai
jangan ! jangan ! terlambatlah handai
tunjukkanlah kegiatan kamu

ayo ! ayo ! bersiaplah seg'ra
matahari takkan menantikan kamu
lihat ! lihat ! sinarnya menyerbu
membangunkan anak-anak malas


Bu Novi harus membantu kelas TK jam berikutnya. Saya membagi tiga diri saya dengan membantu anak-anak mencari kata di kamus dalam pelajaran Bahasa Inggris, menunggui Zaky yang ngantuk dan kehilangan mood untuk membaca dan mencari kata-kata yang sulit, sambil mondar mandir ke komputer membereskan data-data observasi. Thanks God i don't have to teach English today.

Sudah jam istirahat makan siang. Makanan Agung tumpah membasahi seisi tasnya. Ia kesal karena lapar. Jadi saya temani cari makanan di depan. Dhiadri sudah mulai bermain dan jingkrak-jingkrak sendiri. Entah apa yang ia lakukan, menjelang bel Dhiadri menghampiri saya setengah menjerit, "Look at my teeth! Look at my teeth!"

"There's nothing, Dhiadri. Itu karang gigi. Giginya tidak apa-apa, " jawab saya setelah memperhatikan mulutnya. Dhiadri tidak puas lalu sibuk minta cermin dan terus-terusan bertanya karang gigi itu apa. Sementara itu guru-guru kelas lain sudah membunyikan bel. Anak kelas saya baru muncul setengah. Setengah lagi mana?? Saya baru akan mencari ketika bertemu anak-anak itu di tengah jalan. Di kelas, Dhiadri sudah menuntut cermin. Saya mencarikan cermin.
Setelah melihat bahwa giginya masih utuh dan hanya serpihan karang gigi saja yang lepas, ia langsung tenang.

It's time for art and craft. Setelah saya hitung-hitung, ada tiga kelompok anak di kelas saya. Satu, masih harus menyelesaikan craft minggu lalu. Dua, sudah siap memulai craft yang baru. Tiga, belum selesai craft yang lalu dan bersiap dipanggil untuk melanjutkan casting. Sialnya lagi saya sedang memilih untuk melakukan kegiatan art and craft yang repot dan butuh panduan. Ada saja yang hampir menangis karena tidak berhasil memotong kertas lurus sesuai garis.

Hari ini berakhir sepuluh menit lebih lambat dari seharusnya. Kelas saya sedikit belepotan lem PVC tapi hampir semua berhasil menyelesaikan pekerjaannya dan sudah meletakkannya di tempat yang rapi.

Ya. Sudah begitu saja. Tidak ada yang istimewa.

Tuesday, September 06, 2005

Riset Kecil

Bedanya mengajar di playgroup dan di SD adalah di SD boleh memberi tugas. Hehehe. Saya senang memberi tugas-tugas open ended. Saya senang melihat hasil kerja anak-anak yang beraneka ragam dan seringkali mengejutkan.Tugas open ended juga memaksa anak-anak bertanya; baik bertanya pada orang lain yang lebih tahu maupun bertanya pada buku.Lagipula tugas open ended tidak merepotkan buat saya, tapi merepotkan mereka.

Membiasakan anak-anak mengenal buku referensi, menggunakan kamus, dan menggunakan atribut-atribut lain pada buku mau tidak mau jadi bagian proses belajar, kalau sebagai guru saya maunya memberi tugas open ended. Tentang keinginan mereka untuk mulai bertanya pada buku, itu soal lain lagi.

Hari ini kegiatan kami tidak open ended, karena saya menyiapkan permainan dan lembar kerja. Ternyata saya tetap mendapatkan hasil tidak terduga.

Saya mengajak mereka bermain lomba mengelompokkan gambar hewan. Mereka harus mengelompokkan gambar-gambar itu dalam kriteria tertentu. Saya mulai dengan kriteria kasat mata seperti hewan yang hidup di darat atau hidup di air, bertelur atau tidak bertelur. Dalam tiga kali percobaan anak-anak sudah melesat pada pengelompokkan hewan vertebrata. Saya ketinggalan. Saya baru bicara tentang hewan kaki dua dan hewan kaki empat, ada saja anak yang menerangkan pada temannya bahwa laba-laba itu bukan serangga karena kakinya delapan sedangkan semua serangga kakinya enam.

Topik ini sungguh menarik sampai-sampai ketika kami melanjutkan ke sesi lembar kerja, anak-anak fall into silence. Semua langsung serius. Mereka sedang menulis persamaan dan perbedaan gambar sekelompok hewan. Tiba-tiba Adinda dan Dhiadri menghampiri saya.

"Boleh ke perpustakaan, tidak, Bu? Aku butuh buku untuk menjawab soalnya."

Saya berpikir sejenak. Saya tidak merencanakan pelajaran sampai sejauh ini sih, tapi mengapa tidak? Walaupun sebenarnya soal yang saya berikan tidak perlu informasi sejauh itu. Saya hanya meminta mereka mengamati gambar.

Dua anak itu lari ke perpustakaan dan kembali lima menit kemudian dengan setumpuk buku tentang hewan. Mereka letakkan di karpet dan mempersilakan teman yang lain untuk ikut melihat.

Limabelas menit kemudian kertas-kertas tugas itu sudah berpindahtangan ke saya.

Ini jawaban mereka.


"Hewan-hewan ini termasuk mamalia. Mereka sama-sama menyusui, mempunyai rambut, mempunyai kerangka dan berdarah panas. "

"Hewan-hewan ini termasuk reptil. Kulitnya bersisik dan agak kasar. Reptil itu bertelur dan berdarah dingin."


Riset yang bagus.

Sunday, September 04, 2005

Artikel

Nama saya muncul di sebuah majalah edisi September.

Itu ulah teman saya yang merasa perlu "mendongkrak popularitas" saya. Jujur dan agak malu saya harus mengakui bahwa saya agak termakan kilahnya itu, sampai -sampai saya sengaja memakai baju kesayangan saya di hari pemotretan.

Tiga hari lalu saya berusaha keras mencari majalah edisi September keliling kelurahan hanya untuk dikecewakan agen koran dan majalah. Ketika akhirnya saya berhasil mendapatkan majalah itu, antusiasme saya sudah tinggal sepertiga. Saya sedikit merasa apa yang saya katakan tidak ditulis dan apa yang ditulis tidak saya katakan.

Ibu saya justru sangat antusias. Dipamerkannya artikel sepotong itu pada sepupu-sepupu saya yang cukup lama bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional mapan. Selama ini mereka memang tidak pernah menggubris apa yang saya lakukan. Selain mengejar-ngejar saya untuk segera kawin, tidak sekalipun mereka pernah bertanya tentang apa yang saya lakukan sekarang. Selama ini saya pun tidak merasa perlu repot bercerita pada mereka. Saya cukup tahu apa yang mereka anggap penting dan apa yang tidak. Saya bukan dokter, tidak bekerja di perusahaan besar, dan tidak sekolah di luar negeri. Jadi tidak ada yang ingin mereka dengar.

Ibu saya juga bertekad untuk menggunting dan memamerkan artikel itu di sekolah yang dibawahi yayasan tempatnya bekerja. Saya (yang ternyata tidak siap dengan popularitas terdongkrak) segera mempertanyakan dua aksinya itu; untuk apa?

Ibu saya bilang, ia ingin mengatakan pada sepupu-sepupu saya itu betapa miripnya saya dengan kakek saya. Ia ingin bilang keras-keras di depan muka mereka bahwa, bahagia tidak identik dengan banyak duit (huhuhu... dengan kata lain saya masih termasuk kaum dhuafa). Ia juga ingin bilang pada guru-guru di sekolahnya bahwa penghargaan datang dari determinasi, bukan dari job title.

Saya cuma bisa nyengir. Saya bisa memahami antusiasmenya. Saya menghargai dan terharu pada rasa bangganya akan saya.

Sayang sekali saat ini saya tidak merasa antusias apalagi bangga. Artikel itu sedang menampar betapa 'middle class'-nya saya. Saya tidak bangga akan itu.