Tuesday, September 15, 2009

Hope and Dreams

Sore ini Dhara yang sudah duduk di kelas 7 mampir di kelas saya. Kami ngobrol, Riri ikut juga. Dhara menanyakan apakah anak-anak lain sudah belajar lagu mars Kembang.

Saya jadi menggoda Riri yang tinggal 3 kuartal lagi juga duduk di kelas 7, "Eh, sebentar lagi giliran kelasmu, Ri. Kalian ingin memberi apa untuk sekolah?"

"Bahan bangunan, Bu. Untuk membuat SMP," katanya mantap.

Monday, September 14, 2009

Sebuah Kesempatan

Kami punya seorang murid di kelas 3. Al namanya. Al anak yang istimewa, karena dia suka mengingat (dan pandai mengingat) banyak fakta. Tapi Al belum suka menjelaskan banyak hal panjang-panjang dalam tulisan. Seringkali Al masih perlu dibantu menyelesaikan tugas-tugasnya di kelas.

Pak Guru Al kebingungan. Sebagai anak kelas 3, Al dan teman-temannya akan mulai mengikuti minggu ulangan umum. Bagaimana Al bisa duduk selama 90 - 120 menit mengerjakan berlembar-lembar soal, sementara biasanya Al hanya mau mengerjakan satu atau dua lembar saja?

Pak Guru Al dan guru-guru lain berdiskusi panjang tentang ini. Kami berpendapat bahwa tidaklah adil jika sebelum mulai bekerja kami sudah menganggap Al tidak bisa. Tidak adil juga apabila Al dipaksa duduk diam berjam-jam sementara ia belum bisa diam begitu lama. Kami sepakat Al harus mendapat kesempatan, meski kami harus melakukannya satu lawan satu secara lisan. Mengikuti ujian panjang barangkali juga sebuah tantangan besar bagi Al. Maka saya katakan pada Pak Guru Al, tak usah khawatir, dan tak perlu membandingkan hasil ulangan Al dengan teman-temannya. Kita beri saja kesempatan, dan biarkan Al menyelesaikan sebanyak yang ia bisa selesaikan.

Al mendapat kesempatan untuk mengerjakan soal ulangan umumnya di ruangan guru. "Khusus untuk calon pilot!" kata Pak Guru Al menyemangati.

Maka tadi, ketika semua teman-teman Al dan kakak kelas Al duduk di ruang-ruang ujian, Al duduk di ruang guru. Al tidak lupa berdoa dulu.

Pak Guru Al tahu Al tidak suka melihat soal berlembar-lembar. Maka dilepasnya bundelan soal itu, dan disodorkan pada Al satu per-satu. "Selesaikan dulu level satu, nanti kita lanjutkan ke level berikutnya. Cepat ya, nanti keburu game over!"

Setengah jam pertama saya memperhatikan Al bekerja. Al suka berpikir keras-keras, jadi ia akan baca soalnya dan menyebutkan jawabannya keras-keras. Agaknya soal level 1 kurang menarik buat Al. Setengah jam itu lebih banyak ia habiskan untuk bermain remote AC. Sesekali Pak Guru menghampiri untuk menyemangati Al bekerja.

Masuk level 2, saya mulai duduk di samping Al. Saya menduga Al hanya perlu diingatkan untuk tetap di "jalur mengerjakan soal". Al tidak perlu umpan balik tentang jawaban yang benar atau salah. Maka saya hanya duduk di sampingnya, menggumamkan kata "hm", "tulis", atau "teruskan". Kebetulan level 2 lebih menarik. Al mengisi soal-soal isian singkat dengan lancar.

Ketika merasa bahwa menyelesaikan sebuah level ternyata cukup menyenangkan. Al minta tambah terus. 30 menit berikutnya Al sudah menyelesaikan 9 level alias 9 halaman soal. Tidak semua benar, tapi saya berani bertaruh nilai Al cukup baik. Guru-guru lain sampai tersenyum dan menghampiri kami. Semua kagum, Al bisa menjawab dengan baik soal-soal dengan istilah IPA yang agak sulit untuk kelasnya.

Al berhasil selesai sebelum waktunya habis. Dengan bangga ia turun ke bawah dan bermain dengan teman-temannya. Dari jauh, teman Al mengeluh, 'Aduh, soalnya susah..."

Dengan tenang Al menjawab, "Ah tidak, gampang kok!"


Saya tersenyum. Pak Guru Al juga tak kalah senangnya. Siang hari, gantian Pak Guru yang menemani Al mengerjakan soal agama. Al bisa menyelesaikannya dengan baik pula!

Terima kasih ya Al, sudah mengingatkan Bu Tia lagi, betapa menyenangkannya menemani anak-anak belajar hal baru.

Sunday, September 13, 2009

Mencari Lagi

Saya kangen menulis di blog ini. Lebih dari itu, saya kangen rasa yang melingkupi saya saat melangkah ke sekolah dan menyiapkan diri mengeksplorasi dunia bersama anak-anak di kelas, kemudian pulang dengan hati tergugah.

Satu setengah tahun ini praktis mengajar hanya bagian dari cara saya agar tetap sane. Atau untuk menghibur diri bahwa saya tidak kehilangan sesuatu yang saya cintai. Atau karena saya berpikir, i should teach. Satu setengah tahun ini saya mengambil tantangan untuk bekerja di luar lingkup ruang kelas untuk menciptakan sistem. Hasilnya, lumayan. Saya bisa melihat saya menghasilkan sesuatu. Saya bisa mengatakan saya bangga, mengingat semua harus saya pelajari sendiri, dengan beberapa sparing partner berdiskusi saja. Tidak cukup, dan rasa ingin berkembang itu ada. It's not a finish line. Namun saya "sudah" penuhi apa yang saya inginkan dan pernah saya bayangkan tentang mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan sistem dan kurikulum.

"Saya kangen mengajar. Saya sudah lama tidak melakukan sesuatu yang berani di kelas. " Ini saya lontarkan pada rekan mengajar saya dua hari lalu. Menurutnya, barangkali saya terlalu sibuk mengerjakan banyak hal sehingga tidak punya energi lagi.

Semalam saya jadi bertanya-tanya sendiri. Apa yang saya ingin lakukan? Ini adalah tahun ke enam saya ada di sekolah ini. Saya sudah pernah sampai pada kesadaran bahwa, ya, inilah bidang yang ingin saya tekuni. This is my life. Saya pikir sudah tidak ada pertanyaan lagi. Tapi sekarang, pertanyaan baru muncul lagi; di bidang ini sebenarnya apa yang ingin saya lakukan? Apa yang saya kuasai dengan baik? Apa yang membuat saya merasa bahagia mengerjakannya?

Menyusun kurikulum, membuat sistem, bekerja bersama para guru, mengelola sekolah, saya tahu semua itu dapat saya lakukan sambil tersaruk-saruk belajar. Saya merasa tertantang. I can say, i'm quite good in it. Saya senang diajak berdiskusi tentang semua itu.

Tapi saya berhenti menulis. Saya sering merasa lelah. Dahi saya lebih banyak berkerut. Alexander The Great bilang ia melihat saya menua dalam dua tahun terakhir. Saya lebih sering uring-uringan. Saya lebih sering bangun kesiangan. Saya ada di kelas, tapi saya kangen anak-anak. Saya mengajar, tapi saya sudah jarang belajar dari anak-anak.

Ruang spontan saya menciut. Seperti buah simalakama dari sistem yang saya rancang sendiri.

Hehe. Ini proses belajar, atau sebenarnya saya benar-benar harus mencari tahu apa yang seharusnya saya kerjakan? Apakah saya bisa mengerjakan keduanya, atau saya harus memilih salah satu? Apakah saya ingin menjadi orang yang berhasil, atau saya ingin jadi orang yang tulus dan bahagia?

Karena...

Saya sedang berpikir, apa jadinya kalau suatu hari, tiba-tiba, Tuhan bilang, ok, mulai hari ini surga dan neraka saya bubarkan. Saya juga mau berhenti menghitung dosa dan pahala.

Apakah kita akan berhenti berbuat baik?

Buat apa berbuat baik kalau nggak dapat skor apa-apa?

Metode dosa dan pahala, hadiah dan hukuman, adalah cara termudah dan seraihan tangan untuk membuat anak-anak mau melakukan sesuatu. Habiskan makananmu, dan kamu dapat stiker bintang. Naikkan nilai rapormu, dan kamu dapat hadiah liburan ke Disneyland. Kalau kamu kuat puasa sehari penuh, ayah kasih kamu seratus ribu.

Pemandangan indah memuaskan hati, apabila anak-anak itu giat melakukan apa yang kita inginkan di depan mata.

Sungguh saya mudah tergoda melakukan hal-hal potong kompas seperti itu, kalau saja saya tidak berpikir, apa yang akan terjadi bila saya mati. Apakah anak-anak akan berhenti menyayangi temannya? Apakah mereka akan berhenti belajar? Apakah mereka akan berhenti melakukan kebiasaan-kebiasaan baik lainnya?

Tidak semua hal di sekolah kami diupahi dengan nilai dan hadiah. Tak ada hadiah untuk hasil karya terbaik dalam Art Festival. Anak-anak mendapat kenikmatan ketika teman-teman dan guru-guru mengagumi hasil karya jerih payah mereka.

Tidak ada nilai ketika anak-anak ikut ekstra kurikuler yang saya pimpin beberapa tahun lalu. Anak-anak ingin ikut lagi karena menurut mereka kegiatannya seru. Alhamdulillah.

Sedih hati saya ketika mendengar, "Ah, ngapain ikut kegiatan itu kalau tidak ada nilainya. Berarti tidak penting, bukan? Saya boleh biarkan anak saya absen tanpa memberitahu."

Saya khawatir kami tak punya cukup waktu untuk mengenalkan anak ini pada rasa senang dan ingin tahu untuk melakukan sesuatu yang baru. Saya tahu, akan amat sulit baginya bertenggang rasa bahwa siapapun yang datang mengajar dalam kegiatan itu, datang sepenuh hati meluangkan waktu untuk berbagi, dan mungkin kecewa bila anak-anak yang ia sayangi tidak muncul lagi. Saya bisa membayangkan, anak ini akan perlu waktu lebih lama untuk mengenali dorongan dalam dirinya.

Tak ada nilainya, tak ada hadiahnya. Tak ada pahala, tak ada surga.

Apakah kita akan berhenti berbuat baik? Apakah kita akan berhenti melakukan hal yang kita sukai atau kita anggap penting?