Monday, February 25, 2008

Nongkrong

Biasanya, guru-guru suka mengantar anak-anak sampai ke depan gerbang sekolah. Setelah mengajar di kelas lima, saya mulai berhenti melakukannya. Pertama, anak-anak lebih sering pulang usai jam ekstra kurikuler, yang mana bukan kelas saya. Kedua, rasanya kok mereka sudah gede. Mereka sudah tak perlu diajak menyanyi sambil berbaris lagi, kan?

Tapi, kadang-kadang saya dan Bu Evi juga berjalan ke gerbang bersama mereka. Hari ini pun begitu. Saya bermaksud mengantar mereka sampai kemudian, anak-anak ini berhenti di tangga. Duduk di sana. Dan mengobrol.

Beberapa saat menunggu, agaknya mereka tak hendak bergerak. Jadi saya tanya, "Kok malah duduk di tangga. Tidak pulang?"

Apa coba jawaban mereka?

"Nongkrong dulu, Bu..."


Nongkrong.....* Bu Tia geleng-geleng kepala*.

Thursday, February 21, 2008

Minggu sibuk

Saya selalu suka minggu-minggu seperti ini di sekolah. Minggu-minggu di mana semua kelas dan guru-guru hiruk pikuk menyiapkan penampilan untuk pentas seni tahunan. Saya senang menonton anak-anak TK dan kelas 1 berlatih menyanyi di lapangan. Suara mereka lantang, nadanya tepat, dan polos. Ada yang tahu-tahu berdiri di depan. Ada yang tiba-tiba melamun. Ada yang menyanyi penuh semangat. Yang jelas, mata-mata yang bening itu seperti menyanyi sambil tersenyum. Sungguh bikin terharu.


Nah, sekarang saya sempat-sempatkan nonton, karena hari H pasti panik... jadi tidak sempat lihat apa-apa. Hehehehe.

Sunday, February 17, 2008

Dua belas Sekolah

Beberapa kali, saat saya mampir di kedai fotokopi untuk memperbanyak lembar kerja anak-anak, seringkali saya mendapat sapaan.

“Mbak guru ya?”

Dan obrolan berlanjut. Tidak jarang, teman mengobrol saya itu guru juga. Itu pula yang terjadi kemarin. Seseorang tertarik pada teks tentang Pramuka yang sedang saya fotokopi. Lalu mulai bertanya-tanya. Apakah saya melatih Pramuka? Apakah saya kuliah keguruan? Bukan? Apakah saya mengambil akta 4 juga, tanyanya. Tidak, kata saya sopan. Mengajar kelas berapa? Wali kelas, bukan?

Ia bercerita tentang bagaimana ia sedang kuliah, sekaligus mulai mengajar.

“Saya mengajar di anu, itu, dan ini. Untuk SD, saya mengajar di dua belas sekolah.”

Saya bengong. Dua belas sekolah? Sambil kuliah? Lepas dari dia guru khusus olahraga, tetap saja saya terpana dibuatnya.

Mas-mas kedai fotokopi yang sudah akrab dengan saya, berteriak dari jauh, “Ini sepuluh kali, kan?”

Saya mengangguk. Mengiyakan si mas-mas fotokopi dan pamitnya si Pak Guru muda itu.

Dua belas sekolah… dan saya punya sepuluh murid.

Kadang-kadang pertemuan seperti ini membuat patah hati. Bagaimana saya bisa berpongah-pongah tentang progam belajar yang berorientasi pada anak, menanamkan berbagai nilai-nilai, mengenali tiap penghuni kelas satu-persatu seakan mereaka adalah sekumpulan tamu negara, sementara di kecamatan sebelah ada murid-murid dua belas sekolah berbagi satu guru.

Wednesday, February 13, 2008

Gambang Kromong

Ada satu mata pelajaran yang paling sulit dicari bahannya. Namanya PLKJ atau Pendiikan Lingkungan dan Kesenian Jakarta. Apalagi kalau membahas tentang kesenian. Saya cari tamu yang bisa menari betawi, selalu bentrok dengan jadwal kerja mereka. Saya cari foto orang bermain tanjidor di internet, sungguh nggak mumpuni. Akhirnya, saya dapat pinjaman video Anak Naga Beranak Naga dari teman. Isinya tentang Gambang Kromong.

Meski film dokumenter ini agak sulit bagi anak umur sepuluh tahun, saya tetap mengajak mereka nonton hari ini. Saya bebaskan mereka menonton sambil berkomentar dan tidur-tiduran. Saya pause sesekali karena saya harus menyederhanakan penjelasan tentang sejarah peranakan Tionghoa di masa penjajahan Belanda. Tapi, anak-anak mau mendengarkan gambang kromong. Akhirnya, bacaan-bacaan mengenai ambang kepunahan tanjidor, dan gambang kromong jadi nyata di depan mata.

"Oh iya, bener ya bu, yang main udah tua-tua semua. Aku tidak mengira orangnya tinggal sesedikit itu. Aku kira masih banyak."

"Menurut ibu, Ibu Masnah yang di film tadi masih hidup tidak? Mau nggak dia ngajarin kita?"

Nona Hitung saya, Dhara, menyahut, "Film itu dibuat tahun 2005 dan umurnya sudah 80 waktu itu."

Selesai menonton anak-anak masih berkomentar tentang ingin belajar sesuatu tentang Betawi. Ingin belajar menari Bali. Ingin belajar main gamelan.

Pertanyaan Mini menyela lagu Cente Manis Berdiri, "Kalau ayahku pemain gambang kromong, aku bangga tidak ya?"


Susah, pertanyaannya tentang akar.
Tentang identitas
Saya tidak berani menjawab kecuali tersenyum. Dan menanggapi sambil bergumam, "Pertanyaanmu menarik."

Thursday, February 07, 2008

Sekali Lagi, Belajar Bermain

Beberapa hari belakangan ini, anak-anak sedang diserang demam kerja keras. Terutama di jam pelajaran matematika, saat mereka sedang belajar tentang pecahan. Setelah berjam-jam penuh permainan, kelas bisa jadi begitu sunyi dan sepi sampai saya takut melangkah. Dalam beberapa pertemuan terakhir, anak-anak akan meneriaki saya kalau saya bilang waktu mengerjakan lembar kerja sudah habis. "SEBENTAR BU, SEDIKIT LAGI!"

Ibu Guru Matematika hanya berbisik, "Sepertinya mereka menikmati, karena mereka sedang bisa mengerjakannya."

Beberapa pertemuan matematika terakhir ini membuat saya belajar, setidaknya menegaskan kembali apa yang harus saya pelajari, bahwa nature anak-anak adalah bermain. Ibu Guru Matematika adalah ibu guru matematika tersabar di dunia yang pernah saya temui. Tidak, bukan karena beliau tidak pernah marah, bahkan pada anak-anak yang lupa membawa pekerjaan rumahnya, tapi karena beliau selalu sabar menunggui anak-anak bermain sampai mereka mengerti bahkan saat kurikulum mengejar-ngejar seperti hantu disela-sela banyak akhir pekan yang panjang.

Ibu Guru Matematika akan memandang saya dengan cemas, mengeluhkan pendeknya waktu, tapi tetap membiarkan anak-anak bermain matematika. Beliau tak pernah terburu-buru mencari jalan tersingkat dengan menyuapi anak-anak. Dengan amat sabar selalu dibiarkannya anak-anak bermain sendiri untuk memahami konsep-konsep matematika.

Nature anak-anak adalah bermain. Jika kita mengambil waktu bermain mereka, maka kita mengambil kesempatan mereka untuk belajar. Tantangan bagi orang dewasa adalah, berhenti bersikap sok tahu dan menyuapi mereka tentang apa yang harus mereka pelajari. Mereka akan belajar, kalau kita biarkan mereka bermain.