Wednesday, July 16, 2008

Hari Pertama

Hari pertama.

Anak-anak kelas 6 mulai muncul di sekolah sebelum pukul tujuh pagi dan sudah berlari-lari ke kelasnya. Ketika dipeluk dari belakang, saya merasa dipeluk raksasa...hihihihi.
Mereka benar-benar siap sekolah lagi sampai-sampai belum waktunya masuk kelas sudah duduk manis semua di mejanya. Bu Andin menyuruh mereka main keluar, karena masih ada waktu, dan anak-anak berkilah bahwa mereka mau di situ saja. Akhirnya kelas 6 masuk kelas 10 menit lebih awal.

Saya menemani kelas 5 makan snack pagi, bertanya-tanya mengapa mereka tampak begitu dewasa dan tidak teriak-teriak tak tentu seperti biasanya. Selesai makan, Dhimas mengomentari hot dog besar yang ia habiskan sekali makan. Tidak pernah begitu lho Bu, biasanya. Dalam hati saya bilang, lihat saja tahun ini, pasti mulai wabah kelaparan di kelas 5. Dhimas dan Agung menyelesaikan membuat sampul buku.

"Why don't you play outside? This is your first day!"

"Don't worry, Bu. There will be another 200 days."

Saya bilang pada anak-anak kelas 5 bahwa saya akan mengajar IPA dan Bahasa Indonesia. There will be a lot of writing, (Oh nooooooooo!!!!) dan Thalia yang sekarang tak terlalu pendiam lagi, memandang saya berbinar-binar. Ya, ya, saya pasti akan melihat banyak tulisan bagus darinya tahun ini.

Sepulang sekolah, Carlo berpegangan pintu pagar mungil sekolah dan bilang pada ibunya, "Kok sekolahnya sebentar sekali?!"

Sekolahnya atau mainnya yang sebentar?

Mereka dan saya tertawa.


Tapi, hari ini saya melihat pemandangan yang membuat saya tersenyum. Serombongan bapak dan ibu yang begitu bangga pada anak-anak TK A dan Kelas 1nya sehingga nyaris tak beranjak dari jendela-jendela kelas.

Hebatnya, tidak ada yang menangis karena takut ditinggal hari ini! Yey!

Monday, July 14, 2008

Two Days Before The First Day

Mini : Hari Rabu ada yang harus dibawa, tidak?

Saya : Makanan untuk snack pagi :)

Mini : Maksudnya di luar dari yang biasa kita bawa.

Saya : a whole bag of spirit? :)

Mini : Hahahaha... Memangnya kita biasanya nggak bawa itu ya, Bu?

Saya : -- jadi malu -- Hehehe, biasanya kalian bawa kok. Malah banyak.

Mini : We're always excited.

Saya : Oh, i will quote this.

Sunday, July 13, 2008

Mengeluh

Ini adalah keluh kesah lama yang sudah amat lama pula bersarang di kepala saya. Terpicu kembali dengan nilai UAN seseorang di ujung desa yang lantas tidak bisa masuk sekolah negeri karena nilai UANnya kurang sedikit.

Saya tahu di sebuah sekolah maha unggulan di Jakarta ini menyeleksi calon siswanya hanya dari nilai ujian akhir sejak namanya EBTANAS sampai UAN. Rata-rata nilai yang dibutuhkan untuk menembus sekolah maha unggulan itu ((ketika hanya 3 mata pelajaran diujikan, pada suatu tahun) adalah lebih dari 9,5. Ya, kalau 9, 5 boleh deg-degan belum tentu diterima deh. Mungkin tahun ini, dugaan saya, sekitar 9.

Maka keluh kesah lama saya mencuat lagi.

Apa sebenarnya kriteria sekolah maha unggulan itu? Sekolah yang isinya anak-anak super pandai dengan fasilitas maha lengkap?

Mengapa logika itu tak masuk-masuk di kepala saya? Sebab menurut saya tidak ada susahnya mengumpulkan anak paling pandai seantero Jakarta, lalu berbangga hati karena sekolah itu selalu berhasil memasukkan mantan murid-muridnya ke sekolah-sekolah lanjutan terbaik. Atau diberi nama unggulan karena alasan itu. Atau selalu dapat kemudahan memperoleh fasilitas terbaik hanya karena mengumpulkan anak pintar?

Hah, bukannya anak sepintar UAN dengan rata-rata nyaris 10 itu dilepas di lapangan berumput juga tetap pintar, ya?


Sepertinya saya memang salah mikir.

Seorang teman saya mewawancara calon murid baru di kelas 1 dan bercerita saat makan siang.

Eh, saya tadi bertemu seorang anak dari sekolah A. Dia mau masuk sekolah kita. Lalu, kami mengobrol, dan saya pikir sebaiknya dia masuk sekolah kita.

Kenapa, saya tanya.

Dia manis sekali. Mengerjakan apa-apa selalu rapi. Ditanya juga selalu menjawab, dan jawabannya baik. Pintar juga. Tapi bukan itu alasan saya.

Lalu, apa?

Dia tidak bisa senyum. Ketawanya malu-malu. Saya pikir ia harus ada di sekolah kita supaya bisa lebih lepas tertawa dan berani.

Kami saling pandang dan cengar-cengir.


Tidakkah seharusnya sekolah unggulan bisa berpikir lebih hebat dari obrolan kami itu? Sekolah unggulan mestinya bisa mengembangkan siapa saja yang masuk ke sana menjadi jauh lebih baik. Mestinya sekolah unggulan tidak bangga karena berhasil menyeleksi anak-anak yang pandai, tapi anak-anak yang butuh. Sebab mestinya sekolah unggulan yakin bahwa mereka bisa memenuhi kebutuhan murid-muridnya. Mestinya sekolah unggulan tidak bangga karena statistik kelulusan dan penerimaan di sekolah lanjutan bergengsinya amat tinggi. Mestinya sekolah unggulan bangga karena murid-muridnya jadi tahu minat dan kemampuan mereka dan berhasil mencari jalan menuju sekolah-sekolah terbaik sesuai minat dan kemampuan mereka.


Sekolah unggulan mestinya sudah lebih unggul dari bicara tentang angka. Mereka mestinya sudah lebih maju dan bicara tentang bangsa.


Saya hanya bisa berharap, mereka yang tak mampu masuk sekolah unggulan karena nilai UANnya tidak sempurna, tak berpikir bahwa mereka kurang berharga. Bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik, atau bahwa mereka merepotkan orang tua yang tidak bisa berbangga hati. Semoga mereka tak termakan sistem pendidikan di negara ini yang memberi pesan bahwa a good learner should be perfect.

Wednesday, July 09, 2008

School Sick



Selama liburan ini saya sering chatting bersama anak-anak. Paling sering ngobrol bersama Mini. Hari ini, Riri juga ikut mengobrol sebentar. Mini sudah ingin masuk sekolah lagi. Acara bekerja di sekolah saya bersama guru-guru lain dianggap Mini sebagai, 'Bu Tia sih enak, tiap hari ke sekolah."

Sekolah baru akan dimulai satu minggu lagi.

Riri bilang, dia kangen berat dengan sekolah. And she called it, a school sick.

hihihi....