Saturday, July 29, 2006

Stress

Saya mengajak anak-anak mengobrol tentang acara televisi kesukaan mereka. Setelah ini mereka akan menulis tentang salah satu episode yang mereka tonton, tapi sebelumnya kami duduk di karpet dan membicarakan Spongebob sampai Extravaganza. Datanglah pertanyaan anak-anak, Bu Tia suka nonton apa?

Saya terdiam sebentar. Apa ya? Bu Tia jarang menonton televisi. Saya menonton televisi kapan saja saya mau, jadi hampir-hampir tidak punya acara yang saya tunggu-tunggu atau saya jadwalkan menontonnya. Saya berangkat begitu awal, dan pulang cukup malam hingga hanya punya sedikit waktu menempel pada komputer bersaluran internet di rumah.

Putri keheranan. Bu Tia tidak pernah menonton berita?

Hehe. Bu Tia tahu berita dari membaca koran atau browsing. Jarang menontonnya di televisi.

Putri membalas, baguslah bu. Kata ayahku jangan kebanyakan nonton berita, bisa stress.

Thursday, July 27, 2006

Bel

Satu hal yang lucu di sekolah kami, setiap kelas punya bel sendiri. Setiap bel bunyinya berbeda-beda, dan dalam waktu singkat anak-anak sudah tahu bunyi apa digunakan untuk memanggil siapa.

Jadwal istirahat dan belajar untuk TK, SD1 dan 2, kemudian SD3 dan 4 memang berbeda. Seringkali, saat semua anak sedang sibuk berlarian di halaman, guru kelas 3 membunyikan bel sambil mengangkat tangan dan memberi tanda tiga dan empat bergantian. Artinya, hanya kelas 3 dan 4 yang perlu kembali ke kelas. Begitu pula saat kelas 1 dan 2 harus mengakhiri jam bermain. Kalau saya yang membunyikan bel, kadang-kadang anak kelas 1 tidak terlalu peduli, merasa belum dipanggil. Jadi saya perlu memberi kode satu dan dua dengan jari bergantian. Barulah semua berlari menuju kelas masing-masing.

Beberapa hari ini, kami tak perlu lagi melakukan itu. Begitu mendengar bel, otomatis tangan anak-anak terangkat memberi tanda tiga dan empat, atau satu dan dua, sambil berlari-lari masuk kelas.

Rasanya seperti ada di tengah lapangan terbang.

Monday, July 24, 2006

Contoh

Pagi Hari

Sekar dan Sargie tidak masuk hari Jumat yang lalu. Sejak pagi mereka sudah sibuk bertanya apa yang dilakukan teman-teman hari Jumat itu. Saya menunjukkan Si Kaki Seribu yang kami buat dan mengatakan bahwa mereka bisa membuatnya jika ada waktu luang.

Ketika waktu makan habis dan waktu bermain di luar sudah tiba, saya melongok ke dalam kelas menemukan mereka masih di kelas.

Äyo, kita main di luar!""

Sekar dan Sargie tetap di tempatnya dengan satu boks alat tulis di meja. "Tidak bisa. Aku banyak pekerjaan. Ini belum selesai. "

"Tidak apa-apa, nanti saja waktu jam pelajaran."

Dua-duanya memandangi saya heran. ""Ini aku selesaikan dulu, bu. Habis itu aku baru main."

Saya angkat bahu lalu lari keluar melihat Carlo dan teman-teman sudah hilir mudik dengan skuter-skuter mereka.

Siang hari

Anak-anak sudah pergi cuci tangan saat saya melihat rak mainan mereka tumpang tindih berantakan. Agak segan memanggil, saya bereskan sendiri rak itu. Belum lagi selesai, seseorang memanggil saya di pintu dan saya perlu bicara dengannya. Sementara itu anak-anak sudah kembali ke tempat duduk masing-masing untuk makan. Sargie memandangi rak berantakan yang saya tinggalkan. ''Itu kok belum dibereskan, bu. Siapa tadi yang terakhir bermain?"

Saya hanya bilang, "Tadi sepertinya (anak-anak) tidak membereskan dengan sungguh-sungguh, jadi bu tia bantu bereskan saja."

Sargie dan Sekar langsung turun tangan membantu saya membereskan mainan itu tanpa diminta.




Aneh rasanya.


Sunday, July 23, 2006

Hari Anak Nasional

Hari ini adalah hari tanpa televisi.
Minta ayah dan ibu menemanimu sehari penuh, bermain dengamu, membacakan buku dan mendengar cerita-ceritamu baik yang sungguhan maupun khayalan.
Jangan bolehkan orang dewasa manapun menyuruh televisi untuk menjagamu, menjadi gurumu, dan menjadi teman bermainmu.

Selamat hari anak nasional.

180 derajat

Seminggu sudah berlalu, dan saya bisa merasakan bedanya. Saya tidak perlu mengeluarkan darah dan air mata hanya untuk mengontrol situasi kelas. Semua terjadi seperti harapan saya. Akibatnya saya kekurangan cerita.

Dari tiga belas orang hanya satu anak yang tidak bisa berhenti mengoceh. Meski demikian saya rindu pada antusiasme berlebihan yang biasanya muncul di kelas saya. Saya juga rindu pada wajah-wajah tak merasa bersalah kalau saya ngomel panjang pendek. Entah mengapa saya merasa wajah-wajah tak pernah merasa bersalah itu wajah-wajah yang sebenarnya mengerti watak saya. Wajah-wajah yang gengsi kalau menuruti kemauan saya hari ini, tapi diam-diam mengubah sikapnya minggu depan.

Anak-anak manis tahun ini begitu peka. Bahkan pada sebuah teguran terselubung, saya bisa menemukan wajah-wajah kecewa karena tidak berhasil menyenangkan hati saya. Saya malah ketakutan sendiri ditanggapi seperti itu.

Anak-anak manis tahun ini juga pekerja keras. Mereka tekun membuat tulisan tangan yang paling baik yang mereka bisa. Ketika dengan lembut saya hanya bilang, "Lain kali kita menulis lebih rapi ya... " mereka akan mengambil kertas itu dari tangan saya dan memperbaiki semuanya.

Sepertinya saya justru perlu membuat mereka agak badung sedikit agar mereka lebih berani memecahkan masalah sendiri, dan tidak cepat mundur ke balik punggung siapapun yang bersedia menolong ketika ada hambatan di depan.

Kita lihat saja tahun ini akan jadi seperti apa.

Saturday, July 15, 2006

Siapa yang perlu mengajari apa?

Fakta bahwa seisi dunia sedang sibuk membentuk kubu-kubu dan menyerang kubu lain yang "berbeda" dari mereka sehingga menciptakan perang dan pembantaian masal membuahkan banyak pointers dalam kurikulum-kurikulum untuk mengajari anak-anak menerima perbedaan, mengembangkan sikap toleran dan menghargai sesama.

Lucunya, saya melihat bahwa anak-anak lebih bisa menerima perbedaan dan get along with it daripada orang-orang dewasa di sekitar saya.

Bagaimana Zaky diterima di kelas barunya dan tetap dianggap teman oleh kelas sebelumnya adalah contoh paling nyata. Di saat yang sama saya tahu ada orang tua yang merasa bersyukur Zaky tidak naik kelas sehingga tidak mengganggu anaknya. Saya juga tahu ada orangtua yang khawatir bahwa kehadiran Zaky mungkin berpengaruh pada kenyamanan dan kesehatan mental anaknya.

Pada mereka yang belum paham tentang kesulitan belajar dan kebutuhan khusus, anak-anak lah yang saya jadikan contoh tentang bagaimana seharusnya bersikap. Nih lihat, anak-anakmu sudah tahu dan sudah bisa menerima orang lain yang berbeda dengan tulus, tidak pura-pura.

Saya sendiri selalu tersentuh ketika anak-anak kelas 2 yang baru tidak mengungkit apapun tentang kehadiran Zaky di kelas, tetap mau mengobrol menggambar dan bermain bersama. Begitu juga ketika kelas 3 kadang-kadang datang mengintip ke kelas saya, melambai pada Zaky. Mereka mengundang Zaky main ke kelas 3 dengan ekspresi kangen dalam kata-katanya. Mereka main kejar-kejaran dan tertawa-tawa bersama.

Gagal atau berhasil di kelas, ia teman saya.
Menyebalkan atau menyenangkan, ia tetap teman saya.
Sama atau berbeda, bagaimanapun ia teman saya.

Itu yang saya tangkap dari sikap teman-teman Zaky.

Contoh lain yang menurut saya mengharukan muncul baru-baru ini. Di kelas saya ada seorang anak perempuan manis dengan kulit putih, mata sipit, senyum yang menawan dan pipi gembil menggemaskan. Ia berkawan akrab dengan semua orang di sekolah meski barangkali merasa bahwa penampilan fisiknya berbeda. Di tahun ajaran baru ini ia bertemu seorang anak kelas 1 dengan kulit putih, mata sipit, rambut panjang, senyum yang sama menawannya.

Teman-teman yang lain segera menyadari "kemiripan" mereka. Begitu juga anak perempuan kelas saya ini. Ia datang kepada saya menggandeng teman baru yang 'mirip' itu dan berkata, "Ibu, lihat, sekarang saya punya teman yang mirip dengan saya. "

Teman-teman yang lain juga datang dan berkata, "Ibu, Ibu, lihat Mey dan Nissa mirip ya? " Mereka mengatakan itu dengan ekspresi senang karena temannya senang mendapatkan sesuatu yang dikenalnya.

Saya tertawa-tawa saja. Sejujurnya mereka tidak mirip bagai pinang dibelah dua atau semacamnya. Kalau anda melihat barangkali kesimpulan anda hanya mereka berasal dari ras yang sama. Titik.

Tetapi, melihat mereka berbaur, bermain bersama tanpa prasangka apa-apa, tanpa kalimat-kalimat menyakitkan, saya merasa ada di dunia Imagine-nya John Lennon.

Barangkali toleransi pada perbedaan itu alamiah ada pada anak-anak. Ini sesuai dengan keinginan mereka mengeksplorasi segala sesuatu dan mengenal dunia lebih baik. Sama atau berbeda bagi mereka adalah bagian dari fakta yang mereka temukan di lingkungannya. Semua sama menariknya.

Kita, yang mengajari mereka memberi label dan harga. Kita yang sering memberitahu mereka bahwa kelompok A lebih baik, kelompok B lebih buruk dan kelompok C tidak ada harganya. Mereka, anak-anak, meniru kita orang dewasa untuk memiliki prasangka. Mereka melihat sikap tubuh dan ekspresi kita untuk belajar melakukan diskriminasi. Kita sama buruknya dengan sinetron-sinetron televisi.

Sepertinya kita yang harus belajar dan meniru anak-anak bagaimana itu bersikap toleran dan penuh rasa sayang. Lebih baik lagi, jangan mengajari anak-anak terlalu banyak. Kita akan menyesatkan mereka.

Kelas Baru

Di kelas baru saya ada 13 orang anak, delapan perempuan dan lima laki-laki. Semuanya masih kecil. He, sepertinya ini perasaan subjektif karena sampai bulan lalu saya masih bersama anak-anak yang satu tahun lebih tua dari mereka. Satu tahun besar artinya untuk anak-anak.

Seperti biasa pula, 13 anak ini macam-macam adatnya. Ada yang acuh tak acuh, ada yang penuh perhatian. Ada yang serba cepat, ada yang senang berlambat-lambat. Ada yang suka mengatur, ada juga yang terima saja diatur-atur. Bagaimanapun kelas ini punya karakter sendiri. Yang paling nyata adalah anak-anak ini sangat manis dan mudah diatur. Rasanya saya berubah menjadi orang yang ramah dan sangat penyabar bersama mereka. Biasanya kan saya harus galak.

Satu yang membuat saya sempat kelabakan dua hari, anak-anak ini bekerja sangat cepat sampai-sampai semua rencana kegiatan selama tiga hari sudah selesai dalam dua hari. Mereka tidak mengobrol saat bekerja dan makan. Heran saya jadinya. Belum lagi ternyata rentang kemampuan mereka relatif sama.

Teman saya berpendapat bahwa dua bulan lagi mereka akan sama gilanya dengan kelas-kelas yang lalu. Saya hanya tertawa. Saya juga belum tahu. Saya masih ingin kenal lebih jauh dengan mereka. Saya hanya yakin bahwa beberapa saat lagi mereka akan menampilkan keistimewaan-keistimewaan masing-masing.

Friday, July 14, 2006

Sebelumnya

Saya sedang tidak enak hati karena harus ke dokter gigi. Saya bukan orang yang anti dokter gigi, tapi dokter yang saya percayai itu ingin mencabut dua gigi saya yang tidak salah apa-apa. Seperti ketemu buah simalakama, proyek membetulan susunan gigi tak akan berhasil tanpa pengorbanan ini. Tetap saja saya merasakan turbulence di dalam hati. Makin dekat waktunya, makin gelisah saya jadinya. Tak ada dukungan memadai yang saya dapatkan untuk menembus kemacetan satu setengah jam menuju klinik itu.

Tidak enak bukan rasanya?

Sampai kemudian telepon genggam saya berbunyi. Musa di ujung sana. Menanyakan pendapat saya atas gelang hati pemberiannya, liburan saya, lalu mengoceh panjang tentang film-film yang ia tonton selama liburan, terutama tentang Thomas dan sahabat-sahabatnya.

Kali ini, saya mendengarkan sepenuh hati. Musa senang bercerita dan sepanjang tahun lalu ia bekerja keras membuat penceritaannya mudah dipahami dan dinikmati pendengarnya. Musa terus bercerita selama 20 menit dan menyisakan dua menit waktu bagi saya memberi sedikit tanggapan di sana sini.

Setelah Musa mengucapkan good bye dan menutup telepon, saya merasa jauh lebih baik dan ringan. Saya punya banyak hal berharga, mengapa harus ribut dengan dua buah gigi.

Sesampainya di klinik, saya masih harus menunggu sepuluh menit. Saya kirim SMS pada Musa, "Thank you, your phone call made me happy."
Musa menjawab ringan, " Your welcome."


Monday, July 10, 2006

Hampir Siap

ya 2 hari lagi... dan carlo sudah set sendiri alarm reminder di hp
ibunya yang berbunyi "tanggal 12 aku sekolah tidak boleh terlambat". Alarm akan
berbunyi tepat pukul 6.30... itu rencana dia mau berangkat... siap2 terlalu pagi
sampai sekolah... pokoknya ngga boleh terlambat... :)



Ok, Carlo. Kami juga tidak akan terlambat kok. Semua kegiatan persiapan sudah dimulai hari ini. Semua alat tulis sudah didistribusikan ke kelas masing-masing; pensil, buku, kertas, spidol, krayon, cat air, penghapus, penggaris, dan gunting. Semua label sudah dicetak, dilaminating dan ditempel di tempat-tempat yang semestinya. Semua map sudah ada di kotak masing-masing. Kursi meja sudah disusun. Karpet baru sudah digelar.

Kegiatan orientasi pun sudah disiapkan. Di sekolah kami tahun ajaran tidak pernah dimulai hari Senin, tetapi Rabu. Akan ada tiga hari yang dialokasikan untuk saling mengenal dan menjadi terbiasa dengan kelas yang baru. Tiga hari penuh permainan termasuk permainan detektif-detektifan kesukaan Bu Tia.

We're almost done.

Sampai ketemu hari Rabu. Jangan lupa, kenakan pakaian kesukaanmu, bawa tas hasil karyamu, makanan kecil, dan bawa semangat sebanyak-banyaknya. Kita akan sangat membutuhkan itu.

Wednesday, July 05, 2006

Sabar, Sebentar Lagi

Sabar, sabar. Liburan sudah hampir habis kok.
Satu minggu lagi 13 murid yang baru akan menyerbu kelas 2.
13 anak-anak yang pastinya berbeda dengan kelas yang baru lalu.
Mereka akan membuat ratusan cerita lagi.
Cerita-cerita yang berbeda, pelajaran-pelajaran yang baru buat kita.

Sabar ya, satu minggu lagi.