Friday, April 29, 2005

Sudut Pandang

Teman saya yang baru kemarin terpaku. Aisha bertanya, "Berapa umur Ibu?"
Tema saya yang baru enggan menjawab. Katanya, "Umurnya sudah banyak."
Aisha dan teman-teman lainnya tidak puas. "Iya, tapi berapa umurnya?"
Percakapan 'perkenalan' anak-anak dan teman saya yang baru terputus begitu saja.

Beberapa minggu yang lalu, anak-anak juga memaksa saya menimbang berat badan untuk mereka catat (!) dalam pelajaran matematika. Saya yang sedang peka dengan berat saya sendiri tadinya hampir bilang, "Tidak, ah!" tapi saya tidak tega. Ternyata, mereka tidak komentar bahwa saya terlalu berat.

Kemudian saya baru sadar, bahwa anak-anak punya sudut pandang yang berbeda dengan perempuan dewasa tentang umur dan berat. Untuk anak-anak yang sedang tumbuh ini, makin tua usiamu, kamu makin hebat! Makin berat badanmu, kamu makin hebat! They have no idea about getting old and not so cool anymore, or obesity. It's out of their mind. They won't think about you in that frame of mind.

Di kelas saya, ulang tahun ke 8 adalah SUPER HEBAT. Berarti ia sudah duduk di jajaran 'kami yang sudah umur delapan" dan meninggalkan mereka yang "masih tujuh tahun." Mereka menimbang berat dan mengukur tinggi berjuta-juta kali sepanjang tahun untuk menyaksikan dan menikmati pertambahan satu sentimeter atau satu kilo.

Menurut saya, sudut pandang ini juga muncul dari umpan balik percakapan kita dengan anak-anak itu. Coba lihat ini.

Adult : How old are you?
Child : 6 years old.
Adult : Wow, that's great! You are a big boy!
Child : I am going to be be 7 next year. *grinning*

Adult : Hmm, you look bigger than the last time i see you.
Child : Of course. Now I am 27 kg. I am the second heaviest boy in my class.

Adult 1 : How old are you?
Adult 2 : It is not polite to ask a woman about her age.

Adult 1 : Hmm, you look bigger than the last time i see you.
Adult 2 : REALLY????? I always fail my diet. I tend to eat more. Sigh.

Jadi, kalau ada anak-anak yang bertanya berapa umurmu? Jawab saja. 25 tahun adalah sangat keren. Kalau mereka bertanya berapa beratmu. Tidak masalah. Mereka menunggu-nunggu kapan bisa jadi seberat itu!

Monday, April 25, 2005

Tico and Sepasang Sayap Emas

Cerita ini tentang seekor burung bernama Tico. Tico tidak punya sayap. Ia bisa menyanyi, ia bisa melompat, tetapi Tico tidak bisa terbang.
Tico selalu bertanya-tanya seperti apa rasanya terbang di pucuk pohon. Seperti apa segarnya angin di langit yang biru. Tico tidak pernah tahu. Untung Tico punya teman-teman yang baik hati. Teman-teman Tico selalu membawakan Tico oleh-oleh berupa buah-buahan yang segar dari perjalanan mereka.

Tetapi, Tico tetap bermimpi suatu hari ia akan memiliki sepasang sayap emas yang kuat dan kokoh. Tico terus berharap hingga suatu malam seekor burung berwarna putih seperti mutiara mendatanginya. Tico, aku adalah burung yang mengabulkan permintaan. Sebutkanlah keinginanmu dan aku akan menjadikannya kenyataan. Tico ingat pada mimpinya yang paling istimewa; sepasang sayap emas!

Keesokan paginya Tico bangun dengan sepasang sayap emas yang indah di sisi-sisinya. Tico mengepakkan sayapnya dan... ia terbang!!! Dengan gembira Tico terbang mengitari pohon yang paling tinggi dan langit yang biru jernih. Tico menghampiri teman-temannya di Pohon Besar.

Teman-teman Tico tidak gembira melihat sayap baru Tico. Tico, kamu pikir sayapmu paling bagus di dunia ya? Kamu pikir kamu hebat dengan sayap emasmu? Kamu pasti ingin berbeda dengan kami. Teman-teman Tico terbang pergi. Tinggal Tico sendiri.

Tico tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Bukankah sekarang ia bisa ikut teman-temannya terbang kemana mereka suka? Dengan sedih Tico terbang sendirian. Ia bertemu dengan seorang perajin keranjang yang miskin. Si perajin menangis sedih. Ia tak punya uang untuk anaknya yang sakit. Tico berpikir keras, apa yang bisa ia lakukan untuk si perajin?
Tico mencabut selembar bulunya yang kuning emas dan memberikannya pada si Perajin. Terimakasih banyak Tico! Dan lihatlah sayapmu kini! Tempat bulu yang dicabut Tico terisi selembar bulu hitam sehitam tinta India.

Tico mengerti sekarang! Kemudian, dengan bulunya, Tico membelikan seorang nenek alat pemintal benang. Ia juga membeli satu set boneka baru untuk pemain boneka. Ia membeli sebuah kompas untuk nelayan yang selalu tersesat. Bulu emas yang terakhir diberikan Tico pada seorang calong pengantin yang amat cantik.

Kini, sayap Tico tidak lagi berkilau keemasan. Sayap Tico kini adalah sepasang sayap hitam yang sama dengan sayap teman-teman Tico. Di Pohon Besar Tico disambut gembira oleh teman-temannya. Kini kau sama dengan kami, Tico! Mereka bernyanyi berdekatan. Tico senang, tapi hatinya berkelana pada kenangan tentang Pak Perajin, Nenek Tua, Nelayan, Pemain Boneka, dan Pengantin Yang Cantik. Tico tidak merasa sama dengan teman-temannya. Apa yang sudah ia lalui telah membuat Tico menjadi burung yang berbeda.

"We are all different. Each has his own memories and his invisible golden dreams."

Diceritakan kembali dari buku Tico And The Golden Wings oleh Leo Lionni.

Cerita ini saya bawakan untuk anak-anak tadi pagi. Mereka terpesona. Mereka berbagi bagaimana mereka sama dan berbeda dengan satu sama lain. Mereka mengakui bahwa setiap dari kami adalah ... Unik. Ya, Dara menemukan kata yang tepat. Unik.

Therefore, we are going to develop a tolerance for our uniqueness.

Sunday, April 24, 2005

Finding Neverland

Sekali lagi tentang ngobrol-ngobrol makan siang. Suatu makan siang, saya dan anak-anak mengobrol tentang film-film yang kami tonton. Saya lupa obrolan kami sampai mana waktu saya bertanya, "Ada yang sudah nonton Finding Neverland? Itu film bagus lho. Kalian harus nonton."

Lika menjawab, 'Oooh... film itu! Aku sudah nonton film itu. Menurutku film itu bagus sekali. Aku sukanya karena di film itu tidak ada tokoh yang jahat."

Wah, saya senang sekali dengan jawaban Lika! Kalau diingat-ingat, film tentang bagaimana cerita Peter Pan tercipta itu memang tidak punya tokoh antagonis. Tokoh-tokohnya ada dalam wilayah abu-abu. Semua mengusung masalahnya sendiri-sendiri.

Saya memang sudah lama kepingin mengajak anak-anak kelas saya menonton film ini. This great movie teach you about working with love. Tentang bagaimana caranya serius berimajinasi. Most of all, because i love storytelling.

Saturday, April 23, 2005

Bagian dari peer group

Kemarin saya sedang ada di mobil, menuju Kebon Jeruk. Telepon seluler saya berbunyi, saya melihat nama Mini muncul.

saya : Halo, Mini?
suara di seberang sana : Ini Bu Tia?
saya : Iya, Mini, ada apa?
suara di seberang sana : Ini Adam, Bu!
saya : Lho, Adam? Kamu sedang ada di rumah Mini?
Adam: Iya! Adam main di rumah Mini. Semua temen-temen juga ada di sini. Kok Bu Tia nggak ke sini?
saya : Wah, sayang Bu Tia sedang tidak bisa, Adam.
Adam : Sebentar, bu... semua mau ngomong satu-satu. Mulai dari Saras.
suara di seberang sana : BU TIA KE SINIIIII!!!!! (sepertinya bukan Saras yang ngomong tapi the whole gang over there)
Kakak Mini : Hehehe... maaf ya Bu. Ini anak-anak kecil lagi ngumpul di sini. Bu Tia nggak ikut ke sini?
Saya tertawa. Saya tidak tahu harus bilang apa, juga. Ok everyone, have fun!


Ayah saya yang mendengar percakapan kami tertawa keras-keras. "Mana papa kepikiran nelpon guru papa, dulu?"

Iya, jaman dulu mana ada telepon.

Thursday, April 21, 2005

Bad Day Among Good Ones

There are some bad days among good ones.

Ada saat-saat saya lebih ingin meninggalkan kelas saat itu juga daripada bicara baik-baik pada ank-anak. Well, i am only human. Memang harus tarik nafas dalam-dalam dan ingat bahwa anak-anak masih dalam jalan panjang untuk belajar terampil berhubungan dengan orang lain. Hehehe.

It is ok girls, boys, i will not walk out the door.

Wednesday, April 20, 2005

Dongeng Pagi

Saya suka mendengarkan radio di perjalanan ke sekolah pagi-pagi. Alasan pertama, saya butuh teman yang bersuara. Alasan ke dua, saya tidak pintar memilih musik, lagu, CD, album, dan apalah semacam itu. Mendingan saya terima jadi. Alasan ke tiga, saya baru menemukan sebuah stasiun radio yang mengudarakan dongeng setiap pagi, dua kali sehari (way too late, karena sebenarnya acara dongeng pagi ini sudah berjalan 3 tahun).

Pagi ini, penyiar radio yang suka mendongeng itu siaran terakhir (!) Saya tentu saja tidak pakai nangis bombay, tapi agak sedih juga. Di mana lagi saya bisa mendengarkan dongeng? Saya sering membutuhkan dongeng mengingat minimnya bacaan dalam bahasa Indonesia yang bagus. Sejak setahun terakhir ini rajin mendengarkan dongeng, perbendaharaan cerita saya jadi bertambah. Saya jadi punya ide-ide colongan untuk menyulap dongeng menjadi bahan pelajaran di kelas.

Pagi ini juga, saya berjalan beriringan dengan Mini yang juga merasa kehilangan. Nggak ada Tante Putri, nggak ada dongeng pagi... perjalanan ke sekolah yang dimulai pagi buta jadi kurang seru.

Siapa yang mau mendongeng?

Sunday, April 17, 2005

Diam

Teman-teman guru di sekolah punya kebiasaan untuk menegur anak-anak dengan kalimat yang dibuat sepositif mungkin. Saya suka kebiasaan ini, walaupun kadang-kadang saya --yang seringkali amat spontan -- agak sulit menerapkannya.

Contohnya seperti ini :

Dalam diskusi kelas yang topiknya menarik, anak-anak cenderung sibuk bicara dan sering lupa pada aturan untuk bicara bergiliran atau MENDENGARKAN yang sedang bicara. Yang saya lakukan hanya diam, completely tutup mulut, dan memandang mereka dengan sikap tubuh menunggu. Dalam sepuluh detik anak-anak akan mulai menurunkan suara mereka, diam, dan balik menunggu saya bicara. That's it! Saya tidak perlu menjerit-jerit.

Jika kami butuh anak-anak untuk tenang, kalimat "Sudah siap atau belum?", "Bisa tenang sebentar?", "Saya akan menunggu sampai semuanya siap", itu sudah efektif.

Kalau anak-anak membanting-banting pensil warna misalnya, kami cukup bilang, "Apakah seperti itu cara menggunakan pensil warna?". Biasanya anak itu langsung berhenti.

Seandainya anak-anak bertengkar dan mulai mengadukan si ini dan si itu, kalimat andalan kami adalah "Menurutmu bagaimana cara menyelesaikannya?" Biasanya masalah akan berakhir dengan pembicaraan dan permintaan maaf diantara mereka sendiri.

Misalnya anak-anak sedang berbaris dan ada yang sibuk ke kanan kiri, kami biasanya akan berkata "Terimakasih Nana, sudah siap. Terima kasih juga Dani." Anak-anak yang lain akan segera meniru mereka yang sudah siap. Terakhiiiiiiiiir sekali, kalau perluuuuuu betul baru kami menegur yang masih juga melamun.

Hari ini saya terpaksa berhubungan dengan anak-anak dari sekolah lain. Kalimat-kalimat di atas sama sekali tidak mempan! Saya bilang, "Bisa tenang sebentar tidak?" dijawab dengan "Nggak tahu."

Ampun deh! Saya lupa, mereka biasa ditegur orang dewasa dengan cara-cara yang levelnya lebih keras dari yang biasa saya gunakan bersama teman-teman. Kepekaan mereka terhadap petunjuk implisit seperti itu jadi hampir tidak ada.

Saya harus bilang... "SSSST.... DIAM!"

Tuesday, April 12, 2005

Language and Identity

In our social studies theme, we are discussing about communication. I presented a various language to say HAPPY BIRTHDAY. My class were very excited trying to sing those sentences in Happy Birthday To You tune. I know that some of them already create a birthday card in 16 languages in their head.

I posted a question to them;
What would happen if all the world using only one language?

Mini raise her hand and answered me;
How would i know where she or he came from? And it won't be fun anymore because i wouldn't know that there are many ways to say Happy Birthday.

Friday, April 08, 2005

Small things matters

Salah satu teman saya mengeluh, suaminya tidak bisa mengerti pekerjaannya. Suaminya berpikir, jadi guru TK berarti nyanyi-nyanyi sama anak-anak lalu pulang. Si suami sama sekali tidak mengerti bahwa dia harus menyiapkan kegiatan dan lain-lain. Si teman saya juga bilang pada keluarganya bahwa dia tidak bisa menerima telepon selama ada di dalam kelas. Ayahnya kontan marah. Teman saya yang lain curhat. Kakak-kakaknya meminta ia mencari pekerjaan lain yang lebih menghasilkan uang. Menurut mereka menjadi guru is totally useless.

Belum ada satupun significant others saya (Orang tua, adik-adik saya, the great alexander, sahabat-sahabat saya) meminta saya berhenti mengajar. Saya cuma perlu memberi satu pengumuman bahwa saya tidak suka ditelepon ketika sedang mengajar, dan memang tidak ada yang pernah berani menelepon. The Great Alexander selalu mendengarkan cerita-cerita kecil seputar kelas saya. Dia bahkan pernah mengusulkan kegiatan yang sampai sekarang jadi kegiatan rutin kelas kami. Teman-teman saya bisa tertawa atau bahkan prihatin dengan "setan-setan kecil di kelas tia". Beberapa, bertanya apakan mereka boleh datang sekali-kali.

Tiga hari yang lalu, ibu saya mengirim sms jam 7.30 pagi dengan pesan : TOLONG MAMA DIBELIKAN 2 TIKET UNTUK NONTON KONSER ANAK-ANAKMU.

Saya memang cerita anak-anak saya akan konser pertengahan April besok. Apalah konser menyanyi anak SD dan TK. Ini bukan Paragita atau Twilite Orchestra. Saya tidak pernah meminta mereka datang dan menonton, tapi permintaan itu sangat menyenangkan hati saya.

Sekali lagi, saya bersyukur. Saya punya pekerjaan yang saya sukai. Saya merasa capable, sekaligus ingin terus mencoba dan belajar hal baru tentang pekerjaan saya. Saya punya a bunch of supports from my significant others. Saya tidak lagi peduli kalau tetangga mengernyitkan dahi atau sepupu-sepupu saya memandang sebelah mata. As long as my beloved ones are there, i am happy. Bahkan, kemarin seseorang menawari saya datang di konferensi sekolah alternatif dari tujuh negara di Hotel Borobudur minggu depan. Setiap menit saya bisa berbagi apa yang saya pikir atau rasakan tentang pengalaman saya di kelas.

Berkutat dengan hal-hal kecil setiap hari membuat saya makin bisa menghargai hal-hal kecil, hal-hal yang tersembunyi di balik hal-hal yang dianggap semua orang penting.

Wow, Magic!


Saya mengumpulkan anak-anak di karpet dalam diskusi pagi ini.

Saya : Masih ingat rencana kita untuk membuat Papan Hasil Karya tentang matahari?
Lika : Masih! Kemarin kita membuat gambar. Hari ini aku mau membuat puisi.
Saya : Ya, Bu Tia pikir itu ide yang bagus. Hari ini kita membuat puisi saja!
Chandra, Dara, Dito : Yaaaa.... aku tidak mau membuat puisi!
Saya : Kenapa?
Dara : Susah, bu!
Saya : Menurut kalian, apa yang paling sulit dari membuat puisi?
Mita : Memilih kata, Bu!
Dara : Memilih judul, Bu!
Saya : Ya.. memilih kata untuk menulis puisi memang sulit, kadang-kadang. Tapi ada cara yang mudah! Masih ingat tentang jaring tema kita?
(Everyone looked at me)
Saya : Sekarang begini. Apa yang muncul di pikiranmu ketika Ibu menulis kata MATAHARI
Lika : Sinar
Adam : Panas
Mini : Cerah
Dara : Menjemur
Mita : Gerah
Lika ; Terik!
Chandra : Haus

Dito : Kuning, bu!
Saya : Bu Tia ingat kata BOLA
Saras : Bulat, bu!

Saya meneruskan membuat garis-garis di sekeliling kata matahari untuk menghubungkan kata-kata yang mereka pilih dalam asosasi bebas tadi. Anak-anak sedikit takjub melihat begitu banyak kata-kata yang berhasil mereka kumpulkan. Kemudian saya memberi sedikit contoh membuat bait-bait menggunakan kata-kata itu. Menulis puisi menjadi mudah kelihatannya.

Mita dan Mini menatap papan tulis dengan mata berkilat-kilat, "Wow, Magic!"

Dalam dua menit mereka sudah tenggelam di antara kertas, pensil, crayon, spidol dan pensil warna. Saya biarkan mereka sibuk sendiri walaupun sebenarnya waktu sudah habis.
It is really magical to see them work with an enthusiasm.


Tuesday, April 05, 2005

Bau yang paling enak di dunia

Menurutmu, bau apa yang paling enak?

Saya memancing pertanyaan ini di salah satu diskusi kelas mengenai panca indera. Jawabannya beraneka ragam mulai dari bau melati sampai bau pizza. Mereka balik bertanya pada saya, bau apa yang paling Bu Tia suka? Saya bilang, saya suka bau bayi. Saras dan Chandra menjerit mengiyakan. Mereka berdua punya adik bayi berumur 3 bulan yang pastinya bau bedak dan minyak telon. Teman-teman yang lain mengekor saja. Lalu saya bilang, "Tapi yang paling Bu Tia suka adalah bau tanah sehabis hujan."

Anak-anak kelihatan bingung. Apa enaknya bau tanah, kata Mini? Lagipula, anak-anak tidak begitu suka hujan. Hujan berarti mendung, banyak petir, dan biasanya Bu Tia jadi tidak membolehkan mereka berlarian di luar, sebab lantai di luar jadi sangat licin.

Beberapa hari setelah pembicaraan tentang bau itu, cuaca di luar berganti-ganti antara panas sekali dan hujan deras sekali. Pagi ini, Dara, Mita, dan Mini berlari-lari menemui saya sambil teriak-teriak;

"Bu Tia! Bu Tia! Betul Bu! Bau tanah sehabis hujan enak sekali!"

Saya senang, bisa berbagi hal kecil yang sulit dijelaskan lewat kata-kata dengan anak-anak.

Friday, April 01, 2005

Guru Baru

Guru yang baru sudah datang. Anak-anak kelas 2 sudah melolong-lolong bertanya, "Siapa bu, guru kelas 3 nanti?" selama berminggu-minggu. Hari ini jawabannya sudah di depan mata, tersenyum pada mereka dan bilang selamat pagi.

Anak-anak mulai pasang aksi. Semua pekerjaan yang belum selesai langsung di bawa ke meja dan dikerjakan sebelum bel masuk kelas berbunyi. Belum cukup atraktif, mereka kompak menyanyi keras-keras lagu Moon River (!) Saya cekikikan dalam hati.

Saya jadi ingat hari pertama saya mengetuk pintu kelas mereka tahun lalu.Chandra langsung menyerbu saya dengan cerita tentang Si Gembul dan Yellow yang dimakamkan di bawah perosotan. Mereka menanyakan nama saya. Menanyakan umur saya. Mereka juga bertanya,
"Bu Tia, bisa memanjat pohon setinggi apa?"

Dan itulah shock pertama saya. Di tengah belantara gedung Jakarta, masih ada anak SD yang senang dan jagoan memanjat pohon di sekolah!

** Gembul dan Yellow konon adalah sepasang kelinci yang tidak tahan dengan curahan kasih sayang ala anak-anak sehingga meninggal.