Friday, December 28, 2007

Little Miss Lucky



Tahu buku-buku dari serial Little Miss and Mr. Man ini? Cerita yang dialami aneka tokoh uniknya digemari anak-anak di kelas saya, meskipun sekarang buku-buku itu tinggal di perpustakaan TK yang jarang mereka kunjungi.

Kadang-kadang mereka bilang, kangen ingin membaca buku-buku itu.

Maka tadi siang, ketika saya naik bis menuju tempat bertemu kawan, saya tertarik melihat seseorang memakai t-shirt dengan gambar Little Miss Fun seperti ini :


Saya jadi kepingin. Anak-anak pasti suka melihatnya (saya lho yang pakai, anak-anak lihat saja, hahaha). Ternyata saya benar-benar menemukan orang yang menjual t-shirt seri Little Miss dan Mr. Men ini. Akhirnya, saya beli juga yang bertulisan LITTLE MISS LUCKY.




Semoga, tahun depan jadi tahun keberuntungan saya. ;)


Selamat Tahun Baru Semua!

Tuesday, December 18, 2007

Annual Report

"Tema sampah asyik sekali. Aku mau kampanye lagi tahun depan, tapi bukan tentang sampah. Masih banyak masalah lain di dunia."

(Mita, yang menurut teman-teman paling suka nyeker alias tidak pakai alas kaki)

Friday, December 14, 2007

Kuil


Kadang-kadang, kelas saya anggap seperti sebuah kuil.
Masuklah dengan tenang, nikmati dengan tenang.
Saya terganggu ketika siapapun menerjang masuk sambil bersuara keras.

Wednesday, December 12, 2007

Guru Besar

Seperti apa, guru yang sebenarnya itu?

Ia membuat saya merasa berharga, meski saya bukan siapa-siapa.
Hanya satu dari mahasiswa yang harus ujian skripsi dengan beliau sebagai pengujinya.
Salah satu pengalaman paling luar biasa dalam hidup saya.


Ia, menjadi inspirasi bagi semua muridnya, untuk berkarya.
Ia mendengar semua lagu ciptaan kami, membaca setiap baris tulisan kami, menonton pertunjukan kecil kami.


Orang bilang, orang baik umurnya tak panjang.
Saya bilang, orang yang hebat diberi umur panjang, agar banyak orang bisa belajar dan tersentuh olehnya.

Barangkali.

He is that amazing grace.

Meninggalnya beliau, yang tak pernah sempat saya kenal jauh secara pribadi, membuat lubang sedih yang besar.

Thursday, December 06, 2007

RockStar

Natal, seperti Valentine, seperti Haloween, seperti Thanksgiving, dimaknai anak-anak seperti apa yang ada di dalam televisi. Suatu hari, The English Teacher pun bercerita tentang tradisi-tradisi Natal beserta sejarah asal mulanya. Sampailah ia pada sebuah pertanyaan, "So, where did Jesus Christ born?"

Dhara, dengan matanya yang tidak pernah berhenti berbinar, mengacungkan tangan penuh semangat, "America?!"

Saya mulai tertawa diam-diam.

"America? Do you think Jesus Christ is a rockstar?"

Well, everyone laughed, at last, so I don't have to hide mine.

Monday, November 26, 2007

Akhir Pekan

Setiap hari Jumat, saya sering salah menulis. Saya tak bisa mengeja hal-hal sederhana seperti menulis kata giliran.

Setelah beberapa Jumat berlalu dengan kilah saya bahwa saya sudah kepingin libur, anak-anak mulai hafal. Kalau saya salah menulis, mereka akan bilang begini, "Sabar Bu,... tinggal beberapa jam lagi kok."

Setiap Senin pagi, kami juga sering berbagi cerita tentang akhir pekan. Senin pagi ini saya bercerita bahwa saya datang ke Kenduri Kuliner Nusantara, melihat dan mencoba aneka makanan, juga tertarik pada puluhan jenis gasing yang dipamerkan. Saya cerita kalau saya sangat tertarik pada aneka permainan tradisional yang membuat saya ingat pada pesawat sederhana. Pasti seru sekali menyatukan dua tema; permainan tradisional dan pesawat sederhana.

Mendengar semua itu, Saras memasang muka berkerut heran, "Ibu itu aneh deh. Kalau hari Jumat, kepingin libur. Begitu libur, ingat sekolah."

.....

Itulah akibatnya kalau hidup cuma satu.



Sunday, November 25, 2007

Mengolah Sampah

Ini cerita nyaris tiga minggu lalu, ketika saya setengah impulsif mengajak anak-anak pergi ke Kebun Karinda di Lebak Bulus. Setelah ngobrol banyak tentang sampah, saya ingin juga mengajak anak-anak melihat membuat kompos itu seperti apa.

Jadi, Sabtu pagi itu, anak-anak beserta ayah ibunya, juga saya dan Bu Evie beserta suaminya, melewatkan acara bangun siang untuk berkunjung ke Kebun Karinda.

Anak-anak girang luar biasa melihat tanah lapang, bunga dan tanaman di mana-mana. Agak susah juga membuat mereka mau berkumpul di satu tempat, karena semua ingin menjelajah sambil berlari-lari. Ibu Sri dan Pak Djamaludin bercerita banyak tentang kompos dan RT/RW yang berhasil menghijau. Acara presentasi dengan video dan slides berjalan sekitar satu jam. Saya sudah khawatir anak-anak bosan.

Mereka baru "bangun" ketika diminta memilah sampah organik dan anorganik dan memotong-motong sampah organik sebelum dijadikan kompos. Saya heran juga anak-anak tidak mudah jijik. Bahkan ketika saya meminta mereka mencoba membedakan kompos yang belum jadi, sehingga masih terasa hangat, dan yang sudah jadi, mereka langsung merogoh-rogoh bak tanpa ragu.

Anak-anak pulang sambil membawa sebuah gelas bekas air mineral yang berubah fungsi jadi pot bunga (beserta bunganya). Saya belum tanya, bunga mereka masih hidup atau tidak. Saya sendiri pulang sambil membawa sebuah keranjang takakura untuk membuat kompos.

Berhasil lho! Senang sekali, sekarang sampah di rumah saya tinggal setengah. Kalau ditumpuk di bak sampah depan rumah, tidak lagi bau tidak enak, meskipun truk sampah datangnya sesuka hati.

Friday, November 23, 2007

Bawa Kotak Makanmu Sendiri!

Sudah berminggu-minggu anak-anak kelas 5 ingin sekal menjalankan kampanye sampah mereka. Kata mereka, orang tidak melakukan apa-apa pada sampah karena banyak yang tak tahu. Jadi bagaimana? Kita beritahu mereka!

Anak-anak mencanangkan (aduh bahasanya) gerakan membawa kotak makan sendiri untuk mengurangi sampah plastik dari jajan makanan. Suatu hari, anak-anak membuat agar-agar rasa jeruk untuk seisi sekolah, sekaligus 110 pin dari kardus bekas. Mereka juga membuat poster dan undangan untuk semua kelas di sekolah. Selama tiga hari mereka tidak bermain waktu istirahat.

Di hari H kemarin, anak-anak juga berbagi tugas; siapa yang membagikan makanan, siapa yang membagikan pin, dan siapa yang harus mengatur barisan.

Pukul 12 siang, anak-anak dari berbagai kelas datang membawa kotak makanan mereka. Adam mengatur barisan sambil memulai ceramahnya tentang mengurangi sampah bersama Saras. Anak-anak kelas 3 mendengarkan sambil malu-malu.

Selama setengah jam berikutnya, kelas 5 membagikan agar-agar dan sirup markisa sambil berpesan, "Nanti kalau jajan bawa kotak makanan sendiri juga ya, supaya sampahnya tidak tambah banyak..."

Pada adik-adik TK, anak-anak kelas 5 makin ramah, "Halo, namanya siapa? Pinter sekali... nanti kalau jajan jangan lupa bawa kotak sendiri ya? Jadi sampahnya tidak tambah banyak".

Begitu keras usaha mereka agar didengarkan anak-anak TK, sampai di kelas mereka mengeluh, "Bu, punggungku sakit sekali, membungkuk terus."

Semua makanan dan pin habis tak bersisa, semua kelas berpartisipasi. Anak-anak kelas 5 senang sekali. Kami masih kebagian makanan, maka anak-anak memakannya sambil menulis jurnal. Saras dan Leo bahkan menempelkan pin mereka di akhir jurnal, "Untuk kenang-kenangan, Bu. Jangan dibuang ya."

"Kampanye kami bisa sukses karena kami merencanakannya sampai matang. Pertama kami membagi kelompok, yang memasak, membuat pin, dan undangan. Kedua, kami merencanakan poster dan bagaimana cara kami menyampaikan pesan yang memang menjadi tujuannya," tulis Mini dalam jurnalnya.

"Hari ini aku senang sekali, aku berharap aku dan dan teman-teman bisa melakukannya lagi, suatu hari nanti," kata Adam.

"Semoga kampanye ini berguna buat semuanya," begitu Lika mengakhiri tulisan dalam jurnalnya.

Ya, saya juga berharap begitu. Saya tidak tahu kampanye ini berhasil atau tidak. Kami belum tahu apakah anak-anak yang lain mengubah perilakunya atau tidak.

Yang saya tahu anak-anak berusaha luar biasa keras untuk usia mereka. Yang saya rasakan adalah kegigihan mereka. Mereka tahu, berusaha membuat perubahan itu tidak mudah. Ada yang perlu dikorbankan, capek teriak-teriak, capek memasak dan membuat poster dan pin. Agar bisa menjelaskan dengan baik, mereka harus meletakkan kesadaran itu dalam hati. Kita semua bisa berpartisipasi.

Bagaimanapun, mereka tetap merasa senang, dan bangga.

Bagaimanapun, hal besar dimulai dari satu langkah kecil. Seperti langkah mereka.

Wednesday, November 21, 2007

110


Anak-anak membuat 110 pin dari kardus bekas untuk kampanye mengurangi sampah besok. Juga seratus porsi agar-agar rasa jeruk dan leci.









PLEASE, BRING YOUR OWN LUNCHBOX.

Proyek Sedap Sekejap


Saat duduk gelosoran di lantai venue festival, seorang teman bertanya, "Ada apa di kelas hari ini?"

Hm, apa ya? Oh ya, kami buat pameran.

"Pameran?"

Pameran. Ramai sekali lho, ini foto-fotonya. Saya menyodorkan kamera digital padanya. Sumpah serapah kaget dan kagum darinya membuat saya bercerita lebih lanjut.

Jadi, anak-anak punya tugas untuk membuat alat yang menerapkan prinsip-prinsip pesawat sederhana. Dengan bantuan ayah dan ibu memotong, memaku dan memasang sekrup, anak-anak datang dengan aneka benda seperti kereta dorong, sumur-sumuran, satu set "Taman Bermain", dan lain-lain.

Sekali lagi saya bertanya pada mereka, mau presentasi saja atau mau bikin pameran?

PAMERAAAAN.... begitu jawabnya.

Di sela-sela belajar Bahasa Indonesia, anak-anak mengisi waktu luang dengan membuat empat undangan untuk kelas 1 - 4. Mereka juga membuat spanduk bertuliskan "Pameran Pesawat Sederhana oleh SD5".

Saya menggeser jam istirahat menjadi lebih awal. Pada jam istirahat sekolah, anak-anak membawa meja-meja ke depan kelas, dan menyusun peralatannya di atas meja. Menunggu anak-anak kelas lain keluar main.

Betul saja, begitu kelas-kelas lain keluar, anak-anak kelas 5 kewalahan. Mereka sampai bercucuran keringat menjelaskan cara kerja alat-alatnya, surprisingly, in a simple way, kepada adik-adiknya.

Penjelasan mereka itu sama sekali tak muncul ketika saya yang bertanya.

Saya : Apa yang kamu buat, Dara?

Dara : Bidang miring.

Saya : Untuk apa?

Dara : mmm,... eeeeh,.... mmm,... biar lebih gampang bergerak.

Saya : Cara kerjanya bagaimana?

Dara : (dengan suara makin lirih), ini kalau digeser begini, nanti bisa jalan...


Tapi apa yang terjadi ketika sekumpulan anak kelas 1 mengerumuni Dara?

Dara : Ini, namanya bidang miring. Dengan bidang miring, kita jadi lebih mudah memindahkan benda. Coba ya, kotak ini diisi dengan batu supaya berat. Coba saja diangkat. Coba lagi di tarik pakai ini. Kalau bidang miringnya landai, lebih mudah daripada kalau bidang miringnya curam.

Anak-anak kelas 1 memandang Dara tak berkedip.

Segerombolan anak-anak yang lebih kecil memberi posisi aman untuk mengoceh tanpa takut salah, (ketika ibu kepala sekolah datang, anak-anak terbirit-birit sembunyi di kelas). Kerumunan yang menjadikan mereka pusat perhatian tampak menyenangkan bagi anak-anak yang suka sekali tampil ini.

Tentu saja kejadian-kejadian lucu ada di sana sini. Bram sempat meninggalkan posnya untuk bergabung dengan para penonton melihat atraksi di taman bermain Mita. Lika jadi ikut memberi penjelasan untuk barang ciptaan Putu, karena kadang-kadang Putu panik juga melihat keramaian. Padahal sumur ciptaan Putu sangat menarik.

Belum lagi pertanyaan anak kelas 1, "Bu, mana pesawatnya? Katanya ada pameran pesawat...".

Ketika bel berbunyi, dan halaman sekolah mulai sepi, anak-anak kembali mengangkut semua peralatan dan meja ke dalam kelas.

So, how do you like it?

Capek, Bu. Panas sekali. Anak-anak terkapar di karpet, kecapekan.

Saya tahu mereka senang, meski ada juga yang tak puas dengan alat-alat buatan mereka. They didn't really tell me. Hanya saja sisa pekerjaan kami sepanjang hari tuntas dengan baik. Hal yang hanya terjadi kalau mereka sedang merasa senang pada dirinya sendiri.

Sungguh, persiapan pameran itu seperti bercanda. Membuat undangan, spanduk, menyusun meja, dan selesai.

Senang.

Monday, November 19, 2007

Tantangan dari Sekitarmu


Semula, saya memilih tema Ruang Hijau untuk salah satu pelajaran tentang lingkungan Jakarta. Di minggu ke dua, anak-anak tampak lebih tertarik pada sampah, maka saya menuruti kemauan mereka. Lupakan Ruang Hijau, mari fokuskan diri ke sampah!

Pada suatu pertemuan, anak-anak saya minta menulis lima cara sederhana yang bisa mereka lakukan untuk 3R, Reduce, Reuse, and Recycle.

Di kelas kami ada kotak berisi kertas-kertas bekas, "Kita buat jurnal dari kertas ini saja ya?"

"THAT'S THE POINT, Bu..," Mita jadi heran dengan pertanyaan apologi saya.

Selama dua minggu berikutnya anak-anak membawa pulang jurnal itu. Setiap hari, saya minta mereka mencatat apa saja yang sudah mereka lakukan untuk mengurangi sampah. Lima cara sederhana yang mereka tulis bisa diterapkan. Saya bilang, tak penting jurnalmu penuh. Kalau ada hari-hari di mana kamu tak sempat mengurusi sampah, biarkan saja.

Satu yang saya inginkan, anak-anak membawa urusan sampah ini ke alam sadar mereka.

Dua minggu kemudian, anak-anak mengumpulkan jurnal itu dan mulai bercerita,

"Susah lho Bu, minta agar tidak diberi kantong plastik. Mbaknya keras kepala sekali."

"Kemarin kami pesta Haloween, tahu tidak bu, semua makanannya pakai styrofoam. Urgh, sampahnya masih akan ada sampai 500 haloween lagi!"

"Kemarin waktu aku belanja beli mainan kecil, boleh kok bu dimasukin kantongku!"

"Aku ajak kakakku membawa kantong sendiri waktu ke warung, aku malah ditertawakan,"


Anak-anak sudah melalui fase buang sampah di tempatnya.

Saya melanjutkan lebih jauh lagi. Mengapa orang lain tidak melakukan hal yang sama? Karena mereka tidak tahu? Tidak peduli? Apa yang bisa kita lakukan?

Hasil brainstorming anak-anak melesat hingga ke langit. Mereka ingin membuat kegiatan berkala untuk adik-adik kelasnya, mereka ingin menulis surat untuk produsen-produsen makanan yang boros membekali plastik pada pelanggannya, dan mereka ingin membuatkan tempat sampah organik dan anorganik untuk setiap kelas. Ketika saya (ikut brainstorming) dan mengatakan kemungkinan untuk mengirim surat-surat itu ke surat kabar, mereka pikir mereka akan terkenal. Hehehe.

Hari ini, keluhan mulai datang, "Bu, ibuku bilang hasil brainstormingnya keterlaluan. Di sekolah saja kampanyenya."

Saya tertawa. Itulah tujuannya brainstorming, melepaskan diri melihat semua kemungkinan. Kalau tidak masuk akal, bisa kita coret belakangan. Dan menurut saya, tak ada salahnya betulan mengirim surat-surat itu.

Apalah gunanya saya menyuruh anak-anak menulis surat berisi saran, kalau berakhir di kotak penilaian saja?

It's the spirit i love. Memulai kebiasaan baru, mengajak orang melakukan sesuatu yang baru dan "aneh" memang tidak mudah. Tantangannya banyak. Galileo Galilei dibunuh karena bilang bumi itu bulat, apakah kita harus berhenti hanya karena ditertawakan?

Anak-anak ingin bersuara, maka biarlah. Didengar atau tidak, kini tak lagi masalah besar. Berani bicara saja sudah besar. Lebih jauh lagi, saya sudah senang kalau anak-anak bisa menuliskan "suara" mereka.

Boy, we are really into this theme.

Sunday, November 18, 2007

Mari Berfestival!

Festival Film Pendek Konfiden mulai lagi. Sudah bisa dipastikan minggu depan saya akan sibuk juggling antara mengajar, menyelesaikan proyek, tidur, dan nonton diantara hujan dan macetnya Jakarta.

Kali ini, ada sebuah program berisi film-film dari Swedish Institute. Keempat filmnya mengusung tema anak-anak. Kata Ibu Manajer Festival, filmnya bagus-bagus. Nah, seringkali selera bagus saya dan Ibu Manajer tak jauh beda, kami sering menangisi film atau buku yang sama, hehehehe.

Saya sudah bertanya pada Pak Koordinator Dewan Program, film-film ini semua umur, tidak? (Saya tahu, mereka anti sensor tapi peduli sekali pada batasan umur penontonnya)
Ternyata, ya.

Pak Deputi Direktur Festival langsung memberi segepok buku program khusus. Buat anak-anak di kelas, katanya.

Saya jadi kepingin mengajak anak-anak nonton...

Ada yang mau ikut, tidak????

Saturday, November 17, 2007

Rumah Kami


Jumat siang itu, anak-anak sedang melanjutkan kegiatan membuat lampion. Ada yang melukisi lampionnya, ada yang sedang menjulurkan lidah sambil berusaha memotong karton dengan cutter.

Bentuk kelas seperti apa, sudah jangan ditanya. Anak-anak mengoceh tak berhenti sementar tangannya terus bekerja. Saya matikan komputer, lalu bergabung duduk di dekat mereka. Tak ingin mengganggu, saya ambil sebuah buku tentang Darwin yang dipinjam Mita dari perpustakaan. Saya membaca sambil sekali-kali menjawab "wawancara" anak-anak tentang masa sekolah saya.

Riuh rendah suara mereka di telinga saya, rasa nyaman dan santai di dalam hati, pandangan yang menyapu ruang berantakan, buku di tangan, memicu saya bertanya pada Mini,

"Kelas kita, seperti rumah ya?"

"Yep. And that's why i like it. "

"Hm, mungkin tidak seperti rumah juga. Kamu tidak bisa selalu melakukan apa yang kamu ingin."

"Di rumah juga begitu, tidak bisa semauku." Saras menimpali gumaman saya dan tetap tersenyum.

Ya, di rumah juga begitu. Tak bisa sesuka hati. Tapi ada rasa ini, ada rasa... apapun yang kamu lakukan kamu akan tetap dicintai. Meskipun menumpahkan air bekas cat, terlambat mengumpulkan tugas, pakai celana pendek, tak suka IPS dan matematika, tak suka membuat soal evaluasi, suka marah-marah....

...tidak apa-apa. Kan, kita ada di rumah.



*gambar dari www.rmhccolumbia.org *

Tuesday, November 13, 2007

Meledak 2


Dengan jadwal buatan sendiri, tetap saja lho, tugas-tugas itu berceceran.

Saya mengajak anak-anak bicara dengan nada putus asa (bukan marah, tapi putus asa), kalian itu maunya apa sih. Diberi tenggat waktu, tidak selesai, disuruh membuat tenggat waktu sendiri, tetap tidak selesai juga.

Adam baru saja menghukum dirinya sendiri dengan berdiri di sudut kelas sepanjang istirahat.

Aduh, saya sudah tidak ingat ngomel apa lagi, tapi saya benar-benar hilang akal. Masa, ketika saya tanya, "Siapa yang sudah siap presentasi tentang pesawat sederhana?"

Bram menatap ragu kepada teman-temannya, "Kalau tidak salah sih, sudah."

Saya hanya bisa menghela nafas. Salah saya, lahir dengan kalender dan jam di dalam perut. Kalau jadwal terganggu sedikit saya langsung gatal-gatal.

Untungnya, hari ini anak-anak lumayan koperatif. Mereka sedang mengisi TTS tentang hukum dan undang-undang ketika Mini berseru, "Bu, gemes nggak sih kalau lihat ada orang nggak bisa padahal jawabannya jelas sekali. "

"Hoho, tebak apa yang Bu Tia rasakan sepanjang hari?"

Mini nyengir.


Ketika siang itu saya dan Bu Andin mengadakan briefing tentang pertunjukan sekolah, Riri yang akan memerankan Annie bertanya penuh semangat, "Asyik nggak sih Bu, jadi guru?"

Saya dan Bu Andin terdiam dan saling pandang.

Lalu menghela nafas (lagi, dan lebih panjang dari sebelumnya).

Friday, November 09, 2007

Meledak 1

Sejak awal, kelas kami sepakat bahwa anak-anak akan selalu mengumpulkan tugasnya tepat waktu. Saya, juga akan selalu memberi waktu yang cukup untuk setiap tugas, tidak semena-mena minta dikumpulkan besok pagi.

Minggu lalu saya minta anak-anak mengumpulkan sebuah dongeng yang menggambarkan salah satu jalan kebenaran dalam ajaran Buddha. Ya, mereka sedang belajar tentang sejarah Buddha, dan saya ingin membantu mereka lebih mengerti delapan jalan yang agak rumit itu.

DELAPAN HARI KEMUDIAN...

Saras membawa sesobek kertas berisi tulisannya tentang moral cerita dari sebuah dongeng.
"Tukang fotokopi tutup, bu, dan aku tidak boleh menyobek dongengnya dari buku."

Dara menunjukkan sesuatu yang ia unduh dari internet. Penjelasan panjang lebar tentang delapan jalan kebenaran, ... dalam bahasa Melayu.

Adam bilang ia tak punya dongeng di rumah.


Saya hampir meledak marah. Pernahkah kalian tahu yang namanya perpustakaan? Apa saya menyuruh kamu menulis sendiri sebuah dongeng? Bagaimana ceritanya, setelah setiap minggu selama tujuh tahun terakhir selalu pinjam buku dari perpustakaan tapi dongeng itu apa saja tidak tahu? Saya katakan bahwa sepanjang pagi saya sedang memikirkan tugas presentasi dan revisi tulisan yang sedang mereka kerjakan untuk minggu depan. Saya berpikir keras bagaimana caranya membuat tenggat waktu yang masuk akal untuk semua anak, di mana separuhnya sibuk setengah mati akhir pekan ini. Saya hapus semua perubahan jadwal dan menjadikan semua tugas dikumpulkan hari Senin dan Selasa. Masa bodoh.

Lima belas menit itu saya tunjukkan setumpuk koran anak di sudut kelas, tak tersentuh. Perpustakaan. Waktu delapan hari. Saya benar-benar nggak ngerti. Semangat saya memulai kelas langsung lenyap seketika. Saya minta anak-anak mengerjakan terserah apa saja (saya tahu mereka punya tugas-tugas) dan saya bertukar jam pelajaran dengan Bu Evie.

Saya menghilang dan menggantikan guru yang absen di kelas 1, tertawa-tawa dan mendongengi mereka. Saya baru muncul lagi di kelas pukul 11 siang, setelah pelajaran matematika. Anak-anak tak berani menatap saya.

Saya juga sedang malas bercanda.

Siang itu saya membagikan kertas dan meminta anak-anak menulis apa saja yang jadi tugasnya dan kapan mereka mau kumpulkan tugas-tugas itu. Terserah. Atur sendiri. Oh ya, tentukan juga konsekuensinya kalau tidak mengumpulkan tepat waktu.

Saya tempel semua kertas itu dekat meja saya.

Setelah sore menjelang, saya baru bisa tersenyum melihat Adam menulis, "Jika saya tidak mengumpulkan tugas tepat waktu, saya tidak boleh main di luar dan akan berdiri di sudut kelas."

Wednesday, November 07, 2007

Rencana

Sejak Bu Evie mengajar Art and Craft, ia selalu meminta anak-anak membuat sketsa rencana mereka di atas kertas sebelum benar-benar mulai membuat sesuatu.

Ketika kemarin saya minta mereka membuat poster untuk kampanye sampah kami, saya memperhatikan kalau -tanpa disuruh- mereka mencari-cari kertas bekas lalu menggambar rencana isi poster mereka. Dito menunjukkan rancangannya dan bertanya, "Kalau aku buat kalimatnya seperti ini, bagaimana?"

Kami membahasnya sedikit, lalu Dito kembali ke meja dan melanjutkan posternya.

Plan, do, and review.

Skeptis

Mau jadi apa ya negara ini kalau anak-anak umur sepuluh tahun saja begitu skeptis terhadap bagaimana negara dijalankan?



The Great Alexander, are you sure, masih ada dunia yang lebih baik itu? :)

Tuesday, November 06, 2007

Belajar Undang-Undang

Pagi ini saya mengeluarkan beberapa set UUD 1945 dan memasang wajah gembira.
"Pernah lihat UUD 45, tidak?"

Anak-anak membalas dengan tatapan, "Tolong kasihani kami.."

"Ini akan jadi hari yang panjang sekali...," keluh mereka.

Saya memulai kuliah pagi. Ini kan tentang negara kalian. Ini cara menjalankan negara. Nanti kalau giliran kalian yang mengurus negara ini, bagaimana?

"Siapa juga bu yang mau jadi presiden, repot. Tidak salah pun tetap diomeli rakyatnya."

Saya melanjutkan kuliah yang lain. Tentu saja tidak akan menyenangkan kalau dari awal kalian sudah menutupi kepala dengan pikiran ini tak akan menyenangkan. Yah, kira-kira lanjutannya adalah himbauan untuk berpikir positif.

Ketika wajah-wajah itu makin memelas, barulah saya mengeluarkan kartu terakhir. "Kita akan lakukan kegiatan ini, atau kita hafalkan saja UUD ini?"

"Ok, bu, kita kerjakan saja!", semua cepat menukas.

Semua berdiri dan mulai duduk dengan teman sekelompoknya sambil membawa-bawa sebundel UUD dan kertas kerja. Saya meminta mereka mencari sebenarnya kita punya hak apa saja sebagai warganegara. Nilai tambah untuk yang bisa mencari kewajiban kita sebagai warga negara dan kewajiban pemerintah.

Pertanyaan mulai muncul di sana-sini. "Berserikat itu apa, Bu?", "Hak Asasi maksudnya apa bu?", "Diskriminasi itu seperti apa sih?"

"Wah! Ternyata kita berhak berkeluarga dan memiliki keturunan!", Adam gembira sekali.

"... melalui perkawinan yang SAH!" sahut Mini dari meja sebelah.

"Oh, aku pikir tidak boleh mencuri itu cuma peraturan saja. Ternyata ada di UUD, bahwa kita boleh punya hak milik dan tidak boleh diambil dengan sewenang-wenang." Saras serius memahami kalimat demi kalimat dari balik kacamatanya.

Di meja lain, Lika dan Bram saling pandang, "Hei, harusnya kita sekolah dibayari pemerintah!"

Dara mendatangi saya, "Kenapa membela negara itu hak dan kewajiban juga? Boleh aku tulis (sebagai) dua-duanya?"

"Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara? Mana? Nggak pernah!"

"Banyak sekali yang tidak dikerjakan pemerintah itu!"

Setelah tiga puluh menit berlalu saya bertanya, "Berapa menit lagi?"

"Belum, Bu, belum! Aku masih mencari. Tunggu dulu!"

Ketika akhirnya saya meminta mereka untuk kembali berkumpul di karpet dan menceritakan apa saja yang mereka dapatkan, saya tahu mereka sudah terserap dalam UUD 1945. Lancar mereka bercerita bahwa kita berhak atas pendidikan, berhak mendapat informasi, berhak hidup yang layak, berhak menyampaikan pendapat, dan berhak memiliki benda pribadi dan berhak bebas dari penyiksaan.

Pertanyaan!

"Bu, pemerintah juga banyak tugasnya, seperti mengurusi fakir miskin dan menyediakan sekolah. Kenapa tidak? Kenapa orang diam saja?"

"Mengapa menurutmu? Bagaimana kamu bisa menuntut hakmu kalau kamu tidak tahu apa hakmu? Makanya tadi Bu Tia memintamu melakukan kegiatan itu."

Semua terdiam.

"Boleh kita fotokopi UUD itu untuk dibagikan pada orang-orang?"

"Iya Bu, aku mau tunjukkan pada ibuku. Bisa tidak sih dibeli di toko buku?"

Teman di sebelahnya berbisik agak keras, "Kamu mau tunjukkan pasal bebas dari penyiksaan itu ya?"

Saya tertawa sampai keluar air mata.

Saya rasa saya tak perlu lagi meminta mereka menghafalkan pasal dan ayat UUD. Saya tak perlu memaksa. Mereka sudah terpancing untuk ingin tahu, dan besok akan saya sodorkan lagi UUD itu agar mereka tahu lebih banyak. Sekarang, cukup tahu dulu. Dari tahu, banyak hal bisa dimulai.

Monday, October 29, 2007

Mengapa Memilih Yang Ini?

Di paruh pagi tadi Bu Evie menemui beberapa orang yang datang berkunjung. Tampaknya mereka tertarik untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah kami.
"Di sini anak-anaknya jumpalitan ya?"

Hihihi.... mungkin saja.

Bu Evie juga bercerita pada saya, bahwa mereka mengagumi tulisan anak-anak tentang cita-citanya di pintu kelas, juga bertanya. Sebuah pertanyaan paling umum di sekolah macam sekolah kami ini,

"Nanti kira kira SMP-nya bisa masuk SMP seperti apa ya?"


Sekarang, saya ingin sekali bertanya kembali, "Sekarang ini, apa yang membuat anda berpikir untuk menyekolahkan anak di sekolah seperti ini?"

Kalau jawabannya adalah karena saya ingin anak saya senang di sekolah, belajar dengan aktif, jadi anak yang kritis, yang percaya diri.... wah, itu tidak akan selesai dalam enam tahun di sekolah kami. Percaya deh...

Perlu dipikirkan juga bagaimana melanjutkannya nanti, di SMP, di SMA, dan entah sampai kapan.

Berpikir bahwa sekolah di sekolah 'jumpalitan' seperti ini membuat anak-anak tidak bisa beradaptasi di sekolah biasa, menurut saya jadi aneh. Maksud saya, agak aneh rasanya kalau saya membiasakan anak-anak melakukan riset dan kritis bertanya, lantas saya menuntut mereka untuk serba nurut kalau disuapi. Setelah kami menebar bibit-bibit untuk berani membuat perubahan, lantas disuruh beradaptasi dengan lingkungan yang menuntut untuk selalu seragam dan konformis. Barangkali memang tak akan nyambung...


It is like this, anda mengajari anak-anak anda supaya selalu berbuat jujur. Dengan harapan, kelak ketika tinggal bersama para pencoleng ia akan tetap jujur.

Mungkin bisa sih, kalau belum keburu digebukin yang lain.


Begini, saya baru sadar bahwa saya memang tak pernah mempersiapkan mereka, murid-murid saya, untuk bisa fit and proper di sekolah-sekolah banyak penggemar di luar sana. Saya tak mengharapkan kelak mereka bekerja di perusahan-perusahaan nyaman. Lebih dari itu, saya menggantungkan harapan agar kelak mereka yang cukup nekat untuk bilang "tidak, yang betul itu seperti ini. Mari ikut saya, kita kerjakan sama-sama."

Ya, saya percaya murid-murid adalah seperti apa yang diharapkan gurunya. Kalau gurunya berpikir mereka hanya bisa mengeja, maka mereka akan hanya bisa mengeja. Kalau gurunya berpikir bahwa murid-muridnya bisa memahami sastra, maka jadilah begitu. Saya tebarkan saja harapan-harapan saya. APapun yang mereka capai tentu lebih dari apa yang sebenarnya bisa diharapkan dari mereka. Saya rasa orangtua manapun juga melakukan hal yang sama untuk anak-anaknya.


Fit dan proper di sekolah negeri unggulan sama sekali tidak pernah menjadi visi saya ketika saya beraktivitas di kelas bersama mereka. Ya, sayangnya saya tidak punya bayangan itu.

Jadi, sepertinya kalau ada yang bertanya lagi pada saya, nanti kalau anak saya sekolah di sini, dia akan sukses tidak ya melanjutkan di sekolah nomor sekian?

Saya akan bilang tidak. Sadly, tidak. Mereka akan stress dan sulit beradaptasi. Kecerdasan mereka memecahkan masalah, menanggapi fakta di lingkungan sekitarnya, melakukan riset, beradu pendapat, mengapresiasi seni, semua akan hilang tanpa dilatih.

Saya tahu kok, energi untuk bisa fit dan proper pada lingkungan yang seragam, konformis, dan interaksinya searah jauh lebih BESAR daripada energi untuk melakukan hal-hal di atas.

Jadi, mengapa anda memilih yang ini?

Sunday, October 28, 2007

Jangan Lupa Nama Saya!

Waktu saya dan anak-anak sedang membahas bagian Sumpah Pemuda dalam sejarah Indonesia, anak-anak berkomentar kagum pada tokoh-tokoh penggagas kongres pemuda.

“Bu, bu, ini pasti isinya orang-orang paling hebat waktu itu, ya.”

Saya yang sedang menuliskan sesuatu di papan tulis segera balik badan dan menghadap mereka.

“Kalau suatu hari sepuluh atau duapuluh tahun lagi ada satu pergerakan pemuda besar-besaran lagi, salah satu dari kalian harus duduk di sana.”

Mereka diam dan saling pandang.

“Kalau begitu Bu Tia harus hafal nama lengkap kita,” kata Mita.

Semua kembali menulis lagi.

Memangnya saya pelupa?

Saturday, October 27, 2007

Sampah dari Saya


Berapa banyak sampah yang dihasilkan orang Jakarta setiap harinya? Dari hasil comot sana sini, kami mengira-ngira bahwa setiap hari, setiap orang membuang satu kilogram sampah.
Setelah dikali jumlah orang satu kelas, dikali jumlah hari dalam sebulan dan dikali jumlah bulan dalam setahun, kami menemukan angka yang besar sekali.

Kami pun mulai sadar bahwa sampah yang kami buang ke tempat sampah hari ini, lalu diangkut ke bak sampah di depan sekolah, tidak hilang begitu lenyap dari pandangan. Adam mulai berpikir bahwa suatu hari ia tidak bisa keluar rumah karena semua tempat penuh dengan sampah. Padahal menurutnya, Jakarta saja sudah padat luar biasa.

Mini tertarik sekali dengan cara-cara mendaur ulang sampah plastik menjadi tas. Ia sama hebohnya dengan anak-anak yang membawakan saya aneka cara mengolah sampah mulai dari pemisahan sampah, incinerator, pembuatan kompos, dan berbagai cara daur ulang.

Saya katakan pada mereka bahwa seringkali hal sederhana saja sudah bisa mengurangi jenis sampah.Tidak repot membuat kompos atau membuat tas dari sampah plastik pun tak mengapa. Bagaimana caranya?

Sederhana saja, saya selalu berusaha menolak kantong plastik kalau membeli barang-barang kecil yang muat masuk dalam tas saya. Apalagi saya hobi membawa tas nenek (tas besar berisi aneka barang). Mita langsung mengiterupsi dengan cerita tentang tas neneknya yang berisi segala rupa; permen hingga termos air, buku bahkan gunting kuku. Teman-temannya curiga dalam tas itu juga ada sikat gigi.

Mita bilang, barangkali kantong kertas akan lebih ramah lingkungan. Ia menunjuk sebuah restoran burger cepat saji yang suka memakai kantong kertas sebagai wadah. Saya tertawa. Coba kamu ingat-ingat, bukankah mereka suka mewadahi gelas kertas ke dalam plastik, mengantonginya dengan kantong kertas lalu memasukkannya dalam plastik lain lagi? Pabrik sampah.


Saya tanya lagi, pernahkah kalian belanja di supermarket besar? Belanja beberapa troli dan memasukkannya ke dalam plastik-plastik? Apakah biasanya kalian pergi dengan mobil, atau dengan kendaraan umum? Kalau dengan mobil, bolehkah membawa troli hingga sangat dekat dengan bagasi mobil? Sesampainya di rumah, jauhkah tempat parkir mobil dengan pintu? Akan merepotkan tidak kalau kalian mondar mandir beberapa kali untuk memasukkan barang ke rumah? Bagaimana kalau kita minta agar belanjaan itu tidak lagi dikantongi plastik?

Tak ada yang pernah berpikir begitu sebelumnya.


Anak-anak ikut tertawa dan kami mulai berandai-andai. Saya bilang, saya belum pernah mencoba meminta restoran cepat saji mengisikan minuman soda ke dalam gelas yang saya bawa. Mungkinkah mereka mengijinkan saya mengisikan makanan ke dalam kotak makanan yang saya bawa?

Mata-mata yang menatap saya tertawa dan tertarik di saat yang sama. Mengapa tidak kita yang membuat trend baru? Kalian adalah anak-anak yang sangat mungkin mempengaruhi orang lain. Kalau kalian anggap ini cara yang keren, maka kerenlah cara ini. Seandainya saja, kami bisa mempengaruhi 500 orang (estimasi dari hasil sensus keluarga yang kami buat minggu lalu) anggota keluarga murid sekolah kami untuk punya kebiasaan memilah dan mengurangi sampah, dan barangkali jumlah sampah berkurang jadi setengahnya, kami sudah mengurangi kira-kira 7500 kg sampah sebulan.

Restoran cepat saji yang mengelilingi sekolah kami memang sering jadi pemasok makan siang. Terutama kalau si mbak belum pulang dari kampung, sehingga belum ada yang memasak di rumah. Anak-anak segera sadar kalau hari itu saja, separuh dari mereka membawa masuk kotak-kotak styrofoam berisi makan siang yang akhirnya jadi sampah.

Obrolan ini tampaknya membekas di hati.

Siang ini Saras mengambil makan siangnya, masuk ke kelas dengan wajah merah padam. "Shame on me." Teman-temannya tertawa melihat Saras masuk dengan kotak styrofoam berisi makan siang.

"Ya ampun Saras, kamu menyumbang sampah yang tidak bisa hancur."
Saras malu hati, tapi masih bisa tertawa-tawa menimpali temannya. "Aduh, pakai sumpit kayu lagi!"

Agaknya Saras jadi kehilangan selera makan. Karena merasa bersalah.

Ia bertanya pada saya, "Bu, kalau styrofoam itu butuh berapa lama sampai bisa hancur?"

"Dari informasi yang dibawa Dhara tadi sih, katanya styrofoam tidak bisa hancur."

Saras langsung melenguh.

Kasihan dia hari ini tak enak makan.


Hari ini saya menikmati duduk dan makan siang bersama mereka. Saya menikmati komentar-komentar witty yang mulai muncul. Saya memperhatikan bagaimana mereka mulai bisa menertawakan diri sendiri. Saya juga tahu bahwa mereka mulai sadar bahwa mereka berperan serta dalam lingkungannya.

Mau tidak ya mereka memulai perubahan?

Saturday, October 20, 2007

Sekolah Rumah

Saya sedang berpikir serius untuk merencanakan home-schooling atau sekolah rumah.

Friday, October 19, 2007

Takut

Suatu kali, di dalam sesi kelas kami, anak-anak membicarakan rasa takut.

"Aku paling takut meninggal," kata Adam.

"Semua pasti meninggal. Kamu gimana sih," Mini menyahuti.

"Bukan meninggalnya yang aku takut, tapi caranya meninggal," Adam balik menegaskan.

Saya jadi terpicu untuk bertanya pada anak-anak yang lain. Kalau kalian, apa yang kalian takuti?

"Aku takut kehilangan orang-orang yang dekat denganku," kata Saras.

"Aku takut kecanduan," kata Mini. "Aku juga takut tidak punya pekerjaan yang bagus."

"Aku takut kalau ternyata nanti aku bekerja di sebuah tempat yang ternyata terlibat kejahatan,", Bram ikut nimbrung. "Misalnya menjual obat-obatan terlarang, atau pencurian."

"Aku takut perang. Seperti yang di film itu, Bu. " kata Mita.

Ya, kami sedang menonton film Innocent Voices.

Saya katakan pada mereka, ada bagusnya hal-hal yang mereka takuti (kecuali perang dan meninggal) adalah hal-hal yang bisa dikontrol. Berarti ada dorongan untuk melakukan usaha-usaha menghindarinya. Ya, kan?

Untung mereka tidak bertanya, apa yang saya takuti.

Friday, September 21, 2007

Ulangan Umum; Lalu Apa?

Minggu ulangan umum (atau di sekolah kami dikenal sebagai minggu evaluasi) baru saja berakhir. Sepanjang minggu ini saya nyaris tak bisa bekerja karena menunggui mereka mengerjakan puluhan halaman soal evaluasi. Ini adalah minggu evaluasi pertama saya, jadi saya deg-degan juga.

Saras bertanya, "Bu, event sekolah apa yang paling ibu tidak suka?"
Saya menjawab, "Minggu evaluasi."
Semua anak di kelas menimpali, "AKU JUGA!"

Saya tidak suka karena harus membuat banyak soal. Saya tidak suka, sebab saya harus berpikir keras untuk membuat soal yang tidak hanya mengevaluasi hafalan fakta. Soal ulangan harus "cerdas" untuk mendiferensiasi kemampuan setiap anak di kelas. Saya juga tidak suka kantuk, bosan, dan segala perasaan yang muncul saat saya harus menunggui mereka ulangan kemudian memeriksa soal ulangan mereka.

Anak-anak tidak suka, karena seisi rumah heboh menyuruh mereka belajar. Pada hari pertama evaluasi, mereka bahkan menolak pulang ke rumah dan tetap duduk di meja usai doa sebelum pulang. Kami saling berkeluh kesah dulu, hihihi...
Saya rasa mereka juga tidak menyukai ketegangan berhadapan dengan soal, belum lagi cemas yang muncul menyangkut nilai-nilai mereka.

"Haduh, aku bisa dimaki-maki kalau nilaiku jelek," kata seseorang.
"Idih, mana mungkin nilaimu jelek. NilaiKU baru bikin khawatir," temannya tidak mau kalah.
"Bu Tia pernah tidak sih dimarahi karena nilainya jelek?"
Saya menjawab, tidak.
"Pinter banget!"
Eh, bukannya saya tidak pernah dapat nila jelek ya. Dulu, orangtua saya tidak pernah marah apalagi memaki-maki. Paling saya ditertawakan. Itu saja sudah bikin saya tidak enak.
"Yah Bu, kalau cuma ditertawakan saja aku sih tidak apa-apa," Mini menyahut cemas.

Saya rasa para orangtua juga tidak terlalu gembira dengan ide ulangan umum atau ujian nasional ini. Saya yakin mereka juga sama cemas dan repotnya. Repot menjadi tutor tanya jawab, repot menjaga agar anak-anak tetap sehat dan gembira, serta repot mengatur waktu untuk menemani anaknya dan melakukan pekerjaan mereka di saat yang sama. Seperti anak-anak, mereka pasti juga khawatir tentang nilai buruk.

Sebenarnya, apa sih yang kami dapat dari ulangan umum?


Apakah saya jadi tahu kemampuan mereka yang sebenarnya? Ternyata tidak. Sikap mereka jauh lebih menentukan hasil ulangan daripada kemampuan mereka yang sebenarnya. Semua jawaban-jawaban cerdas Putu di diskusi kelas kami hilang menjadi nilai empat puluh sekian karena wajahnya yang super tegang selama evaluasi memberitahu saya bahwa ia panik dan tidak bisa berpikir jernih. Begitu juga pertanyaan-pertanyaan kritis Mini, pendapat-pendapat analitis Lika, semua terbang entah kemana. Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan esai seperti tidak pernah berdiskusi.

Ulangan umum dan ujian apapun lebih seperti adu tahan mental, juga adu cerdik mempersiapkan diri.

Bram misalnya. Menurut saya dia ahli mengatasi aneka bentuk ulangan. Ia selalu tenang, paham betul "peta" materi yang sedang kami pelajari, dan lancar menjawab aneka bentuk pertanyaan. Hasilnya selalu bagus, jauh lebih baik dari performanya sehari-hari.

Maka di akhir musim ulangan kali ini saya justru membahas sikap positif dan cara mempersiapkan diri menghadapi aneka tes tertulis.

Ngomong-ngomong, saya cukup puas pada soal-soal yang saya buat. Jelas sekali bahwa ada jurang cukup lebar di kelas saya antara gerombolan anak yang ini dan gerombolan anak yang itu. Jelas pula terlihat bahwa anak-anak cenderung puas menghafalkan fakta daripada memperkuat kembali jejak pemahaman mereka.

Saya bertanya apakah soal-soal yang saya buat sulit? Tidak, kata mereka. Tapi aku banyak yang lupa. (Saya jadi tertawa mendengarnya).

Sepanjang minggu sebelum evaluasi saya sudah sering mengajak bicara mereka tentang sikap positif. Kalau kamu yakin kamu pasti bisa, maka kamu pasti bisa. Melihat kalian, ibu Tia tahu bahwa hambatan paling besar adalah perasaan "saya pasti gagal". Tidak ada kok yang tidak cerdas di kelas ini.

Hal lain adalah, bagaimana caranya belajar? Oh well, maksud saya mempersiapkan diri menghadapi tes.

Saya mendorong anak-anak untuk saling memeriksa kelengkapan catatan, buku, lembar kerja, dan lain sebagainya dengan teman-teman. Saya juga mengatakan bahwa hanya membaca berulang-ulang nyaris tidak ada gunanya. Lakukan sesuatu, terlibatlah dengan bahan-bahan yang kamu siapkan untuk tes.

Mita sering membuat tes untuk dirinya sendiri dengan cara melengkapi mind map. Saras juga selalu membuat mind map. Mini kemarin menunjukkan ilustrasi gambar untuk menerangkan proses produksi sel telur dan sel sperma yang ia buat.

Saling tanya jawab adalah cara lain yang sering mereka pakai. Saya selalu mengingatkan berulang-ulang agar mereka membuat pertanyaan dengan kata tanya yang beragam. Kalau mereka hanya saling tanya jawab dengan kata apa, siapa, kapan, dan di mana, sudah bisa dipastikan mereka tidak akan sukses mengerjakan tes. Saya minta mereka untuk juga menggunakan kata bagaimana dan mengapa.

Hari ini, saya meminta anak-anak mengevaluasi sendiri performanya selama ulangan umum.
Menarik bahwa mereka sadar apa masalahnya.

Adam tahu betul bahwa bahan-bahannya tidak lengkap sehingga dia sering mati langkah. Grogi, juga jadi masalah buatnya. Lika tahu bahwa ia harus mengganti strategi belajarnya, sehingga tidak hanya menghafalkan fakta tetapi juga memahami isinya. Mita sadar ada materi yang hanya dibacanya selintas. Saya ingat selintas saya melihat Mini marah-marah di sesi tanya jawab bersama teman-temannya karena menurutnya si teman memberi pertanyaan yang tidak mungkin saya tanyakan saking gampangnya.

Saya rasa hal-hal ini jauh lebih penting daripada nilai yang mereka peroleh. Kadang-kadang angka di dalam nilai tidak memberi umpan balik lebih jauh dari rasa senang dan kecewa. Beberapa rasa bangga yang tidak perlu, sedih berkepanjangan yang justru jadi senjata makan tuan.

Saturday, September 15, 2007

Makan

Satu perbedaan mencolok antara kelas 2 dan kelas 5 terletak di waktu makan. Di kelas 2 saya harus ikut membujuk (dan memaksa) anak-anak agar mau makan. Makan dan tidur is a big no-no untuk anak-anak umur tujuh tahun, sepertinya.

Di kelas 5 justru sebaliknya. Kami masuk kelas pukul 07.30 dan istirahat pukul 09.45. Jam sembilan pagi, anak-anak kelas 5 sudah mulai bertanya

"Buu... kapan makannya?"
"Buu, laper nih."

Dengan asumsi anak-anak sudah mengisi perut jam sepuluh pagi, kami masuk kelas lagi pukul 10.10. Saya curiga, pada saat itu anak-anak sudah menunggu waktu makan siang yang jatuh pada pukul 11.30.

Enaknya, saya bebas tugas mengawasi anak-anak makan, karena mereka pasti menghabiskan jatahnya dengan senang hati. Yang menyebalkan, setiap satu jam mereka sudah mengeluh lapar sementara kami sedang mengerjakan banyak hal.

Satu pengecualian untuk Leo. Ia masih juga tidak suka makan. Ia sering memandangi bekalnya selama lima menit untuk menimbang-nimbang apakah perlu dimakan atau tidak. Lebih sering lagi ia membawa bekal dua kotak makanan besar hanya untuk dicicipi sebanyak dua potong. Teman-temannya sering menegurnya agar ia mau makan lebih banyak.

Teguran ini bukan tidak berdasar. Angka ketidakhadiran Leo di kelas lumayan banyak akibat jatuh sakit. Sekarang teman-temannya (bukan cuma saya lho) ikut cemas. Setiap kami melakukan sesuatu saat Leo tidak ada, pasti ada saja yang bertanya, "Leo bagaimana ya, Bu. Sepertinya surat-surat untuk Leo sudah banyak menumpuk di meja Ibu."

Mereka tahu betul bahwa saya dan Bu Evi rajin menyusun lembar-lembar kerja yang harusnya jadi jatah Leo, menjepitnya dengan paperclip dan memberi tanda absen.

Teman-teman Leo sering mengabsen dengan bertanya, kali ini ada berita apa dari Leo. Suatu kali, kami mendengarnya sakit karena infeksi ini. Dua minggu kemudian, infeksi yang lain lagi.

Mita (yang setengah lemas karena masih demam) menggerutu, "hari ini infeksi itu, besok infeksi ini, kapan sehatnya."

Saras menambahkan, "Bu Tia, nanti kalau terima rapor Bu Tia harus bilang pada ibunya Leo bahwa dia susah sekali makan. Mungkin ada baiknya dia diinfus saja kalau di sekolah. "

Hihihihi.

Saya dan Bu Evie juga sering mendengar teman-teman Leo membujukLeo untuk makan yang sehat. Bujuk rayu ini tidak hanya dilancarkan di waktu makan, tetapi juga saat anak-anak menunggu giliran untuk memeriksakan jawaban matematika mereka.

Yah, semoga selera makan Leo cepat menyusul selera makan teman-temannya yang meroket itu. Paling tidak (menurut kami) ia punya lebih banyak cadangan energi untuk lebih sehat dan bersemangat.

Wednesday, September 12, 2007

Sedih, nih

Pada pinter-pinter gitu kok ulangannya jelek... sedih nih. :(

Monday, September 10, 2007

Juwita Malam

Kelas kami sedang mempersiapkan pameran Ismail Marzuki. Di salah satu acara berkenalan dengan Ismail Marzuki, anak-anak mencoba menulis apa yang mereka tangkap dari lirik-lirik lagu Ismail Marzuki.

Berikut ini adalah tulisan Mini, tentang lagu yang paling ia sukai; Juwita Malam.

Lagu ini berarti seorang pria yang bertemu dengan seorang wanita cantik di dalam kereta. Lalu, pria ini menyebutkan ciri-ciri wanita itu. Setelah ia bertemu, kereta mereka sudah sampai dan mereka harus berpisah. Lagu ini diciptakan sekitar tahun 1948. Pada saat itu, Indonesia sudah merdeka. Walauapun lagu ini memiliki kesan romantis, lagu ini juga diberi kesan kepahlawanan. Seperti pada bait “kereta kita segera tiba di Jatinegara kita kan berpisah”. Disitu diceritakan bahwa pria yang berpisah dengan wanita itu adalah pahlawan yang akan berperang. Mungkin, saat Ismail Marzuki membuat lagu ini ia sedang terinspirasi kisah cinta seorang pahlawan. Walaupun sang pahlawan memiliki cinta pada seorang wanita, pahlawan itu harus berperang membela bangsanya. Saking cantiknya wanita itu, ia diberi nama juwita malam.

Sunday, September 09, 2007

Bukan Milik Saya

Rutinitas akhir kuartal, seperti biasa, membuat saya punya kesempatan menengok ke belakang. Apa yang sudah terjadi sepuluh minggu terakhir ini?

Dalam kuartal kali ini, saya merasa overwhelmed pada kemampuan dan perkembangan anak-anak di kelas 5. Saya sering mudah terpukau ketika anak-anak-anak tak mudah puas dan mudah percaya pada asumsi. Pada banyak kegiatan mereka selalu bertanya pada saya. Lagu ini diciptakan tahun berapa? Ada apa waktu itu? Seperti inikah mereka berpakaian? Apa saja yang keren waktu itu? Benarkah orang-orang berpikir seperti ini? Tidak seperti sekarang?

Saya juga mudah terhanyut perasaan bersemangat ketika mendapati anak-anak mulai bisa menerima dan memahami berbagai sudut pandang yang berbeda. Suatu ketika Lika, Bram, dan Mini membicarakan tiga batasan mengenai apa itu remaja berdasarkan agama "Yang penting sudah akil baliq, " kata Lika. "I should have teen in my age like thirteen. That's what I know in America, " kata Kirtti. Bram menambahkan "Kalau menurut buku biologi, umurnya sudah diatas sepuluh tahun."

Di hari yang lain, anak-anak mendadak sadar bahwa satu fakta bisa diinterpretasikan berbeda oleh dua pihak yang berlawanan. Mulanya dari Iwo Jima, lalu Letters of Iwo Jima, yang menurut Bram diceritakan dari sudut pandang Jepang. Saya katakan, tentu menyenangkan kalau kita juga bisa menonton film dari sudut pandang Sekutu tentang masalah yang sama.

Seseorang tertawa dan berkata, "Ya, ya, seperti orang bertengkar saja. Kalau ditanya akan menjawab sesuai apa yang dia rasa benar."

Saya merasa penuh dengan kagum dan harapan, semoga mereka bisa seperti ini terus. Mereka sudah punya modal-modal dasar untuk belajar sejuta hal baru di luar sana. Mereka kritis bertanya. Mereka berani mengemukakan pendapatnya. Mereka bisa setuju dan tidak setuju dengan sebagian pendapat temannya. Mereka tahu cara menggunakan berbagai sumber referensi. Mereka mulai menyadari waktu dan tempat memiliki konteks berbeda. They can be almost anything.

Mendadak saya takut semua hilang begitu saja. Apa yang sudah ada pada anak-anak ini, belum menetap. Satu dua tahun belajar satu arah saja akan mengikis semua kemampuan yang mereka bisa. Saya tidak mau! Saya takut kehilangan semua yang saya lihat dan dengar dari mereka. Mereka pasti bisa bertahan dan mungkin memiliki nilai rapor yang baik di sekolah manapun yang mereka masuki. Mungkin mereka perlu waktu untuk beradaptasi, tapi mereka akan segera berhasil memenuhi norma-norma lingkungannya. Bukan itu yang saya takutkan.


Maka dalam satu perjalanan pulang, saya ceritakan kekhawatiran saya pada The Great Alexander. Ia mendengarkan saya dengan seksama, tersenyum-senyum lalu menertawakan saya.

"Tahu tidak, kamu melihat mereka seperti barang-barang milikmu."

"Masa?"

"Ya. Terserah mereka, apakah mereka tetap mau jadi seperti ini sepanjang hidup mereka atau mendadak ganti haluan dan membuang semuanya lalu memakai cara yang baru. Itu bukan urusanmu. Urusanmu adalah mengajar mereka sekarang. "

Saya diam. Dia benar. Tugas saya adalah mengembangkan semua potensi dan bekal mereka untuk belajar apa saja semau mereka kelak. Apakah mereka akan membuang semua yang saya berikan karena tidak sesuai lagi dengan diri mereka kelak, itu bukan urusan saya.

Waktu saya bersama mereka adalah sekarang, bukan besok atau lusa.
Besok dan lusa adalah milik mereka. Saya tidak bisa mengganggu gugat itu dengan mimpi-mimpi atau selera saya.

Sulit ya, untuk tidak merasa memiliki.

Wednesday, September 05, 2007

Cepat!

Adinda lari menerjang pintu perpustakaan dan memanggil-manggil saya saat saya sedang membuka komputer perpustakaan.

“Ibu, ibu! Ibu lihat Bu Fafa tidak.” Wajahnya terburu-buru sekali.

“Tidak, belum datang sepertinya.” Saya melirik ke jam dinding, jarum jam baru menunjukkan angka 7.15 pagi.

“Bu, sini deh, cepat.. !”

Adinda sudah berlari menuruni tangga dengan suara gedebak gedebuk.

Ada apa ya? Saya jadi ikut berlari menuruni tangga.
Riri sudah menunggu di bawah tangga dan memberi tanda agar saya cepat mengikutinya.

Adinda merunduk di dekat pot tanaman jeruk limau.

“Lihat!Ada kupu-kupu baru keluar dari kepompong. Itu sisa kepompongnya.”

Di balik rimbun daun saya melihat kupu-kupu dengan sayap putih bertotol cokelat dan semburat kuning. Cantik sekali.

“Nah, ini ada satu kepompong lagi, tapi belum menetas.”

Riri menambahkan, “Berarti sebelumnya di sini banyak ulat bulu, ya? Aku kok tidak memperhatikan.”

Setelah beberapa minggu berkutat dengan tenggat waktu, pagi ini saya merasa keterburu-buruan saya mengikuti Adinda sungguh berharga. Ya, kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya di pagi hari, tidak bisa menunggu kita terlalu lama untuk dinikmati, bukan?


Sunday, September 02, 2007

Mempertanyakan Hidup

Bagi saya anak-anak yang sehat dan gembira di ruang kelas adalah anak-anak yang mau bertanya. Dulu, di kelas-kelas awal, saya menikmati kepolosan pertanyaan anak-anak dan masih bisa menjawab dengan mudah.

Di kelas lima, saya sempat khawatir anak-anak sudah kehilangan kesenangan untuk belajar (berarti memahami hal-hal baru) karena mereka sudah mengenal konsep belajar sebagai mengulang materi supaya dapat nilai bagus.

Kekhawatiran saya tidak beralasan. Anak-anak tetap menghujani saya dengan pertanyaan yang makin hari makin kritis dan makin seru mempertanyakan hidup. Makin sulit bagi saya untuk menjawab dengan ringkas. Makin cemas saya kalau tidak banyak-banyak meng-update diri dengan membaca segala sesuatu.

Dua hari kemarin kami duduk di halaman sekolah. Anak-anak mendengar saya bercerita tentang Ramayana. Nanti mereka punya tugas membuat wayang untuk mementaskan sebagian cerita Ramayana ini. Saya merasa saya ngebut habis-habisan untuk menuturkan Ramayana dalam waktu 90 menit saja.

Komentar anak-anak?

Aku masih nggak ngerti bagaimana ada monyet yang darahnya putih. (Ketika saya bercerita tentang perseteruan Subali dan Sugriwa)

Bagaimana caranya mengubur raksasa sebesar itu. Siapa yang bisa menggali kuburannya? (Ketika saya bercerita tentang kematian Kumbakarna)

Benar, Bu, Rama itu tidak ada iseng-isengnya sedikitpun? (Mita tampak kecewa).

Jadi sepertinya Rama itu orang yang ganteng, calon raja, dan baik hati sekali. Bu Tia mau nggak jadi istrinya Rama?

Tidak, jawab saya.

Kenapa?

Tunggu sampai ceritanya selesai, kata saya.

Sebagian dari mereka langsung mengangguk-angguk mengerti setelah saya selesai bercerita tentang Sita Obong.

Dulu di kampus, saya dan teman-teman sering mempertanyakan dan menggugat kepahlawanan Rama dan sikapnya pada Sita. Saya agak tidak siap ketika pertanyaan tentang ini sudah muncul di Kelas 5 saya yang masih kecil.

Saat saya bercerita tentang bagaimana Rama memenangkan sayembara dan oleh sebab itu berhak memperistri Sita, Mita sudah berkomentar dari tempatnya duduk, "Kenapa sih perempuan jaman dulu dianggap barang dan dijadikan hadiah?"

Ketika siang harinya mereka meneliti gambar-gambar wayang untuk dijadikan contoh saat mereka menggambar wayang, anak-anak menemukan bahwa semua tokoh perempuan selalu menunduk ke bawah. Mereka juga bertanya, mengapa semua wayang perempuan mukanya menghadap ke bawah?

Dengan kalem, beberapa anak membantu temannya dengan menjawab, "Iyalah, perempuan jaman dulu kan nggak dianggap ada. Harus nurut."

Mempertanyakan hal-hal seperti ini ketika saya sudah cukup umur saja rasanya hidup itu berat. Banyak hal yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan nilai yang saya pahami tentang siapa itu perempuan. Bagaimana dengan anak-anak ini? Semoga mereka tidak terlalu frustrasi di dunia nyata sana.

Friday, August 31, 2007

Kongres Pemuda

Saya rasa anak-anak sudah mulai jenuh dengan berbagai pengetahuan baru tentang sejarah Indonesia. Mini sudah mulai mengerang, "Aduh buu... aku bingung banyak sekali tahun-tahunnya!"

Mengenal saya yang tidak menyukai acara hafal-menghafal, anak-anak juga sudah bisa menduga hal-hal mana yang akan jadi perhatian saya dan mungkin keluar dalam soal-soal ulangan, dan mana yang tidak. Untuk meyakinkan diri mereka sering bertanya

"Tanggal berdirinya PETA ini harus aku hafalkan, tidak?"

"Bu Tia tidak akan menanyakan tentang jadwal dan tempat-tempat rapat dalam kongres pemuda, kan?"


Saya sendiri nyaris mati langkah membuat sejarah jadi menyenangkan. Minggu lalu, saya meminta anak-anak merekonstruksi kembali Kongres Pemuda II. Mereka memilih peran-peran sebagai Muhammad Yamin, WR.Supratman, Sugondo Joyopuspito dan teman-teman dari berbagi Jong.

Dhara sudah siap dengan kertas untuk dijadikan papan nama, "Aku mau jadi Jong Ambon. Nah, siapa yang berasal dari Ambon, Bu?"

Saya memberinya buku pelajaran IPS dan ia segera menemukan nama Leimena.
Mini dan Lika memilih tokoh-tokoh perempuan. Sebagai pemimpin kongres, Mita memilih peran Sugondo Joyopuspito. Saras memilih tokoh yang "paling banyak bicara, Bu. Aku mau jadi M.Yamin."

Adam dipanas-panasi teman-temannya untuk menjadi W.R Supratman. Mendengar tugasnya adalah menyanyikan lagu Indonesia Raya, Adam setuju.

Maka anak-anak mengubah posisi meja dan kursi mereka menjadi sebuah meja panjang. "Kalau rapat kan mejanya seperti ini, ya Bu."

Mereka juga membuat papan-papan nama untuk menunjukkan peran mereka masing-masing. Dasar anak-anak ini, sebelum mulai mereka terus-terusan bertanya. Ini rapat yang ke berapa bu? Satu, dua atau tiga? Kalau rapatnya yang terakhir tidak usah memperkenalkan diri lagi, ya? Rapat ke satu, dua, atau tiga ini juga mereka gunakan untuk menentukan salam pembuka.
Selamat pagi, selamat siang, atau selamat sore.

Saya duduk di sisi kelas menjadi Belanda yang mengawasi jalannya rapat (sambil memegang lembar observasi, tentunya).

Anak-anak mencoba rapat sambil mempraktekkan sopan santun kongres menurut mereka. Isinya? Tentu tidak seseru dan liat seperti apa yang kita pikir jika membayangkan semua pemuda dari seluruh penjuru nusantara duduk bersama. Anak-anak bilang, mereka sedang memikirkan strategi yang tepat untuk melawan Belanda. Mereka cepat sampai pada keputusan bahwa sebaiknya mereka bekerja bersama-sama dan bersatu.

Sungguh sulit melakukan observasi sambil tersenyum-senyum mendengar mereka bergantian menyampaikan ide dengan bahasa dan sikap seresmi mungkin. Tapi saya jadi tersentuh ketika Mohammad Yamin aka Saras menyampaikan idenya tentang sumpah pemuda. Teman-temannya berseru riuh menyetujui ide itu. Saras mengajak mereka semua mengucapkannya bersama-sama, dan anak-anak mengucapkan sumpah pemuda dengan lantang.

Saya tidak tahan untuk tidak tepuk tangan. Para peserta kongres pun memandang saya dengan gusar dan berkomentar, "Belanda kok setuju."

Kini giliran Adam menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ia memberi pengantar, "Mari kita nyanyikan bersama-sama!"

Suara protes pun bermunculan. Tidak boleh, Adam, kalau terdengar Belanda nanti kamu ditangkap. Nyanyikan saja dengan biolamu. Lagipula Adam, ini kan baru sekali kamu mainkan. Kita belum tahu dong lagunya seperti apa!

Jadilah Adam, dengan muka setengah kesal, menirukan bunyi biola dengan penggaris di tangannya.

Berakhirlah kongres Pemuda mengingat jam matematika sudah hampir tiba.

Monday, August 20, 2007

Karena Saya Peduli

Mengiringi topik sejarah Indonesia yang tidak ada habis-habisnya, anak-anak sempat membahas tentang kepahlawanan. Setelah membahas berbagai rupa pahlawan baik pahlawan versi perang kemerdekaan sampai orang-orang yang ngotot melakukan hal-hal yang dirasanya berarti untuk sekitarnya, saya mengajukan pertanyaan ini:

Jika kamu dapat meniru salah satu sifat pahlawan, sifat apa yang ingin kamu tiru? Apa alasanmu?


Kemudian, saya sangat tertarik pada jawaban Saras

Peduli; karena dengan kepedulian kita akan menemukan ide-ide besar untuk membuat perubahan. Tanpa kepedulian kita tidak akan punya kekuatan untuk membuat suatu perubahan yang berarti.

Kepedulian dapat membuat perubahan karena peduli dapat mengubah bagaimana kita memandang sesuatu dan dapat mempunyai ide untuk membuatnya berubah menjadi lebih baik.

Thursday, August 16, 2007

Belajar Lompat Tali

Anak-anak sedang senang-senangnya bermain lompat tali. Mini dan kawan-kawannya penasaran bagaimana cara melakukan lompat tali dengan dua tali sekaligus, berikut teknik-teknik semi akrobatik lainnya.

Bu Tia, di mana sih tempat belajar lompat tali? Siapa yang bisa mengajarkan kami double dutch (?)

Ada yang bisa membantu?

Wednesday, August 15, 2007

Cara Berpikir Sederhana dan Murah Meriah

Bagaimana cara kita menghargai kemerdekaan?
a. Menyanyikan lagu wajib.
b. Mengunjungi makam pahlawan
c. Berkunjung ke museum

Kalimat di atas bukan soal pilihan ganda. Ini adalah bahan dalam kurikulum IPS nasional bahwa anak-anak harus tahu bagaimana cara menghargai jasa para pahlawan dan mengisi kemerdekaan. Tiga itu sebagian jawaban dari tujuh total jawaban yang kurang lebih serupa. Suka atau tidak, saya harus mengatakan bagian ini pada mereka atau mereka tak akan bisa menjawab soal ujian nasional.

Cara pikir ini (mengisi kemerdekaan dengan hal-hal seremonial) sama persis dengan pemikiran banyak orang bahwa jika anda membuka jendela mobil, mengulurkan dua koin lima ratus rupiah pada seorang anak jalanan, berarti anda sudah menghapus sedikit dosa-dosa. Kalau hal yang sama dilakukan setiap hari, tentu dosa-dosa anda habis.

Sederhana dan murah meriah.

Tuesday, August 14, 2007

Buku Sejarah

Beberapa minggu lalu saya sempat heran dengan heboh-heboh tentang lagu Indonesia Raya. Ya, lagu Indonesia Raya terdiri dari tiga stanza. Lalu? Itu bukan berita baru.

Putu bertanya pada saya, stanza itu apa sih?

Esoknya saya membawa versi lengkap Indonesia Raya untuk anak-anak. Saya pikir, mereka mungkin belum tahu, dan tentu akan tertarik mengingat mereka sedang senang-senangnya membaca aneka berita dari media massa.

Apa tanggapan mereka?
"Iya memang, Bu. Indonesia Raya memang ada tiga bait lirik. Kan sudah pernah di kelas 3 atau kelas 2, gitu..."

Jadi, bagaimana caranya seorang pakar tidak tahu bahwa IndonesiaRaya terdiri dari tiga stanza, sementara anak-anak di kelas saya yang bahkan baru lahir saat perubahan politik tahun 1998 terjadi sudah tahu sejak beberapa tahun yang lalu?

Saya menyimpan keheranan ini sambil terus mengumpulkan bahanbahan untuk membahas tema Sejarah Indonesia. Barulah saya mengerti mengapa si pakar (dan mungkin banyak orang di negeri ini) tidak paham sejarah.

1. Buku teks sejarah untuk sekolah tidak memerhatikan (apalagi membahas) garis waktu.

Untuk membahas tentang Perang Nusantara pada periode 1800 -1900an saya membaca satu buku tulisan R.P Suyono (nanti saya edit kalau salah). Ketika membandingkannya dengan teks sejarah di buku IPS untuk kelas V SD, saya menemukan kejanggalan. Di salah satu sub judul Perang Bone, foto yang tercantum adalah foto Sultan Hassanudin. Cerita tentang Sultan Hassanudin hanya dua kalimat, lanjutannya adalah tentang Perang Bone pasca Traktat Bonga.

Setelah membaca lebih jauh lagi di buku Pak Suyono, saya temukanbahwa Sultan Hassanudin hidup di masa VOC dan melakukan perlawanan pada VOC.

Barangkali penulis buku IPS Kelas V saat menulis buku itu masihmenganggap asal Belanda sama saja. VOC atau pemerintah Hindia Belanda, sama saja. Toh sama-sama orang Belanda.

Masih pada buku yang sama, di dalam BAB YANG SAMA, para penulismenyusun sejarah Indonesia menjadi tiga bagian:
A. Penjajahan Belanda di Indonesia
B. Penjajahan Jepang di Indonesia
C. Pergerakan Nasional di Indonesia

Sebelum anak-anak sama lieur-nya dengan para penulis, saya membuat garis waktu dan menjelaskan tiap perpindahan periode bahasan dengan anak-anak.

2. Penjabaran sebab dan akibat yang suka-suka gue.

Kalimat berikut ini menjadi pengantar dalam pembuka sub bab Pergerakan Nasional Indonesia dan Tokohnya;

Baik Portugal, Inggris, maupun Belanda mencobamenaklukkan
kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara. Mereka menindas rakyat Nusantara dan memanfaatkan kekayaan alam Nusantara untuk kepentingan mereka sendiri.

Penjajahan itu kemudian menciptakan rasa kebersamaan diantara penduduk di
wilayah Nusantara. Mereka merasa sama-sama berada di bawah penindasan penjajah. Karena itu mereka bekerja sama untuk memperoleh kemerdekaan. Mereka semua ingin merdeka sebagai satu kesatuan dalam suatu negara baru, yaitu Indonesia.

Pembahasan dilanjutkan dengan terbentuknya Budi Utomo. Coba pikirkan, saudara-saudara, apakah di awal tahun 1900 sms sudah begitu murahnya sehingga semua orang di nusantara bisa saling kirim sms untuk menceritakan beban senasib sepenanggungan mereka?

Lalu apa manfaatnya aktivis-aktivis muda itu membuat pergerakan kalau rakyatnya sudah merasa senasib dan ingin merdeka? Perlu waktu setidaknya 20 tahun sejak Budi Utomo berdiri, hingga para pemuda itu berpikir bahwa mereka adalah satu bangsa. Apa yang terjadi dua puluh tahun kemudian tidak bisa menjadi penyebab kejadian hari ini, bukankah demikian?

Saya hampir melempar buku ini keluar jendela kalau saya tidak ingat bahwa saya tetap butuh panduan buku ini agar saya tahu apa yang harus saya berikan agar anak-anak lulus ujian.

Apa yang saya lakukan di kelas? Saya jelaskan pada anak-anak tentang Politik Etis. Bisa kok, menjelaskan politik etis dengan sederhana dan tetap membuat anak-anak menyusun fakta sejarah di kepalanya dengan lurus pikir, bukan sesat pikir.

3. Fakta dan opini campur baur menjadi satu.

Saras membawa sebuah buku untuk tingkat SMP. Kebetulan materinya juga tentang Pergerakan Nasional. Selagi anak-anak sibuk menjelajah internet dan membaca buku-buku untuk menulis riwayat hidup para tokoh Pergerakan Nasional, saya mengambil buku yang dibawa Saras dan membacanya.

Salah satu bagian membahas tentang perpecahan Sarikat Islam. Kalimat-kalimat yang menjelaskan siapa itu Semaun sungguh penuh dengan opini. Ringan saja si penulis menghubungkan satu ideologi dengan tekad untuk menghancurkan satu agama. Dan, ya, tentu saja, si penulis tahu bahwa pembaca bukunya adalah anak-anak, yang tentu saja serba percaya. Sayang buku itu tidak ada pada saya sekarang, jadi saya tidak bisa tulis contohnya.

Ya, sejarah ditulis oleh pihak yang menang. Mungkin sekali ada kecenderungan untuk membuat lawan yang sudah kalah tampak jadi pendosa. Saya ingat betul, cerita tentang Perang Padri saat saya kecil. Susunan kalimatnya jelas pro Padri dan kontra Adat.

Dengan beberapa sumber yang lebih baik, saya menyusun bacaan tentang Perang Padri, dan dengan sengaja menunjukkan sudut pandang Kaum Padri dan Kaum Adat, serta apa yang mereka pertentangkan.

Ketika membacanya, Saras mulai menggaruk-garuk dagunya sambil berkomentar, "Susah juga ya Bu. Dua-duanya benar dan dua-duanya salah. Aku setuju kalau Kaum Padri ingin memperbaiki jalannya ajaran Islam. Tapi kalau sampai membunuh begitu, aku rasa salah juga. Kaum Adat juga mungkin salah karena melakukan hal-hal yang dilarang agama, tapi hmm... harusnya tidak begini. "

Saya tersenyum-senyum di sebelahnya, "Kamu lihat miripnya dengan situasi sekarang."

"Hehe, iya sih."

Di saat berdiskusi Lika menambahkan, "Boleh saja memberitahu orang lain apa yang kita anggap benar, tetapi tidak boleh memaksa apalagi dengan kasar."

Barangkali memang benar, memberi keleluasaan anak-anak untuk terbiasa dengan sudut pandang yang berbeda bisa jadi masalah besar. Masalahnya, mereka jadi tahu caranya berpikir, dan mungkin bisa beradu argumentasi dengan kita; guru, orangtua dan orang dewasa lainnya. Sebelum bahaya terjadi, baiknya kita racuni saja mereka dengan opini-opini kita. Searah. Selesai masalahnya.


Jadi, kembali ke buku sejarah. Ngomong-ngomong, kenapa ya, buku sejarah banyak yang dibakar? Pasti bukan karena berisi opini ketimbang fakta, dong? Juga bukan karena tidak pakai garis waktu, kan?

Saturday, August 11, 2007

Di Balik Simbol

Mulai tahun ajaran ini saya juga mengajar satu subjek berjudul pengetahuan agama. Bahannya menarik, tiap kali menjelajah saya menemukan pengetahuan baru. Tetapi, mengajar pengetahuan agama tak semudah yang saya bayangkan.

Saya memulai dengan tema pertama mengenai symbols and sign. Anak-anak senang saat kami membuat gambar-gambar yang menunjukkan bedanya sign dan symbols.

"Simbol itu mewakili sesuatu, bu, seperti bendera."

Kami juga sempat menggambar makna denotatif dan konotatif sebuah ungkapan. Saya jadi mendapat gambar hati penuh bunga (hatiku berbunga-bunga) sekaligus gambar anak yang sangat gembira. Saya juga mendapat gambar telur dan tanduk (telur diujung tanduk) dan seorang yang melawan rampok.

Apa hubungannya dengan pengetahuan agama? Kemudian kami membahas beberapa ayat populer dari beberapa agama yang memuat metafora.

Suatu ketika saya bertanya pada mereka, "Mengapa perumpamaan yang digunakan? Mengapa tidak langsung saja kita merinci sifat-sifat Tuhan, misalnya?"

Tanpa diduga saya mendapat jawabannya dari anak-anak.

"Lambang mengingatkan kita pada cerita-cerita sebelumnya, Bu." kata Mita.

"Lambang yang dipakai orang juga kadang-kadang menunjukkan apa agama orangnya," kata Adam. Ya, lambang kemudian juga menjadi identitas agama.

"Menurutku... kalau ada lambang... jadi nanti kalau mau cerita sama anakku nggak susah. Ceritanya kalau diceritakan begitu saja nanti ada yang berubah atau banyak yang kelupaan. Kalau pakai lambang kan orangnya langsung mengerti," Putu mencoba menjelaskan.

Dengan kalimat yang susunannya kian kemari, saya mengerti maksudnya. Ketika saya bercerita pada seorang teman, ia mendadak marah pada saya. Katanya, saya sudah memperkenalkan teori semiotika Ferdinand de Saussure yang biasanya baru dikenal mahasiswa sastra semester tujuh.

Lho, apa salah saya? Bukan saya yang menjawab begitu, tapi Putu.

Friday, August 10, 2007

Menanggapi Tugas

Untuk merangsang anak-anak mau berpikir dan melakukan riset kecil-kecilan sekaligus memberi tantangan untuk mereka yang perlu tantangan lebih, saya menulis sebuah pertanyaan setiap minggu. Saya namai QUESTION OF THE WEEK.

Question of the week minggu ini adalah; Apa arti lambang bulan dan bintang yang ada di kubah masjid?

Masalahnya, sepanjang bulan ini kami belajar tentang tanda dan lambang dalam agama. Kemarin anak-anak bertanya tentang lambang bulan dan bintang setelah kami membahas larangan menggambarkan Tuhan di dalam agama Islam.

Pagi ini, anak-anak muncul dengan berbagai tanggapan tentang pertanyaan itu.

Putu, "Bu, aku sudah tanya-tanya tapi tidak ada yang tahu. Tetanggaku yang agamanya bagus juga tidak tahu."

Dhara, "Aku sudah tanya Pak Ustad Bu, katanya tidak ada artinya kok."

Ketika lebih banyak anak muncul, mereka justru mendiskusikan pertanyaan itu tanpa saya. Sambil menulis agenda, Lika memulai, "Aku belum tulis jawabannya soalnya aku bingung. Beda-beda sih jawabannya."

Dari sisi meja yang lain Saras menceritakan temuannya, "Lima sudut bintang itu menggambarkan lima Rukun Islam."

Mita yang baru datang, langsung bergabung, "Bukan, itu dulu lambang yang dipakai sama Dinasti Ottoman. Dinasti Ottoman itu penguasa Turki. Nah dulu Turki itu kerajaan Islam yang besar sekali dan daerah kekuasaannya sangat luas. Kalau perang dia pakai lambang itu. Sebenarnya itu bukan lambang Islam, tapi jadi nyambung saja. Aku baca di internet, begitu."

"Oh ya? Jawaban Saras tadi juga menarik tuh yang lima sudut itu."


Dari obrolan mereka saya jadi tahu bahwa ternyata anak-anak sudah menggunakan sumber yang berbeda-beda. Lebih jauh lagi, ternyata mereka bisa menghargai hasil temuan bahkan yang berbeda dengan temuannya sendiri. Tidak masalah siapa benar dan siapa yang salah.

Thursday, August 09, 2007

Rokok, Iklan dan Kesan

Kami sedang membahas sistem pernafasan manusia. Sudah kenyang dengan aneka alat peraga dan uji coba untuk mengerti bagaimana manusia bernafas, saya melempar topik rokok pada anak-anak.

Anak-anak membaca bagaimana tar dan nikotin bekerja pada sistem pernafasan manusia. Saya menjelaskan, lari ke mana tar dan nikotin itu. Apa yang terjadi pada tubuh kita.Tentu saya tidak membual tentang rokok dan kanker.

Tidak sekalipun saya mengatakan pada mereka apakah sebaiknya mereka merokok atau tidak. Saya juga berbagi cerita bahwa orang-orang dekat saya perokok. Mereka, mungkin mengalami situasi yang sama. Anak-anak pun seru berbagi tentang pengalaman mereka mencoba rokok, menjadi perokok pasif, bahkan menyatakan pilihannya.

“Aku sudah pernah mencoba rokok dan aku tidak suka. Bu Tia sudah pernah coba?”

“Sudah, dan Bu Tia memilih untuk tidak merokok.”

Tangan Mita terkembang, “Join the club, Bu!”

Saya menggoda mereka. Lihat saja nanti, kalian pasti ingin coba. Saat teman-teman kalian bilang merokok itu keren. Saat kalian pikir merokok membantu kalian untuk bisa berpikir lebih baik, menghilangkan kesal, dan masih banyak lagi.

“No way. Aku sudah tahu isinya. I am not stupid.”

“Lagian aku dan Mini akan temenan terus. Kami kan sudah tahu rokok itu seperti apa.”, protes Mita lagi.

Saya cuma cengar-cengir, “Ada yang namanya peer pressure, nak. You have to deal with it."

Pembahasan kami berlanjut pada iklan rokok.

“Bu, aku tidak mengerti mengapa di iklan rokok itu ada tulisan, merokok menyebabkan kanker, serangan jantung, dan seterusnya itu. Iklan kan dibuat untuk menarik pelanggan. Kalau ditulis seperti itu, siapa yang mau beli? Kan jadinya aneh,” Bram bertanya.

“Ya orang yang merokok sih tidak peduli lagi. Itu peraturan pemerintah," sahut yang lain.

Saya ikut nimbrung, “Ya betul, itu peraturan pemerintah. Kira-kira untuk apa?”

“Supaya orang yang tidak merokok tidak ikut-ikutan?"

“Kalau itu tujuannya, apakah tidak lebih baik jika iklan rokok dilarang?” saya memancing.

Beberapa suara bergumam setuju. Mini memotong, “Ya Ibu tahu kan orang Indonesia, yang penting uang…”

Keesokan harinya saya menunjukkan artikel berisi cuplikan penelitian yang menunjukkan bahwa banyak anak mulai merokok sebelum usia mereka sepuluh tahun. Anak-anak tetap berpikir bahwa iklan adalah salah satu penyebab utama, selain anak-anak mencontoh dari orang dewasa di sekitarnya.

Anak-anak berbagi cerita tentang bagaimana mereka pernah tertarik pada produk yang ditawarkan iklan.

Lika berpendapat, “Menurutku Bu, iklan rokok di tv itu bagus-bagus lho, Aku suka.”

Teman-temannya menanggapi dengan menceritakan adegan iklan yang mereka sukai dan menyanyikan jingle-nya. Saya setuju dengan mereka.

“Tapi Bu, aku perhatikan kok iklan rokok tidak pernah menampilkan orang yang merokok.” kata Putu.

“Betul sekali pengamatanmu. Itu memang dilarang dalam peraturan membuat iklan rokok. Tapi bagaimana iklan bisa menarik pelanggan kalau tidak menunjukkan orang merokok?”

“Karena gambar-gambarnya bagus?” seseorang menebak.

"Gambar-gambar apa yang kamu lihat?"

“Ok, kalau kamu menonton iklan rokok, seperti rokok M misalnya. Kesan apa yang kamu tangkap?”

“Seru, Bu!’

“Berpetualang!”

“Keren!”

"Beramai-ramai."

Ya, itulah yang mereka ingin kamu ingat tentang rokok mereka. Tidak perlu pakai rokok, juga sudah bisa kelihatan, kan? Sekarang, ayo kita main buat-buat iklan. Bisa tidak kamu buat iklan tentang pizza yang enak tanpa membuat gambar pizza?Sambil bercanda anak-anak berpura-pura jadi copywriter iklan sampai datang guru matematika untuk memulai pelajaran.


Tuesday, August 07, 2007

Tiga Minggu Pertama

Minggu 1 : Menyesuaikan Diri

Meski kami sudah lama saling kenal, hari ini saya kembali merasa asing. Jika tertawa, tawa saya seperti tersangkut di awang-awang. Saat bicara, saya rikuh sendiri kehilangan nyali. Apa ya, yang kini membuat mereka tertarik?

Anak-anak sudah nyaris sama tinggi dengan saya.

Diam-diam nomor sepatu mereka sudah lebih besar dari nomor sepatu saya.

Tanpa perlu dibantu, anak-anak sudah bisa menjalankan kelas sendiri. Sudut-sudut kelas kami tetap rapi jali tanpa saya perlu mengomel sana sini dan serba menunjukkan ini itu.

Wah, anak-anak ini – mereka sudah besar. Apa masih mau disebut anak-anak?


Minggu 2 : Mulai Belajar

Baik, saya sudah mulai bisa menyesuaikan diri bahwa saya tak lagi terlalu dibutuhkan untuk mengurus mereka. Di meja, saya masih kalang kabut menyusun dan mempelajari bahan-bahan. Sudah kelas 5, sekarang kami benar-benar harus mempelajari sesuatu. Saya tak bisa lagi mengandalkan isi kepala saat harus memulai kelas. I have to read, and read, and read…

Contoh-contoh soal dan “rangkuman” bahan dari aneka sekolah sampai di meja saya. Sebuah batu bata besar tertelan rasanya. Ya ampun, segini banyak yang harus mereka ketahui? Do we have all the time in this world? Lama saya termangu. Lama saya butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa yang saya ingin anak-anak lakukan bersama saya di kelas adalah belajar dan berproses. Bukan mengingat setumpuk fakta dalam selembar kertas bersama rangkuman.

Nanti, saya gunakan contoh-contoh soal itu jika perlu. Sekarang, saya akan cari tahu dulu bagaimana saya bisa membuat anak-anak mempelajari semua itu tanpa saya perlu menyuapi mereka satu persatu.

Minggu 3 : Sebuah Sisi

Apa yang menarik dari ABA (Anak Baru ABG)? They are both children and adult. Mereka berbicara dengan lugas dan tandas, meniru sinisme orang dewasa, dan di saat yang sama tidak ragu menjadi anak-anak. Mereka tidak sungkan main petak umpet atau melonjak gembira karena tahu sedotan untuk percobaan IPA boleh dipakai main sumpit.

Pemahaman ruang dan waktu mereka sudah jauh lebih memadai untuk bisa memahami sejarah. Dunia mereka sudah lebih luas dari “aku dan aku”. Mereka sudah sepenuhnya mengerti bahwa setiap orang yang mereka temui adalah entitas yang berbeda dari mereka. Maka, pertanyaan, “Bagaimana Ibu dulu waktu seumur kami?” jadi begitu penting dan menarik.

Bagi anak-anak ini, teman, guru, orang tua dan saudara mereka bisa dilihat dari kacamata baru. Semua orang punya cerita, kami bisa mirip sekaligus berbeda. Jika saya bertanya, apa cita-citamu? Mereka balik bertanya, Bu Tia dulu ingin jadi apa? Ketika mereka berkeluh kesah dengan matematika, Mini dan Mita mendongak melihat pada saya penuh ingin tahu, “Did you like maths?” “Matematika waktu Bu Tia kelas 5 seperti apa?”

Melihat Mita yang selalu terkantuk-kantuk pagi hari, saya bertanya, “ I suppose you are a night person, Mita. Kamu pasti merasa lebih segar di sore dan malam hari.” Ia nyengir dan mengangguk mengiyakan. “Bu Tia juga?”

Saya tertawa. Saya? Sepenuhnya makhluk pagi.

Anak-anak ini seperti baru sadar (atau setidaknya saya baru melihat mereka demikian) mereka ada di sebuah dunia yang menarik dan tak habis-habis dikupas, dilihat dari berbagai sisi yang berbeda.

Absen Sebulan

Lho, saya punya blog ya?

Monday, August 06, 2007

Pertanyaan Bulan Agustus

Sepanjang kuartal ini tema pelajaran ilmu sosial kami berkisar di sejarah Indonesia mulai masa pra kolonialisme sampai merdeka. Pada minggu-minggu pertama, pertanyaan-pertanyaan mereka sudah membuat saya terkesima.

Mini : Bu, seandainya ya, seandainya kita membiarkan saja Belanda mengatur-atur kita sampai sekarang. Kira-kira kehidupan sekarang akan bagaimana? Lebih baik tidak, ya?

Mita: Bu, kenapa sih orang-orang Eropa itu melakukan eksplorasi ke selatan, bukan ke utara saja?

Pertanyaan pertama berakhir dengan tugas membuat tulisan tentang perbandingan kehidupan masyarakat jaman penjajahan dan sekarang. Anak-anak menyambut gembira, tapi saya sengaja menjadikannya tugas pilihan. Boleh dikerjakan, boleh juga tidak. Entahlah bagaimana hasilnya, karena tenggat waktu baru berakhir tanggal 20 Agustus.

Pertanyaan kedua, membuat seisi kelas berkumpul di depan peta, lalu tertawa-tawa membayangkan ada kapal yang mau mengarungi laut arktik.

Tuesday, July 10, 2007

Babak Baru

Rak-rak sudah diletakkan ditempatnya.
Alat tulis sudah siap dibagikan.
Sudut perpustakaan kelas sudah terisi buku.
Peta dunia, Peta Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Webster Dictionary, lengkap.
Semua label sudah dipasang.
Jam dinding sudah dinaikkan.
Papan-papan sudah terpasang.
Bangku dan meja sudah tertata dalam kelompok-kelompok kecil.
Saya menggelar karpet.
Saya mengambil spidol dan menulis di ujung kiri atas papan tulis

Rabu, 11 Juli 2007


Di bagian tengah saya membuat tulisan yang lebih besar


Selamat Datang Di Kelas 5!

-Bu Tia dan Bu Evie-



Saya mematikan kipas angin dan lampu kelas.
Siap menunggu besok tiba.

Monday, July 09, 2007

Surga Dunia

Minggu lalu saya pergi ke sebuah toko buku besar. Besar sekali. Tapi yang paling penting adalah, toko buku besar itu punya dua rak berjudul Teaching References.

Nah, itulah surga dunia buat saya. Bayangkan, dua rak itu seakan memuat semua jawaban untuk semua pertanyaan dan kebingungan atas kelas saya. *nyengir*

Minggu lalu, saya menghabiskan waktu nyaris lima jam berturut-turut untuk menelusuri setiap buku dalam dua rak referensi mengajar. Saya memasukkan hampir tiga puluh buku ke dalam keranjang belanja (ya, mereka menyediakan keranjang belanja seperti di supermarket. Mereka sungguh memikirkan pelanggan seperti saya. Akan lebih considerate lagi kalau suatu kali mereka menyediakan trolley, karena buku itu berat lho), lalu duduk terpekur menyeleksi tiga puluh buku itu jadi ... beberapa yang benar-benar saya butuhkan saja. Saya perlu melakukan tiga kali seleksi.

Tugas yang sulit. Maksud hati mengambil semuanya, tapi manalah sanggup ibu guru ini.

Begitulah, surga dunia membuat saya bangkrut dalam waktu lima jam. Bangkrut tanpa rasa menyesal. Hehehe.



PS: Terimakasih ya, Bim ,
saya dibantu membawa dua kantong besar buku sampai rumah.

Tuesday, June 26, 2007

Mengalir Dalam Darah

Tiap kali saya sedang melodramatis dan menganggap bahwa tanpa dukungannya barangkali saya tidak akan memilih menjadi guru, saya sering ditanggapi dengan decakan, "Ah, it's in your blood."

Kemarin, saya menerima sebuah sms.

"Kamu dibeliin puzzle sama mama tuh, katanya untuk murid TK kamu. "

Saya senang sekali mendengarnya. Puzzle itu sampai ke tangan saya hari ini. Tiga buah puzzle gajah, kanguru, dan kepiting. Saya menelepon si tante untuk mengucapkan terimakasih.

"Tante, terimakasih ya puzzlenya."
"Iya, itu untuk murid-murid TK kamu. Jadi ingat aja waktu tante mengajar dulu."

Ah ya, saya lupa bercerita. Tante ini dulu seorang guru TK, sudah berhenti mengajar lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.

So, i think teaching is in her blood.

Monday, June 25, 2007

Tetap Mereka, Anak-anak Itu

Selama anak-anak libur kali ini, saya tidak libur.

Ada yang harus saya kerjakan dengan cepat. Sehingga saya menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk membaca, mengetik, dan mendiskusikan rencana-rencana saya dengan rekan kerja yang baru (dan sangat antusias).

Saya baru ingat bahwa sepanjang tahun ajaran saya mendambakan waktu-waktu ini. Waktu-waktu di mana saya bisa mencurahkan tenaga saya untuk melayani isi kepala ini tanpa diganggu oleh keberadaan anak-anak.

Sulit sekali membaca dengan ekstensif kalau setiap tiga puluh menit harus berhenti dan mengurusi anak-anak. Belum lagi saat selintas ada ide menarik yang harus segera dicatat, tetapi jam pelajaran saya sudah hampir di mulai. Lebih sulit lagi karena saya adalah "orang pagi" yang begitu matahari hilang mulai kesulitan memusatkan perhatian. Mengurusi ide dan konsep di sore hari bukanlah ide yang baik untuk saya.

Dua minggu ini saya punya kesempatan itu. Mengetik dan membaca tidak berhenti kecuali untuk mengunyah.

Tapi, rasanya ada yang hilang.

Anak-anak itu.