Friday, September 21, 2007

Ulangan Umum; Lalu Apa?

Minggu ulangan umum (atau di sekolah kami dikenal sebagai minggu evaluasi) baru saja berakhir. Sepanjang minggu ini saya nyaris tak bisa bekerja karena menunggui mereka mengerjakan puluhan halaman soal evaluasi. Ini adalah minggu evaluasi pertama saya, jadi saya deg-degan juga.

Saras bertanya, "Bu, event sekolah apa yang paling ibu tidak suka?"
Saya menjawab, "Minggu evaluasi."
Semua anak di kelas menimpali, "AKU JUGA!"

Saya tidak suka karena harus membuat banyak soal. Saya tidak suka, sebab saya harus berpikir keras untuk membuat soal yang tidak hanya mengevaluasi hafalan fakta. Soal ulangan harus "cerdas" untuk mendiferensiasi kemampuan setiap anak di kelas. Saya juga tidak suka kantuk, bosan, dan segala perasaan yang muncul saat saya harus menunggui mereka ulangan kemudian memeriksa soal ulangan mereka.

Anak-anak tidak suka, karena seisi rumah heboh menyuruh mereka belajar. Pada hari pertama evaluasi, mereka bahkan menolak pulang ke rumah dan tetap duduk di meja usai doa sebelum pulang. Kami saling berkeluh kesah dulu, hihihi...
Saya rasa mereka juga tidak menyukai ketegangan berhadapan dengan soal, belum lagi cemas yang muncul menyangkut nilai-nilai mereka.

"Haduh, aku bisa dimaki-maki kalau nilaiku jelek," kata seseorang.
"Idih, mana mungkin nilaimu jelek. NilaiKU baru bikin khawatir," temannya tidak mau kalah.
"Bu Tia pernah tidak sih dimarahi karena nilainya jelek?"
Saya menjawab, tidak.
"Pinter banget!"
Eh, bukannya saya tidak pernah dapat nila jelek ya. Dulu, orangtua saya tidak pernah marah apalagi memaki-maki. Paling saya ditertawakan. Itu saja sudah bikin saya tidak enak.
"Yah Bu, kalau cuma ditertawakan saja aku sih tidak apa-apa," Mini menyahut cemas.

Saya rasa para orangtua juga tidak terlalu gembira dengan ide ulangan umum atau ujian nasional ini. Saya yakin mereka juga sama cemas dan repotnya. Repot menjadi tutor tanya jawab, repot menjaga agar anak-anak tetap sehat dan gembira, serta repot mengatur waktu untuk menemani anaknya dan melakukan pekerjaan mereka di saat yang sama. Seperti anak-anak, mereka pasti juga khawatir tentang nilai buruk.

Sebenarnya, apa sih yang kami dapat dari ulangan umum?


Apakah saya jadi tahu kemampuan mereka yang sebenarnya? Ternyata tidak. Sikap mereka jauh lebih menentukan hasil ulangan daripada kemampuan mereka yang sebenarnya. Semua jawaban-jawaban cerdas Putu di diskusi kelas kami hilang menjadi nilai empat puluh sekian karena wajahnya yang super tegang selama evaluasi memberitahu saya bahwa ia panik dan tidak bisa berpikir jernih. Begitu juga pertanyaan-pertanyaan kritis Mini, pendapat-pendapat analitis Lika, semua terbang entah kemana. Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan esai seperti tidak pernah berdiskusi.

Ulangan umum dan ujian apapun lebih seperti adu tahan mental, juga adu cerdik mempersiapkan diri.

Bram misalnya. Menurut saya dia ahli mengatasi aneka bentuk ulangan. Ia selalu tenang, paham betul "peta" materi yang sedang kami pelajari, dan lancar menjawab aneka bentuk pertanyaan. Hasilnya selalu bagus, jauh lebih baik dari performanya sehari-hari.

Maka di akhir musim ulangan kali ini saya justru membahas sikap positif dan cara mempersiapkan diri menghadapi aneka tes tertulis.

Ngomong-ngomong, saya cukup puas pada soal-soal yang saya buat. Jelas sekali bahwa ada jurang cukup lebar di kelas saya antara gerombolan anak yang ini dan gerombolan anak yang itu. Jelas pula terlihat bahwa anak-anak cenderung puas menghafalkan fakta daripada memperkuat kembali jejak pemahaman mereka.

Saya bertanya apakah soal-soal yang saya buat sulit? Tidak, kata mereka. Tapi aku banyak yang lupa. (Saya jadi tertawa mendengarnya).

Sepanjang minggu sebelum evaluasi saya sudah sering mengajak bicara mereka tentang sikap positif. Kalau kamu yakin kamu pasti bisa, maka kamu pasti bisa. Melihat kalian, ibu Tia tahu bahwa hambatan paling besar adalah perasaan "saya pasti gagal". Tidak ada kok yang tidak cerdas di kelas ini.

Hal lain adalah, bagaimana caranya belajar? Oh well, maksud saya mempersiapkan diri menghadapi tes.

Saya mendorong anak-anak untuk saling memeriksa kelengkapan catatan, buku, lembar kerja, dan lain sebagainya dengan teman-teman. Saya juga mengatakan bahwa hanya membaca berulang-ulang nyaris tidak ada gunanya. Lakukan sesuatu, terlibatlah dengan bahan-bahan yang kamu siapkan untuk tes.

Mita sering membuat tes untuk dirinya sendiri dengan cara melengkapi mind map. Saras juga selalu membuat mind map. Mini kemarin menunjukkan ilustrasi gambar untuk menerangkan proses produksi sel telur dan sel sperma yang ia buat.

Saling tanya jawab adalah cara lain yang sering mereka pakai. Saya selalu mengingatkan berulang-ulang agar mereka membuat pertanyaan dengan kata tanya yang beragam. Kalau mereka hanya saling tanya jawab dengan kata apa, siapa, kapan, dan di mana, sudah bisa dipastikan mereka tidak akan sukses mengerjakan tes. Saya minta mereka untuk juga menggunakan kata bagaimana dan mengapa.

Hari ini, saya meminta anak-anak mengevaluasi sendiri performanya selama ulangan umum.
Menarik bahwa mereka sadar apa masalahnya.

Adam tahu betul bahwa bahan-bahannya tidak lengkap sehingga dia sering mati langkah. Grogi, juga jadi masalah buatnya. Lika tahu bahwa ia harus mengganti strategi belajarnya, sehingga tidak hanya menghafalkan fakta tetapi juga memahami isinya. Mita sadar ada materi yang hanya dibacanya selintas. Saya ingat selintas saya melihat Mini marah-marah di sesi tanya jawab bersama teman-temannya karena menurutnya si teman memberi pertanyaan yang tidak mungkin saya tanyakan saking gampangnya.

Saya rasa hal-hal ini jauh lebih penting daripada nilai yang mereka peroleh. Kadang-kadang angka di dalam nilai tidak memberi umpan balik lebih jauh dari rasa senang dan kecewa. Beberapa rasa bangga yang tidak perlu, sedih berkepanjangan yang justru jadi senjata makan tuan.

Saturday, September 15, 2007

Makan

Satu perbedaan mencolok antara kelas 2 dan kelas 5 terletak di waktu makan. Di kelas 2 saya harus ikut membujuk (dan memaksa) anak-anak agar mau makan. Makan dan tidur is a big no-no untuk anak-anak umur tujuh tahun, sepertinya.

Di kelas 5 justru sebaliknya. Kami masuk kelas pukul 07.30 dan istirahat pukul 09.45. Jam sembilan pagi, anak-anak kelas 5 sudah mulai bertanya

"Buu... kapan makannya?"
"Buu, laper nih."

Dengan asumsi anak-anak sudah mengisi perut jam sepuluh pagi, kami masuk kelas lagi pukul 10.10. Saya curiga, pada saat itu anak-anak sudah menunggu waktu makan siang yang jatuh pada pukul 11.30.

Enaknya, saya bebas tugas mengawasi anak-anak makan, karena mereka pasti menghabiskan jatahnya dengan senang hati. Yang menyebalkan, setiap satu jam mereka sudah mengeluh lapar sementara kami sedang mengerjakan banyak hal.

Satu pengecualian untuk Leo. Ia masih juga tidak suka makan. Ia sering memandangi bekalnya selama lima menit untuk menimbang-nimbang apakah perlu dimakan atau tidak. Lebih sering lagi ia membawa bekal dua kotak makanan besar hanya untuk dicicipi sebanyak dua potong. Teman-temannya sering menegurnya agar ia mau makan lebih banyak.

Teguran ini bukan tidak berdasar. Angka ketidakhadiran Leo di kelas lumayan banyak akibat jatuh sakit. Sekarang teman-temannya (bukan cuma saya lho) ikut cemas. Setiap kami melakukan sesuatu saat Leo tidak ada, pasti ada saja yang bertanya, "Leo bagaimana ya, Bu. Sepertinya surat-surat untuk Leo sudah banyak menumpuk di meja Ibu."

Mereka tahu betul bahwa saya dan Bu Evi rajin menyusun lembar-lembar kerja yang harusnya jadi jatah Leo, menjepitnya dengan paperclip dan memberi tanda absen.

Teman-teman Leo sering mengabsen dengan bertanya, kali ini ada berita apa dari Leo. Suatu kali, kami mendengarnya sakit karena infeksi ini. Dua minggu kemudian, infeksi yang lain lagi.

Mita (yang setengah lemas karena masih demam) menggerutu, "hari ini infeksi itu, besok infeksi ini, kapan sehatnya."

Saras menambahkan, "Bu Tia, nanti kalau terima rapor Bu Tia harus bilang pada ibunya Leo bahwa dia susah sekali makan. Mungkin ada baiknya dia diinfus saja kalau di sekolah. "

Hihihihi.

Saya dan Bu Evie juga sering mendengar teman-teman Leo membujukLeo untuk makan yang sehat. Bujuk rayu ini tidak hanya dilancarkan di waktu makan, tetapi juga saat anak-anak menunggu giliran untuk memeriksakan jawaban matematika mereka.

Yah, semoga selera makan Leo cepat menyusul selera makan teman-temannya yang meroket itu. Paling tidak (menurut kami) ia punya lebih banyak cadangan energi untuk lebih sehat dan bersemangat.

Wednesday, September 12, 2007

Sedih, nih

Pada pinter-pinter gitu kok ulangannya jelek... sedih nih. :(

Monday, September 10, 2007

Juwita Malam

Kelas kami sedang mempersiapkan pameran Ismail Marzuki. Di salah satu acara berkenalan dengan Ismail Marzuki, anak-anak mencoba menulis apa yang mereka tangkap dari lirik-lirik lagu Ismail Marzuki.

Berikut ini adalah tulisan Mini, tentang lagu yang paling ia sukai; Juwita Malam.

Lagu ini berarti seorang pria yang bertemu dengan seorang wanita cantik di dalam kereta. Lalu, pria ini menyebutkan ciri-ciri wanita itu. Setelah ia bertemu, kereta mereka sudah sampai dan mereka harus berpisah. Lagu ini diciptakan sekitar tahun 1948. Pada saat itu, Indonesia sudah merdeka. Walauapun lagu ini memiliki kesan romantis, lagu ini juga diberi kesan kepahlawanan. Seperti pada bait “kereta kita segera tiba di Jatinegara kita kan berpisah”. Disitu diceritakan bahwa pria yang berpisah dengan wanita itu adalah pahlawan yang akan berperang. Mungkin, saat Ismail Marzuki membuat lagu ini ia sedang terinspirasi kisah cinta seorang pahlawan. Walaupun sang pahlawan memiliki cinta pada seorang wanita, pahlawan itu harus berperang membela bangsanya. Saking cantiknya wanita itu, ia diberi nama juwita malam.

Sunday, September 09, 2007

Bukan Milik Saya

Rutinitas akhir kuartal, seperti biasa, membuat saya punya kesempatan menengok ke belakang. Apa yang sudah terjadi sepuluh minggu terakhir ini?

Dalam kuartal kali ini, saya merasa overwhelmed pada kemampuan dan perkembangan anak-anak di kelas 5. Saya sering mudah terpukau ketika anak-anak-anak tak mudah puas dan mudah percaya pada asumsi. Pada banyak kegiatan mereka selalu bertanya pada saya. Lagu ini diciptakan tahun berapa? Ada apa waktu itu? Seperti inikah mereka berpakaian? Apa saja yang keren waktu itu? Benarkah orang-orang berpikir seperti ini? Tidak seperti sekarang?

Saya juga mudah terhanyut perasaan bersemangat ketika mendapati anak-anak mulai bisa menerima dan memahami berbagai sudut pandang yang berbeda. Suatu ketika Lika, Bram, dan Mini membicarakan tiga batasan mengenai apa itu remaja berdasarkan agama "Yang penting sudah akil baliq, " kata Lika. "I should have teen in my age like thirteen. That's what I know in America, " kata Kirtti. Bram menambahkan "Kalau menurut buku biologi, umurnya sudah diatas sepuluh tahun."

Di hari yang lain, anak-anak mendadak sadar bahwa satu fakta bisa diinterpretasikan berbeda oleh dua pihak yang berlawanan. Mulanya dari Iwo Jima, lalu Letters of Iwo Jima, yang menurut Bram diceritakan dari sudut pandang Jepang. Saya katakan, tentu menyenangkan kalau kita juga bisa menonton film dari sudut pandang Sekutu tentang masalah yang sama.

Seseorang tertawa dan berkata, "Ya, ya, seperti orang bertengkar saja. Kalau ditanya akan menjawab sesuai apa yang dia rasa benar."

Saya merasa penuh dengan kagum dan harapan, semoga mereka bisa seperti ini terus. Mereka sudah punya modal-modal dasar untuk belajar sejuta hal baru di luar sana. Mereka kritis bertanya. Mereka berani mengemukakan pendapatnya. Mereka bisa setuju dan tidak setuju dengan sebagian pendapat temannya. Mereka tahu cara menggunakan berbagai sumber referensi. Mereka mulai menyadari waktu dan tempat memiliki konteks berbeda. They can be almost anything.

Mendadak saya takut semua hilang begitu saja. Apa yang sudah ada pada anak-anak ini, belum menetap. Satu dua tahun belajar satu arah saja akan mengikis semua kemampuan yang mereka bisa. Saya tidak mau! Saya takut kehilangan semua yang saya lihat dan dengar dari mereka. Mereka pasti bisa bertahan dan mungkin memiliki nilai rapor yang baik di sekolah manapun yang mereka masuki. Mungkin mereka perlu waktu untuk beradaptasi, tapi mereka akan segera berhasil memenuhi norma-norma lingkungannya. Bukan itu yang saya takutkan.


Maka dalam satu perjalanan pulang, saya ceritakan kekhawatiran saya pada The Great Alexander. Ia mendengarkan saya dengan seksama, tersenyum-senyum lalu menertawakan saya.

"Tahu tidak, kamu melihat mereka seperti barang-barang milikmu."

"Masa?"

"Ya. Terserah mereka, apakah mereka tetap mau jadi seperti ini sepanjang hidup mereka atau mendadak ganti haluan dan membuang semuanya lalu memakai cara yang baru. Itu bukan urusanmu. Urusanmu adalah mengajar mereka sekarang. "

Saya diam. Dia benar. Tugas saya adalah mengembangkan semua potensi dan bekal mereka untuk belajar apa saja semau mereka kelak. Apakah mereka akan membuang semua yang saya berikan karena tidak sesuai lagi dengan diri mereka kelak, itu bukan urusan saya.

Waktu saya bersama mereka adalah sekarang, bukan besok atau lusa.
Besok dan lusa adalah milik mereka. Saya tidak bisa mengganggu gugat itu dengan mimpi-mimpi atau selera saya.

Sulit ya, untuk tidak merasa memiliki.

Wednesday, September 05, 2007

Cepat!

Adinda lari menerjang pintu perpustakaan dan memanggil-manggil saya saat saya sedang membuka komputer perpustakaan.

“Ibu, ibu! Ibu lihat Bu Fafa tidak.” Wajahnya terburu-buru sekali.

“Tidak, belum datang sepertinya.” Saya melirik ke jam dinding, jarum jam baru menunjukkan angka 7.15 pagi.

“Bu, sini deh, cepat.. !”

Adinda sudah berlari menuruni tangga dengan suara gedebak gedebuk.

Ada apa ya? Saya jadi ikut berlari menuruni tangga.
Riri sudah menunggu di bawah tangga dan memberi tanda agar saya cepat mengikutinya.

Adinda merunduk di dekat pot tanaman jeruk limau.

“Lihat!Ada kupu-kupu baru keluar dari kepompong. Itu sisa kepompongnya.”

Di balik rimbun daun saya melihat kupu-kupu dengan sayap putih bertotol cokelat dan semburat kuning. Cantik sekali.

“Nah, ini ada satu kepompong lagi, tapi belum menetas.”

Riri menambahkan, “Berarti sebelumnya di sini banyak ulat bulu, ya? Aku kok tidak memperhatikan.”

Setelah beberapa minggu berkutat dengan tenggat waktu, pagi ini saya merasa keterburu-buruan saya mengikuti Adinda sungguh berharga. Ya, kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya di pagi hari, tidak bisa menunggu kita terlalu lama untuk dinikmati, bukan?


Sunday, September 02, 2007

Mempertanyakan Hidup

Bagi saya anak-anak yang sehat dan gembira di ruang kelas adalah anak-anak yang mau bertanya. Dulu, di kelas-kelas awal, saya menikmati kepolosan pertanyaan anak-anak dan masih bisa menjawab dengan mudah.

Di kelas lima, saya sempat khawatir anak-anak sudah kehilangan kesenangan untuk belajar (berarti memahami hal-hal baru) karena mereka sudah mengenal konsep belajar sebagai mengulang materi supaya dapat nilai bagus.

Kekhawatiran saya tidak beralasan. Anak-anak tetap menghujani saya dengan pertanyaan yang makin hari makin kritis dan makin seru mempertanyakan hidup. Makin sulit bagi saya untuk menjawab dengan ringkas. Makin cemas saya kalau tidak banyak-banyak meng-update diri dengan membaca segala sesuatu.

Dua hari kemarin kami duduk di halaman sekolah. Anak-anak mendengar saya bercerita tentang Ramayana. Nanti mereka punya tugas membuat wayang untuk mementaskan sebagian cerita Ramayana ini. Saya merasa saya ngebut habis-habisan untuk menuturkan Ramayana dalam waktu 90 menit saja.

Komentar anak-anak?

Aku masih nggak ngerti bagaimana ada monyet yang darahnya putih. (Ketika saya bercerita tentang perseteruan Subali dan Sugriwa)

Bagaimana caranya mengubur raksasa sebesar itu. Siapa yang bisa menggali kuburannya? (Ketika saya bercerita tentang kematian Kumbakarna)

Benar, Bu, Rama itu tidak ada iseng-isengnya sedikitpun? (Mita tampak kecewa).

Jadi sepertinya Rama itu orang yang ganteng, calon raja, dan baik hati sekali. Bu Tia mau nggak jadi istrinya Rama?

Tidak, jawab saya.

Kenapa?

Tunggu sampai ceritanya selesai, kata saya.

Sebagian dari mereka langsung mengangguk-angguk mengerti setelah saya selesai bercerita tentang Sita Obong.

Dulu di kampus, saya dan teman-teman sering mempertanyakan dan menggugat kepahlawanan Rama dan sikapnya pada Sita. Saya agak tidak siap ketika pertanyaan tentang ini sudah muncul di Kelas 5 saya yang masih kecil.

Saat saya bercerita tentang bagaimana Rama memenangkan sayembara dan oleh sebab itu berhak memperistri Sita, Mita sudah berkomentar dari tempatnya duduk, "Kenapa sih perempuan jaman dulu dianggap barang dan dijadikan hadiah?"

Ketika siang harinya mereka meneliti gambar-gambar wayang untuk dijadikan contoh saat mereka menggambar wayang, anak-anak menemukan bahwa semua tokoh perempuan selalu menunduk ke bawah. Mereka juga bertanya, mengapa semua wayang perempuan mukanya menghadap ke bawah?

Dengan kalem, beberapa anak membantu temannya dengan menjawab, "Iyalah, perempuan jaman dulu kan nggak dianggap ada. Harus nurut."

Mempertanyakan hal-hal seperti ini ketika saya sudah cukup umur saja rasanya hidup itu berat. Banyak hal yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan nilai yang saya pahami tentang siapa itu perempuan. Bagaimana dengan anak-anak ini? Semoga mereka tidak terlalu frustrasi di dunia nyata sana.