Saya selalu berusaha menjadikan refleksi sebagai bagian dari keseharian kami di dalam kelas. Setiap orang dalam kelas kami menyimpan sebuah jurnal. Saya berpendapat, setiap anak perlu berlatih menguraikan kembali kesan, perasaan, pendapat, dan idenya mengenai pengalaman yang telah lalu. Merefleksikan pengalaman memberi kesempatan kita mengenal diri sendiri lebih baik lagi. Bangga atas keberhasilan, meskipun kecil, dan menumbuhkan keinginan untuk menjadi lebih baik lagi. Bagi Gardner, kemampuan refleksi diri adalah salah satu bagian kecerdasan intrapersonal. Satu kecerdasan dari delapan macam kecerdasan potensial yang dimiliki setiap manusia.
Menulis jurnal dengan rutin setiap hari cukup berat untuk anak-anak seusia mereka. Maka saya berusaha untuk mengajak mereka mengisi jurnal setiap kali kami mengakhiri sebuah tema pelajaran, atau saat kami mengalami kejadian-kejadian istimewa.
Salah satu kejadian yang cukup istimewa adalah mengakhiri sebuah kuartal. Di akhir kuartal kami menyempatkan diri untuk melakukan sebuah perayaan kecil atas kerja keras kami selama 12 minggu. Setiap akhir kuartal pula , saya akan meminta anak-anak menuliskan refleksi mereka tentang pelajaran, kegiatan, kesenangan, dan kekecewaan yang terjadi sepanjang kuartal yang telah kami lalui. Kami selalu menulis resolusi atau tekad baru untuk memperbaiki diri di kuartal mendatang.
Blog ini adalah refleksi sepanjang tahun atas pekerjaan saya. Membacanya kembali mengingatkan saya bahwa tahun ini adalah tahun yang perlu saya syukuri. Banyak sekali kegembiraan dalam haru dan tawa. Kesulitan-kesulitan ternyata lalu juga bersama dengan waktu yang terus berjalan. Kemudian saya sadar bahwa banyak sekali orang-orang yang berjalan beriringan bersama saya. Senang sekali menyadari bahwa selama tahun ini saya tidak pernah sendirian.
Tahun depan, tahun 2006, saya bertekad untuk terus belajar dari murid-murid kecil saya.
Belajar berani.
Belajar mengasihi.
Belajar memiliki harga diri.
Belajar menghargai orang lain
... dan belajar untuk terus bermain-main.
Selamat Tahun Baru, 2006!
Saturday, December 31, 2005
Sunday, December 25, 2005
SMS pagi ini
Tadi pagi saya dikejutkan sms dari sekolah.
Berita duka : Pak J satpam sekolah meninggal di sekolah jam 4 pagi tadi.
Saya terkejut. Orang-orang yang kemarin masih bertemu dengan Pak J yang sehat juga terkejut.
Pak J adalah orang pertama yang saya temui setiap pagi. Saya selalu senang kalau Pak J yang jaga malam sebab ia selalu sudah bangun ketika saya datang selepas subuh seperti rampok. Pak J akan memandu saya parkir mundur -- yang mana adalah prestasi buat saya, dan saya harus bilang bahwa Pak J yang membuat saya berani parkir mundur-- baru ia pergi mencari sarapan dengan mengayuh sepedanya.
Pak J juga yang selalu tersenyum kalau saya jalan kaki pagi-pagi diseret-seret Lenin, si siberian husky.
Pak, anak-anak pasti bertanya tentang anda selepas libur nanti. Saya akan bilang pada mereka bahwa anda sangat berdedikasi pada pekerjaan anda. Saya akan tambahkan bahwa tidak ada pekerjaan yang kecil dan tidak berarti. Berarti atau tidak itu tergantung pada bagaimana kita menambahkan nilai pada pekerjaan kita. Saya akan meminta anak-anak mencontoh anda.
Selamat jalan.
Berita duka : Pak J satpam sekolah meninggal di sekolah jam 4 pagi tadi.
Saya terkejut. Orang-orang yang kemarin masih bertemu dengan Pak J yang sehat juga terkejut.
Pak J adalah orang pertama yang saya temui setiap pagi. Saya selalu senang kalau Pak J yang jaga malam sebab ia selalu sudah bangun ketika saya datang selepas subuh seperti rampok. Pak J akan memandu saya parkir mundur -- yang mana adalah prestasi buat saya, dan saya harus bilang bahwa Pak J yang membuat saya berani parkir mundur-- baru ia pergi mencari sarapan dengan mengayuh sepedanya.
Pak J juga yang selalu tersenyum kalau saya jalan kaki pagi-pagi diseret-seret Lenin, si siberian husky.
Pak, anak-anak pasti bertanya tentang anda selepas libur nanti. Saya akan bilang pada mereka bahwa anda sangat berdedikasi pada pekerjaan anda. Saya akan tambahkan bahwa tidak ada pekerjaan yang kecil dan tidak berarti. Berarti atau tidak itu tergantung pada bagaimana kita menambahkan nilai pada pekerjaan kita. Saya akan meminta anak-anak mencontoh anda.
Selamat jalan.
Saturday, December 24, 2005
Kangen
Saya lupa bilang ya, bahwa dua minggu ini kami LIBUR lagi?
Di hari terakhir kami sekolah, seperti biasa saya dan teman-teman mengantar anak-anak kami sampai ke depan gerbang. Melepas mereka satu persatu kepada Ayah, Ibu, Si Mbak, atau Pak Supir.
Salah satu teman saya memandang murid kelasnya yang pulang paling akhir. "Sudah libur lagi Bu Tia. Pasti (kita akan) kangen deh sama anak-anak."
Saya tertawa. "Nggak ah. Kali ini saya tidak mau kangen. Saya mau libur!"
Teman saya nyengir tak percaya. "Nanti juga kalau liburnya sudah jalan, kangen."
Barangkali teman saya benar. Sampai hari ke delapan saya libur ini pun bayangan anak-anak masih datang silih berganti kalau saya sedang bengong. Tapi saya juga sungguh-sungguh waktu berkata pada teman saya bahwa saya tidak akan kangen. Entahlah. Saya memang tidak pernah terlalu suka kuartal kedua. Akhir kuartal kedua adalah saat-saat di mana saya merasa tidak puas dengan perkembangan keseluruhan kelas (termasuk saya sendiri). Akhir kuartal dua biasanya ditandai dengan kecemasan, mengapa anak-anak tidak menunjukkan perkembangan berarti. Akhir kuartal dua biasanya merasa tidak optimal menjalankan pekerjaan saya. Akhir kuartal dua membuat saya sadar bahwa saya god damn emotional dan tidak menjadi guru yang bisa diandalkan murid-murid saya.
Jadi saat ini saya ada di sini. Mengakhiri tengah pertama tahun ajaran sambil browsing berbagai bahan untuk mengajar tahun 2006. Entah akan dipakai atau berakhir terlantar di salah satu folder laptop saya.
PS: Ternyata saya berhasil libur tanpa terharu biru memikirkan anak-anak. Meskipun sekali waktu saya perlu mengingat mereka untuk merencanakan apa yang akan kami lakukan tahun depan.
Selamat Natal, dan selamat berlibur!
Di hari terakhir kami sekolah, seperti biasa saya dan teman-teman mengantar anak-anak kami sampai ke depan gerbang. Melepas mereka satu persatu kepada Ayah, Ibu, Si Mbak, atau Pak Supir.
Salah satu teman saya memandang murid kelasnya yang pulang paling akhir. "Sudah libur lagi Bu Tia. Pasti (kita akan) kangen deh sama anak-anak."
Saya tertawa. "Nggak ah. Kali ini saya tidak mau kangen. Saya mau libur!"
Teman saya nyengir tak percaya. "Nanti juga kalau liburnya sudah jalan, kangen."
Barangkali teman saya benar. Sampai hari ke delapan saya libur ini pun bayangan anak-anak masih datang silih berganti kalau saya sedang bengong. Tapi saya juga sungguh-sungguh waktu berkata pada teman saya bahwa saya tidak akan kangen. Entahlah. Saya memang tidak pernah terlalu suka kuartal kedua. Akhir kuartal kedua adalah saat-saat di mana saya merasa tidak puas dengan perkembangan keseluruhan kelas (termasuk saya sendiri). Akhir kuartal dua biasanya ditandai dengan kecemasan, mengapa anak-anak tidak menunjukkan perkembangan berarti. Akhir kuartal dua biasanya merasa tidak optimal menjalankan pekerjaan saya. Akhir kuartal dua membuat saya sadar bahwa saya god damn emotional dan tidak menjadi guru yang bisa diandalkan murid-murid saya.
Jadi saat ini saya ada di sini. Mengakhiri tengah pertama tahun ajaran sambil browsing berbagai bahan untuk mengajar tahun 2006. Entah akan dipakai atau berakhir terlantar di salah satu folder laptop saya.
PS: Ternyata saya berhasil libur tanpa terharu biru memikirkan anak-anak. Meskipun sekali waktu saya perlu mengingat mereka untuk merencanakan apa yang akan kami lakukan tahun depan.
Selamat Natal, dan selamat berlibur!
Monday, December 19, 2005
Fokus!
Tadi malam saya datang ke sebuah pemutaran film (beberapa film pendek) dan diikuti diskusi singkat. Yah, sekedar tanya jawab tentang salah satu film yang barusan diputar. Saya tidak ikut bertanya atau menjawab, tapi saya shock berat. It was a total mess. Topiknya apa, pertanyaannya apa. Kasihan yang menjawab. Saya pikir, setelah melewati kelas 1 SD seseorang akan lebih baik dalam kemampuan mengikuti satu topik dalam diskusi. Ternyata saya salah besar.
Jangan-jangan, selama ini saya yang menetapkan target terlalu tinggi untuk kelas-kelas saya?
Hmm...
Mengajar di sekolah ini selama hampir dua tahun, saya sudah lupa berapa banyak topik yang kami diskusikan sehari-hari. Satu yang saya perhatikan, secara gradual anak-anak sudah tidak kesulitan lagi untuk memfokuskan diri pada permasalahan yang sedang kami bicarakan setelah duduk di kelas 2 selama 2 bulan. Bulan-bulan pertama memang saya kadang-kadang perlu bertanya "Apakah pertanyaanmu berhubungan dengan apa yang sedang kita bicarakan?" atau mungkin mengalihkan dengan, "Bu Tia ingin mendengar ceritamu tentang itu, tapi nanti waktu istirahat atau setelah tugasmu selesai."
Sekarang, setelah enam bulan, teman-teman di kelas akan mengambil alih dengan kalimat yang mirip, "Musa, itu kan tidak ada hubungannya dengan apa yang kita bicarakan!"
Salah satu concern terbesar saya di kelas adalah bagaimana membuat anak-anak mau mendengarkan. Mendengarkan guru dan teman-temannya, bukan hanya mendengarkan saya. Mendengarkan tidak hanya butuh telinga. Mendengarkan butuh keinginan, butuh konsentrasi, butuh rasa hormat, butuh kesabaran, dan butuh kerendahan hati.
Lepas dari keluhan dan "omelan" saya selama ini di dalam kelas, kejadian malam itu membuat saya justru yakin bahwa anak-anak ini kelak akan bisa mendengarkan orang lain dengan baik. Semoga saja. Semoga seiring dengan usia mereka, anak-anak ini tidak akan kehilangan kesabaran, kerendahan hati, dan keinginan menghargai orang lain.
Sebab banyak orang seusia saya (dan lebih tua lagi) sudah belajar dan tahu begitu banyak tampaknya, hingga merasa tidak perlu lagi sabar dan rendah hati. Tidak perlu lagi mendengarkan. Yang penting bagaimana supaya saya didengarkan.
Itu yang bikin banyak diskusi berubah jadi tempat debat kusir.
Jangan-jangan, selama ini saya yang menetapkan target terlalu tinggi untuk kelas-kelas saya?
Hmm...
Mengajar di sekolah ini selama hampir dua tahun, saya sudah lupa berapa banyak topik yang kami diskusikan sehari-hari. Satu yang saya perhatikan, secara gradual anak-anak sudah tidak kesulitan lagi untuk memfokuskan diri pada permasalahan yang sedang kami bicarakan setelah duduk di kelas 2 selama 2 bulan. Bulan-bulan pertama memang saya kadang-kadang perlu bertanya "Apakah pertanyaanmu berhubungan dengan apa yang sedang kita bicarakan?" atau mungkin mengalihkan dengan, "Bu Tia ingin mendengar ceritamu tentang itu, tapi nanti waktu istirahat atau setelah tugasmu selesai."
Sekarang, setelah enam bulan, teman-teman di kelas akan mengambil alih dengan kalimat yang mirip, "Musa, itu kan tidak ada hubungannya dengan apa yang kita bicarakan!"
Salah satu concern terbesar saya di kelas adalah bagaimana membuat anak-anak mau mendengarkan. Mendengarkan guru dan teman-temannya, bukan hanya mendengarkan saya. Mendengarkan tidak hanya butuh telinga. Mendengarkan butuh keinginan, butuh konsentrasi, butuh rasa hormat, butuh kesabaran, dan butuh kerendahan hati.
Lepas dari keluhan dan "omelan" saya selama ini di dalam kelas, kejadian malam itu membuat saya justru yakin bahwa anak-anak ini kelak akan bisa mendengarkan orang lain dengan baik. Semoga saja. Semoga seiring dengan usia mereka, anak-anak ini tidak akan kehilangan kesabaran, kerendahan hati, dan keinginan menghargai orang lain.
Sebab banyak orang seusia saya (dan lebih tua lagi) sudah belajar dan tahu begitu banyak tampaknya, hingga merasa tidak perlu lagi sabar dan rendah hati. Tidak perlu lagi mendengarkan. Yang penting bagaimana supaya saya didengarkan.
Itu yang bikin banyak diskusi berubah jadi tempat debat kusir.
Sunday, December 11, 2005
Membaca dan Menonton
Minggu ini Jiffest mulai lagi. Saya sudah mendaftarkan diri untuk menonton 14 film dalam seminggu. Saya bersemangat, gembira, dan merasa sedang kembali ke sekolah. Ada film yang ingin saya tonton karena -- tentu saja -- berhubungan dengan pekerjaan saya. Judulnya Etre Et Avoir. Tentang single class school yang ada di Perancis.
Dengan gembira pula saya mewartakan kabar gembira ini pada rekan-rekan kerja. Sambutannya, nihil. Saya jadi agak kecewa. Saya kan ingin mengajak mereka berbagi dan belajar bersama-sama. Gratis lho, filmnya. Lagipula selama ini saya selalu menempatkan prasangka positif bahwa saya bekerja bersama teman-teman yang gigih, senang belajar, dan selalu berusaha mengerjakan yang terbaik. Saya masih berprasangka positif, tapi sepertinya item "senang belajar" itu perlu dicermati lagi.
Lama saya berpikir tentang buku-buku, film-film, teman-teman, dan murid-murid saya. Kemudian saya baru menyadari sesuatu. Saya lebih banyak membicarakan buku-buku "klasik" anak dan film-film bagus dengan MURID-MURID SAYA daripada teman-teman sesama guru.
Murid-murid saya tidak pernah segan membawa ke sekolah buku-buku bagus yang sedang mereka baca. Temanya aneka ragam, mulai dari dinosaurus, astronomi, Thomas si Kereta Api, Art Attack, Teka Teki, dan lain sebagainya. Mereka juga selalu bercerita tentang film-film yang mereka tonton.
Minggu lalu saya sedang membahas buku Roald Dahl dan Michael Ende dengan teman-teman di Kemang. Paginya, Adinda yang datang pada saya dan bercerita tentang buku Charlie and The Chocolate Factory. Beberapa teman yang menanggapi ikut bercerita tentang filmnya.
Jadilah pagi itu saya dan Adinda mengobrol tentang Roald Dahl. Saya katakan bahwa buku favorit saya adalah Mathilda. Adinda bilang dia belum membacanya. Saya bilang bahwa saya punya lima buku Roald Dahl dan saya akan meminjamkan satu padanya. Esoknya Adinda sibuk di pojokan kelas bersama buku Fantastic Mr. Fox milik saya sepanjang waktu istirahat dan pulang sekolah. Ia bahkan minta ijin membawanya pulang.
Saya juga ingat obrolan-obrolan saya yang lalu dengan anak-anak lain tentang film Super Size Me dan sikap mereka terhadap junk food. Ngomong-ngomong mereka tetap tidak anti junk food, sometimes they do eat junk food, tapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa memakan junk food berlebihan.
Saya ingat bagaimana saya diminta menjelaskan tentang Nazi dan Kamp Konsentrasi gara-gara Saras baru selesai membaca buku tentang Anne Frank. Atau ketika saya bilang bahwa saya sangat suku cerita Charlotte's Web, dan anak-anak menimpali tentang film Charlotte's Web yang mereka tonton. Saya maklum, bukunya masih terlalu sulit untuk anak seusia mereka.
Tapi LITTLE PRINCE?
Saya memasang wallpaper dengan gambar Baobabs Tree dari The Little Prince. Salah satu murid saya melihat telepon genggam saya dan berkomentar, "Hey, i know this... this is from The Little Prince."
"Yes, it is. It's a very good book. You have to read it someday."
Intinya, saya bersyukur mereka besar dalam lingkungan yang menjadikan membaca dan menonton seperti makan dan minum dalam hidup sehari-hari. Saya hanya perlu memancing mereka dalam pembicaran dan lebih demonstratif membawa film atau buku. Ini seperti menanam bibit-bibit toleransi dan open mindedness. Semoga kelak ada pohon besar dan kokoh yang tumbuh.
Dengan gembira pula saya mewartakan kabar gembira ini pada rekan-rekan kerja. Sambutannya, nihil. Saya jadi agak kecewa. Saya kan ingin mengajak mereka berbagi dan belajar bersama-sama. Gratis lho, filmnya. Lagipula selama ini saya selalu menempatkan prasangka positif bahwa saya bekerja bersama teman-teman yang gigih, senang belajar, dan selalu berusaha mengerjakan yang terbaik. Saya masih berprasangka positif, tapi sepertinya item "senang belajar" itu perlu dicermati lagi.
Lama saya berpikir tentang buku-buku, film-film, teman-teman, dan murid-murid saya. Kemudian saya baru menyadari sesuatu. Saya lebih banyak membicarakan buku-buku "klasik" anak dan film-film bagus dengan MURID-MURID SAYA daripada teman-teman sesama guru.
Murid-murid saya tidak pernah segan membawa ke sekolah buku-buku bagus yang sedang mereka baca. Temanya aneka ragam, mulai dari dinosaurus, astronomi, Thomas si Kereta Api, Art Attack, Teka Teki, dan lain sebagainya. Mereka juga selalu bercerita tentang film-film yang mereka tonton.
Minggu lalu saya sedang membahas buku Roald Dahl dan Michael Ende dengan teman-teman di Kemang. Paginya, Adinda yang datang pada saya dan bercerita tentang buku Charlie and The Chocolate Factory. Beberapa teman yang menanggapi ikut bercerita tentang filmnya.
Jadilah pagi itu saya dan Adinda mengobrol tentang Roald Dahl. Saya katakan bahwa buku favorit saya adalah Mathilda. Adinda bilang dia belum membacanya. Saya bilang bahwa saya punya lima buku Roald Dahl dan saya akan meminjamkan satu padanya. Esoknya Adinda sibuk di pojokan kelas bersama buku Fantastic Mr. Fox milik saya sepanjang waktu istirahat dan pulang sekolah. Ia bahkan minta ijin membawanya pulang.
Saya juga ingat obrolan-obrolan saya yang lalu dengan anak-anak lain tentang film Super Size Me dan sikap mereka terhadap junk food. Ngomong-ngomong mereka tetap tidak anti junk food, sometimes they do eat junk food, tapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa memakan junk food berlebihan.
Saya ingat bagaimana saya diminta menjelaskan tentang Nazi dan Kamp Konsentrasi gara-gara Saras baru selesai membaca buku tentang Anne Frank. Atau ketika saya bilang bahwa saya sangat suku cerita Charlotte's Web, dan anak-anak menimpali tentang film Charlotte's Web yang mereka tonton. Saya maklum, bukunya masih terlalu sulit untuk anak seusia mereka.
Tapi LITTLE PRINCE?
Saya memasang wallpaper dengan gambar Baobabs Tree dari The Little Prince. Salah satu murid saya melihat telepon genggam saya dan berkomentar, "Hey, i know this... this is from The Little Prince."
"Yes, it is. It's a very good book. You have to read it someday."
Intinya, saya bersyukur mereka besar dalam lingkungan yang menjadikan membaca dan menonton seperti makan dan minum dalam hidup sehari-hari. Saya hanya perlu memancing mereka dalam pembicaran dan lebih demonstratif membawa film atau buku. Ini seperti menanam bibit-bibit toleransi dan open mindedness. Semoga kelak ada pohon besar dan kokoh yang tumbuh.
Thursday, December 08, 2005
Serangan Virus
Ada virus yang sedang menyerang Jakarta. Virus yang menyerang tenggorokan dan membuat orang panas tinggi. Virus itu mengakibatkan separuh isi sekolah menghilang. Saya serius, ini benar-benar literal separuh sekolah. Hari ini saja hanya 5 orang dari 10 anak di kelas saya yang datang. Kebetulan guru kelas 1 dan 3 absen. Jadi saya dan beberapa guru lain mondar-mandir berbagi tugas supaya setidaknya ada satu guru di tiap ruangan.
Sebenarnya sama sekali tidak berat karena kelas-kelas kami kecil. Lagipula beberapa pelajaran diajar oleh guru spesialis. Kami bisa bergantian mengisi waktu. Tetapi di akhir hari tetap saja saya merasa lebih lelah dari biasanya. Lalu saya jadi memikirkan guru-guru di pelosok daerah yang bahkan harus mengajar enam kelas sekaligus. Setiap hari selama puluhan tahun.
Saya jadi malu.
Sebenarnya sama sekali tidak berat karena kelas-kelas kami kecil. Lagipula beberapa pelajaran diajar oleh guru spesialis. Kami bisa bergantian mengisi waktu. Tetapi di akhir hari tetap saja saya merasa lebih lelah dari biasanya. Lalu saya jadi memikirkan guru-guru di pelosok daerah yang bahkan harus mengajar enam kelas sekaligus. Setiap hari selama puluhan tahun.
Saya jadi malu.
Monday, December 05, 2005
Berebut Kontrol
Hari Senin selalu menjadi hari paling sulit bagi kelas saya. Hari Senin adalah hari di mana anak-anak cranky, agitated, atau malah lemas karena kurang tidur atau terlalu gembira sepanjang akhir minggu. Saya juga kurang mengerti mengapa perubahan rutinitas selalu jadi masalah besar untuk anak-anak.
Seperti pagi ini, Mas “Moody” datang ke kelas dengan mulut terjungkir ke bawah alias cemberut. Ia dan Zaky bermain kejar-kejaran di dalam kelas, jadi saya tegur. Main kejar-kejaran di luar nak, bukan di kelas. Mas Moody langsung menangis di bangkunya sambil bilang, “I hate Zaky.”
I rolled my eyes. Saya sudah hafal. Ia tidak bisa salah dan tidak suka ditegur.
Melihat gejala-gejala seperti ini, saya sengaja mengajak anak-anak ke luar kelas pada lima belas menit pertama kelas dimulai. Saya ajak mereka bermain “Mr. Fox, what time is this?” dan kami lari kejar-kejaran lima belas menit. Sepertinya saya yang harus lebih banyak olahraga supaya kuat lari.
Anak-anak lain jadi lebih bersemangat dan memaklumi keinginan saya agar mereka semua penuh perhatian selama jam pelajaran. Mas Moody sepertinya masih ingin melakukan sesuatu sesuai kehendaknya, yang kebetulan berbeda dengan kehendak saya. Ia sibuk sendiri (dan mengajak orang lain untuk sibuk bersamanya) ketika saya dan teman-teman lain sedang membicarakan apa yang akan kami lakukan berikutnya.
Saya sengaja tidak menegur this wonderful boy. Saya justru meminta mereka yang tidak berulah untuk mulai bekerja lebih dulu. Mas Moody makin kesal. Ia berusaha dipilih untuk duduk dan mulai bekerja, saya menyisakannya di urutan terakhir.
Di meja, anak-anak lain sibuk dengan kertas dan spidol menggambar mereka. The Moody Boy sibuk mengajak ngobrol teman di dekatnya. Saya tetap tidak berkata apa-apa pada Mas Moody ini. Saya meminta Riri, untuk pindah ke meja lain yang kebetulan kosong. Sial bagi Mas Moody, ia tinggal sendirian di mejanya.
Mas Moody mulai menggeram-geram (ini betulan!). Ia sengaja berkata keras-keras, “I work superslow when I am alone.”
Agung yang sangat peka pada perasaan sahabat-sahabatnya bertanya pada saya, “He sits alone, Bu Tia.” Saya menghampiri Agung dan mengajaknya bicara tentang gambarnya. Agung mengalihkan perhatian pada pekerjaannya.
Saya melakukan hal yang sama pada anak-anak yang potensial diajak mengobrol oleh Mas Moody. Mungkin karena topik tugas mereka menarik, mereka hanya menjawab seadanya kalau Ma Moody mengajak ngobrol. Sebentar kemudian sudah kembali mengerjakan cerita bergambar mereka.
Mas Moody masih menggeram-geram dan mengeluh karena harus mengambil semua peralatan gambar sendirian. “I will work superslow and I will finish this until music class is over.” Ia berteriak dari meja.
Dari meja saya, saya jawab, “Take your time. You may finish it until it is time to go home.”
Mas Moody kehilangan kata-kata sepertinya. Selama ia tetap uring-uringan sepanjang hari, saya membiarkannya duduk sendiri. Ia tetap berpendapat bahwa ia bekerja superslow kalau sendirian. Saya tidak peduli.
Tahu tidak? Di akhir hari, Mas Moody inilah yang paling dulu menyelesaikan tugasnya dan tidak perlu melanjutkannya di rumah. Superslow, you said?
Seperti pagi ini, Mas “Moody” datang ke kelas dengan mulut terjungkir ke bawah alias cemberut. Ia dan Zaky bermain kejar-kejaran di dalam kelas, jadi saya tegur. Main kejar-kejaran di luar nak, bukan di kelas. Mas Moody langsung menangis di bangkunya sambil bilang, “I hate Zaky.”
I rolled my eyes. Saya sudah hafal. Ia tidak bisa salah dan tidak suka ditegur.
Melihat gejala-gejala seperti ini, saya sengaja mengajak anak-anak ke luar kelas pada lima belas menit pertama kelas dimulai. Saya ajak mereka bermain “Mr. Fox, what time is this?” dan kami lari kejar-kejaran lima belas menit. Sepertinya saya yang harus lebih banyak olahraga supaya kuat lari.
Anak-anak lain jadi lebih bersemangat dan memaklumi keinginan saya agar mereka semua penuh perhatian selama jam pelajaran. Mas Moody sepertinya masih ingin melakukan sesuatu sesuai kehendaknya, yang kebetulan berbeda dengan kehendak saya. Ia sibuk sendiri (dan mengajak orang lain untuk sibuk bersamanya) ketika saya dan teman-teman lain sedang membicarakan apa yang akan kami lakukan berikutnya.
Saya sengaja tidak menegur this wonderful boy. Saya justru meminta mereka yang tidak berulah untuk mulai bekerja lebih dulu. Mas Moody makin kesal. Ia berusaha dipilih untuk duduk dan mulai bekerja, saya menyisakannya di urutan terakhir.
Di meja, anak-anak lain sibuk dengan kertas dan spidol menggambar mereka. The Moody Boy sibuk mengajak ngobrol teman di dekatnya. Saya tetap tidak berkata apa-apa pada Mas Moody ini. Saya meminta Riri, untuk pindah ke meja lain yang kebetulan kosong. Sial bagi Mas Moody, ia tinggal sendirian di mejanya.
Mas Moody mulai menggeram-geram (ini betulan!). Ia sengaja berkata keras-keras, “I work superslow when I am alone.”
Agung yang sangat peka pada perasaan sahabat-sahabatnya bertanya pada saya, “He sits alone, Bu Tia.” Saya menghampiri Agung dan mengajaknya bicara tentang gambarnya. Agung mengalihkan perhatian pada pekerjaannya.
Saya melakukan hal yang sama pada anak-anak yang potensial diajak mengobrol oleh Mas Moody. Mungkin karena topik tugas mereka menarik, mereka hanya menjawab seadanya kalau Ma Moody mengajak ngobrol. Sebentar kemudian sudah kembali mengerjakan cerita bergambar mereka.
Mas Moody masih menggeram-geram dan mengeluh karena harus mengambil semua peralatan gambar sendirian. “I will work superslow and I will finish this until music class is over.” Ia berteriak dari meja.
Dari meja saya, saya jawab, “Take your time. You may finish it until it is time to go home.”
Mas Moody kehilangan kata-kata sepertinya. Selama ia tetap uring-uringan sepanjang hari, saya membiarkannya duduk sendiri. Ia tetap berpendapat bahwa ia bekerja superslow kalau sendirian. Saya tidak peduli.
Tahu tidak? Di akhir hari, Mas Moody inilah yang paling dulu menyelesaikan tugasnya dan tidak perlu melanjutkannya di rumah. Superslow, you said?
Sepanjang hari Mas Moody masih melalui banyak kejadian yang membuatnya jengkel. Termasuk ketika saya memperingatkannya karena berlaku sangat tidak sopan pada guru bahasa inggrisnya. Sepanjang hari itu pula saya harus pasang mata memperhatikan kelakuannya. Saya berusaha sesedikit mungkin menegur kesalahannya (kecuali pada saat ia tidak sopan tadi) dan balik mengingatkan atau memuji calon partner kriminalnya. Mas Moody tidak bisa menyalahkan saya.
Tapi saya capek perang dingin seperti itu.
Game Boy
Hari ini pembicaraan kami masih berputar di hari Sabtu lalu.
Adinda : Pulangnya ibuku memberi hadiah dan surat.
Saya : Apa isi suratnya?
Adinda : That she is very proud of me.
Saya : I am proud of you too.
Adinda : Hadiahnya kalung bu. Tapi sebetulnya aku ingin punya game boy.
Saya : Bukannya kamu juga ingin kalung?
Adinda : Iya sih. Lagian Ibuku bilang, aku boleh punya game boy asalkan ada pelajaran game boy di sekolah.
Hihihi… Apa perlu Bu Tia membuat pelajaran game boy?
Adinda's mom is very creative with her answers.
Adinda : Pulangnya ibuku memberi hadiah dan surat.
Saya : Apa isi suratnya?
Adinda : That she is very proud of me.
Saya : I am proud of you too.
Adinda : Hadiahnya kalung bu. Tapi sebetulnya aku ingin punya game boy.
Saya : Bukannya kamu juga ingin kalung?
Adinda : Iya sih. Lagian Ibuku bilang, aku boleh punya game boy asalkan ada pelajaran game boy di sekolah.
Hihihi… Apa perlu Bu Tia membuat pelajaran game boy?
Adinda's mom is very creative with her answers.
Sunday, December 04, 2005
Panggung Kami
Selama dua bulan ini, 32 orang murid SD kami sedang sangat sibuk. Mereka berlatih untuk mementaskan sebuah operet dan menyanyikan beberapa lagu.
Selama dua bulan ini anak-anak bekerja keras.
Menghafalkan naskah berhalaman-halaman.
Berusaha bersuara sekeras mungkin.
Mengatur jadwal latihan dan les les yang lain.
Diomeli karena tidak serius atau terlalu ribut.
Mengingat-ingat blocking di panggung.
Di minggu terakhir, kami berlatih setiap hari. Setiap pagi, saya selalu merasa miris. Saya kasihan pada mereka. Saya merasa jahat sekali sudah memaksa-maksa mereka. Masalahnya saya tahu these kids are damn good. I want that good comes out of them. I was too excited about them. Lebih lagi, tidak satu menitpun semangat itu hilang dari mata mereka. Setiap waktu latihan tiba, mereka semua tanpa kecuali sudah ada di aula dengan raut wajah antusias. Padahal saya rasa ketika latihan saya sudah berubah bengis.
Saya tidak tahu apa yang anak-anak kecil itu pikirkan tentang sikap saya selama latihan. Mereka mungkin tidak tahu bagaimana diam-diam saya sangat terpesona pada mereka. Siapa yang tidak, jika melihat Mini dan Dara bergerak begitu luwes menunjukkan bahwa panggung itu adalah milik mereka. They are the queens and their roles are actually queens.
Saya sangat terbantu oleh anak-anak kelas 3 yang begitu sigap dan siap membantu adik-adik kelasnya di atas panggung tanpa kecuali dan tidak mengeluh. Mereka jauh lebih matang di panggung daripada tahun lalu ketika kami mementaskan Pinokio. Apa jadinya kami tanpa mereka. Belum-belum saya merasa mendadak tua, anak-anak itu sudah bisa dipercaya.
Saya terheran-heran melihat mereka berkembang sangat pesat dalam waktu dua tahun. Bayi-bayi TK A yang dua tahun lalu menangis tak mau naik panggung, tahun ini tahu timing bicara, menari dengan lincah, berani cerewet pula menanyakan clue.
Selama dua bulan ini, jauh di dalam hati, saya sangat menikmati waktu berlatih bersama mereka. Saya kagum, anak-anak sekecil ini bisa berlatih keras dengan cinta dari dalam hati. Sampai-sampai naik panggung dalam keadaan demam. Berusaha datang gladi resik dengan tenggorokan sakit. Dan tetap saja mereka bersinar di panggung.
Ya, walaupun saya hanya bisa menemani mereka dari balik panggung, saya tahu di hari pementasan anak-anak bermain lebih baik dari latihan-latihan kami. Mereka menanggapi kesalahan-kesalahan teknis di panggung dengan tertawa. Mike gantung jatuh tidak ada yang panik. Topeng terpasang terbalik, Dara cuma nyengir. Tidak grogi, tidak kecil hati. Mereka menikmati keberadaan mereka di panggung. Mereka seperti ingin bercerita pada orang tua yang antusias menonton, "Hei, ini lho yang kami sedang lakukan. Kami sangat menyukainya karena ini menyenangkan!"
Ketika saya menyalami para orang tua dan mengucapkan selamat atas penampilan anak-anak mereka sekaligus minta maaf karena sering membuat anak-anak pulang terlambat, para orang tua hanya bilang begini, "Ah Bu, tidak apa-apa. Anak-anak senang kok."
Pak, Bu, anak-anak anda sangat hebat. Saya sangat tersanjung berkesempatan bekerja bersama mereka.
Selama dua bulan ini anak-anak bekerja keras.
Menghafalkan naskah berhalaman-halaman.
Berusaha bersuara sekeras mungkin.
Mengatur jadwal latihan dan les les yang lain.
Diomeli karena tidak serius atau terlalu ribut.
Mengingat-ingat blocking di panggung.
Di minggu terakhir, kami berlatih setiap hari. Setiap pagi, saya selalu merasa miris. Saya kasihan pada mereka. Saya merasa jahat sekali sudah memaksa-maksa mereka. Masalahnya saya tahu these kids are damn good. I want that good comes out of them. I was too excited about them. Lebih lagi, tidak satu menitpun semangat itu hilang dari mata mereka. Setiap waktu latihan tiba, mereka semua tanpa kecuali sudah ada di aula dengan raut wajah antusias. Padahal saya rasa ketika latihan saya sudah berubah bengis.
Saya tidak tahu apa yang anak-anak kecil itu pikirkan tentang sikap saya selama latihan. Mereka mungkin tidak tahu bagaimana diam-diam saya sangat terpesona pada mereka. Siapa yang tidak, jika melihat Mini dan Dara bergerak begitu luwes menunjukkan bahwa panggung itu adalah milik mereka. They are the queens and their roles are actually queens.
Saya sangat terbantu oleh anak-anak kelas 3 yang begitu sigap dan siap membantu adik-adik kelasnya di atas panggung tanpa kecuali dan tidak mengeluh. Mereka jauh lebih matang di panggung daripada tahun lalu ketika kami mementaskan Pinokio. Apa jadinya kami tanpa mereka. Belum-belum saya merasa mendadak tua, anak-anak itu sudah bisa dipercaya.
Saya terheran-heran melihat mereka berkembang sangat pesat dalam waktu dua tahun. Bayi-bayi TK A yang dua tahun lalu menangis tak mau naik panggung, tahun ini tahu timing bicara, menari dengan lincah, berani cerewet pula menanyakan clue.
Selama dua bulan ini, jauh di dalam hati, saya sangat menikmati waktu berlatih bersama mereka. Saya kagum, anak-anak sekecil ini bisa berlatih keras dengan cinta dari dalam hati. Sampai-sampai naik panggung dalam keadaan demam. Berusaha datang gladi resik dengan tenggorokan sakit. Dan tetap saja mereka bersinar di panggung.
Ya, walaupun saya hanya bisa menemani mereka dari balik panggung, saya tahu di hari pementasan anak-anak bermain lebih baik dari latihan-latihan kami. Mereka menanggapi kesalahan-kesalahan teknis di panggung dengan tertawa. Mike gantung jatuh tidak ada yang panik. Topeng terpasang terbalik, Dara cuma nyengir. Tidak grogi, tidak kecil hati. Mereka menikmati keberadaan mereka di panggung. Mereka seperti ingin bercerita pada orang tua yang antusias menonton, "Hei, ini lho yang kami sedang lakukan. Kami sangat menyukainya karena ini menyenangkan!"
Ketika saya menyalami para orang tua dan mengucapkan selamat atas penampilan anak-anak mereka sekaligus minta maaf karena sering membuat anak-anak pulang terlambat, para orang tua hanya bilang begini, "Ah Bu, tidak apa-apa. Anak-anak senang kok."
Pak, Bu, anak-anak anda sangat hebat. Saya sangat tersanjung berkesempatan bekerja bersama mereka.
Subscribe to:
Posts (Atom)