Saya sedang senang-senangnya mendengarkan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Saya dengarkan berulang-ulang dan saya kagumi berulang-ulang. Apa sebenarnya isi kepala Bapak Sapardi itu sampai bisa menulis puisi seperti itu? Apa yang terjadi pada kehidupannya dan apa yang dilihatnya dari dunia hingga bisa menulis seperti itu?
Pertanyaan lain yang sudah lama mengganggu saya pun muncul, bagaimana cara memperkenalkan puisi pada anak-anak?
Pada satu titik, kita, saya, mungkin anda, menikmati puisi karena indahnya atau karena isinya mengena. Seorang teman saya mengingatkan bahwa puisi bukan hanya tentang keindahan tetapi juga tentang manusia. Ia benar. Setidaknya bagi saya, di dalam puisi dan berbagai turunan bentuknya, ada ruang untuk berpikir lebih jauh tentang saya sebagai manusia, as a part of human race.
Bagaimana saya bisa ajarkan bahwa puisi adalah tentang manusia dan kemanusiaan pada anak-anak berusia tujuh tahun?
Setiap kali saya mencoba membawa dan mengintegrasikan kegiatan membaca, menikmati atau bahkan mencoba menulis puisi, saya sering mendapati wajah-wajah bingung dan putus asa. Ya, ya, saya mengerti. Mereka baru saja berhasil melewati fase “saya sudah bisa membaca”. Maka mungkin memang terlalu ambisius kalau saya berharap mereka langsung bisa membedakan bentuk prosa dan puisi (lantas menulisnya pula). Sedang saya sendiri selalu cemas saat harus menjelaskan perbedaaannya, dan menjelaskan bahwa puisi nyaris tanpa aturan
Sekarang mereka sedang mengeksplorasi apa saja yang bisa mereka lakukan dengan ketrampilan baru mereka itu. Maka saya merasa punya tugas untuk menunjukkan berbagai bentuk material tertulis yang bisa dibaca. Juga mengenalkan berbagai perlengkapan tambahan untuk bisa mengekspresikan diri dalam bentuk tertulis; seperti kosakata yang lebih luas, juga kesadaran tentang segala sesuatu di dalam diri mereka dan lingkungan sekitarnya.
Saya ingat, ketika kecil, kira-kira umur 8 – 10 tahun, saya senang menulis (sesuatu yang saya sebut) puisi. Saya menyukai kalimat bersajak yang saya buat. Saya tertantang untuk menceritakan segala sesuatu di sekitar saya termasuk yang remeh temeh. Untuk bisa membuat banyak “puisi” saya pun harus lebih banyak memperhatikan sekitar saya.
Barangkali, hal-hal sesederhana pengalaman kecil itu bisa menjadi sebuah jembatan besar untuk tertarik, menikmati, dan memaknai puisi sebagai bagian dari manusia dan kemanusiaan.
Nah, mendengarkan Sapardi dan terusik oleh kutipan dari teman saya, membuat saya jadi berpikir tentang hal-hal kecil yang bisa saya lakukan di kelas untuk mengajak anak-anak mulai mengapresiasi berbagai bentuk tulisan.