Awalnya, saya, Alexander the Great dan dua orang kawan asyik berdiskusi tentang rokok. Saya baru tahu kalau efek rokok itu tergantung pada jumlah alveoli dalam paru-paru. Ini mungkin menjelaskan mengapa ada perokok dengan paru-paru sama sehatnya dengan pelari. Saya juga baru tahu bahwa tidak ada penelitian yang benar pernah membuktikan hubungan antara rokok dan kanker paru-paru.
Baiklah, meskipun rokok tidak berhubungan langsung dengan kanker dan mungkin punya efek menenangkan yang sehat mental, saya tetap pada pilihan saya untuk tidak merokok. Sudah cukup saya meracuni diri sendiri dengan makanan tidak sehat. Hehehe.
Obrolan itu bersambung pada bagaimana menjelaskan tentang rokok pada anak-anak. Saya jadi ingat bahwa saya pernah membicarakan rokok dengan anak-anak.
Bu, kenapa orang merokok padahal sudah tahu merokok itu tidak baik?
Karena rokok itu enak.
Masa sih Bu?
Anak-anak kaget mendengar jawaban terus terang saya. Mungkin selama ini mereka tak pernah mendengar bahwa ada sesuatu yang "baik" dalam rokok.
Yes, it is. Merokok itu enak dan membuat kita ingin mengulangnya terus menerus. Sekali kamu mencobanya, kemungkinan besar kamu akan terus merokok dan tidak bisa berhenti. Kalau tidak mau terus-terusan merokok jangan mulai merokok. Susah berhentinya.
Aku minta ayahku berhenti merokok tapi tidak mau.
Karena sudah terbiasa. Dalam rokok ada sesuatu yang membuatmu merasa enak dan ingin mengulangnya terus. Di dalamnya juga ada racun yang masuk ke dalam tubuhmu. Apa kamu tidak sayang pada badanmu sendiri?
Aku sayang!
Jadi bagaimana?
Aku tidak suka asap rokok, Bu.
Sama, Bu Tia juga tidak suka. Nah, kalau kamu merokok kamu juga mungkin mengganggu orang lain dengan asapnya. Mungkin orang-orang yang terganggu adalah orang yang kamu sayang. Kamu boleh saja bilang pada orang yang merokok di sekitarmu bahwa kamu merasa terganggu dengan asapnya. Apalagi kalau kamu berada di tempat-tempat umum atau tempat yang ber-AC. Asal bilangnya yang sopan ya, jangan marah-marah.
Anak-anak tertawa.
Mungkin kelak mereka akan mendapati manfaat merokok dan memutuskan untuk merokok. Mungkin mereka juga mempertimbangkan hal lain dan memutuskan untuk tidak merokok. Saya berharap mereka mau mencuil semua sisi rokok, baik buruknya, sebelum memutuskan salah satu perilaku yang mereka anggap sesuai.
Sunday, February 25, 2007
Saturday, February 24, 2007
It Breaks The Rules
Saya percaya semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Sedemikian besar keinginan itu hingga hampir semua orang tua mulai membiasakan banyak hal yang dianggap baik sejak anak-anak berusia sangat muda.
Tak ada yang salah dengan itu. Saya sendiri menyimpan banyak kebiasaan yang tertanam sejak kecil di rumah. Jika kemudian saat ini saya mengevaluasi kembali baik buruk kebiasaan itu, tentu lebih karena saya juga mengembangkan nilai-nilai pribadi di luar nilai-nilai yang tertanam di rumah.
Beberapa hari belakangan ini sekolah kami kedatangan tamu-tamu kecil. Mereka adalah calon murid sekolah kami yang datang untuk wawancara dengan calon guru kelasnya. Jumat lalu adalah hari yang cukup ramai. Saya berkenalan dengan seorang anak laki-laki tampan yang akan masuk kelas 1 SD.
Ternyata ia anak yang cukup ramah dan tidak ketakutan saat beberapa guru datang dan mengajaknya bercakap-cakap. Belakangan baru ketahuan kalau ia merasa lebih nyaman diajak bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris. Maka beberapa guru yang ada di sana mengajaknya mengobrol dalam Bahasa Inggris.
Anak ini banyak bercerita tentang XYZ sekolahnya saat ini. Katanya, di sekolah ia punya time out chair.
If you make noise while your friends try to concentrate, you have to sit there for ten minutes.
If you kick your friends you have to sit there until 2 o'clock.
Ia bercerita dengan santai. Seorang guru memperhatikannya sungguh-sungguh dan balas bertanya, "It is a kindergarten, right?"
Hahahaha. Anak-anak. Mereka senang bercerita. Kadang ceritanya sungguhan, kadang ada cerita yang dimodifikasi biar seru. Yang jelas, saya juga heran, dari semua sisi sekolah ia memilih untuk bercerita tentang time out chair.
Menurut saya time out chair juga bukan metode yang salah. Pada banyak kesempatan ini metode yang menyenangkan dan tidak mengganggu keseluruhan kelas tanpa mengabaikan perilaku destruktif seperti temper tantrum.
Dari percakapan-percakapan itu, si anak juga bercerita bahwa
... if you speak in Bahasa Indonesia, you break the rules...
Yah, menanamkan kebiasaan baik memang harus dilakukan sejak dini. Menendang teman itu tidak baik nak, tidak menghargai orang lain namanya. Berbahasa Indonesia juga tidak baik lho nak, itu namanya terlalu menghargai bangsa sendiri. Jangan ya...
Tak ada yang salah dengan itu. Saya sendiri menyimpan banyak kebiasaan yang tertanam sejak kecil di rumah. Jika kemudian saat ini saya mengevaluasi kembali baik buruk kebiasaan itu, tentu lebih karena saya juga mengembangkan nilai-nilai pribadi di luar nilai-nilai yang tertanam di rumah.
Beberapa hari belakangan ini sekolah kami kedatangan tamu-tamu kecil. Mereka adalah calon murid sekolah kami yang datang untuk wawancara dengan calon guru kelasnya. Jumat lalu adalah hari yang cukup ramai. Saya berkenalan dengan seorang anak laki-laki tampan yang akan masuk kelas 1 SD.
Ternyata ia anak yang cukup ramah dan tidak ketakutan saat beberapa guru datang dan mengajaknya bercakap-cakap. Belakangan baru ketahuan kalau ia merasa lebih nyaman diajak bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris. Maka beberapa guru yang ada di sana mengajaknya mengobrol dalam Bahasa Inggris.
Anak ini banyak bercerita tentang XYZ sekolahnya saat ini. Katanya, di sekolah ia punya time out chair.
If you make noise while your friends try to concentrate, you have to sit there for ten minutes.
If you kick your friends you have to sit there until 2 o'clock.
Ia bercerita dengan santai. Seorang guru memperhatikannya sungguh-sungguh dan balas bertanya, "It is a kindergarten, right?"
Hahahaha. Anak-anak. Mereka senang bercerita. Kadang ceritanya sungguhan, kadang ada cerita yang dimodifikasi biar seru. Yang jelas, saya juga heran, dari semua sisi sekolah ia memilih untuk bercerita tentang time out chair.
Menurut saya time out chair juga bukan metode yang salah. Pada banyak kesempatan ini metode yang menyenangkan dan tidak mengganggu keseluruhan kelas tanpa mengabaikan perilaku destruktif seperti temper tantrum.
Dari percakapan-percakapan itu, si anak juga bercerita bahwa
... if you speak in Bahasa Indonesia, you break the rules...
Yah, menanamkan kebiasaan baik memang harus dilakukan sejak dini. Menendang teman itu tidak baik nak, tidak menghargai orang lain namanya. Berbahasa Indonesia juga tidak baik lho nak, itu namanya terlalu menghargai bangsa sendiri. Jangan ya...
Thursday, February 22, 2007
Badai Otak
Berkat tulisan Tara dan Medina, sekolah kami diberi tawaran untuk menulis segmen liputan khusus di koran anak. Tadinya saya senang-senang saja. Saya pikir tak akan lebih dari satu halaman yang bisa dibagi-bagi. Pagi ini saya melihat serangkaian tulisan dari sebuah sekolah untuk liputan khusus edisi hari ini. EMPAT HALAMAN, saudara-saudara!
Wah, tidak akan sesederhana perkiraan saya.
Sekolah yang mendapat kesempatan menulis hari ini mengangkat tema tentang sampah. Tahu bahwa kami punya kesempatan memilih tema tulisan, saya mengajak kelas saya melakukan brainstorming.
Saya : Kita punya kesempatan memilih tema untuk tulisan kita di koran anak. Ayo kita pikirkan tema apa saja yang bisa kita tulis.
Zaky : Sejarah Bu!
Bintang : Iya Bu! Sejarah Budha saja!
Kemarin Bintang penasaran setengah mati dengan cerita di relief Borobudur.
Saya : Kemarin ada usul kita menulis tentang listrik saja.
Dewa : Tentang bahan bakar saja, Bu!
Tara : Tentang evolusi!
Gita ; Teknologi!
Saya : Boleh juga. Kemarin kita sudah belajar tentang penemuan.
Putri : Tentang penyakit-penyakit.
Medina : Tapi jangan virus. Kemarin sudah.
Bintang dan Sargie : Tapi kita belum belajaaaar!
Saya : Tidak masalah. Ada perpustakaan dan internet. Kita bisa cari apa saja. Kita bisa belajar lagi.
Sekar : Ya sudah tentang kesehatan saja.
Tara : tentang tubuh, bisa bu.
Saya : Ide bagus.
SEkar : Tentang menghargai saja bu.
Saya : Ya, tadinya Bu Tia berpikir begitu. Kita sudah banyak membahas tentang respect, kerjasama, dan semacam itu. Tapi kurang seru ya?
Anak-anak membalas dengan puluhan ide lain. Saya masih sibuk mencatat ide mereka. Benar-benar badai otak.
Wah, tidak akan sesederhana perkiraan saya.
Sekolah yang mendapat kesempatan menulis hari ini mengangkat tema tentang sampah. Tahu bahwa kami punya kesempatan memilih tema tulisan, saya mengajak kelas saya melakukan brainstorming.
Saya : Kita punya kesempatan memilih tema untuk tulisan kita di koran anak. Ayo kita pikirkan tema apa saja yang bisa kita tulis.
Zaky : Sejarah Bu!
Bintang : Iya Bu! Sejarah Budha saja!
Kemarin Bintang penasaran setengah mati dengan cerita di relief Borobudur.
Saya : Kemarin ada usul kita menulis tentang listrik saja.
Dewa : Tentang bahan bakar saja, Bu!
Tara : Tentang evolusi!
Gita ; Teknologi!
Saya : Boleh juga. Kemarin kita sudah belajar tentang penemuan.
Putri : Tentang penyakit-penyakit.
Medina : Tapi jangan virus. Kemarin sudah.
Bintang dan Sargie : Tapi kita belum belajaaaar!
Saya : Tidak masalah. Ada perpustakaan dan internet. Kita bisa cari apa saja. Kita bisa belajar lagi.
Sekar : Ya sudah tentang kesehatan saja.
Tara : tentang tubuh, bisa bu.
Saya : Ide bagus.
SEkar : Tentang menghargai saja bu.
Saya : Ya, tadinya Bu Tia berpikir begitu. Kita sudah banyak membahas tentang respect, kerjasama, dan semacam itu. Tapi kurang seru ya?
Anak-anak membalas dengan puluhan ide lain. Saya masih sibuk mencatat ide mereka. Benar-benar badai otak.
Wednesday, February 21, 2007
Practice Makes Perfect
Sekolah kami sedang sibuk dengan audisi untuk mengikuti konser dua tahunan dengan sebuah sekolah musik. Saya jadi sering melihat anak-anak berlatih menyanyi di sela-sela waktu bermain.
Pagi tadi, saya mendengar anak-anak kelas 4 menyanyi dari lapangan bermain
Oh Ibu dan Ayah selamat pagi
Kupergi belajar sampai kan nanti
Selamat belajar nak penuh semangat
Rajinlah selalu tentu kau dapat
Hormati gurumu sayangi teman
Itulah tandanya kau murid budiman...
Saya sengaja membuka pintu kelas agar bisa mendengar suara mereka lebih baik. Lalu, di antara bait-bait lagu itu saya mendengar suara derap kaki. Saya melongok keluar. Mini, Saras, Lika, dan Mita sedang menyanyi sambil berlari keliling lapangan. Mereka berlari berjajar dua-dua. Mereka menyanyi bergiliran, masing-masing dua baris. Ada bagian-bagian di mana mereka menyani bersama-sama.
Saya takjub melihat mereka. Suara mereka tetap stabil. Nafasnya tidak terengah-engah. Temponya tidak berubah. Volumenya pun keras.
Untuk bisa menyanyi seperti itu sambil berlari, mereka harus mengatur tempo berlari. Bukan hanya sendiri, mereka lari berempat. Berarti empat anak itu harus berlari dengan tempo yang sama sekaligus menyanyi dengan sama pula. Mereka pun harus tahu kapan harus mengambil nafas sesuai dengan lagu yang mereka nyanyikan. This is very complex for fourth graders! Bahkan yang pandai menyanyi sekalipun.
Entah dapat ide dari mana mereka latihan menyanyi seperti itu.
PS: Untung lagu yang mereka nyanyikan bukan jenis lagu-lagu mars. Kalau iya, pasti mirip tentara berlatih.
Pagi tadi, saya mendengar anak-anak kelas 4 menyanyi dari lapangan bermain
Oh Ibu dan Ayah selamat pagi
Kupergi belajar sampai kan nanti
Selamat belajar nak penuh semangat
Rajinlah selalu tentu kau dapat
Hormati gurumu sayangi teman
Itulah tandanya kau murid budiman...
Saya sengaja membuka pintu kelas agar bisa mendengar suara mereka lebih baik. Lalu, di antara bait-bait lagu itu saya mendengar suara derap kaki. Saya melongok keluar. Mini, Saras, Lika, dan Mita sedang menyanyi sambil berlari keliling lapangan. Mereka berlari berjajar dua-dua. Mereka menyanyi bergiliran, masing-masing dua baris. Ada bagian-bagian di mana mereka menyani bersama-sama.
Saya takjub melihat mereka. Suara mereka tetap stabil. Nafasnya tidak terengah-engah. Temponya tidak berubah. Volumenya pun keras.
Untuk bisa menyanyi seperti itu sambil berlari, mereka harus mengatur tempo berlari. Bukan hanya sendiri, mereka lari berempat. Berarti empat anak itu harus berlari dengan tempo yang sama sekaligus menyanyi dengan sama pula. Mereka pun harus tahu kapan harus mengambil nafas sesuai dengan lagu yang mereka nyanyikan. This is very complex for fourth graders! Bahkan yang pandai menyanyi sekalipun.
Entah dapat ide dari mana mereka latihan menyanyi seperti itu.
PS: Untung lagu yang mereka nyanyikan bukan jenis lagu-lagu mars. Kalau iya, pasti mirip tentara berlatih.
Tuesday, February 20, 2007
Perlu Waktu
Dewa dan Bintang sedang sibuk-sibuknya belajar mengikat tali sepatu. Mereka butuh waktu sekitar lima menit untuk berhasil mengikat dua tali sepatunya. Masalahnya, anak-anak cenderung lebih suka melepas sepatu di dalam kelas karena kami sering duduk di karpet atau beraktivitas di lantai. Maka anak-anak harus melepas dan memakai sepatu mereka sekurang-kurangnya empat kali sehari untuk keluar masuk kelas.
Berarti Dewa dan Bintang harus menghabiskan waktu 15 - 20 menit sehari untuk memakai sepatu mereka. Kelucuan terjadi saat mereka memakai sepatu untuk keluar main. Mereka menalikan sepatunya hati-hati sekali. Mereka juga berusaha membentuk simpul sebagus-bagusnya. Ketika hasilnya menganggumkan.... BEL BERBUNYI.
Nggak jadi main deh.
Sepatunya harus dilepas lagi.
Hari ini Bintang protes karena sudah dua kali tidak jadi bermain. Ia menolak duduk di karpet agar tidak perlu melepas sepatunya.
:)
Berarti Dewa dan Bintang harus menghabiskan waktu 15 - 20 menit sehari untuk memakai sepatu mereka. Kelucuan terjadi saat mereka memakai sepatu untuk keluar main. Mereka menalikan sepatunya hati-hati sekali. Mereka juga berusaha membentuk simpul sebagus-bagusnya. Ketika hasilnya menganggumkan.... BEL BERBUNYI.
Nggak jadi main deh.
Sepatunya harus dilepas lagi.
Hari ini Bintang protes karena sudah dua kali tidak jadi bermain. Ia menolak duduk di karpet agar tidak perlu melepas sepatunya.
:)
Monday, February 19, 2007
Apa yang istimewa darimu?
Tadi pagi saya mendongeng tentang burung-burung di hutan yang mengadakan kontes untuk menentukan siapa yang bisa menjadi raja mereka. Para burung kebingungan, karena setiap jenis burung punya keistimewaan. Burung Elang pandai terbang tinggi. Burung Bulbul bersuara indah. Burung Kunibre sangat cerdik. Burung Hantu berpendapat lomba terbang adalah kontes yang baik. Semua setuju. Barang siapa bisa terbang paling tinggi, ia akan jadi Raja Para Burung.
Ngomong-ngomong dalam cerita itu, Elang yang sibuk menyombongkan kemampuan terbangnya kalah dengan kecerdikan Kunibre kecil. Anak-anak geli mendengarnya.
Di cerita tadi, setiap burung punya keistimewaan. Apa saja ya?
Itu Bu, si burung elang terbangnya tinggi.
Burung bulbul suaranya merdu.
Burung kunibre kecil tapi pintar.
Bagaimana dengan kamu. Apa keistimewaanmu?
Anak-anak diam sebentar sebelum tangan-tangan mereka mulai mengacung ke udara.
Kata Sekar, "Aku pandai menggambar, Bu!"
Ah ya, tentu. Sekar baru saja menggambar karikatur pohon yang menangis karena pohon lain diangkut naik truk.
Kata Gita, "Aku pandai menyanyi!"
Kalau kamu Rai?
Rai diam. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Entah bingung atau malu sendiri.
Hmmm, menurut Bu Tia Rai itu pandai sulap.
Anak-anak yang lain mulai menambahkan, "Iya Bu. Rai juga punya banyak tebak-tebakan lucu."
Yang lain?
"Bintang selalu punya ide untuk permainan, Bu!" Sargie menyahut cepat.
Mata Bintang berseri-seri.
"Aku berani dengan serangga!" Zaky bersuara.
Selanjutnya anak-anak membuat hiasan gantung berisi tulisan tentang keistimewaan mereka.
Menarik sekali melihat apa itu istimewa untuk mereka.
Sekar menulis bahwa ia bisa menirukan suara kuda. Ini betul. Saya sendiri kadang-kadang memintanya mengulang aksinya menjadi kucing, kuda, atau anjing laut. Mirip sekali, soalnya.
Fia menulis ia pandai membuat kue dan naik sepeda. Rai menambahkan kemampuan bermain sulapnya dengan, "Saya bisa membuat buku cerita sendiri?" Tara bangga karena ia sudah bisa mengikat sepatu sendiri dan punya banyak strategi. Sargie bilang ia pandai menyelesaikan masalah. Putri menulis besar-besar bahwa ia pandai menanam bunga.
Saya senang melihat banyak jawaban unik selain bisa menggambar, matematika, menulis, dan menyanyi. Terkejut juga saya, mendapati anak-anak mau melihat ke dalam dirinya lebih dalam.
Kegiatan mengenal keistimewaan diri kali ini adalah kegiatan awal untuk mengenal konsep kerendahan hati. Kalau tidak, jadinya rendah diri, bukan?
Ini yang saya suka dari program yang disusun LVEP. Mereka mengajak anak-anak mulai dari pengalaman pribadi, lalu mengambil insight dari situ. Mereka tidak memaksa anak-anak menghafalkan butir-butir pancasila. Melihat anak-anak bisa menulis keistimewaan mereka dengan santai dan saling memberi masukan satu sama lain, saya jadi optimis.
Ngomong-ngomong dalam cerita itu, Elang yang sibuk menyombongkan kemampuan terbangnya kalah dengan kecerdikan Kunibre kecil. Anak-anak geli mendengarnya.
Di cerita tadi, setiap burung punya keistimewaan. Apa saja ya?
Itu Bu, si burung elang terbangnya tinggi.
Burung bulbul suaranya merdu.
Burung kunibre kecil tapi pintar.
Bagaimana dengan kamu. Apa keistimewaanmu?
Anak-anak diam sebentar sebelum tangan-tangan mereka mulai mengacung ke udara.
Kata Sekar, "Aku pandai menggambar, Bu!"
Ah ya, tentu. Sekar baru saja menggambar karikatur pohon yang menangis karena pohon lain diangkut naik truk.
Kata Gita, "Aku pandai menyanyi!"
Kalau kamu Rai?
Rai diam. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Entah bingung atau malu sendiri.
Hmmm, menurut Bu Tia Rai itu pandai sulap.
Anak-anak yang lain mulai menambahkan, "Iya Bu. Rai juga punya banyak tebak-tebakan lucu."
Yang lain?
"Bintang selalu punya ide untuk permainan, Bu!" Sargie menyahut cepat.
Mata Bintang berseri-seri.
"Aku berani dengan serangga!" Zaky bersuara.
Selanjutnya anak-anak membuat hiasan gantung berisi tulisan tentang keistimewaan mereka.
Menarik sekali melihat apa itu istimewa untuk mereka.
Sekar menulis bahwa ia bisa menirukan suara kuda. Ini betul. Saya sendiri kadang-kadang memintanya mengulang aksinya menjadi kucing, kuda, atau anjing laut. Mirip sekali, soalnya.
Fia menulis ia pandai membuat kue dan naik sepeda. Rai menambahkan kemampuan bermain sulapnya dengan, "Saya bisa membuat buku cerita sendiri?" Tara bangga karena ia sudah bisa mengikat sepatu sendiri dan punya banyak strategi. Sargie bilang ia pandai menyelesaikan masalah. Putri menulis besar-besar bahwa ia pandai menanam bunga.
Saya senang melihat banyak jawaban unik selain bisa menggambar, matematika, menulis, dan menyanyi. Terkejut juga saya, mendapati anak-anak mau melihat ke dalam dirinya lebih dalam.
Kegiatan mengenal keistimewaan diri kali ini adalah kegiatan awal untuk mengenal konsep kerendahan hati. Kalau tidak, jadinya rendah diri, bukan?
Ini yang saya suka dari program yang disusun LVEP. Mereka mengajak anak-anak mulai dari pengalaman pribadi, lalu mengambil insight dari situ. Mereka tidak memaksa anak-anak menghafalkan butir-butir pancasila. Melihat anak-anak bisa menulis keistimewaan mereka dengan santai dan saling memberi masukan satu sama lain, saya jadi optimis.
Tuesday, February 13, 2007
Dimuat!
Kemarin saya mengirim entri jurnal anak-anak tentang banjir ke sebuah koran anak. Kejutannya datang pagi ini; dua tulisan milik Tara dan Medina dimuat.
Sebenarnya tidak kejutan-kejutan amat, karena sejak kemarin redaksi sudah mengirim pujian untuk mereka. Sebagai tulisan anak kelas 2 SD, isinya cukup runtut dan logis. Sejak kemarin pula kami sudah dapat tawaran untuk mengisi satu halaman lagi minggu depan.
Tetap saja, saya senang sekali pagi ini. Anak-anak lain juga sama bersemangatnya, sementara ekspresi muka Tara sama sekali tak berubah. Medina pun nyaris menyembunyikan koran anak itu karena malu. Tapi saya tahu ia senang, sebab terlontar dari mulutnya kalau ia ingin menulis lagi.
Ini tulisan Tara :
Menurut saya, banjir ini disebabkan oleh karena banyak pohon yang ditebang, sedikit penghijauan, banyak sekali bangunan, dan banyak orang membuang sampah sembarangan. Akibatnya sampah-sampah akan menghalangi perjalanan air sungai dan air sungainya akan meluap dan tidak diserap oleh pohon karena tidak ada pohon. Seharusnya kita lebih banyak menanam dan tidak membuang sampah sembarangan lagi agar tidak banjir.
Ini tulisan Medina:
Jakarta banjir karena orang-orang di Jakarta membuang sampah sembarangan. Biasanya orang sehabis membeli sesuatu di warung lalu membuang sampah di kali, sehingga kalau terjadi hujan air di sungai tidak bisa mengalir. Kalau orang di Jakarta tidak membuang sampah sembarangan tidak akan terjadi banjir. Yang harus kita lakukan supaya tidak banjir adalah
Ketika tadi saya menunjukkan tulisan mereka pada orangtua, mereka serentak bertanya apakah saya sudah menyunting tulisan mereka? Sejujurnya, tidak. Mereka menulisnya sendiri. Saya cuma membantu mengetikkan ulang (tentu dengan pertanyaan empatik Sargie, "Bu Tia enggak capek ngetik sebanyak itu?").
Saya sungguh berharap mereka tidak berhenti menulis sampai di sini. Semoga rasa bangga hari ini mereka ingat terus dan selalu mereka nikmati saat melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Sebenarnya tidak kejutan-kejutan amat, karena sejak kemarin redaksi sudah mengirim pujian untuk mereka. Sebagai tulisan anak kelas 2 SD, isinya cukup runtut dan logis. Sejak kemarin pula kami sudah dapat tawaran untuk mengisi satu halaman lagi minggu depan.
Tetap saja, saya senang sekali pagi ini. Anak-anak lain juga sama bersemangatnya, sementara ekspresi muka Tara sama sekali tak berubah. Medina pun nyaris menyembunyikan koran anak itu karena malu. Tapi saya tahu ia senang, sebab terlontar dari mulutnya kalau ia ingin menulis lagi.
Ini tulisan Tara :
Menurut saya, banjir ini disebabkan oleh karena banyak pohon yang ditebang, sedikit penghijauan, banyak sekali bangunan, dan banyak orang membuang sampah sembarangan. Akibatnya sampah-sampah akan menghalangi perjalanan air sungai dan air sungainya akan meluap dan tidak diserap oleh pohon karena tidak ada pohon. Seharusnya kita lebih banyak menanam dan tidak membuang sampah sembarangan lagi agar tidak banjir.
Ini tulisan Medina:
Jakarta
(1) tidak membuang sampah sembarangan. Kalau kita membuang sampah sembarangan setiap hari sampah akan menumpuk, air di selokan dan sungai tidak bisa mengalir sehingga terjadilah banjir.
(2) Mengganti pohon yang ditebang dengan menanam pohon lagi di tempat yang luas.
Ketika tadi saya menunjukkan tulisan mereka pada orangtua, mereka serentak bertanya apakah saya sudah menyunting tulisan mereka? Sejujurnya, tidak. Mereka menulisnya sendiri. Saya cuma membantu mengetikkan ulang (tentu dengan pertanyaan empatik Sargie, "Bu Tia enggak capek ngetik sebanyak itu?").
Saya sungguh berharap mereka tidak berhenti menulis sampai di sini. Semoga rasa bangga hari ini mereka ingat terus dan selalu mereka nikmati saat melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Thursday, February 08, 2007
Pameran Para Penemu
Di penghujung tema Inventors and Inventions, saya menantang anak-anak membuat penemuan sendiri. Satu minggu kemudian, kami mengadakan pameran penemuan di kelas.
Beberapa anak hanya membawa gambar rancangannya, tapi ada juga anak-anak yang membawa benda kreasinyanya itu. Maira bilang, ayah membantunya membuat alat untuk membawa telur. Dengan alat itu telur-telur tidak saling bersentuhan dan tidak mudah pecah. Putri membuat alat seperti penjapit besar untuk membuang kotoran kucing. Sargie membuat alat penyiram tanaman otomatis dengan sumbu dan mangkuk berisi air.
Benda-benda yang menarik itu membuat Bintang jadi ingin merealisasikan gambarnya. Ia membuat Picnic Cap dimana ada dua gelas dengan sedotan mirip pipa yang menempel di topi. Apalagi setelah saya bilang saya ingin memotret mereka dan hasil karyanya untuk tugas lanjutan.
Anak-anak tak sabar ingin menceritakan dan mendengarkan cerita teman tentang penemuan itu. Saya membagi mereka menjadi beberapa kelompok berisi 4 - 5 orang. Satu kelompok mengambil tempat di sudut kelas manapun, kelompok-kelompok lain boleh mengunjungi "stand" teman-temannya dan bertanya-tanya.
Mereka benar-benar mendatangi setiap orang dan bertanya-tanya tentang cara kerja dan cara membuat benda-benda itu. Anak-anak yang didatangi juga tak lelah menjelaskan berulang-ulang pada teman yang berbeda.
Gita yang belum pernah mengalami hal ini sudah meraung-raung sebelum gilirannya tiba.
Gimana aku nanti ceritanya Bu, aku bingung....
Saya bilang, jawab saja pertanyaan temanmu. Benar juga, begitu teman-teman datang penuh rasa ingin tahu, Gita sudah lupa kalau tadi ia cemas. Ia menceritakan cara kerja jam ajaibnya dengan santai.
Tidak terasa sudah lewat. Anak-anak protes pada saya karena belum sempat mendengar cerita tentang karya teman-teman satu kelompok. Akhirnya saya memberi mereka waktu 10 menit lagi untuk bertanya pada siapapun yang mereka ingin.
Saat istirahat tiba, Putri mendatangi saya. "Bu, aku boleh buat pupupnya kucing nggak, buat foto besok? Dari kertas kok buatnya... "
Ya, boleh saja, Nak.
Ternyata selain membuat pupup kucing dari kertas, Putri membawa alat untuk mengambil kotoran kucing itu keluar kelas dan memamerkannya pada Riri, Thalia, dan Dilla. Mereka memandang dengan kagum, lalu bertanya pada saya apa yang dilakukan anak-anak kelas 2. Saya bercerita bahwa mereka sedang membuat Pameran Para Penemu.
Riri langsung berkomentar, "Anak kelas 2 kreatif sekali ya bu..."
Saya katakan bahwa saya menyesal tidak sempat melakukan hal ini bersama mereka tahun lalu. Riri memandang saya ngeri sambil berkata, " Untung tidak, Bu. Aku tidak tahu mau buat apa. "
Sargie begitu senang hari itu sampai ia bilang pada saya, "Bu, bagaimana kalau hari ini kita pulang jam 4 saja?"
Gita menyahut, "Bagaimana kalau kita menginap saja di sini?"
Seandainya kami benar-benar tidak pulang, barangkali kami harus tinggal di sekolah tiga hari penuh karena hari itu dan keeseokan harinya hujan makin deras dan banjir makin tinggi di seluruh penjuru Jakarta.
Beberapa anak hanya membawa gambar rancangannya, tapi ada juga anak-anak yang membawa benda kreasinyanya itu. Maira bilang, ayah membantunya membuat alat untuk membawa telur. Dengan alat itu telur-telur tidak saling bersentuhan dan tidak mudah pecah. Putri membuat alat seperti penjapit besar untuk membuang kotoran kucing. Sargie membuat alat penyiram tanaman otomatis dengan sumbu dan mangkuk berisi air.
Benda-benda yang menarik itu membuat Bintang jadi ingin merealisasikan gambarnya. Ia membuat Picnic Cap dimana ada dua gelas dengan sedotan mirip pipa yang menempel di topi. Apalagi setelah saya bilang saya ingin memotret mereka dan hasil karyanya untuk tugas lanjutan.
Anak-anak tak sabar ingin menceritakan dan mendengarkan cerita teman tentang penemuan itu. Saya membagi mereka menjadi beberapa kelompok berisi 4 - 5 orang. Satu kelompok mengambil tempat di sudut kelas manapun, kelompok-kelompok lain boleh mengunjungi "stand" teman-temannya dan bertanya-tanya.
Mereka benar-benar mendatangi setiap orang dan bertanya-tanya tentang cara kerja dan cara membuat benda-benda itu. Anak-anak yang didatangi juga tak lelah menjelaskan berulang-ulang pada teman yang berbeda.
Gita yang belum pernah mengalami hal ini sudah meraung-raung sebelum gilirannya tiba.
Gimana aku nanti ceritanya Bu, aku bingung....
Saya bilang, jawab saja pertanyaan temanmu. Benar juga, begitu teman-teman datang penuh rasa ingin tahu, Gita sudah lupa kalau tadi ia cemas. Ia menceritakan cara kerja jam ajaibnya dengan santai.
Tidak terasa sudah lewat. Anak-anak protes pada saya karena belum sempat mendengar cerita tentang karya teman-teman satu kelompok. Akhirnya saya memberi mereka waktu 10 menit lagi untuk bertanya pada siapapun yang mereka ingin.
Saat istirahat tiba, Putri mendatangi saya. "Bu, aku boleh buat pupupnya kucing nggak, buat foto besok? Dari kertas kok buatnya... "
Ya, boleh saja, Nak.
Ternyata selain membuat pupup kucing dari kertas, Putri membawa alat untuk mengambil kotoran kucing itu keluar kelas dan memamerkannya pada Riri, Thalia, dan Dilla. Mereka memandang dengan kagum, lalu bertanya pada saya apa yang dilakukan anak-anak kelas 2. Saya bercerita bahwa mereka sedang membuat Pameran Para Penemu.
Riri langsung berkomentar, "Anak kelas 2 kreatif sekali ya bu..."
Saya katakan bahwa saya menyesal tidak sempat melakukan hal ini bersama mereka tahun lalu. Riri memandang saya ngeri sambil berkata, " Untung tidak, Bu. Aku tidak tahu mau buat apa. "
Sargie begitu senang hari itu sampai ia bilang pada saya, "Bu, bagaimana kalau hari ini kita pulang jam 4 saja?"
Gita menyahut, "Bagaimana kalau kita menginap saja di sini?"
Seandainya kami benar-benar tidak pulang, barangkali kami harus tinggal di sekolah tiga hari penuh karena hari itu dan keeseokan harinya hujan makin deras dan banjir makin tinggi di seluruh penjuru Jakarta.
Wednesday, February 07, 2007
Awas, nanti jatuh
Seiring dengan ramai berita soal banjir di televisi (oh ya, saya nonton tv juga sambil memompa air keluar rumah), lagu yang jadi soundtrack tsunami beberapa tahun lalu muncul lagi. Itu lho, yang diawali dengan lirik, "Tuhan, marahkah kau padaku...".
Saya jadi ingat murid-murid saya yang sedang gemar bertanya tentang Tuhan. Suatu siang, mereka bertanya benarkah kalau ada bencana itu karena Tuhan sedang marah? Kalimat persisnya saya lupa, bencana yang mereka tanyakan tepatnya apa saya juga tidak ingat betul.
Saya balik bertanya, pernahkah ayah atau ibumu mengingatkan agar kamu hati-hati supaya tidak jatuh? Mereka mengangguk. Kadang-kadang kita pura-pura tidak dengar dan tetap lari-lari di tempat berbahaya. Kalau jatuh, apakah karena ayah atau ibu marah?
Anak-anak bilang tidak.
Ok, berarti kita tidak perlu menyalahkan tuhan hanya karena kebanjiran.
Kan, sudah diingatkan.
Saya jadi ingat murid-murid saya yang sedang gemar bertanya tentang Tuhan. Suatu siang, mereka bertanya benarkah kalau ada bencana itu karena Tuhan sedang marah? Kalimat persisnya saya lupa, bencana yang mereka tanyakan tepatnya apa saya juga tidak ingat betul.
Saya balik bertanya, pernahkah ayah atau ibumu mengingatkan agar kamu hati-hati supaya tidak jatuh? Mereka mengangguk. Kadang-kadang kita pura-pura tidak dengar dan tetap lari-lari di tempat berbahaya. Kalau jatuh, apakah karena ayah atau ibu marah?
Anak-anak bilang tidak.
Ok, berarti kita tidak perlu menyalahkan tuhan hanya karena kebanjiran.
Kan, sudah diingatkan.
Tuesday, February 06, 2007
Sekolah Darurat
Setelah deg-degan dan susah payah akhirnya hari ini saya bisa sampai lagi di sekolah. Lima hari belakangan acara mengajar kacau karena dua pertiga Jakarta (dan sekitarnya) terendam banjir. Demikian pula rumah saya dan jalan-jalan menuju ke sekolah.
Sampai di sekolah, saya menemukan aula TK ramai sekali. Tampaknya meja dan kursi TK A berpindah ke aula. Dua wajah kecil Fia dan Putri menatap saya, dari meja TK yang pendek itu, "Bu Tia rumahnya nggak banjir lagi?" Wah, senangnya melihat mereka!
Ternyata hari ini listrik mati, sementara ruang-ruang kami didisain menggunakan AC dan kipas angin. Jadilah semua anak berkumpul di aula, untuk berkegiatan selama empat jam.
Saya melihat sekeliling. Sebagian besar rekan guru ada di sana. Jumlah anak-anak tak sebanyak biasanya. Kurang lebih 10 orang dari TKA dan B, 8 orang dari Kelas 1, 4 orang kelas 2, dan masing-masing 5 orang di kelas 3 dan 4.
Saya mengajak anak-anak kelas 2 bermain bingo dengan kartu untuk memanaskan suasana. Saya lihat guru TK mengeluarkan puzzle besar dan menyusunnya bersama anak-anak. Anak-anak kelas 1 bermain kartu matematika. Anak-anak kelas 3 dan 4 sedang mengobrol bersama Bu Andin.
Lima belas menit kemudian semua kelas sudah berkegiatan sendiri-sendiri. Kelas saya sudah asyik bermain dadu matematika dan berlanjut terus dengan lembar kerja dan aneka permainan lain. Kelas 1 menyanyi diiringi gitar. Kelas-kelas lain tak kalah sibuknya. Semua itu terjadi di satu ruangan terbuka.
Empat jam berlalu tidak terasa. Anak-anak di kelas saya masih sempat membaca cerita, membuat boneka ikan lalu mementaskan naskah pendek ditonton anak-anak TK, menyanyi, dan bermain kartu memory.
Diantara waktu-waktu itu saya sering melirik meja-meja lain. Saya agak terkesan karena anak-anak sama sekali tidak ribut dan fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing. Padahal, tentu mudah untuk mereka mengalihkan perhatian dan lari lari seperti setan. Tetapi tidak seorangpun melakukannya.
Ketika saya bercerita pada Alexander The Great, ia langsung tertawa. Katanya, siapa bilang anak-anak itu ADD (Attention Deficit Disorder)?
Iya ya, siapa bilang?
Sampai di sekolah, saya menemukan aula TK ramai sekali. Tampaknya meja dan kursi TK A berpindah ke aula. Dua wajah kecil Fia dan Putri menatap saya, dari meja TK yang pendek itu, "Bu Tia rumahnya nggak banjir lagi?" Wah, senangnya melihat mereka!
Ternyata hari ini listrik mati, sementara ruang-ruang kami didisain menggunakan AC dan kipas angin. Jadilah semua anak berkumpul di aula, untuk berkegiatan selama empat jam.
Saya melihat sekeliling. Sebagian besar rekan guru ada di sana. Jumlah anak-anak tak sebanyak biasanya. Kurang lebih 10 orang dari TKA dan B, 8 orang dari Kelas 1, 4 orang kelas 2, dan masing-masing 5 orang di kelas 3 dan 4.
Saya mengajak anak-anak kelas 2 bermain bingo dengan kartu untuk memanaskan suasana. Saya lihat guru TK mengeluarkan puzzle besar dan menyusunnya bersama anak-anak. Anak-anak kelas 1 bermain kartu matematika. Anak-anak kelas 3 dan 4 sedang mengobrol bersama Bu Andin.
Lima belas menit kemudian semua kelas sudah berkegiatan sendiri-sendiri. Kelas saya sudah asyik bermain dadu matematika dan berlanjut terus dengan lembar kerja dan aneka permainan lain. Kelas 1 menyanyi diiringi gitar. Kelas-kelas lain tak kalah sibuknya. Semua itu terjadi di satu ruangan terbuka.
Empat jam berlalu tidak terasa. Anak-anak di kelas saya masih sempat membaca cerita, membuat boneka ikan lalu mementaskan naskah pendek ditonton anak-anak TK, menyanyi, dan bermain kartu memory.
Diantara waktu-waktu itu saya sering melirik meja-meja lain. Saya agak terkesan karena anak-anak sama sekali tidak ribut dan fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing. Padahal, tentu mudah untuk mereka mengalihkan perhatian dan lari lari seperti setan. Tetapi tidak seorangpun melakukannya.
Ketika saya bercerita pada Alexander The Great, ia langsung tertawa. Katanya, siapa bilang anak-anak itu ADD (Attention Deficit Disorder)?
Iya ya, siapa bilang?
Subscribe to:
Posts (Atom)