Mulai tahun ajaran ini saya juga mengajar satu subjek berjudul pengetahuan agama. Bahannya menarik, tiap kali menjelajah saya menemukan pengetahuan baru. Tetapi, mengajar pengetahuan agama tak semudah yang saya bayangkan.
Saya memulai dengan tema pertama mengenai symbols and sign. Anak-anak senang saat kami membuat gambar-gambar yang menunjukkan bedanya sign dan symbols.
"Simbol itu mewakili sesuatu, bu, seperti bendera."
Kami juga sempat menggambar makna denotatif dan konotatif sebuah ungkapan. Saya jadi mendapat gambar hati penuh bunga (hatiku berbunga-bunga) sekaligus gambar anak yang sangat gembira. Saya juga mendapat gambar telur dan tanduk (telur diujung tanduk) dan seorang yang melawan rampok.
Apa hubungannya dengan pengetahuan agama? Kemudian kami membahas beberapa ayat populer dari beberapa agama yang memuat metafora.
Suatu ketika saya bertanya pada mereka, "Mengapa perumpamaan yang digunakan? Mengapa tidak langsung saja kita merinci sifat-sifat Tuhan, misalnya?"
Tanpa diduga saya mendapat jawabannya dari anak-anak.
"Lambang mengingatkan kita pada cerita-cerita sebelumnya, Bu." kata Mita.
"Lambang yang dipakai orang juga kadang-kadang menunjukkan apa agama orangnya," kata Adam. Ya, lambang kemudian juga menjadi identitas agama.
"Menurutku... kalau ada lambang... jadi nanti kalau mau cerita sama anakku nggak susah. Ceritanya kalau diceritakan begitu saja nanti ada yang berubah atau banyak yang kelupaan. Kalau pakai lambang kan orangnya langsung mengerti," Putu mencoba menjelaskan.
Dengan kalimat yang susunannya kian kemari, saya mengerti maksudnya. Ketika saya bercerita pada seorang teman, ia mendadak marah pada saya. Katanya, saya sudah memperkenalkan teori semiotika Ferdinand de Saussure yang biasanya baru dikenal mahasiswa sastra semester tujuh.
Lho, apa salah saya? Bukan saya yang menjawab begitu, tapi Putu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment