Beberapa kali, saat saya mampir di kedai fotokopi untuk memperbanyak lembar kerja anak-anak, seringkali saya mendapat sapaan.
“Mbak guru ya?”
Dan obrolan berlanjut. Tidak jarang, teman mengobrol saya itu guru juga. Itu pula yang terjadi kemarin. Seseorang tertarik pada teks tentang Pramuka yang sedang saya fotokopi. Lalu mulai bertanya-tanya. Apakah saya melatih Pramuka? Apakah saya kuliah keguruan? Bukan? Apakah saya mengambil akta 4 juga, tanyanya. Tidak, kata saya sopan. Mengajar kelas berapa? Wali kelas, bukan?
Ia bercerita tentang bagaimana ia sedang kuliah, sekaligus mulai mengajar.
“Saya mengajar di anu, itu, dan ini.
Saya bengong. Dua belas sekolah? Sambil kuliah? Lepas dari dia guru khusus olahraga, tetap saja saya terpana dibuatnya.
Mas-mas kedai fotokopi yang sudah akrab dengan saya, berteriak dari jauh, “Ini sepuluh kali,
Saya mengangguk. Mengiyakan si mas-mas fotokopi dan pamitnya si Pak Guru muda itu.
Dua belas sekolah… dan saya punya sepuluh murid.
Kadang-kadang pertemuan seperti ini membuat patah hati. Bagaimana saya bisa berpongah-pongah tentang progam belajar yang berorientasi pada anak, menanamkan berbagai nilai-nilai, mengenali tiap penghuni kelas satu-persatu seakan mereaka adalah sekumpulan tamu negara, sementara di kecamatan sebelah ada murid-murid dua belas sekolah berbagi satu guru.
No comments:
Post a Comment