Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Saya bisa mendengar gumaman, umpatan, dan kalimat-kalimat ditujukan kepada pemerintah yang dianggap lalai memenuhi tuntutan itu (well, they do). Tetapi tidak perlu waktu lama bagi saya untuk bertanya kembali kepada diri sendiri.
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita percaya bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan? Apakah kita percaya semua anak kita berhak mendapatkan pendidikan?
Tidak usah jauh-jauh memikirkan mereka yang ada di pelosok nusantara. Pikirkan saja mereka yang ada di jangkauan mata kita. Apakah kita masih berpikir bahwa anak-anak cerdas saja yang berhak mendapatkan beasiswa? Apakah kita masih berpikir lebih baik anak tukang becak masuk STM saja daripada SMA supaya cepat bekerja? Apakah kita masih berpikir bahwa sebaiknya sekolah (dasar) menyeleksi anak-anak berdasarkan kecerdasannya saja?
Siapa yang kita maksud setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan?
Ayu, teman saya, semula adalah sesama guru. Sesuatu membuatnya memilih pekerjaan lain saat ini, meski saya tahu guru masih lekat di hatinya. Sejak ia tidak mengajar bersama kami, saya menyadari satu kualitas kelas berat yang saya pelajari darinya.
Teman saya ini, ia benar-benar guru yang memandang setiap anak sebagai individu yang khas. Tak ada anak yang "impossible" untuknya. Seberapapun kami skeptis dan pesimis memandang seorang anak, ia selalu berhasil membuat kami melihat keistimewaan anak ini di akhir tahun ajarannya.
Teman saya ini suka menyanyi dan ia selalu bisa membuat kelasnya menyanyi. Banyak lagu yang ia ajarkan pada murid-muridnya tapi yang selalu saya ingat adalah ketika murid-murid kelas 1 SD itu menyanyikan lagu "Aku Bisa" sambil berderap berbaris pulang. Tak hanya menyanyi, teman saya ini menghayati betul bahwa setiap anak pasti bisa.
Dari kelas-kelasnya saya belajar bahwa menghayati hak setiap orang atas pendidikan sebenarnya dimulai dari hati kita. Bagaimana kita bisa menyadari bahwa setiap orang, siapapun ia, apapun keadaannya, betapapun ia merepotkan bagi kita, ia berhak atas pendidikan yang layak. Ia berhak mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang optimal, dan berhak mendapat kesempatan dihargai.
Memulainya dari dalam hati akan membuat saya terbuka pada aneka ragam anak-anak di kelas saya. Anak-anak berbakat, anak-anak berkesulitan belajar, anak-anak dengan keluarga penuh dukungan, dan anak-anak yang diabaikan. Kesadaran bahwa pendidikan adalah hak setiap orang akan membuat saya lebih terbuka untuk menerima mereka apa adanya dan memutar otak memikirkan cara agar semua orang bisa belajar di kelas saya.
Setiap kali ada calon murid baru, atau setiap kali ada yang mengeluh punya satu dua murid sulit di kelas, saya selalu ingat "pelajaran" ini. Kadang saya terantuk peraturan, terantuk keterbatasan menangani anak-anak yang istimewa, tapi saya tidak ingin terantuk rasa pesimis dan pandangan bahwa kami terlalu repot untuk memberi kesempatan bagi anak-anak yang istimewa.
Repot memang, capek memang, seringkali jadi ingin pulang saja, tapi melihat setiap anak, bahkan anak-anak yang merasa ditolak di tempat-tempat terdahulu, berkembang menjadi anak yang gembira saja... sudah membayar segalanya.
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Termasuk di dalamnya penerimaan yang tulus dan penuh keyakinan bahwa setiap warga negara berhak menjadi dirinya sendiri dan punya kesempatan mengembangkan diri.
4 comments:
Bu Tia, pendidikan yang layak itu cuma untuk anak orang kaya..
saya dulu berpikir sekolah kejuruan tepat untuk anak2 kurang mampu, this post has convinced me to rethinking it again,,
boleh saya copy gak untuk milis angkatan?
alifia : hm, karena kita dibohongi negara yang berkata pendidikan adalah tanggung jawab orang tua. Dia lempar batu sembunyi tangan.
atiek : saya khawatir sudah membuat orang salah persepsi karena menganggap sekolah kejuruan kurang bagus dan seharusnya semua anak masuk SMA. Buat saya sekolah kejuruan pun baik, terampil itu baik. Yang mengganggu saya adalah stereotyping bahwa status sosial, jender, agama, suku, menjadi penentu pantas atau tidak pantas, tepat atau tidak tepat untuk memilih sekolah.
Menurut saya, berpikir bahwa sekolah teknik "terlalu laki-laki" belajar sastra "terlalu perempuan" dan SMK "untuk anak-anak kurang mampu" adalah dangkal, dan tidak sejalan dengan pasal 31 UUD itu.
Silakan saja kalau mau di-copy asal disebutkan sumbernya.
Thanks.
Setuju Bu Tia. Saya suka tulisan ini.
Post a Comment