n
Kemarin, Bu Andin baru mengundang anak-anak dan orang tua murid di kelasnya untuk membicarakan UASBN yang akan datang. Setelah pertemuan selesai, saya menghampiri beberapa anak dan mengobrol dengan mereka. Adinda dan Dhimas mulai bercerita tentang nilai-nilai mereka yang 'good enough', ' quite good', dan ' i have to work harder on it'. Senang melihat mereka makin terampil memetakan kekuatan dan strateginya untuk menjadi lebih baik.
Pertanyaan berikutnya, UASBN jadi atau tidak sih, tahun depan? Sejujurnya, untuk alasan keamanan dan praktis, saya masih berharap UASBN ada. Keribetan prosedur birokrasi membuat saya lebih cemas lagi kalau ujian yang ditetapkan adalah ujian sekolah. Itu kabar buruk untuk sekolah-sekolah baru macam sekolah kami.
Oh, saya masih berpikir bahwa ujian bukanlah maha dari segala tujuan hidup. Proses belajar memang lebih dari sekedar nilai ujian, dan lama kelamaan makin saya sadari, membuat dan mengevaluasi proses belajar yang bermakna itu tidak segampang menghapuskan ujian. Kecuali kita bisa membuat saringan ekstra ketat untuk memilih hanya guru-guru berkualitas sangat baik, ya... Hanya merekalah yang bisa membuat proses belajar dan evaluasi proses belajar yang bermakna untuk tumbuh kembang anak-anaknya. Sisanya, saya bukan sang pemimpi.
Berhembusnya isu ada atau tidak adanya ujian nasional (lagi) membuat saya jadi iseng berpikir. Ibu dari Saras dan Adinda bercerita tentang ICAS, semacam tes pemetaan kemampuan matematika, ilmu pengetahuan alam, dan Bahasa Inggris untuk sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum Australia (Tolong saya dikoreksi kalau salah). Tes pemetaan ini berlaku untuk wilayah Asia Pasifik (kalau saya tidak salah lagi), dan mengingatkan saya tentang tujuan awal ujian nasional; untuk memetakan kualitas pendidikan (atau nilai ujian saja?) di Indonesia.
Peserta ICAS akan mengikuti tes terstandar dan hasilnya berupa kata sertifikat yang menunjukkan apakah nilai mereka dibawah rata-rata, di atas rata-rata, atau luar biasa. Selain itu mereka akan bisa melihat perkembangan kemampuan mereka dari tahun ke tahun. Istilah yang digunakan adalah Participant, Distinction, dan Merit, bukan lulus atau tidak lulus. Anak-anak akan melihat sendiri di mana posisi mereka dalam peta kompetensi anak-anak yang belajar dengan kurikulum yang sama Se-Asia Tenggara.
Saya jadi mikir iseng, mengapa Ujian Nasional tidak menggunakan cara yang sama saja? Selama ini anak-anak jadi objek yang harus memenuhi standar nilai 5,0 atau kurang (atau lebih). Tak ada yang peduli selama ini mereka beneran belajar, atau cuma numpang ngobrol dan tidur di sekolah karena gurunya sering tidak ada.
Saya suka cara ujian ala ICAS itu. Beritahu saja semua siswa dan para pengguna hasil ujian (sekolah, universitas, dll) dan biarkan mereka menentukan hasil macam apa yang ingin mereka capai. Biarkan semua siswa jadi subjek yang bisa menentukan target mereka sendiri (harusnya anak SMP dan SMA bisa dong, anak-anak di SD kami saja bisa kok...)
Lagipula, setelah sekian tahun ujian nasional, maka mestinya Pemerintah sudah punya pemetaan hasil ujian itu. Pakai saja. Taruhlah sekarang kita buat kategorinya, kalau nilaimu 0- 3,0 kamu dianggap sebagai Pernah Ikut Ujian, kalau nilaimu 3,0 - 5,0 kamu dianggap Di bawah Rata-Rata, kalau nilaimu 5,0 - 6,0 kamu dianggap Pas Pasan Saja, kalau nilaimu 7,0 - 8,0 predikatmu adalah Lumayan Juga, kalau nilaimu diatas 8,0 maka kamu adalah Hebat Sekali
Tentu tiap pelajaran bisa beda-beda, tergantung hasil pemetaan.
Biarkan siswa menentukan sendiri berapa nilai yang menjadi target mereka. Biarkan mereka belajar menentukan dengan mempelajari kemampuan diri sendiri, kebutuhan mereka, dan strategi mereka memperbaiki nilai. Saya dulu begitu. Karena sudah tahu mau masuk fakultas apa, saya cari tahu passing grade-nya berapa. Saya kerja mati-matian untuk tembus passing grade itu karena saya setengah mati ingin kuliah di situ. Teman saya yang malas bersaing misalnya, dia akan pilih fakultas yang passing gradenya lebih rendah karena kurang peminat. Ini membuat kami lebih termotivasi untuk banting tulang mendapat hasil yang cukup baik.
Para pengguna hasil tes juga bisa memanfaatkan cara yang sama. Tentukan saja hasil yang anda inginkan. Seandainya saya sebuah SMA misalnya, saya akan minta nilai Bahasa Indonesia dengan kateggori Hebat Sekali, nilai matematika dengan kategori "Lumayan Juga" dan IPA dengan kategori "Lumayan Juga" untuk pendaftar yang masuk.
Hasil seperti ini, lebih student centered, bukan? Anak-anak tidak harus mesti jago IPA dan Matematika untuk bisa lulus. Jika memang lebih baik dalam Ilmu Sosial, maka mereka harus dapat Hebat Sekali dalam ujian Ilmu Sosial. Jangan bilang jago, kalau tidak sampai kategori itu.
Menurut saya sih, cara seperti ini akan membuat anak-anak lebih termotivasi untuk bekerja keras menghadapi ujian. Mereka akan merasa hasilnya bermanfaat, bukan sekedar mengatasi ketakutan tidak lulus saja. Mereka juga jadi belajar menentukan target yang realistis.
Bagaimana?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Saya malah baru tahun ini mau ikutan UASBN. Udah mana bingung, dan deg-deg-gan. Sekarang tambah bingung lagi, dan tambah deg-deg-gan.
gak tau nyambung ato enggak dengan tulisan buti, saya rasa kata 'ujian' jadi nightmare buat anak sekolah dan ortunya hari ini. bisa jadi karna para guru juga memberi aura bgitu. padahal, kalo hari-hari mreka dapet bimbingan yang baik, belajar apapun dan ditanya (diuji) kapanpun, rasanya gak masalah untuk menceritakan kembali. sama halnya dengan ortu yang nanya anaknya 'hari ini blajar apa', bukannya itu bisa jadi suatu bentuk ujian juga? saya stuju kalo guru sbagai pengajar sangat berperan untuk mengubah paradigma 'serem' tentang aneka ujian.
Jadi ingat sekolah teman saya yang menyebut 'ujian' dengan 'waktunya soal-soal gampang'. :-)
Post a Comment