Sunday, April 12, 2009
Berenang Melawan Arus
Membuat keputusan atas beberapa pilihan tidak pernah sederhana. Menjelang ujian, beberapa murid saya dan keluarganya mulai mengerucutkan pilihan dan menimbang-nimbang keputusan.
Bimbang tentu saja, mendengar banyak saran dan masukan dari seluruh penjuru mata angin. Mana yang harus dipilih, mana yang terbaik. Terbaik untuk siapa? Saya, dia, kami, atau mereka?
Beberapa malam lalu saya dan salah satu ibu murid saya saling berkirim sms. Anaknya cukup beruntung punya beberapa pilihan untuk melanjutkan sekolah. Mereka masih bimbang memutuskan, sekolah mana yang terbaik.
Saya tak bisa banyak membantu. Saya tahu, si anak mungkin akan lebih senang di sekolah A. Tapi, saya juga tahu bahwa sekolah B mungkin menawarkan lebih banyak kesempatan saat mereka harus memilih lagi tiga tahun ke depan.
Sang ibu menjawab sms saya, " Jika anak saya memilih A, maka kami pun harus siap melawan arus pendapat umum seperti saat kami memilih SD ini."
Jawabannya membuat saya termangu.
Saya sedang berada di sebuah awal perjalanan melawan arus. Pilihan saya (kami) melawan gelombang besar pandangan umum. Tentu tidak mudah untuk berdiri tegak. Capek rasanya menjelaskan alasan berkali-kali, pun belum tentu dimengerti.
Saya mencoba membayangkan apa yang dirasakan keluarga ini sekarang. Enam tahun lalu berenang melawan arus, dan kini, semoga, mereka sudah bisa tersenyum lega dan bangga. Tak perlu lagi menjelaskan mengapa saya berjalan ke sini dan bukan ke sana seperti kalian semua.
Barangkali saya pun perlu berterima kasih pada pilihan berani keluarga-keluarga yang mengirim anaknya ke sekolah kami. Pilihan mereka juga turut mengubah hidup saya. Menyaksikan anak-anak ini berkembang barangkali serupa dengan akhirnya melihat matahari terbit di puncak gunung. Setelah lelah mendaki, nyaris mati barangkali, berpikir untuk berhenti, dan kemudian semua luluh begitu saja.
Keindahan yang tinggal. Kagum, dan merasa kecil.
Sulit dan beresiko tinggi bukan alasan untuk mencoret sebuah pilihan dari hidup kita. Aneh dan tidak umum juga bukan alasanuntuk berkata tidak. Arus yang deras, jalan yang menanjak, sulit dan repot, itu hanya ujian untuk keteguhan hati, untuk sampai di tujuan.
Let us be the last to smile.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
whoaa... dejavu buTi... itu kata2 terakhir.. kok bisa mirip sama kata2 nyokap gue dulu ya... hihihihihi...
cuma ada tambahan gini ni.. "kalau kamu lelah berada di arus yang deras... panggil mama saja.. mungkin mama bisa merentangkan tali untuk kamu bisa istirahat berpegang tali sampai kamu kuat untuk kembali berenang di arus yang deras.."
whoaaa.. jadi meleleh dulu dengernyaa.. eh.. tepatnya baca ding.. tertulis di surat soalnya.. hihihi...
makasih untuk remindernya ya buTi... :D
wah, ibumu baik sekali...
Post a Comment