Monday, September 14, 2009

Sebuah Kesempatan

Kami punya seorang murid di kelas 3. Al namanya. Al anak yang istimewa, karena dia suka mengingat (dan pandai mengingat) banyak fakta. Tapi Al belum suka menjelaskan banyak hal panjang-panjang dalam tulisan. Seringkali Al masih perlu dibantu menyelesaikan tugas-tugasnya di kelas.

Pak Guru Al kebingungan. Sebagai anak kelas 3, Al dan teman-temannya akan mulai mengikuti minggu ulangan umum. Bagaimana Al bisa duduk selama 90 - 120 menit mengerjakan berlembar-lembar soal, sementara biasanya Al hanya mau mengerjakan satu atau dua lembar saja?

Pak Guru Al dan guru-guru lain berdiskusi panjang tentang ini. Kami berpendapat bahwa tidaklah adil jika sebelum mulai bekerja kami sudah menganggap Al tidak bisa. Tidak adil juga apabila Al dipaksa duduk diam berjam-jam sementara ia belum bisa diam begitu lama. Kami sepakat Al harus mendapat kesempatan, meski kami harus melakukannya satu lawan satu secara lisan. Mengikuti ujian panjang barangkali juga sebuah tantangan besar bagi Al. Maka saya katakan pada Pak Guru Al, tak usah khawatir, dan tak perlu membandingkan hasil ulangan Al dengan teman-temannya. Kita beri saja kesempatan, dan biarkan Al menyelesaikan sebanyak yang ia bisa selesaikan.

Al mendapat kesempatan untuk mengerjakan soal ulangan umumnya di ruangan guru. "Khusus untuk calon pilot!" kata Pak Guru Al menyemangati.

Maka tadi, ketika semua teman-teman Al dan kakak kelas Al duduk di ruang-ruang ujian, Al duduk di ruang guru. Al tidak lupa berdoa dulu.

Pak Guru Al tahu Al tidak suka melihat soal berlembar-lembar. Maka dilepasnya bundelan soal itu, dan disodorkan pada Al satu per-satu. "Selesaikan dulu level satu, nanti kita lanjutkan ke level berikutnya. Cepat ya, nanti keburu game over!"

Setengah jam pertama saya memperhatikan Al bekerja. Al suka berpikir keras-keras, jadi ia akan baca soalnya dan menyebutkan jawabannya keras-keras. Agaknya soal level 1 kurang menarik buat Al. Setengah jam itu lebih banyak ia habiskan untuk bermain remote AC. Sesekali Pak Guru menghampiri untuk menyemangati Al bekerja.

Masuk level 2, saya mulai duduk di samping Al. Saya menduga Al hanya perlu diingatkan untuk tetap di "jalur mengerjakan soal". Al tidak perlu umpan balik tentang jawaban yang benar atau salah. Maka saya hanya duduk di sampingnya, menggumamkan kata "hm", "tulis", atau "teruskan". Kebetulan level 2 lebih menarik. Al mengisi soal-soal isian singkat dengan lancar.

Ketika merasa bahwa menyelesaikan sebuah level ternyata cukup menyenangkan. Al minta tambah terus. 30 menit berikutnya Al sudah menyelesaikan 9 level alias 9 halaman soal. Tidak semua benar, tapi saya berani bertaruh nilai Al cukup baik. Guru-guru lain sampai tersenyum dan menghampiri kami. Semua kagum, Al bisa menjawab dengan baik soal-soal dengan istilah IPA yang agak sulit untuk kelasnya.

Al berhasil selesai sebelum waktunya habis. Dengan bangga ia turun ke bawah dan bermain dengan teman-temannya. Dari jauh, teman Al mengeluh, 'Aduh, soalnya susah..."

Dengan tenang Al menjawab, "Ah tidak, gampang kok!"


Saya tersenyum. Pak Guru Al juga tak kalah senangnya. Siang hari, gantian Pak Guru yang menemani Al mengerjakan soal agama. Al bisa menyelesaikannya dengan baik pula!

Terima kasih ya Al, sudah mengingatkan Bu Tia lagi, betapa menyenangkannya menemani anak-anak belajar hal baru.

2 comments:

Anonymous said...

Betapa menyenangkannya membaca tulisan Bu Tia lagi :)
Nama anaknya sama denganku, heheh.. Tapi aku tidak sehebat dia

enggar said...

Hebat untuk Al dan guru-gurunya. Salut.