Tuesday, May 29, 2007

Satu garis lurus

Saya bermain arisan pertanyaan bersama anak-anak. Minggu-minggu ini adalah minggu “mengulang lagi”. Saya membuat kartu-kartu berisi pertanyaan dan anak-anak memilih lalu mencoba menjawab. Kalau tidak bisa menjawab, mereka bisa “ask a friend”, yang sebenarnya selalu disambut gembira karena semua ingin mencoba menjawab.

Tiba giliran Fia. Fia adalah anak yang sangat pragmatis. Ia bisa menceritakan apa yang ia amati di sekitarnya, bahkan menghubungkannya dengan apa yang kami pelajari di kelas. Ketika kami membicarakan “teori”, biasanya ia memilih duduk diam di pojokan.

Fia mengambil sebuah kartu dengan pertanyaan, “Kapan gerhana matahari terjadi?”

Fia diam sebentar. Lalu dengan perlahan, ia mulai menjawab, “Gerhana matahari terjadi ketika… ketika… matahari….. bu….bulan…. dan bumi berada di …. di….,”

Saya dan teman-teman memandangnya penuh harap. Fia berusaha keras menjawab dengan benar. Mata Fia mulai bersinar lebih terang karena ia hampir…

“…. di satu garis lurus!”

YEEEEEEAAAAAAAA!!!!! Semua bertepuk tangan.

Senyum Fia mengembang dari pipi ke pipi. Ia duduk dengan perasaan bangga luar biasa. Di sisa arisan itu, ia hampir selalu berdiri ingin menjawab pertanyaan teman-temannya.

* Anak-anak sudah melihat tiga klip video yang menjelaskan bagaimana gerhana bisa terjadi. Mereka juga sudah mencoba berputar-putar sampai pusing untuk mengetahui bagaimana bumi, bulan, dan matahari bergerak lalu berada dalam satu garis lurus.

Sunday, May 27, 2007

The Beauty of Imperfection


Sesuatu terjadi minggu lalu. Sesuatu itu membuat saya berpikir bahwa ternyata saya sudah mengembangkan batas-batas toleransi yang mungkin begitu besar dibandingkan orang lain pada umumnya. Saya belum menelusuri lebih jauh alasannya. Dugaan terbesar adalah karena saya berada bersama anak-anak nyaris sepanjang hari. Mereka adalah pusat dunia saya, bahkan ketika saya bersama teman-teman dan orang-orang terdekat saya.

Saya tidak yakin ini benar atau salah. Sesuatu yang berlebihan seringkali justru salah. Dan jelas di sini saya tidak bisa objektif.

Ok, sebelum melantur lebih jauh, satu minggu ini adalah minggu festival seni tahunan sekolah. Temanya Mari Menyelamatkan Bumi. Anak-anak berkumpul setiap pagi untuk menonton penampilan teman-temannya. Hasil karya anak-anak terpajang di semua sisi aula SD. Ada gambar, lukisan, puisi, dan masih banyak lagi. Ini sebagian di antaranya.


Bumi yang terbakar itu karya Dhimas. Bingkai foto dari kertas koran dan gambar-gambar majalah itu buatan Mini. Hutan mungil di bagian depan foto milik Nay, anak TK B.


Saya tahu beberapa anak sudah memiliki keistimewaan untuk menampilkan sesuatu yang tidak lumrah di usia mereka. Maket pabrik ini buatan Lika, kelas 4 SD.



Dalam presentasinya ia menceritakan idenya untuk menanam banyak pohon di sekitar pabrik sehingga polusi udara akan berkurang.
Pekerjaannya sangat rinci. Ia bahkan melapisi bagian-bagian jendela dengan plastik dari sisi dalam sehingga terlihat seperti jendela kaca.


Bagaimanapun tidak semua mengembangkan sisi artistiknya di usia yang sama dan di tingkat yang sama. Lika dan Dhimas mungkin merupakan pengecualian.

Dhiadri lebih pragmatis. Tetapi karyanya adalah salah satu yang membuat saya tercekat karena haru dan kagum. Ia bercerita tentang usia pohon melalui lingkaran-lingkaran dari aneka biji pohon. Ia kumpulkan sendiri biji-bijian itu di jalur hijau Jakarta (yang mana saya baru tahu kalau ada jalur hijau Jakarta). Ia memberi saya banyak pengetahuan baru tentang biji-bijian pohon sehingga saya melupakan tulisan yang tidak rata, keterangan yang ditulis dengan pensil, dan hal-hal teknis kecil. Posternya bercerita pada saya bahwa ia mengerjakan proyeknya dengan kesungguhan hati. I can see it clearly.



Gambar lain yang membuat saya tak kalah kagum adalah karya Zaky, -ya, Zaky yang saya sering ceritakan sejak tahun lalu itu - sudah lama bercerita bahwa ia berencana untuk menggambar sebuah bumi yang sedang sakit. Ini gambarnya.


Secara teknis tidak istimewa. Beberapa yang melihat mungkin akan melewatkan gambar ini begitu saja karena ada benda lain yang lebih artistik dan menarik. Tidak bagi saya. Simbolisasi yang dibuat Zaky tentang gigi bumi yang ompong dan rambut yang terbakar, sama sekali tidak biasa-biasa saja untuk seorang Zaky. Well, siapapun yang membantunya berpikir, ia menggambarnya sendiri. Zaky pantas bangga. Saya menganggumi usahanya. Saya bisa menikmati gambarnya seperti saya menikmati lukisan Saras, atau karya-karya lain di foto-foto sebelumnya.

Festival tahunan kali ini memperlihatkan pada saya bahwa ketidaksempurnaan itu indah. Gambar yang miring kanan kiri, komposisi yang tidak pas, tulisan yang acak-acakan, tidak selalu buruk dan pantas berakhir di tempat sampah. Bagi beberapa anak, ketidaksempurnaan itu adalah seluruh isi hati dan pikiran mereka. Sesuatu yang ingin mereka bagi dengan semua orang dengan bangga. Rasa dan keinginan itu sampai pada saya dengan sempurna.

Ternyata, saya termasuk orang-orang yang beruntung dapat melihat ketidaksempurnaan itu sebagai sesuatu yang indah. Sebagian besar orang melihat gambar-gambar miring, tulisan tidak rata dan komposisi yang tidak tepat sebagai kegagalan dan kesalahan. Orang-orang ini mengelompokkan anak-anak menjadi mereka yang berbakat dan anak-anak yang boleh membuat sesuatu tapi sebaiknya disimpan sendiri saja, tak usah dipamer-pamerkan. Tak akan ada yang tertarik.

Saya beruntung masih bisa tertarik pada hal-hal yang tidak sempurna dan menghargainya sebagai mereka, anak-anak itu sendiri.



PS : Carlo's Mum, you are lucky too. :)

Tuesday, May 15, 2007

Menggetarkan Hati

Masih berbicara tentang bumi, hari ini saya mengajak anak-anak mengobrol tentang gempa bumi. Mulanya saya mendongeng tentang Dewa Gempa. Dulu, di Jepang tinggal seorang Dewa Gempa. Dewa Gempa tidak suka kalau ada rumah. Setiap ada rumah, Dewa Gempa mengentak-entakkan kakinya. Akibatnya semua rumah roboh. Manusia tinggal di dalam gua. Enak tidak ya tinggal di dalam gua?

"Panas Bu, tidak ada jendelanya lagi." Afi berkomentar.

Maka suatu hari, ada seorang pemuda yang ingin membangun rumah. Ia punya akal, dibangunnya sebuah rumah dari bambu. Dewa Gempa mengentak-entakkan kakinya. Rumah bambu tetap berdiri.

Setelah itu kami bicarakan rumah-rumah Jepang yang tampak di film-film kartu.

Mengapa gempa bumi terjadi?
Dewa mengacungkan tangannya, "Karena lempeng-lempeng bumi bergeser!"

Teman-teman belum begitu mengerti apa itu lempeng. Saya mengambil bola untuk bermain sepak bola. Kurang lebih, kerak bumi kita seperti puzzle. Seperti bola ini juga, ada lempeng-lempengnya. Jika semua air laut disedot sampai kering, maka kita bisa melihat lempeng-lempengnya. Kadang-kadang lempeng-lempeng ini bergeser, ke kiri-kanan, atau atas-bawah. Kita bisa merasakan gerakannya sebagai gempa di permukaan tanah.

Kami membaca ensiklopedi tentang gempa dan memeriksa gambar-gambarnya satu persatu. Terbaca oleh kami, "Setelah gempa, sering terjadi kebakaran?" Mengapa ya, kira-kira?

"Mungkin karena listrik korslet bu. Kan bisa saja, tertimpa sesuatu, atau bagaimana. Atau bisa juga karena gas bocor, lalu tidak sengaja kena api. Jadinya kebakaran." Tara menjelaskan.

"Ooo, mungkin juga karena pom bensin rusak, ketimpa mobil?" Bintang menambahkan.

Ya, ya.

Kembali ke lempeng-lempeng tadi, saya menunjukkan sebuah gambar besar berisi peta lempeng bumi. Saya tunjukkan bagaimana Indonesia terletak persis di perbatasan tiga lempeng besar, Lempeng Eurasia, Lempeng Australia, dan Lempeng Filipina. Kami mencoba dengan tiga buah meja yang digeser-geser.

"Ooo, jadi kesimpulannya kalau ada di garis pinggir lempeng itu, lebih sering kena gempa, ya Bu?" kata Sargie.

Betul sekali. Coba kamu lihat, negara apa saja yang bisa sering kena gempa? Anak-anak cepat mengenali bahwa Indoensia, Jepang dan Selandia Baru rawan gempa. Sementara Rusia, Australia, dan Kanada jarang kena gempa.

"Bu, kalau sampai gempanya terasa di tengah-tengah Rusia, berarti negara yang ada di pinggir lempeng nggak usah kita pikirin lagi, kan Bu? Sudah musnah pastinya.." celetuk Gita.

Kami meneruskan obrolan tentang mengukur kekuatan gempa dan seismograf. Medina bingung. "Bu, anggaplah seismograf itu ada di kantor BMG. Kalau kantor BMGnya kena gempa atau tsunami sampai rusak bagaimana?"

Anak-anak saya minta menggunting lempeng-lempeng itu dan menyusunnya kembali seperti puzzle. Kaget juga karena tak ada yang tak bisa menyusun puzzle itu dengan benar. Komentar-komentar datang silih berganti.

"Aku tahu sekarang kenapa Indonesia dan Jepang termasuk benua Asia!"
"Kenapa, Sekar?"
"Lihat ini, Indonesia dan Jepang ada di lempeng bumi yang sama!"

Di meja lain Bintang dan Zaky berdebat. "Ini bukan Madagaskar, Zaky! Ini Sri Lanka, coba deh kalo nggak percaya! Madagaskar itu di sini lho, dekat Afrika!"

"Ibu, ibu... Papua berarti sering gempa dong!"

"Kalau Kalimantan enggak ya? Kita pindah Kalimantan saja, yuk!"

Tiba-tiba saya merinding. Dulu, setahun lalu, ada orangtua yang berkata, "Tenang saja, Bu, kelas ini biasa-biasa saja kok. Tidak ada yang terlalu wah hebatnya. "

Sejujurnya, saya sempat percaya demikian adanya. Saya sempat rindu dengan perdebatan-perdebatan mendekati ilmiah yang sering saya alami bersama kelas yang lalu. Lama-lama saya sadar setiap kelas punya keunikan sendiri-sendiri. Kelas artis saya dua tahun yang lalu memang artistik. Kelas ilmuwan saya tahun lalu memang selalu haus pengetahuan baru. Saya toh tetap menyukai kelas tahun ini yang memiliki kemampuan verbal sangat baik.

Saya terkejut ketika hari ini mereka menerima umpan pancingan saya dengan suka cita, lalu menelusuri setiap sudut-sudutnya dengan penuh ketertarikan.

What a birthday present!

Monday, May 14, 2007

Menggandeng Semua

Mampir di kelas-kelas lain ternyata menyenangkan. Saya jadi punya kesempatan mengevaluasi kembali kegiatan saya di kelas sendiri.

Kemarin saya jadi berpikir tentang tingkat keterlibatan seisi kelas terhadap kegiatan yang saya rencanakan. Begini, saya tidak percaya bahwa anak-anak tidak disiplin, kesulitan memusatkan perhatian, dan tidak bisa diatur. Jika satu atau dua orang sesekali "kehilangan kontak" dengan kelas, saya masih bisa menolerir. Tidak semua anak ada dalam kondisi sempurna untuk berada di kelas. Saya saja tidak selalu bisa begitu.

Saya terganggu kalau setengah jumlah anak mulai gelisah di karpet, atau membuat keributan saat menunggu giliran. Sama terganggunya kalau dalam satu kegiatan semua anak sibuk bertanya -bahkan tentang hal-hal sepele- pada saya atau guru lainnya. Atau, anak-anak asyik mengobrol yang lain-lain kecuali mengerjakan pekerjaannya.

Bukan, itu bukan karena mereka tidak disiplin. Itu karena saya, gurunya, gagal merencanakan dan menyediakan kegiatan yang sesuai dengan minat dan tingkat kemampuan mereka.

Itu tugas saya. Memastikan semua anak, dengan berbagai tingkat kemampuan, terlibat dalam setiap kegiatan sesuai dengan porsinya. Tidak merasa gagal, atau kecil hati. Tidak merasa melakukan hal-hal tidak penting yang membosankan.

Saya sedang belajar melakukannya setiap hari, tetapi sama sekali tidak mudah. Jika harus memimpin kelas, maka yang paling mudah adalah menjaga agar semua anak tetap berada di koridor yang sama. Mengerjakan tugas yang sama, dengan kualitas keluaran yang sama.

Masalahnya anak-anak tak semua sama. Sebagian ingin melaju secepat ia bisa, sementara temannya ingin santai-santai saja menikmati apa yang ada. Ada anak-anak yang bisa menulis sambil merem, sementara ada yang putus asa membedakan huruf b dan d, apalagi membunyikannya.

Dua hal yang sebisa mungkin saya lakukan agar setiap anak terlibat sampai waktu kegiatan habis. Satu, menyediakan beberapa alternatif kegiatan. Jika kamu sudah selesai dengan tugas ini, kamu bisa melakukan hal-hal itu. Dua, saya merancang kegiatan yang memungkinkan setiap anak punya target yang berbeda.

Dua hari belakangan saya cukup puas dengan kegiatan IPS di kelas. Hari Jumat lalu kami melihat peta Jepang dan Indonesia lalu membandingkan apa yang mereka lihat dalam dua peta itu. Tanggapan anak-anak bervariasi. Ada yang bisa mengenali bahwa keduanya adalah negara kepulauan, ada juga yang mengatakan bahwa pulau-pulau di Indonesia letaknya melebar, sementara di Jepang memanjang. Tidak salah juga kan?

Ada anak-anak yang dapat menghubungkan fakta letak negara dengan iklimnya, ada yang tidak. Karena kami berdiskusi, semua anak punya kesempatan untuk mengatakan pendapatnya, atau mendengarkan saja. Setelahnya kami membuat diagram venn untuk membandingkan dua negara itu. Sebagian anak hanya mengulang apa yang kami bicarakan. Mereka yang lebih tertantang mencoba mencari fakta-fakta baru. Tara cepat mengenali bahwa dua-duanya termasuk benua Asia. Teman yang lain juga bertanya apakah dua-duanya "berbagi" Samudera Pasifik yang sama?

Mereka mewarnai dan menggunting peta masing-masing lalu menyusunnya kembali. Ketika mengedarkan pandangan saya baru sadar bahwa semua anak terlibat, baik dengan peta, gunting, lem, atau pensil warna. Dewa mencoba menggunting serapi mungkin karena ingin punya peta yang bagus. Zaky dan Bintang saling membantu saat mereka harus mencari nama-nama kota. Mey berusaha meletakkan warna kuning dan cokelat dalam peta setepat mungkin. Saya melihatnya mengobrol dengan teman sebelahnya untuk membicarakan letak gunung yang ada di " ini yang warna cokelat-cokelat ..".

Kami pun sempat tertawa-tawa karena ada yang mengucapkan Nagoya sebagai Nagagoya, sementara temannya sibuk mencari-cari. Ketemunya Nagasaki.

Anak-anak menolak makan siang. Kami terlambat lima belas menit.

Begitupun hari ini. Saya menempelkan 20 bacaan tentang Jepang di kelas, di selasar, dan di aula. Topiknya aneka rupa, mulai dari sumpit sampai sumo. Saya bekali tiap anak dengan 20 pertanyaan yang harus mereka cari jawabannya sambil keliling sekolah. Mereka belajar melakukan pemindaian dan mencari pokok kalimat. Sesuatu yang cukup advance, sebenarnya. Tenang saja, saya juga memasukkan pertanyaan-pertanyaan mudah.

Satu jam mereka lari-lari, cari-cari, dan tulis-tulis di mana -mana. Saya sempat ke perpustakaan mengambil dua buku, dan saat saya kembali semua masih asyik. Sekar dan Maira tanpa saya duga cukup telaten dan tenang mengumpulkan jawaban satu demi satu . Medina mengecam Sargie yang sibuk teriak-teriak takut kehabisan waktu, "Kapan selesainya kalau kamu kayak gitu."

Semua terlibat, semua capek, semua melakukan sesuatu. Berapapun jumlah jawaban mereka tak lagi masalah buat saya. Mereka benar-benar bekerja keras. Saya terima hasilnya dengan senang hati.

Ini belajar, menurut saya. Tak ada waktu terbuang untuk menunggu atau mengejar-ngejar teman.

Friday, May 11, 2007

Mampir di TK

Tadi pagi saya menemani Ibu Evi di TK B. Anak-anak TK itu sedang asyik mewarnai. Mereka juga diminta mencari hal-hal yang janggal dalam gambar taman bermain itu. Ada anak yang pakai kaus kaki berbeda, bangku yang terbalik, ayunan tanpa tali, dan sebagainya.

Lucu juga. Tadinya saya pikir itu agak sulit untuk mereka, ternyata tidak. Saya sempat berbisik pada Ibu Evi, bahwa mungkin saja anak-anak kesulitan menemukan 10 hal yang janggal, sebab satu diantaranya adalah gambar bendera Amerika Serikat yang terbalik.

Saya tidak berharap bahwa ada anak-anak TK yang cukup awas dengan warna dan bentuk bendera dari berbagai negara. Saya terlalu merendahkan, ternyata ada lho yang bisa!

Iseng saya bertanya, mengapa kamu melingkari gambar bendera ini? Menurutmu seharusnya bagaimana?

"Ini salah bu benderanya, harusnya merah putih."


Hihihihi.

Wednesday, May 09, 2007

Foreign Language

The English Teacher sedang membiasakan kelas 2 untuk hanya Berbahasa Inggris selama pelajaran Bahasa Inggris. No Bahasa Indonesia, please!

The English Teacher : It is good for you if you can speak English well. It is easier for you to travel anywhere you want...
Bintang : But not in France. People don't speak English there, they want us to speak French.

.....

Saturday, May 05, 2007

Berbagi Itu Menyenangkan

Saya selalu menikmati saat presentasi bersama anak-anak. Hari ini, anak-anak kelas 2 presentasi tentang Indonesia. Topiknya? Bebas. Saya hanya mengundi nama pulau supaya anak-anak tidak konsentrasi cerita tentang pulau Jawa Bali melulu. Supaya mereka tahu Kalimantan dan Sulawesi juga menyimpan cerita-cerita seru.

Hasilnya? Hari ini anak-anak riang gembira presentasi sampai lupa makan siang. Lebih seru lagi karena Dewa membawa serta the real ayam pop yang jadi bahan presentasinya. Fia juga membawa sepiring cenil. Anak-anak memelototi si cenil dengan penuh rasa ingin tahu.

"Ok, kita mulai dari Sumatera. Siapa yang presentasinya tentang Sumatera?"
Tiga tangan mengacung.
Anak-anak lain protes, "Yaaaa... Papua masih jauh. Aku kan pengen duluan."

Memang biasanya saya tak perlu mengacak nomor absen segala. Tinggal bertanya, "Siapa mau mulai?" Maka saya akan dapat setidaknya lima kandidat.

Pertengkaran tentang siapa yang maju lebih dulu itu kini menulari Rai. Ia tak suka jadi pusat perhatian, seringnya dia 'menghilang' di saat-saat presentasi. Hari ini ia berebut dengan Bintang.

"Aku duluan ya," Bintang menandai teritori.
"Aku yang duluan," Rai protes.
"Aku!"
"AKU!"
Saya menengahi, "Suit!"

"Kertas-gunting-batu!"
"Yeeee... aku duluan!", Bintang senang.

Anak-anak bercerita banyak. Mulai dari Tari Serampang Duabelas, hingga rumah pohon di Papua. Mereka berdebat tentang bedanya clurit, golok, dan keris. Mereka mendeskripsikan gudeg itu apa. Kami membandingkan cara menguburkan jenazah dari berbagai agama dan adat istiadat.

Tara sempat tertawa terheran-heran mendengar orang menguburkan jenazah di Tanatoraja dengan menyuruh si jenazah jalan sendiri. Anak-anak juga berusaha mencari logika mengapa rumah tongkonan tak boleh dimiliki perorangan. Mungkin Bu, kata mereka, supaya tidak ketakutan kalau ada hantu. Hihihihi....

Sebagai moderator, saya sering terpaksa menghentikan sesi tanya jawab supaya semua orang kebagian giliran bercerita.

Sekar bercerita tentang rumah pohon di Papua. Ia gambarkan bagaimana rumah itu dibangun di atas pohon tinggi dan menggunakan tangga sebagai pintu keluar masuk.

"Di pohon apa, rumah itu dibuat?" Tara ingin tahu.
"Aku juga tidak tahu. Tapi yang jelas pohonnya harus tinggi," Sekar menjelaskan.
"Aku tahu di pohon apa!" Dewa berbisik pada saya. "Pohon Kuat," katanya.

"Mana yang lebih dulu dibuat, rumahnya atau tangganya?"
"Rumahnya."
"Lalu bagaimana bisa naik ke atas membawa bahan-bahannya kalau tidak ada tangga? Kan susah."
"Hm, mungkin tidak susah untuk orang Papua, tapi susah buat kita karena kita tidak biasa manjat pohon?"


Bagaimana Fia tidak bilang, "Hari ini asyik ya Bu."

Ya, berbagi memang menyenangkan.

Thursday, May 03, 2007

Pemanasan Global

Medina bertanya, "Betul ya Bu, pemanasan global itu karena banyak gedung terbuat dari kaca?"

Kami pun menghabiskan waktu diskusi pagi untuk melihat buku dan membahas bagaimana terjadinya efek rumah kaca (bukan gedung dari kaca). Kami membahas bagaimana suhu bumi bisa meningkat dan menyebabkan es di kutub mulai mencair. Apa yang akan terjadi kalau es di kutub mencair?

Kami bermain peran dengan karpet. Kami berpura-pura permukaan air (yang mana adalah lantai) naik dan mulai menutupi karpet. Anak-anak berjejal-jejal di tengah karpet, mulai tertawa-tawa, lalu menganggapnya tidak lucu lagi. Ya memang tidak lucu lagi membayangkan kita harus berenang sepanjang hari sekitar lima puluh tahun lagi.

Sekar berkomentar, "Bu, kalau kita ngomongin pemanasan global terus aku deg-degan."

Setelah membicarakan hal-hal sederhana untuk berpartisipasi menyanyangi bumi, anak-anak mulai bawel.

"Meskipun kita mendaur ulang, kita tetap pakai AC. Kita tetap saja melubangi ozon," Sargie protes.

"Kalau nggak panas-panas amat, kita pasang kipas angin saja Bu, tidak usah pakai AC," Mey menengahi.

Jadi sekarang kita tidak boleh pasang AC di kelas?

Ibu Tara juga mengeluh kalau sekarang anaknya super teliti mematikan lampu. Setiap tak ada orang di dalam ruangan, lampu ia matikan.

Festival Seni Tahunan Sekolah kami juga mengangkat tema lingkungan hidup, "Save Our Earth." Anak-anak mulai membicarakan rencana-rencana mereka. Ada yang mau mementaskan drama, ada yang mau membuat lukisan hutan terbakar, ada juga yang berpikir membuat karikatur bumi yang sakit panas.

Bintang menghampiri saya dengan kertas coret-coretan berisi daftar nama teman-temannya dan barang-barang entah apa. Dengan pensil diketuk-ketukkan ke gigi, ia bertanya pada saya dengan serius, "Ibu, menyelotip mainan yang rusak itu termasuk daur ulang bukan?"

"Iya."

"Kalau memakai bagian-bagian yang masih bisa dipakai dari mainan rusak, itu juga daur ulang?"

"Betul."

"Ok, aku dan teman-teman mau membuat hasil karya dari mainan-mainan kami yang sudah rusak. "


Teman kecil Bintang bertanya, "Bu, kalau aku menggambar bumi yang diserang alien boleh, tidak?"


Banyak versi penyelamatan bumi, memang.