Masih berbicara tentang bumi, hari ini saya mengajak anak-anak mengobrol tentang gempa bumi. Mulanya saya mendongeng tentang Dewa Gempa. Dulu, di Jepang tinggal seorang Dewa Gempa. Dewa Gempa tidak suka kalau ada rumah. Setiap ada rumah, Dewa Gempa mengentak-entakkan kakinya. Akibatnya semua rumah roboh. Manusia tinggal di dalam gua. Enak tidak ya tinggal di dalam gua?
"Panas Bu, tidak ada jendelanya lagi." Afi berkomentar.
Maka suatu hari, ada seorang pemuda yang ingin membangun rumah. Ia punya akal, dibangunnya sebuah rumah dari bambu. Dewa Gempa mengentak-entakkan kakinya. Rumah bambu tetap berdiri.
Setelah itu kami bicarakan rumah-rumah Jepang yang tampak di film-film kartu.
Mengapa gempa bumi terjadi?
Dewa mengacungkan tangannya, "Karena lempeng-lempeng bumi bergeser!"
Teman-teman belum begitu mengerti apa itu lempeng. Saya mengambil bola untuk bermain sepak bola. Kurang lebih, kerak bumi kita seperti puzzle. Seperti bola ini juga, ada lempeng-lempengnya. Jika semua air laut disedot sampai kering, maka kita bisa melihat lempeng-lempengnya. Kadang-kadang lempeng-lempeng ini bergeser, ke kiri-kanan, atau atas-bawah. Kita bisa merasakan gerakannya sebagai gempa di permukaan tanah.
Kami membaca ensiklopedi tentang gempa dan memeriksa gambar-gambarnya satu persatu. Terbaca oleh kami, "Setelah gempa, sering terjadi kebakaran?" Mengapa ya, kira-kira?
"Mungkin karena listrik korslet bu. Kan bisa saja, tertimpa sesuatu, atau bagaimana. Atau bisa juga karena gas bocor, lalu tidak sengaja kena api. Jadinya kebakaran." Tara menjelaskan.
"Ooo, mungkin juga karena pom bensin rusak, ketimpa mobil?" Bintang menambahkan.
Ya, ya.
Kembali ke lempeng-lempeng tadi, saya menunjukkan sebuah gambar besar berisi peta lempeng bumi. Saya tunjukkan bagaimana Indonesia terletak persis di perbatasan tiga lempeng besar, Lempeng Eurasia, Lempeng Australia, dan Lempeng Filipina. Kami mencoba dengan tiga buah meja yang digeser-geser.
"Ooo, jadi kesimpulannya kalau ada di garis pinggir lempeng itu, lebih sering kena gempa, ya Bu?" kata Sargie.
Betul sekali. Coba kamu lihat, negara apa saja yang bisa sering kena gempa? Anak-anak cepat mengenali bahwa Indoensia, Jepang dan Selandia Baru rawan gempa. Sementara Rusia, Australia, dan Kanada jarang kena gempa.
"Bu, kalau sampai gempanya terasa di tengah-tengah Rusia, berarti negara yang ada di pinggir lempeng nggak usah kita pikirin lagi, kan Bu? Sudah musnah pastinya.." celetuk Gita.
Kami meneruskan obrolan tentang mengukur kekuatan gempa dan seismograf. Medina bingung. "Bu, anggaplah seismograf itu ada di kantor BMG. Kalau kantor BMGnya kena gempa atau tsunami sampai rusak bagaimana?"
Anak-anak saya minta menggunting lempeng-lempeng itu dan menyusunnya kembali seperti puzzle. Kaget juga karena tak ada yang tak bisa menyusun puzzle itu dengan benar. Komentar-komentar datang silih berganti.
"Aku tahu sekarang kenapa Indonesia dan Jepang termasuk benua Asia!"
"Kenapa, Sekar?"
"Lihat ini, Indonesia dan Jepang ada di lempeng bumi yang sama!"
Di meja lain Bintang dan Zaky berdebat. "Ini bukan Madagaskar, Zaky! Ini Sri Lanka, coba deh kalo nggak percaya! Madagaskar itu di sini lho, dekat Afrika!"
"Ibu, ibu... Papua berarti sering gempa dong!"
"Kalau Kalimantan enggak ya? Kita pindah Kalimantan saja, yuk!"
Tiba-tiba saya merinding. Dulu, setahun lalu, ada orangtua yang berkata, "Tenang saja, Bu, kelas ini biasa-biasa saja kok. Tidak ada yang terlalu wah hebatnya. "
Sejujurnya, saya sempat percaya demikian adanya. Saya sempat rindu dengan perdebatan-perdebatan mendekati ilmiah yang sering saya alami bersama kelas yang lalu. Lama-lama saya sadar setiap kelas punya keunikan sendiri-sendiri. Kelas artis saya dua tahun yang lalu memang artistik. Kelas ilmuwan saya tahun lalu memang selalu haus pengetahuan baru. Saya toh tetap menyukai kelas tahun ini yang memiliki kemampuan verbal sangat baik.
Saya terkejut ketika hari ini mereka menerima umpan pancingan saya dengan suka cita, lalu menelusuri setiap sudut-sudutnya dengan penuh ketertarikan.
What a birthday present!