Tuesday, February 28, 2006

Konsekuensi

Setiap hari kita harus mengambil keputusan. Keputusan-keputusan besar yang akan berpengaruh pada masa depan kita, atau keputusan-keputusan kecil yang tidak terelakkan setiap kita melangkahkan kaki.

Apapun keputusan itu, tentu memberi dampak bagi kita. Sebagian dari keputusan itu memberi dampak bagi orang lain. Kalau kita memutuskan untuk nyelonong melewati orang yang sedang mengepel, mungkin kita akan sampai lebih cepat di tujuan, tetapi orang yang sedang mengepel pasti jengkel.

Yang pasti, untuk mengambil keputusan yang benar mau tidak mau kita mesti tahu konsekuensi atau dampak dari keputusan itu.


Mengajarkan, atau memberi pengalaman, tentang konsekuensi pada anak-anak tidak semudah membalikkan tangan. Mengancam atau menjanjikan hadiah itu lebih mudah. Tetapi ancaman, hukuman, dan hadiah adalah konsekuensi semu dari tingkah laku yang ingin dibentuk dari anak-anak itu.

Meskipun kerapkali saya masih terjebak pada metode reward and punishment itu, tahun ini saya berusaha keras untuk mengurangi berbagai bentuk ancaman, stiker, bintang, dan lain-lain untuk membentuk tingkah laku tertentu. Konsekuensi dari pilihan saya adalah punya mulut yang lebih besar karena harus berulang kali menjelaskan alasan untuk anjuran atau larangan ini dan itu. Konsekuensi lainnya adalah saya harus sering bersitegang dengan mereka gara-gara berebut kekuasaan tentang siapa yang berhak menentukan apa dalam keseharian kami.

Melelahkan memang, tapi setelah setengah tahun berlalu saya bisa melihat hasilnya. Seperti bola yang menggelinding, anak-anak menjalankan rutinitas dan peraturan di kelas tanpa banyak diperintah lagi. Sekarang anak-anak sudah mulai mengerti bahwa semakin sembarangan mereka bertingkah, makin sering mereka kehilangan barang, atau merusakkan ini dan itu sehingga makin sedikit privileges yang mereka dapat; makin sering ditegur; makin sering bertengkar, dan lain-lain. Di saat yang bersamaan anak-anak mulai menikmati rasa berhasil, rasa bangga, rasa senang, dan rasa puas yang muncul kalau mereka melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, atau just play by the rules jika menyangkut keamanan atau manajemen waktu.

Tetapi, tetap saja ada anak-anak yang belajar lebih lama, atau memang matang di hari, bulan, dan tahun yang berbeda dari teman-teman sebayanya.

Saya sudah putus asa melihat Agung hampir tidak pernah mengembalikan tugas-tugas yang saya bawakan ke rumah. Celakanya semua tugas yang saya bawakan ke rumah adalah tugas-tugas yang memiliki kegiatan lanjutan di dalam kelas pada minggu berikutnya. Ohoho, saya tidak pernah memberikan PR seperti jaman baheula; ada tiga pelajaran berarti tiga PR berbeda dari tiga buku ajar yang beda-beda juga. PR apa itu...

Taruhlah dari sepuluh tugas yang saya berikan, Agung hanya mengembalikan dua, itupun tidak lengkap. Ia sudah seringkali tidak bisa ikut kegiatan lanjutan karena memang tidak ada bahannya! Sebenarnya saya sengaja juga agar ia tahu konsekuensi dari kelakuannya.

Beberapa hari yang lalu saya menjelaskan pada anak-anak bagaimana saya menghitung nilai yang tertulis di rapor mereka. Saya juga jelaskan bagaimana saya dan guru kelas 3 menilai kesiapan mereka untuk pindah ke kelas berikutnya. Dengan sederhana saya jelaskan bahwa jika mereka tidak menguasai hal-hal mendasar yang saya harapkan di kelas 2 ini, mereka akan kesulitan di kelas berikutnya. Itu mengapa kadangkala kami memutuskan bahwa anak-anak tertentu harus mengulang di kelas yang sama.
Saya jelaskan bagaimana saya menghargai usaha dan kerja keras lebih dari hasil yang sempurna. Kalau kamu asal-asalan, konsekuensinya hasilnya tidak akan bagus. Saya tidak akan tahu kamu benar-benar bisa atau tidak. Kalau kamu tidak mendengarkan, konsekuensinya kamu tidak tahu ini dan itu lalu jadi ketinggalan. Padahal harusnya kamu bisa.

Saya juga tidak ingat persis bagaimana saya menjelaskan dan memberi perumpamaan yang sederhana.

Amazingly, this explanation touch their heart. Agung berusaha keras untuk melakukan segala sesuatunya sebaik mungkin. Ia bahkan memberi penjelasan rinci ketika saya bertanya kemana map PRnya. Ketika saya duduk di kelompoknya dan membantu salah satu temannya, saya melihat pekerjaan Agung. Saya puji bahwa ia sudah selesai hampir setengahnya. Agung melihat pada saya dan menjawab.

"Of course. Agung kan tidak ngobrol dari tadi. Nulis terus. Makanya sudah mau selesai. Dan Agung tidak perlu dibantu."

Selebihnya ia kembali tenggelam dalam kegiatan tulis menulisnya.
Saya tidak mengganggunya.

Monday, February 27, 2006

Dua Jam Tanpa Listrik

Di minggu-minggu terakhir kuartal ini, kami sedang membicarakan energi dan listrik. Sebelum kami bicara tentang menghemat energi, saya minta anak-anak melakukan percobaan sendiri di rumah. Percobaan dua jam tanpa listrik. Intinya anak-anak dilarang memakai benda apapun yang membutuhkan listrik selama dua jam. Kalau bisa mematikan listrik lebih bagus, tetapi tentu saya tidak ingin melarang ikan-ikan di akuarium bernafas dengan bebas, atau membuat busuk daging simpanan ibu di kulkas.

Sebagian anak mulai mengumpulkan tugasnya pagi ini dengan keluh kesah.

"Aku tidak bisa apa-apa bu, cuma tidur-tiduran saja. Aku tidak bisa tidur tanpa AC."
"It was boring. I cannot watch TV, i just walk here and there like a duck."
"Seru juga bu, hehehehe. Aku membaca dengan lilin. Tapi tidak kelihatan jelas."

Diskusi pagi kami masih berisi tentang tugas ini. Saya tertawa mendengar cerita Dhiadri

'Tidak Bu, orang di rumahku tidak terganggu. Hanya mbak-ku heran. Kakak kenapa lampunya dimatikan? Aku sedang buat PR. Buat PR kok gelap-gelapan? Aku tidak bisa jawab, Bu..."

Ayah, Ibu, Mbak, semuanya... maafkan keisengan Bu Tia ya. Tapi tugas ini menarik sekali lho... Anak-anak jadi tahu (dan bisa membayangkan) seperti apa hidup tanpa listrik di tahun 2006.

Friday, February 24, 2006

Menjalankan Tugas

Hari ini saya sungguh merasa tidak enak badan. Ini gara-gara kemarin terburu nafsu mau berenang jarak jauh dan kurang pemanasan. Akibatnya otot-otot lengan saya keriting. Saya hampir tidak bisa berangkat ke sekolah. Setelah mengirim sms pada Bu Novi bahwa saya akan datang lebih siang, saya berangkat juga.

Ternyata saya sampai di kelas lebih pagi dari yang saya rencanakan. 8.15. Tepat saat pelajaran matematika baru akan dimulai. Padahal saya berencana datang setelah pelajaran matematika selesai.

Saya membuka pintu kelas dan langsung disambut ucapan Adinda,

"Ha! Bu Tia! Aku sudah tulis di buku absenku kalau Bu Tia terlambat!" Adinda menunjukkan map absensi yang menjadi tugasnya minggu ini.

Ampun deh, kalau anak-anakku sedang belajar 'bertanggung jawab' ... tidak ada alasan yang bisa diterima.

Thursday, February 23, 2006

Like Father Like Son

Pagi ini ada seseorang yang mengintip di jendela kelas sebelum kelas kami mulai. Gerak tubuhnya membuat saya berpikir bahwa ia mencari seseorang atau sesuatu. Saya menghampirinya.

Setelah saling mengucap salam dan bertukar kalimat, saya baru menyadari bahwa ia adalah ayah dari salah satu murid saya. Saya katakan itu padanya. Si Ayah tertawa, sekarang saya tidak berkumis lagi, jadi barangkali ibu tidak kenal saya. Si Ayah hanya ingin mampir dan pamit pada anaknya.

Pertemuan itu hanya berjalan beberapa menit. Tapi bagi saya amat berkesan. Sekarang saya tahu darimana Dhimas mendapatkan gerak tubuh dan ekspresi yang khas. Dari ayahnya. Beberapa menit itu juga membuat saya mendapatkan gambaran utuh tentang hubungan Dhimas dan ayahnya.

Mereka berdua saling mengagumi. Ayah bangga pada Dhimas yang sangat kreatif dan tanpa perlu dipertanyakan lagi, cerdas. Bagi Dhimas, ayahnya adalah seseorang yang pantas dipuja. Ia tertarik pada setiap rincian pekerjaan ayahnya apalagi jika kebetulan bersinggungan dengan pelajaran di kelas. Saya bisa merasakan bahwa pagi itu mereka sangat menikmati kesempatan untuk berdua saja sepanjang perjalanan ke sekolah.

They are wonderful.

Saturday, February 18, 2006

Bola

Sekolah di tengah kota memang seringkali tidak enak. Lahan begitu mahalnya sehingga lapangan yang luas adalah kemewahan yang sulit didapat. Padahal sebenarnya lapangan kan hak asasi anak-anak ya?

Kemarin pagi, ketika saya masih bekerja di depan komputer kelas, beberapa murid kelas saya bermain bola di lapangan kecil depan kelas saya. Lapangan itu bersebelahan dengan kelas kelompok bermain. Tanpa sengaja si bola menimpa gelas-gelas cat yang sedang disiapkan para guru. Semua cat tumpah berantakan. Entah bagaimana pula, Agung sang pelaku mengendap-endap masuk ke kelas dan langsung mengeluarkan alat permainan yang lain.

Begitu saya sampai di Tempat Kejadian Perkara, laporan bahwa si bola sering nyasar ke kelas Kelompok Bermain dan menimpa kepala bu guru, mengagetkan adik kecil, atau bahkan menyenggol para babysitter langsung menghujani saya. Saya cuma bisa minta maaf dan meminta Agung minta maaf, lalu menyuruh Agung mengepel sisa-sisa cat sebisanya.

Begitu bel berbunyi, I called for a class meeting. Saya ceritakan kejadian tadi pagi dan saya katakan betapa kecewanya saya dengan tindakan melarikan diri yang dilakukan Agung. Saya memperjelas maksud dan keinginan saya pada mereka

"Bu Tia tidak akan melarang kalian main bola atau menyuruh kalian lebih hati-hati main bola. Bu Tia tidak akan memintamu untuk menendang bola lebih pelan atau tidak menendang bola ke arah kelas playgroup sama sekali. Bu Tia tahu betul betapa menyenangkannya main bola dan betapa menyenangkannya menendang bola kuat-kuat. Bu Tia tahu kalian butuh bermain di luar. Sayangnya tempat yang kita punya tidak besar dan kita harus berbagi dengan banyak orang.

Bu Tia hanya minta satu hal saja. Kalau sampai bolamu jatuh di tempat yang tidak semestinya, menyakiti orang lain, atau merusak sesuatu, tolong datanglah ke tempat itu. Mintalah maaf. Tawarkan diri untuk memperbaiki kerusakan atau apapun itu. Bu Tia yakin tidak akan ada yang marah padamu, karena kamu sudah bersikap seperti ksatria. Bu Tia juga yakin kamu akan merasa enak dan bangga pada dirimu sendiri.

Jangan pernah pura-pura tidak tahu apalagi melarikan diri. Kemarin kita sudah belajar tentang apa itu kejujuran. Kalian sendiri yang bilang bahwa jujur itu berarti tidak melarikan diri dari masalah. Bagaimana? Setuju?"



Wednesday, February 15, 2006

Aku Mau Jadi Temannya

Saya sedih berhari-hari. Sebabnya Lenin, anjing kesayangan saya dan teman-teman, sakit sampai harus dirawat di rumah sakit.

Lenin, juga anjing yang disukai murid-murid di kelas saya. Kami sempat browsing tentang jenis-jenis anjing dan jadi senang mengobrol soal anjing. Kadang kala Lenin datang dan anak-anak senang mengelus-ngelus bulunya yang halus.

Saya mengabarkan berita sedih itu pada beberapa anak. Mereka bertanya apa sakitnya, mengapa Lenin bisa sakit dan kapan Lenin boleh pulang dari rumah sakit.

Riri yang sangat ingin memelihara anjing menambahkan, "Bu, walaupun besar dan mukanya seram, menurutku Lenin itu lucu. Kalau aku anjing, aku mau jadi temannya. "

Cepat sembuh Lenin, banyak yang mau main sama kamu...

Friday, February 10, 2006

Kalimat Paling Lucu Di Dunia

Seminggu yang lalu saya agak terkejut mendapati beberapa murid saya tidak bisa membedakan kata dan kalimat. Padahal kami sedang belajar membedakan kata kerja dan kata benda. Kami juga sedang menumbuhkan kebiasaan menggunakan huruf besar di awal kalimat dan tanda baca di akhir kalimat. Bagaimana bisa begitu kalau membedakan kata dan kalimat tidak bisa?

Hari ini saya memanggil mereka berkumpul di karpet.
“Hari ini kita akan mencoba membuat kalimat yang paling lucu di dunia. Kalian akan membuat kelompok dengan tiga orang. Satu anak menyebutkan kata benda, satu anak menyebutkan kata kerja, dan satu orang lagi membuat kalimat dari dua kata itu. Kalimatmu harus lucu!
Saya dan Bu Novi memberi contoh dengan sama-sama menyebutkan kata PISANG dan MENYAPU. Lalu kami membuat kalimat

PISANG DAN TEMAN-TEMAN SEDANG SIBUK MENYAPU KELAS.

Anak-anak tertawa. Sepanjang pagi mereka terkikik-kikik geli dan histeris menciptakan kalimat-kalimat tidak masuk akal seperti

Monas sedang berjalan-jalan keliling kota.
Jendela sibuk menyetir taksi.
Ikan bermain basket di Afrika.
Aku melihat kue ulang tahun sedang mandi di kamar mandiku.
Tembok mengajak atap memancing.

Di akhir pagi tadi, semua sudah bisa membedakan kata dan kalimat. Semua anak saling mengingatkan kapan harus memakai huruf besar dan tanda titik.

“Lagi, bu! Lagi, bu! Aku bisa membuat kalimat yang lebih lucu!”.

Monday, February 06, 2006

Berdebar

Akhirnya saya memberanikan diri memulai program membawa kata tahun ini. giliran pertama adalah giliran Agung. Ia membawa kata berdebar.

Siapa yang tahu arti kata berdebar?
Salah satu aturan main program membawa kata adalan kata yang dibawa harus merupakan kata yang baru bagi semua anak.

Itu bu, berdebar itu ada di mana-mana, dilla menjawab sambil membuat gerakan menebarkan pasir ke mana-mana. Adinda dan Riri memberi jawaban serupa.

Itu tersebar nak, bukan berdebar.

Kami mencari artinya di kamus umum bahasa indonesia.


berdebar – (jantung) berdenyut lebih kencang dari biasanya.
Kami mencoba meletakkannya dalam kalimat seperti ini

Aku berdebar kalau mau naik pentas.
Karena terkejut jantungku jadi berdebar.
Dilla selalu berdebar setiap menunggu pengumuman ‘star of the week’

Lucunya, anak-anak bermain mengendap-endap dan mengagetkan siang harinya. setiap ada yang terkaget-kaget mereka tertawa terpingkal-pingkal. “Hihi… aku membuatmu berdebar ya.”

Ada juga yang sengaja berlari-lari kian kemari lalu menghampiri saya “Ibu, ibu, terlalu banyak berlari membuat jantungku berdebar.”

Ya, hal yang sama tidak selalu memberi akhir yang sama pada tiap-tiap kelas saya.


Friday, February 03, 2006

Merah

Mata Merah

Ketika bangun tidur, mata saya merah sekali. Berkat bantuan obat tetes mata, merahnya sudah hilang dalam dua puluh menit. Tetapi saya masih belum berani memakai lensa kontak yang selalu saya pakai dalam enam tahun terakhir ini. Saya keluarkan kaca mata cadangan dan pergi ke sekolah dengan kaca mata.

Anak-anak di kelas saya tadinya tidak begitu memperhatikan. Setelah kami mulai berkumpul bersama di karpet, barulah mereka berkomentar.

Hey, you wear glasses!
You look weird, Bu Tia!
No, it is not weird. It is nice!
Yea, it is nice. She looks preety.
Well, she looks smart with the glasses.

Ketika saya keluar untuk bermain bersama mereka di jam istirahat, gemparlah satu sekolah. Semua anak kelas tiga berhenti main bola dan bertanya, "BU TIA KENAPA PAKAI KACAMATA??" Saya menjelaskan tentang iritasi pagi tadi.

Anak-anak kelas 1 tidak kalah herannya. " Bu Asti... eh, Bu Tia... kok bu Tia pakai kacamata?" Sekali lagi saya menjelaskan tentang iritasi pagi tadi. Dua jam kemudian salah satu guru kelas 1 menghampiri saya, "Anak-anak itu bu, datang ke saya terburu-buru. Bu Lusi, Bu Lusi, sudah tahu belum, Bu Tia pakai kacamata??"

Wah, sepertinya saya akan lebih sering pakai kacamata.


Baju Merah

Thalia datang dengan baju merah dan celana merah.
"Selamat pagi, Thalia. Ibu suka warna bajumu. Cerah sekali!"
Thalia hanya menanggapi dengan senyum malu-malu dan mata yang kelihatan sekali bangga.
Riri yang ada di dekat kami ikut berkomentar, "Iya bu, merah kan artinya berani."
"Jadi?"
"Mungkin hari ini Thalia jadi berani juga."
"Berani apa, Ri?"
"Berani bicara lebih keras..." dengan sengaja Riri bicara sambil melihat ke arah Thalia.

Saya langsung ke keyboard komputer dan lagi-lagi mencatat 'kata-kata bijaksana' dari Riri. Saya selalu kagum pada kemampuannya menyampaikan gagasan secara verbal. Entah karena baju merah atau karena sindiran halus Riri, hari ini Thalia berani angkat tangan dua kali selama diskusi kelas. Suaranya masih lirih, tapi jauh lebih baik daripada saya harus membaca pikirannya.