Friday, December 19, 2008

Hari Terakhir Kuartal 2

Hari terakhir itu seru.

Kelas 5 masih ada presentasi untuk laporan buku yang mereka buat. Habis itu mengerjakan evaluasi diri, tentunya sambil curhat panjang lebar tentang setengah tahun ini. Di luar, kelas 1 piknik sambil makan burger dan minum juice. Di samping mereka, kelas 6 sedang dipanggil satu persatu oleh guru kelasnya untuk membahas isi rapor mereka. Di lantai atas, kelas 3 mengadakan fashion show dan mengundang murid kelas 2. Kelas 4 agak sedih karena tidak diundang.

Sementara itu para guru hiruk pikuk menggembala anak-anak sambil membereskan semua nilai dan komentar.

Dhimas bertanya pada saya, "Will you write this in your blog?"

Tadinya saya bilang tidak ah, sudah pernah.

Tapi tidak jadi deh, ditulis saja.

Anak-anak menanyakan dua teman di kelas 5 yang belum pernah disebut namanya. Mereka minta nama mereka ditulis sebagai Nina dan Anna. Baiklah, anak-anak, all yours.

Nina mengatakan sesuatu yang menarik memang hari ini, "Bu, ibu itu guruku yang dari dulu sampai sekarang selalu sama. Ya begitu dari dulu, sekarang juga seperti itu. "

Perlu waktu bagi saya mencerna kata-katanya, hingga saya sadar, konsistensi ternyata masuk hitungan penilaian.

Berat rasanya, menjadi guru mereka kalau begini. Huhuhu.

Friday, December 12, 2008

Memanjat Pohon

Di sekolah kami adalah sebuah pohon kamboja, kelas memanjat pohon bagi seratusan murid kami.
Saya sit in di salah satu pelajarannya hari ini.

Siang hari, seorang anak TK B naik ke dahan yang cukup tinggi, dan tiba-tiba ia terserang panik karena merasa tak bisa turun. Pak Banyo mengampiri dan membujuknya untuk turun.

"Ayo dicoba dulu, turunkan kakimu ke sini."

Seperti si gadis kecil ini masih merengek ketakutan.

"Iya, percaya saja. Kamu tidak akan jatuh. Pak Banyo ada di sini. Sebelum jatuh pasti ditangkap. Kamu harus mencoba dulu."

"Ayo, Pak Banyo bisa saja menurunkanmu, tapi nanti lain kali kamu tidak tahu bagaimana caranya turun. Coba, yuk. Ini, kakimu letakkan di sini."

Tak lama, ia sudah turun dan sampai dengan selamat di kaki pohon kamboja.

Saya yakin, besok dan lusa ia (juga teman-temannya) tak akan kapok memanjat pohon lagi.

Tuesday, December 09, 2008

Menjelang Evaluasi

Minggu depan sudah evaluasi alias ulangan umum. Tidak aneh dong, kalau minggu ini mendadak semua pelajaran ada kuis (ulangan harian). Beberapa hari lalu Adinda membaca sepotong karton berisi jadwal kuis minggu ini sambil berulang-ulang menggumamkan kata, "Tidaaak!" yang makin lama makin tinggi.

Saya masuk dan memberi usul, "Hari Kamis juga ya, kuis Bahasa Indonesia!"

"Tidaaaaaaaak!"

Memang tidak jadi sih, tapi hari ini tetap kuis IPA. Menjengkelkannya, hanya 30 persen yang bisa dapat di atas 80. Sisanya, hanya tujuhpuluh sekian, atau kurang. Tidak biasa-biasanya.

"My Mom's gonna kill me," keluh salah satunya.

Kenapa cuma segitu?

"Banyak PR Bu!" ada yang mengeluh begitu.

"Di sekolah lain setiap pelajaran ada 1 PR untuk setiap pertemuan. PR dari Bu Tia hanya satu halaman dan itupun boleh ditawar-tawar kapan dikumpulkan."

"He-he, iya sih."

"I know what is 'banyak PR'."

Anak-anak cekikikan.

Agaknya anak-anak kelas 5 masih belum terbiasa bahwa saya jarang bermurah hati memberi soal hafalan yang ditandai dengan kata "anu adalah..." atau "apa yang dimaksud dengan..." Jadi tadi briefing dulu, deh, Bu Tia, langkah-demi langkah mengerjakan soal-soal cerita tentang cahaya dan perubahan wujud benda.

Ya sudah, semua yang kuisnya di bawah 70 harus menyerahkan perbaikan besok pagi, atau nilainya tergantung di langit-langit tidak bisa masuk berkas nilai. Kejam memang. Tapi kalau tidak begitu nanti nilai 26 dan 56 itu hanya dipandangi sambil bersedih hati.

Kalau anak-anak mendapat nilai kuis di bawah batas yang kami tetapkan, saya selalu meminta mereka memperbaiki kesalahannya dengan melihat kembali lembar kerja dan buku mereka.

Tadinya, saya buatkan soal kuis baru, tapi biasanya tidak berguna. Masalah "mengerti"nya belum diperbaiki, mau diberi tugas apa saja hanya akan dipandangi.

Curang dong, nyontek. Tidak. Saya perhatikan bahwa anak-anak yang salah menjawab atau tidak bisa menjawab umumnya tidak tahu di mana letak informasi yang mereka butuhkan itu dalam catatan dan lembar kerja mereka. Jadi, kalau disuruh melihat lagi, mereka juga harus berlatih mencari.

Kalau tidak bisa juga? Hm, ini juga terjadi, kadang-kadang. Maka saya atau guru lain akan duduk di samping mereka dan mencari dan menyusun jawabannnya bersama-sama memakai bahan-bahan yang seharusnya mereka pakai. Nah, ketahuan kan, kurang pahamnya di mana, atau tidak telitinya di mana, atau salah strategi belajarnya bagaimana.

Benar-benar belajar dari kesalahan. :)

Saturday, December 06, 2008

Sudut Pandang

Kami sedang menonton film tentang anak-anak yang dijadikan tentara. Protes-protes mulai bermunculan. Mengapa gereja diserang? Itu kan, rumah ibadah. Mengapa anak-anak diambil di sekolah? Itu kan sekolah, Bu.

Riri : Jadi, sebenarnya siapa yang salah, Bu? Tentaranya atau gerilyawannya.
Dhiadri : Perang itu bukan tentang benar dan salah, tapi tentang menang dan kalah.
Bu Tia : *manggut-manggut saja*.



Kami sedang berusaha membuat periskop sendiri. Agak susah juga membuat ukuran yang tepat. Dhimas sudah selesai lebih dulu, dan berjalan keliling kelas dengan periskop jingga di depan matanya. "Hei, seperti ini rasanya jadi tinggi!"

Kami tertawa jadinya. Dhimas memang mungil, tapi ia masih 10 tahun. Lihat saja, tiga empat tahun lagi, pasti melesat tinggi.


Meski bukan hal baru, tawaran sudut pandang baru mereka di keseharian kami sering memicu saya untuk out of the box.

Kemarin saya dan teman-teman duduk bersama dan mengeluhkan anak-anak yang tak mau bekerja kalau tidak ditunggui dan terus ditanya, "Ayo, nak, kerjakan." "Ayo, selesaikan." "Ayo, jangan bengong dulu. "Ayo, bagaimana ya caranya?"

Sebenarnya mereka tidak bodoh. Kami tahu, karena kami duduk di samping mereka sebenarnya hanya bilang ayo-ayo saja. Keluhan dan harapan bahwa anak-anak ini lebih mandiri terus bermunculan di laporan hasil belajar mereka.

Pembicaraan kami memanjang sampai ke keadaan di rumah-rumah mereka. Terkadang miris saya mendengarnya. Beberapa saja anak yang beruntung dengan perhatian penuh orang tuanya, dan berkesempatan membicarakan apa saja dengan bapak ibunya, atau setidaknya ditemani dan dipeluk sepuluh menit saja setiap hari.

"Mungkin," kata saya, "Anak-anak memang perlu kita temani. Capek memang. Bosan kadang-kadang. Kita juga tahu mereka bukannya tidak bisa, tapi minta ditemani saja. Mungkin, hanya saat kita temani itu, mereka dapat perhatian satu lawan satu seperti apa yang mereka butuhkan. Jadi berikan saja. "

Tuesday, November 25, 2008

Balon Hari Ini


Pukul tujuh lebih sedikit. Saya baru meletakkan tas dan duduk di kursi saya, ketika Saras mengintip dari balik jendela dan masuk ke ruang guru, "Ibu, selamat hari guru nasional, ya!"

Terima kasih, Saras.

Siangnya, Saras datang lagi. Kali ini bersama seisi kelas 6 yang saya ajar tahun lalu. Mereka memberikan sebuah balon dengan gambar smiley face bertuliskan "Selamat Hari Guru" diikatkan ke sebuah karton.

"Dearest Ibu Tia,
You were beside me
When I was down and sad
You were there for me
When my day is completely bad"


Wah, senyum si balon berpindah ke wajah saya siang itu.

Terima kasih, anak-anak. Manis sekali.

Sunday, November 23, 2008

Sinetron dan Pemerintah

Kami sedang membicarakan konvensi hak anak ketika Adinda tiba-tiba protes tentang sinetron.

"Ibu, aku tidak mengerti mengapa pemerintah mengizinkan orang membuat sinetron."

"Kenapa, memangnya?"

"Menurutku sinetron itu berbahaya, Bu. Lagipula kasar sekali, " Adinda merepet menceritakan contoh-contohnya."

"Lalu, kenapa kamu nonton sinetron?"

"Iklannya itu, lho Bu. Di acara anak-anak sering ada iklan sinetron yang lagi dorong-dorongan dan tampar-tamparan."

Ih, kok serem ya.

"Ya sudah, tulis surat saja."

Kami membahas banyak hal lagi sampai kemudian Adinda menghampiri saya dan bertanya lagi,



"Tapi Bu, Adinda kan nggak tahu alamatnya pemerintah."

Wednesday, November 12, 2008

Membawanya ke dalam Kesadaran

Teman saya punya anak perempuan manis berusia 2 tahun. Seperti layaknya anak usia 2 tahun, kadang-kadang perilakunya dalam situasi baru tak terduga. Teman saya mengantisipasinya dengan selalu menjelaskan situasi baru yang akan dihadapi si anak dan perilaku apa yang ia harapkan. Misalnya, "Nanti adik pergi sama ibu saja, ya. Ayah tidak ikut. Ayah mau ke bengkel, betulin mobil. Jadi kita cuma pergi berdua. Jangan cari Ayah, ya."

Dari cerita-ceritanya, teman saya selalu berhasil. Kalau sudah tahu bahwa ada banyak teman ibu dan nanti harus memberi salam, maka meski takut-takut dan sedikit malu, si kecil mau memberi salam.

Di sekolah, saya sering (dan mengharuskan diri) melakukan hal yang sama. Menjelang upacara bendera (yang cuma setahun sekali itu) saya akan bercerita pada anak-anak kelas 2, apa saja yang akan kita lakukan, bagaimana caranya, dan bagaimana sikap seharusnya. Kami pergi keluar dan berlatih upacara bohongan. Kami menonton kakak-kakak kelas yang jadi petugas. Ketika hari H tiba, biasanya anak-anak terdorong untuk mempraktekkan apa yang kami pelajari, dan bangga luar biasa bisa menjadi contoh buat adik-adiknya yang lebih kecil.

Menjelang konser yang cukup ketat aturan hening dan teraturnya, saya dan teman-teman pun sudah bilang dari jauh-jauh hari situasinya seperti apa. Kami tak mau anak-anak terserang panic attack berada di ruangan gelap, duduk sendiri, harus tampil di panggung besar, dan tak boleh mendekati orangtuanya. Syukurlah, sampai hari ini kami tak pernah kesulitan membuat anak-anak usia 4 tahun sekalipun duduk tenang menonton konser selama 2 jam dan tampil gembira. Padahal, saya pun sudah siap sedia dengan krayon dan kertas di belakang panggung, barangkali ada yang tak betah duduk anteng.

Menjelang masa-masa ujian untuk anak-anak yang lebih besar, saya juga melakukan hal yang sama. Bukan menakut-nakuti, tapi mempersiapkan mereka. Saya sudah bercerita di entri yang lalu bukan, bagaimana anak-anak kelas 5 bisa mengevaluasi cara belajar mereka sendiri dan menentukan di mana kesalahannya dan bagaimana cara memperbaikinya.

Saat ini di kelas 6, mereka sedang sibuk berlatih soal menjelang UASBN. Guru kelas 6 membekali mereka dengan sebuah buku berisi target-target yang harus mereka capai tiap minggu. Kami menamainya Log Book. Anak-anak membuat catatan tentang bahan mana yang sudah dan belum dikuasai, nilai yang mereka peroleh setiap latihan soal, dan apa yang harus mereka perbaiki. Ibu guru kelas 6 bercerita bahwa anak-anak "sadar" apa yang mereka lakukan. Mereka menunjuk poin standar kompetensi lulusan (SKL) yang belum mereka kuasai dan menghubungkannya dengan soal yang tidak bisa mereka jawab. Beberapa menulis bahwa mereka kurang teliti membaca soal sehingga salah menjawab.

Jangan malas mengajak bicara anak-anak. Mereka tak sebodoh itu sehingga tidak mudah mengerti apa yang kita bicarakan. Tetapi, mereka juga belum hidup cukup lama untuk mengetahui hal-hal yang kita anggap lumrah.

Monday, November 10, 2008

Menikmati Hal Sederhana

Ibu Asisten TK A sedang sakit dan tidak bisa masuk. Kasihan pada Ibu Guru TK A, maka saya menemaninya setengah hari, menyanyi, menempel, dan mendengarkan cerita tentang hewan peliharaan, dan menunggui anak-anak makan.

Sudah lama rasanya tidak menikmati hal-hal sederhana, sehingga terasa seperti ... sudah lama tidak berenang dan berenang lagi. Haha.

Baru lima belas menit di TK dan si anak paling suka teriak-teriak mendadak duduk tenang di pangkuan saya, mengamati (dan mencium-cium karena dikira wangi) sisa french tip di kuku-kuku saya, dan lupa teriak-teriak.

Sebagai wajah baru di kelas TKA, anak-anak pun ingin tahu dan mengajak saya ngobrol tentang banyak hal.

"Aku punya marmut dan ikan bu. Ada 3."

'Oh, ya?'

"Ya. Satu mati, satu hilang, jadi tinggal satu."

'Kok bisa hilang, ya?'

"Iya, hilang. Mungkin masuk ke balik kulkas."

'Ikanmu masuk ke balik kulkas?'

"BUKAAAN BUUU.... Marmutnya yang hilang.'

Langsung merasa bodoh. Jadi dari tadi kita bicara tentang marmut, bukan ikan?

"Ibu kok tahu namanya Cakra tapi tidak tahu namaku?"

'Hm, Bu Tia sedang berusaha mengingat-ingat nama anak-anak TK A. Kan, ada banyak. Sedikit-sedikit ya?'

Dan, Ya Tuhan, ada apa dengan orang tua sekarang, kenapa nama anaknya susah-susah tapi mirip semua?

Dua jam di TK membuat saya sadar betapa ahlinya ibu guru TK A yang sudah bertahun-tahun mengajar di kelas itu. Ia tenang sekali, meski kegiatan mengelem kertas berubah menjadi mengelem meja, meski instruksi memotong sesuai garis lurus bisa berakhir menjadi kertas sobek-sobek, meski antrian cuci tangan panjang sekali dan meski ada yang diare di tengah acara makan pagi...

Ah, mungkin menarik kalau kami bisa bergantian sit-in di kelas-kelas yang berbeda.

Thursday, October 30, 2008

Bu Tia Tahu

Adalah hal paling lumrah di seluruh kelas di dunia, kalau ada anak melamun dan ditegur, jawabannya adalah, "Aku lagi mikir, Bu!"

Salah satu alternatif yang juga digunakan anak-anak adalah mengerut-ngerutkan dahi dan bilang, "Aku nggak tahu, aku lagi mikir."

Jengkel, saya katakan pada mereka. "Ada bedanya orang melamun dan berpikir. Orang melamun matanya diam saja, menerawang jauh. Orang berpikir matanya masih bergerak-gerak. Bu Tia tahu itu."


"Bu Tia tahu dari mana."

"I learn it from you."

"She learnt it from her university."

"Well, some of it. AYO KERJAKAN!"

Malu

Dhimas sangat bersemangat tentang kedatangan neneknya ke kelas siang itu. Nenek Dhimas akan bercerita tentang pengalamannya di masa penjajahan Jepang, mengingat anak-anak kelas 5 sedang belajar sejarah tentang penjajahan Jepang dan persiapan Kemerdekaan.

Riri nimbrung berkomentar, "Iya Bu, Aki-ku sebenarnya juga mengalami. Tapi waktu diajak cerita di kelas katanya malu. Padahal umurnya sudah 79 tahun lho, Bu!"

Iya, ya, Ri. Harusnya kalau sudah besar tidak boleh malu-malu lagi...

Tuesday, October 14, 2008

Blogging

Anak-anak sedang menulis tentang tradisi di rumah mereka pada hari-hari istimewa yang mereka rayakan. Isinya menarik, maka saya melontarkan ide, "bagaimana kalau kita membuat blog bersama-sama, jadi kita bisa memasukkan tulisan-tulisanmu?"

Anak-anak di meja Dhimas dan Riri memandangi saya penuh curiga. "You have your OWN blog, right, Bu?"

"Yes I do. But the next blog will be yours."

Anak-anak tidak bilang apa-apa.

"Bu Tia, do you still write something in your blog?"

"Not much Riri. Bu Tia jarang sih bertemu kalian."

"Oh, jadi kalau ada yang seru aja, ya Bu?"


Hm....

Tuesday, October 07, 2008

Hak Setiap Warga Negara

Dan film itu ditutup dengan kutipan Pasal 31 UUD 1945

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.


Saya bisa mendengar gumaman, umpatan, dan kalimat-kalimat ditujukan kepada pemerintah yang dianggap lalai memenuhi tuntutan itu (well, they do). Tetapi tidak perlu waktu lama bagi saya untuk bertanya kembali kepada diri sendiri.

Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita percaya bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan? Apakah kita percaya semua anak kita berhak mendapatkan pendidikan?

Tidak usah jauh-jauh memikirkan mereka yang ada di pelosok nusantara. Pikirkan saja mereka yang ada di jangkauan mata kita. Apakah kita masih berpikir bahwa anak-anak cerdas saja yang berhak mendapatkan beasiswa? Apakah kita masih berpikir lebih baik anak tukang becak masuk STM saja daripada SMA supaya cepat bekerja? Apakah kita masih berpikir bahwa sebaiknya sekolah (dasar) menyeleksi anak-anak berdasarkan kecerdasannya saja?

Siapa yang kita maksud setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan?


Ayu, teman saya, semula adalah sesama guru. Sesuatu membuatnya memilih pekerjaan lain saat ini, meski saya tahu guru masih lekat di hatinya. Sejak ia tidak mengajar bersama kami, saya menyadari satu kualitas kelas berat yang saya pelajari darinya.

Teman saya ini, ia benar-benar guru yang memandang setiap anak sebagai individu yang khas. Tak ada anak yang "impossible" untuknya. Seberapapun kami skeptis dan pesimis memandang seorang anak, ia selalu berhasil membuat kami melihat keistimewaan anak ini di akhir tahun ajarannya.

Teman saya ini suka menyanyi dan ia selalu bisa membuat kelasnya menyanyi. Banyak lagu yang ia ajarkan pada murid-muridnya tapi yang selalu saya ingat adalah ketika murid-murid kelas 1 SD itu menyanyikan lagu "Aku Bisa" sambil berderap berbaris pulang. Tak hanya menyanyi, teman saya ini menghayati betul bahwa setiap anak pasti bisa.


Dari kelas-kelasnya saya belajar bahwa menghayati hak setiap orang atas pendidikan sebenarnya dimulai dari hati kita. Bagaimana kita bisa menyadari bahwa setiap orang, siapapun ia, apapun keadaannya, betapapun ia merepotkan bagi kita, ia berhak atas pendidikan yang layak. Ia berhak mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang optimal, dan berhak mendapat kesempatan dihargai.

Memulainya dari dalam hati akan membuat saya terbuka pada aneka ragam anak-anak di kelas saya. Anak-anak berbakat, anak-anak berkesulitan belajar, anak-anak dengan keluarga penuh dukungan, dan anak-anak yang diabaikan. Kesadaran bahwa pendidikan adalah hak setiap orang akan membuat saya lebih terbuka untuk menerima mereka apa adanya dan memutar otak memikirkan cara agar semua orang bisa belajar di kelas saya.

Setiap kali ada calon murid baru, atau setiap kali ada yang mengeluh punya satu dua murid sulit di kelas, saya selalu ingat "pelajaran" ini. Kadang saya terantuk peraturan, terantuk keterbatasan menangani anak-anak yang istimewa, tapi saya tidak ingin terantuk rasa pesimis dan pandangan bahwa kami terlalu repot untuk memberi kesempatan bagi anak-anak yang istimewa.

Repot memang, capek memang, seringkali jadi ingin pulang saja, tapi melihat setiap anak, bahkan anak-anak yang merasa ditolak di tempat-tempat terdahulu, berkembang menjadi anak yang gembira saja... sudah membayar segalanya.

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Termasuk di dalamnya penerimaan yang tulus dan penuh keyakinan bahwa setiap warga negara berhak menjadi dirinya sendiri dan punya kesempatan mengembangkan diri.

Wednesday, September 24, 2008

Mengingat dengan Gerak dan Gambar

Sebagai orang yang amat verbal dan punya ingatan visual buruk, maka berkawan dengan kelas 5 tahun lalu tidaklah sulit. Kebutuhan cerewet mereka sama dengan saya, jadi kami akur-akur saja.

We talk, and we understand each other.

Hari ini di kelas IPA SD5, saya pun membawakan review, awalnya, secara verbal. Kami tanya jawab dan bermain kartu kata. Meski berpartisipasi dengan manis, saya tahu anak-anak tidak sepenuhnya "ada di situ".

Saya tawarkan pada mereka, apa yang bisa kita lakukan ya dengan kartu-kartu ini?

"Kita main charade saja, Bu!" Semua langsung setuju.

Charade? Bermain tebak kata dengan gerakan? Saya memandangi kartu-kartu berisi istilah-istilah cukup ilmiah tentang anatomi tubuh manusia dan tumbuhan hijau dengan ragu-ragu. Tapi, kapan kita tahu kalau tidak mencoba?

Maka anak-anak pun memperagakan dengan gerakan apa itu pembuluh arteri dan vena, apa itu anemia dan trombosit.

Saya dan Ibu Guru Kelas 5 sampai tertawa guling-gulingan (aduh, ini agak berlebihan) melihat mereka.

Dhimas memperagakan trombosit dengan berpura-pura menjadi ayam. Saya mengerutkan dahi, tapi delapan orang temannya segera angkat tangan dan berseru keras, 'TROMBOSIT!"

Kok bisa begitu?

Aduh, iya, Ibu, di gambar bentuk sel darah yang ibu kasih itu, si trombosit bentuknya seperti ayam berbulu.

Astaga....

Musa berlagak membuat jalan raya panjang, dan berlari kencang melintasinya. Semua dengan cepat tahu bahwa Musa memperagakan pembuluh arteri.

Adinda mendapat kata anemia. Lalu ia pura-pura membenturkan kepalanya dan memperagakan gerakan darah mengucur tak berhenti-henti. Ketika peragaan itu kurang horor, dia mengubahnya menjadi kecelakaan maut.

Riri cepat menjawab bahwa kata yang dimaksud Adinda adalah anemia.

Saya tanya lagi, bagaimana kamu bisa menebaknya?

Kata Riri, "Lho, salah satu penyebab orang menderita anemia kan karena mengalami pendarahan hebat. "

Tadinya saya mau meninggalkan kelas lebih awal karena harus bertemu guru kelas 1 dan 2, tapi saya batalkan niat saya. Seru menonton mereka. Anak-anak pun lebih menghayati kegiatan yang ini daripada kegiatan verbal versi saya tadi. Kami mengakhiri kelas sambil melihat Dhimas kembali beraksi menjadi tentara dan menembak bulatan-bulatan di udara. Ia sedang memperagakan leukosit yang terlalu aktif dan membunuhi para eritrosit pada penderita leukimia.

Saya membereskan barang-barang sambil berpikir, hei, ternyata sekarang tidak sulit lagi bagi saya mengubah setelan cara berpikir. Mungkin beberapa tahun lalu saya akan mengeluh, cemberut dan bilang kelas ini payah karena tidak mau diajak main. Kali ini lebih mudah bagi saya menerima bahwa anak-anak tidak selalu sama dengan saya. Saya bisa menerima bahwa mereka belajar atau mengerti dengan mekanisme yang berbeda dengan saya, saya dengan ringan mau memberi mereka kesempatan dan lebih dari itu, saya belajar banyak hal baru dari sudut pandang mereka.

Dhiadri menghampiri saya dan berkata, "Kadang-kadang menyenangkan juga, menertawakan diri sendiri itu."

Hm, saat-saat seperti ini lho, yang membuat saya pulang ke rumah dengan hati senang. Sekali lagi, satu senti lebih dewasa karena anak-anak. :)


PS: Besok anak-anak ulangan umum IPA. Semoga mereka ingat ya, si ayam, jalan raya, koki, tukang pos, dan lain-lain yang kami bicarakan hari ini.

Monday, September 22, 2008

Keluarga

Sebuah kelas memajang tulisan ini besar-besar di salah satu dinding mereka, "Ohana means family. Family means, no one gets left behind. Or forgotten."

Hari ini kalimat itu menyentuh saya, dalam sekali.

Saturday, September 20, 2008

Menguasai Bahasa Ibu

Saat kita sibuk ingin anak-anak berbahasa ini dan itu sejak awal, belakangan saya justru sedang banyak membaca bahwa para dokter anak di luar Indonesia dan para ahli Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk anak-anak justru menyarankan agar anak-anak lebih dulu menguasai bahasa ibunya, sebagai dasar yang terbaik untuk menguasai bahasa asing.

Nanti deh, referensinya. Tapi saya tidak akan berhenti menulis ini.

Terutama karena supervisor terjemahan saya bahkan sudah mulai meminta, "Anak-anakmu belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, kan, ya? "

Sepertinya dia sudah pusing dengan penggunaan bahasa Indonesia yang kacau.

Thursday, September 18, 2008

Mengintip Kelas Kecil

Selagi menunggui anak-anak kelas 5 ulangan bahasa Indonesia, saya mendengar suara piano dan "ra ra ra ra ra ra..."

Maka mengintiplah saya keluar. Ternyata 15 anak TK sampai SD2 yang akan konser menyanyi sedang latihan di aula. Pak Guru musik main keyboard di depan, anak-anak duduk berjajar di kasur-kasur tempat landasan main panjat-panjatan. Kaki-kaki mereka selonjor bergoyang-goyang. Di depan hidung mereka ada kertas, partitur lagu. Anak-anak yang sedikit lebih besar menyanyi sambil membaca partitur dengan khusyuk.

Tapi, hei, di antara mereka ada dua orang anak paling mungil dengan pipi kemerah-merahan bekas terbakar matahari. Di tangannya juga ada partitur, tapi mereka belum bisa membaca. Dengan wajah sok serius melihat kertas, matanya agak melirik kanan dan kiri. Masalahnya lagu yang diajarkan lagu anak-anak dari Jepang. Teman-teman yang lebih besar sih enak, bisa membaca dari kertas. Dua makhluk mungil ini harus pandai-pandai "membaca" kertas sambil membaca mulut kakak-kakaknya.

"Ra ra ra ra ra ra ra.., " menyanyi mengikuti not dengan bunyi ra.

Saya tersenyum-senyum di jendela.

Ibu Guru TK yang menemani lantas menghampiri si anak laki-laki kecil berambut jabrik dan pipi merah tadi, "Lhooo Nak, ini kertasnya terbalik."

Si anak membalik kertas, sambil TETAP serius membaca dan menyanyi.




LUCUNYAAAAAAA..... Mestinya saya bawa kamera.

Friday, September 12, 2008

Kunjungan Lain

Pagi ini, Kelas 6 dapat kunjungan dari BNN. Ini menyangkut salah satu topik pelajaran mereka tentang kenakalan remaja dan drugs abuse. Kelas 5 diikutsertakan (mengingat anggota kelas 6 hanya 10 orang), dan bisa diduga anak kelas 6 langsung jengkel.

It was a simple presentation, tapi seru juga ya. Anak-anak tak berhenti berkomentar dan bertanya. Apalagi kelas 5 (lho!) Saya datang dan pergi ke ruangan, tapi tetap bisa mendengar sekilas bagaimana percakapan di kelas itu berlangsung.

1.

Ibu Andin : Selamat pagi semua. Pagi ini kita kedatangan tamu dari BNN, Badan Narkotika Nasional. Kira-kira apa yang akan dibawakan ya?

Bram : Contoh-contoh narkotikanya?

Saras : HEI! Itu melanggar hukum. Bisa ditangkap, tau!

2.
Ibu BNN sedang menjelaskan efek samping penggunaan narkotika/psikotropika.

Ibu BNN: Biasanya pengguna akan membayangkan yang tidak-tidak. Seakan-akan ada sesuatu di sekitarnya padahal tidak nyata.

Dhidari : Oh, maksudnya halusinasi?

3.
Ibu BNN sedang menjelaskan bahwa obat penenang/obat tidur juga bisa disalahgunakan.

Lika : Kalau kita diberi obat dokter, seringkali ada obat tidurnya. Itu bagaimana?

Ibu BNN: Oh, tidak apa-apa. Itu sesuai resep, tidak berlebihan. Yang tidak boleh adalah berlebihan. Kamu makan berlebihan juga tidak baik, kan? Semua yang berlebihan tidak baik.

Adinda : Lho, kalau kebanyakan baca gimana?

4.

Ibu BNN menjelaskan bagaimana strategi perusahaan rokok mendapatkan pelanggan baru dengan mensponsori beberapa kegiatan remaja. Anak-anak kelas 6 langsung menanggapi dengan
"Ya, mereka kan uangnya banyak sekali, Bu. Film-film dengan tema remaja juga banyak disponsori perusahaan rokok."

Diskusi berlangsung makin mendalam, dan Ibu Andin makin gelisah seperti pelatih tim sepak bola di injury time. Time out! time out!

Maka Ibu BNN menutup sesi dengan bertanya, "Jadi, setelah mengetahui banyak hal tentang narkoba, apa yang dapat kalian lakukan di sekolah?"

Separuh kelas mengacungkan tangan.

Dimas bilang, ia ingin membuat poster. Tata bilang, ia akan membagikan selebaran. Dhiadri ingin menulis buku untuk diletakkan di perpustakaan. Musa ingin membuat miniatur brosur. Bram keheranan, brosur kan sudah kecil, tanyannya. Lika bilang ia dan teman-temannya ingin melakukan kampanye lewat website, mungkin bisa lewat Facebook dan Friendster.

Ibu-ibu guru preman yang berdiri di belakang lantas menepuk dahi. Oh, no!

Saras menutup sesi ini dengan bilang, "Saya dan teman-teman ingin kampanye di bundaran HI."

Kelas sudah mulai berbenah dan Ibu/Bapak BNN sedang membagikan suvenir ketika anak-anak kelas 6 mengelilingi saya, "Bu, boleh ya kita kampanye di Bundaran HI?"

Halah!

Wednesday, September 03, 2008

Jika Tak Pernah Jatuh


Apa jadinya kalau bayi yang sedang belajar berjalan tak pernah jatuh?
Ia tidak tahu ada resiko jatuh.
Dalam setiap langkahnya, ia tak bisa mempertimbangkan resiko jatuh.

Jadi?

Saat berkali-kali jatuh, sebenarnya kita sedang belajar berjalan. Makin lama makin lihai dan bisa melompat, berlari, dan jungkir balik.

Sunday, August 31, 2008

Kembali ke Sekolah (kami) *

Hampir jam dua pagi, dan jalanan kosong.

Dia : Senang rasanya kembali lagi ke tempat itu.

Saya : Ya.

Semua diam. Saya berpikir tentang segala hal yang sudah berubah di tempat itu selama sepuluh tahun terakhir. Saya berpikir tentang bagaimana tempat itu telah mengubah hidup saya (kami) sepuluh tahun terakhir.

Dia : Suatu hari nanti, suatu hari, nggak tahu kapan, kita harus kembali ke sana. Untuk mengajar, maksudku.

Saya : Ya. Ayo.

Semua diam lagi. Di dalam kepala terlintas pendidikan saya dan intervensi sosialnya. Di hati saya mengalir ucapan terima kasih. Di telinga saya terngiang lagu yang ternyata diam-diam sering saya gumamkan waktu sendirian menyetir berangkat ke tempat bekerja.

...satu rasa persaudaraan
satu dalam berkarya
membangun jiwa yang luhur
berbakti bagi sesama...



PS; Selamat untuk teman-teman yang baru wisuda, dan sudah bertambah 'S' nya.
Selamat berbagi dengan sekitarmu...


*kali ini postingnya personal. Maklum blognya cuma satu.

Thursday, August 28, 2008

Mengajar Sehari

Tahun ajaran ini saya hanya mengajar 8 jam seminggu, maka baru terasa bahwa saya benar-benar suka berada di kelas. Lupa semuanya, lupa panik, lupa stress, lupa kalau sedang tidak enak badan.

Hari ini saya seharian mengajar di kelas 5. Datang dengan berbagai perbekalan, saya masuk ke kelas yang sunyi sepi. Anak-anak cuma menggumam, 'Hai, Bu' nyaris tanpa menatap saya. Berjingkat-jingkat saya menghampiri meja guru dan berbisik pada guru kelas 5, "Mereka sedang apa, sih?"

"Meneruskan komik yang kemarin..."

Barulah saya ingat. Selasa lalu saya mengajak anak-anak membuat komik dari cerita rakyat Macan Kemayoran dalam pelajaran PLKJ mereka. Kebetulan (eh, disengaja) nyambung dengan bahasan Bahasa Indonesia kami tentang unsur cerita. Selasa itu saya mengajak mereka menyarikan 8 urutan kejadian penting dalam cerita. Anak-anak agak kewalahan karena ceritanya panjang. Hampir 8 halaman. Maka saya mengajak anak-anak memperhatikan peralihan latar tempat dan waktu, lalu mencari peristiwa paling penting di setiap latar tempat dan waktu.

Nah, pekerjaan jadi lebih mudah. Kami juga membuat tabelnya di papan tulis. Latar tempat dan waktu ini nanti akan menjadi bagian dari komik yang mereka gambar. Jadi background-nya tidak asal-asalan. Setelah selesai menyimpulkan garis besar ceritanya, barulah anak-anak membuat komik.

Sambil mulai menggambar, saya mengajak anak-anak mengobrol tentang penokohan Macan Kemayoran. Menurutmu Murtado itu pakaiannya seperti apa ya?

Anak-anak malah keterusan. Kalau perempuan Betawi jaman itu pakai apa, bajunya? Kalau si Bek Lihun ini anak buah kompeni, bajunya masih pakai celana komprang dan kopiah juga? Hmm, tangan-tangan mereka sibuk, mulutnya juga terus bertanya.

Dhiadri ngomong sendiri, "Ah, ini si Mandor Bacan ini aku buat alisnya tegas melengkung ke bawah."

Saya tahu sih, untuk apa, tapi saya ingin teman-teman Dhiadri juga mendengar alasannya. "Mengapa kamu gambar seperti itu?"

"Kalau kugambar biasa saja, jadinya tidak beda dengan Murtado. Kalau alisnya begini (menekuk ke bawah) jadi lebih galak. "

Saat waktu habis, dia pun mengeluh, "I am enjoying this, Bu."

"Nanti kamu bisa lanjutkan lagi, nak, sambil menunggu ekskul mulai."

Itulah asal muasalnya mengapa saja didiamkan saja sepanjang pagi. Dua puluh menit berlalu, dan Ibu Guru Kelas 5 bertanya, "Mau disuruh berhenti?"

Saya menggeleng, biarkan saja. Saya tulis di papan tulis apa saja yang bisa kami kerjakan sepanjang pagi. Maka pagi tadi sebagian anak terus menyelesaikan komik, sebagian lagi melanjutkan cerpennya, dan Adinda mengedit cerpennya bersama saya.

Asyik.

Siangnya kami ke perpustakaan. Membaca dan meminjam buku mingguan. Saat turun kembali ke kelas, saya menoleh ke barisan di belakang saya, ternyata semua jalan sambil baca buku. Hihihi.

Di kelas, kami belajar tentang kata penghubung. Anak-anak saya ajak bermain dengan kartu kata penghubung.Kami tertawa-tawa terus jadinya. Lama-lama anak-anak menantang saya mengeluarkan kalimat-kalimat yang lebih sulit. Setelah lebih dari 10 kalimat yang salah hanya 1-2 orang saja, itupun bergantian, barulah kami beralih ke lembar kerja untuk latihan. Kelas kembali sunyi dan sepi. Semua khusyuk bekerja.

Enak benar ya jadi guru kalau begini.

Sebelum pulang, Musa menutupnya dengan kalimat yang membuat sakit kepala saya seharian ini hilang, "Ibu, Bahasa Indonesia hari ini menyenangkan sekali. I enjoyed it."

Bu Tia juga.

Friday, August 22, 2008

Perlu Diingatkan

Kepada siapa kau mempertanggungjawabkan pekerjaanmu?

Saya pernah berdebat keras tentang pertanyaan itu dengan Alexander The Great. Pasalnya saya marah melihatnya harus melakukan suatu pekerjaan besar tanpa dukungan yang memadai. Saya tidak bisa mengerti mengapa banyak malam harus dikorbankan tanpa tidur untuk urusan yang bahkan tidak dipedulikan si pemilik kerja. Gila, apa. Kayak nggak punya kerjaan aja. Dengan suara tak kalah keras dan ngototnya, ia bertanya, apakah saya akan diam saja kalau tanpa dukungan, saya harus bekerja untuk anak-anak? Murid-murid saya?

Pertanyaan itu membuat saya diam.

Ya, ada kalanya saya masih harus diingatkan kepada siapa saya mendedikasikan apa yang saya kerjakan. Bukan, bukan kepada pencapaian saya. Bukan rasa bangga dan berhasil saya. Bukan uang, dan bukan bos saya.

Berseratus, bertiga, sendirian, atau bahkan tanpa mata atau kaki, saya akan terus mengerjakan apa yang seharusnya saya kerjakan.

Untuk anak-anak.

Masih Agustus

Kira-kira dua bulan terakhir ini sudah tiga orang yang menyuruh saya membaca tentang Tan Malaka. Seorang teman mengirimi buku Tan Malaka dari jauh. Obrolan beberapa malam lalu bersama Alexander The Great tentang Tan Malaka dan anjuran mencari Edisi Khusus Hari Kemerdekaan TEMPO berjudul "Bapak Republik Yang Terlupakan" membuat saya mulai terusik ingin tahunya.

Maklum, sisa-sisa produk lama, kalau ditanya sejarah masih suka bengong. Tapi saya suka membawakan sejarah di kelas, itu artinya saya jadi terpaksa belajar lagi, dan akhirnya malah senang menggoda anak-anak untuk berpikir dan berandai-andai.

Kemarin Bu Andin bercerita tentang bahasan perjanjian Linggarjati dan Renville yang mendapat protes keras dari anak-anak kelas 6. "Kok mau-maunya sih tanda tangan perjanjian yang jelas-jelas merugikan Indonesia. Apa yang dipikirkan Sutan Syahrir waktu itu, sih?"

Dan kemudian mereka menulis panjang lebar tentang apa yang akan mereka lakukan jika mereka Sutan Syahrir. Kecuali Dito, sepertinya semua memilih perang daripada diplomasi yang menurut mereka merugikan.

Saya dan Bu Andin tertawa-tawa saat membahas ini. Bukan, bukan karena jawaban mereka lucu. Tapi karena saat kami menghadapi bahasan yang sama sekian tahun lalu, kami bahkan tidak berpikir untuk bertanya. Apalagi berpikir bahwa pemimpin (di masa lalu) bisa membuat kesalahan dan bisa dibantah atau ditantang pemikirannya. Ini bukan hanya masalah mereka hebat karena kritis dan kami dulu tolol karena hanya mau menghafal.

Seakan dalam kepala mereka kini, semua manusia adalah manusia. Pahlawan atau penjahat bisa benar dan bisa salah. Pada satu titik, ini pemikiran yang mulia. Di ujung yang lain saya mulai ngeri.

Baru tiga halaman membaca Tempo, saya menemukan ini:

".... Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. ... Baginya perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu nonsens. "

(Tempo, 17 Agustus 2008, hal. 25)

Friday, August 15, 2008

Napak Tilas Ke Depan

Di bulan Agustus, "hawa" napak tilas sedang tinggi. Lihatlah di sekitar kita, semua menjadi melankolis mengingat rangkaian peristiwa 63 tahun lalu, atau bahkan lebih jauh lagi. Di koran, saya baru membaca napak tilas Anyer Panarukan.

Saya baru mengobrol dengan teman kecil-menjelang-besar, saya. Ia mengeluh bahwa sekarang sering merasa aneh alias asing dengan dirinya sendiri. Saya bilang padanya, memang begitu adanya saat kita akan berpindah jenjang. Rasanya serba aneh dan kikuk. Sudah, kata saya, terima saja, tidak perlu dipikirkan.

Teman saya menjawab, tapi aneh pun kadang rasanya menyenangkan.

Tawa saya tak terbendung, jadinya. Lalu saya jadi bicara terlalu absurd padanya. Benar, teman, merasa aneh kadang memang perlu. Perasaan anehlah yang membuat kita jadi mencari tahu sebenarnya apa sih kita ini.

Saya makin senyum-senyum karena teman saya bingung dan saya pun jadi napak tilas ke masa-masa aneh saya dulu. Masa-masa tanggung yang serba salah.
Lalu, kata-kata mencari identitas yang sungguh klasik itu jadi muncul lagi. Yes, it was a nonsense sylable words to me. Sekarang pun masih tetap nonsense untuk teman saya, apa lagi yang Bu Tia bicarakan tentang menjadi Mini yang seperti apa atau menjadi Mita yang seperti apa.

Maksudnya?

Sayang, ini adalah pencarian seumur hidup. Jadi tak usah khawatir kalau tidak tahu apa maksudnya.

Iya, ya, nanti kalian jadi orang yang seperti apa? Dhimas begitu yakin bahwa ia ingin jadi perancang mobil. Ketertarikannya pada gambar, rancangan, mobil, dan pemahaman ruangnya memang luar biasa baik. Ia mantap pada kata-katanya, mengingatkan saya bahwa pada usia yang sama saya pun sudah tahu saya hendak ke mana mau jadi apa dan mau bikin apa. Sebagian sudah saya jalani. Sebagian, saya belum tahu.

Hari ini Dhimas menunjukkan kesungguhan hatinya saat ikut lomba membangun gedung dengan sedotan. Bersama kelompoknya Dhimas mengubah 50 sedotan menjadi sebuah rangka gedung yang tak bisa jatuh. Hanya 2 dari 6 kelompok yang berhasil membuat bangunan tinggi. Hanya kelompok Dhimas yang berhasil membuat gedung yang tidak roboh-roboh meski sempat terjadi kerusuhan banjir di aula. Dhimas dan teman-temannya membuat pondasi "bangunan" dengan sedotan saling silang yang kuat, DAN ajaibnya lagi masih sempat membentuk sedotan paling atas menjadi atap.Dhimas loncat-loncat kegirangan melihat hasil karyanya. Jauh dalam hati saya tahu persis ia sedang berjalan ke sana, ke arah cita-citanya.

Sampai malam ini saya masih terkagum-kagum kalau ingat.

Itu maksudnya, teman, tentang kamu yang seperti apa kelak.

Semoga berhasil ya.

Wednesday, August 13, 2008

For Teachers

Saya baru melihat sebuah situs untuk guru. Lengkap dengan video -video pendek mengenai classroom management (ini amat penting, tapi jarang yang menyadarinya) serta memberi instruksi dalam membaca dan menulis.

Saya senang sekaliiii!!!!

Pakai Otak


Sudah berhari-hari Dhimas bercerita bahwa ia baru saja mendapat hadiah buku anatomi manusia. Maka kemarin, begitu saya masuk kelas, Dhimas sudah langsung berteriak "LOOK AT MY BOOK, BU TIA!!"

Buku itu memang mengagumkan. Sampulnya bergambar kepala manusia dengan bagian otak yang terbuka. Jika tombolnya ditekan, lampu-lampu kecil yang tersebar di gambar otak itu menyala kelap kelip, menunjukkan sinaps neuron dalam otak. Di halaman lain, ada pop up utuh berisi paru-paru, jantung dan tulang iga manusia. Bunyinya? Dag dug dag dug debar jantung. Keren ya? Membaca penjelasannya pun menarik dan mudah dimengerti.

Kami tak sempat lama membahas buku itu karena larut dalam permainan untuk mengulang materi tentang aneka istilah anatomi.

Siangnya, kami akan menulis cerita pendek. Anak-anak menyusun rencananya dulu dengan mendeskripsikan konflik, solusi, tokoh dan latarnya. Semua asyik bekerja ketika Adinda terus menanyai saya. Penyakit yang menyerang otak itu apa saja? Akibatnya apa? Apa contohnya? Apakah autisme termasuk salah satunya? Saya bilang pada Adinda penyakit yang menyerang otak banyak macamnya, banyak penyebabnya dan banyak pula akibatnya. Tidak cuma satu.

Adinda tidak puas. Ia mendekati saya. Katanya, ia sedang membuat rencana cerpennya dan perlu melengkapi diagram bagian konflik. Ia merasa perlu alasan logis untuk membangun konflik di antara tokoh-tokoh cerpennya.

Buku anatomi Dhimas jadi bisa membantu kami. Saya menunjukkan salah satu gambar diagram otak yang dilengkapi warna warni sebagai penunjuk fungsi. Kalau yang merah ini rusak, kamu tak bisa melihat. Kalau yang hijau rusak, bicaramu akan kacau. Kalau yang kuning rusak, kamu tidak bisa mengerti apa maksud pembicaraan orang lain. Adinda manggut-manggut. Oh, Bu, rumit sekali ya.

Coba deh, penulis naskah sinetron, tanyakan pada Adinda, sulit tidak sih sedikit berpikir dan ingin melakukan "riset" sebelum menulis cerita?

Monday, August 11, 2008

WRBNKERITNEKUIWELEWEILK

SETJEN
ITJEN
DIKTI
MANDIKDASMEN
PNFI
PNPTK
BALITBANG
PADATI
BAS
BASNAS
JARDIKNAS
NPSN
NUPTK
NISN
BNSP
KTSP
KBK
DIKDASNET
LPMP
BPPLSP
P4TK
UPBJJUT
LJUASBN
BNSPPUSKURDITJENMANDIKDASMEN
PUSPENDIK
SAS
DAPODIK
SKL
DIKDASDKI


Sekarang saya sudah jauh lebih realistis. Tujuan hidup saya bukan lagi turut serta memajukan pendidikan Indonesia. Tujuan saya sekarang cuma 1, mengerti apa maksudnya deretan huruf di atas. blagh.

Ada yang bisa bantu?

Friday, August 08, 2008

Pendidikan Seks

Anak-anak kelas 6 sedang belajar tentang reproduksi makhluk hidup. Berbekal pengetahuan mereka tentang sistem reproduksi manusia tahun lalu, anak-anak pun mulai bertanya tentang bagaimana pembuahan terjadi. Lebih tepatnya, bagaimana pembuahan dapat terjadi pada manusia?

Dalam bungkus apapun, pertanyaan mengenai seks selalu membuat jantung orang tua mau copot. Pertanyaan-pertanyaan mengenai seks adalah pertanyaan yang didoakan tak pernah muncul. Inilah saat orang tua berharap anaknya tak cerdas-cerdas amat jadi tidak tanya macam-macam.

Inilah hari di mana ayah dan ibu saling pandang, saling melirik memberi kesempatan kalau bisa suit sekalian.

*grin*

Pendidikan seks selalu jadi topik yang kontradiktif. Ada yang menganggap perlu untuk pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang tepat sekaligus menumbuhkan sikap terhadap seksualitas yang tepat. Ada yang menganggap pendidikan seks terlalu berlebihan, kebarat-baratan, berbahaya dan menggiring anak pada pengetahuan yang “belum waktunya” lalu membuat anak-anak jadi lebih permisif.

I never think that way. Sejak kira-kira 20 tahun yang lalu, ibu saya ternyata sudah cukup advance dengan memberi pembekalan dasar tentang pubertas kepada saya. Ia menjelaskan dengan baik (dan komprehensif) tentang apa yang akan terjadi saat tubuh saya menjadi dewasa. Tentang menstruasi saya mengerti, tentang roller coaster emosi, saya tak percaya. I was ten, I was happy and I didn’t believe that my life could be miserable. She was right, and I was wrong.

Bagaimanapun, pengalaman bersama ibu ini membuat saya yakin bahwa pendidikan seks itu perlu. Bayi pun sudah belajar anatomi ayah dan ibu yang berbeda. Beranjak besar, saat mandi dengan kakak dan adik anak juga belajar bahwa laki-laki dan perempuan punya tubuh yang berbeda. Kelak akan jadi seperti ayah atau seperti ibu.

Pendidikan seks menurut saya adalah bagian dari perkenalan pada identitas diri. Semakin baik pemahaman kita terhadap diri sendiri; termasuk tentang anatomi kita, lebih besar kesempatan kita memiliki konsep diri yang sehat. Orang dengan konsep diri yang baik bisa menghargai dirinya sendiri, dan kemudian menghargai orang lain.

Alasan lain yang menguatkan adalah saya berpendapat bahwa orang tua (dan guru) mestinya bisa menjadi sumber terdekat dan terpercaya bagi anak-anak untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka tentang apa saja. Termasuk tentang seks. Lagipula, ini adalah kesempatan bagi orang tua (dan guru) untuk berbagi nilai keluarga yang berkaitan dengan agama, tradisi, keluarga, kasih sayang, keragaman, dan kesehatan tentunya.

Bagaimanapun mencemaskannya bicara tentang seks pada anak-anak, saya yakin bahwa ayah dan ibu akan memilih untuk jadi sumber informasi yang benar bagi anak-anaknya daripada membiarkan anak-anaknya mendapat informasi dan mitos-mitos aneh dari entah siapa di luar sana.

Saya memilih untuk jadi sumber informasi yang benar itu.

Sadar bahwa sebagai guru saya juga akan mentransfer tentang beragam nilai, maka saya tahu pula bahwa nilai yang saya miliki tentang kesetaraan jender akan tercermin dalam perilaku saya.

Pada anak-anak yang lebih kecil, ini saya mulai dengan hal-hal sederhana. Saya tak suka anak-anak bermain di sekitar kamar kecil, karena itu adalah tempat privacy dibutuhkan. Anak laki-laki dan perempuan berganti pakaian di tempat terpisah, dan tidak ada acara saling menakuti bahwa temannya sedang mengintip. Saya menekankan semua orang di sekolah harus memperlakukan semua orang dengan rasa hormat. Tak ada perilaku atau kata-kata yang membuat rasa tidak nyaman bisa ditolerir. Saya juga mendorong anak-anak mau bercerita tentang apa saja dan menunjukkan sikap mau percaya serta bisa dipercaya. Memeluk dan mencium adalah ekspresi kasih sayang yang baik, tapi mari kita lakukan dengan keluarga saja di rumah.

Anak laki-laki dan perempuan harus saling menghargai, itu saja dulu.

Di kelas yang lebih besar, saya merasa bahwa saya harus mempersiapkan diri lebih baik. Situs ini amat membantu. Situs ini memberi informasi yang lengkap tentang bagaimana dan apa yang harus saya sampaikan pada anak-anak di jelang waktu remaja ini dengan benar.

Salah satu hal kunci adalah mengajari anak bahwa orang tua, guru dan dokter seharusnya menjadi sumber utama dalam pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksinya. Dari situs ini saya banyak belajar tentang kegiatan yang melibatkan orang tua, sehingga mereka tahu apa yang sedang kami bahas di kelas. Di sisi lain, anak-anak pun terdorong untuk berdiskusi pula dengan orang tua tentang apa yang sedang kami bahas di kelas. Saya pun akan cepat tahu apakah topik yang kami bahas masih ada dalam jalur nilai masing-masing keluarga, atau ternyata sudah tak bisa diterima.

Beban terberat untuk bicara tentang seks adalah karena topik ini sering diselimuti mitos dan dipercaya selalu berhubungan dengan afeksi-afeksi dewasa tertentu. Nih, saya saja ngomongnya sampai ngumpet-ngumpet. Ini menghindari search di goggle yang tidak perlu.

Maka, hal berikut yang saya tetapkan sejak awal adalah, kami akan membicarakan seks secara ilmiah. Hanya secara ilmiah. Itu berarti kami akan memakai kata-kata yang ilmiah, dan tidak memakai bahasa bayi. Kami akan memakai kata vagina, penis dan payudara seperti kami memakai kata tangan kaki, hidung dan mata. Karena ini adalah hal yang ilmiah, saya pun bersikap selaras dengan berbicara dengan tenang dan intonasi yang wajar, sehingga tidak bisa dipersepsi ambigu.

Sejak awal ini adalah salah satu aturan dasar yang saya kemukakan di awal pembahasan tema pubertas. Saya juga menegaskan bahwa kami akan bicara secara ilmiah, itu berarti tidak ada yang lucu, tak ada yang tertawa, menertawakan, dan ditertawakan. Apa yang kami bahas adalah confidential; itu berarti tidak membicarakan pengalaman orang lain di luar diskusi. Itu berarti tidak mempermalukan siapapun. Ada kegiatan yang membutuhkan wawancara, misalnya, tapi saya hanya akan meminta slip bahwa anak sudah melakukan wawancara, lalu hasilnya akan kami bahas secara lisan saja.

Untuk menjembatani rasa enggan atau malu yang mungkin masih ada, saya membuka kotak pertanyaan. Anak-anak boleh memasukkan pertanyaan, anonim atau tidak, dan kami akan menyisihkan waktu untuk membahasnya di akhir sesi pelajaran. Anak-anak saya beritahu bahwa ada pertanyaan yang bisa saya bahas di dalam diskusi kelas, ada yang mungkin akan saya jawab secara pribadi, atau ada juga yang tidak akan saya jawab, atau mungkin saya anjurkan untuk ditanyakan pada orang tua atau ahlinya (dokter, misalnya). Saya tak pernah khawatir anak-anak bertanya terlalu jauh sebab saya tahu mereka akan bertanya sesuai kapasitas pemahaman mereka. Kalau mereka tanya, berati mereka sudah siap untuk tahu atau sudah mulai berpikir sampai situ.

Mengingat salah satu misi pendidikan seks bagi saya adalah mendorong sikap saling menghormati, maka saya membicarakan organ reproduksi dan pubertas pada laki-laki dan perempuan bersama semua anak laki-laki dan perempuan. Tujuan ini saya nyatakan dengan eksplisit sejak awal. Pada akhirnya saya memperhatikan bahwa anak laki-laki lebih tertarik pada bahasan tentang laki-laki, begitu juga anak perempuan. Beberapa bulan setelah itu, anak-anak masih saling mengingatkan bahwa menstruasi dan mimpi basah bukanlah mainan untuk ditertawakan dan untuk mengejek teman. Kita mempelajari semua itu agar saling menghormati satu sama lain.

Bagaimana hasilnya? Barangkali orang tua bisa bercerita lebih jauh. Guru kelas 6 melaporkan anak-anak masih ingat dan bisa bercerita dengan baik tentang sistem reproduksi manusia. Anak-anak pun bicara tentang sistem reproduksi dengan bahasa yang tepat, tidak pakai malu-malu atau salah tingkah, seperti mereka bicara tentang sistem pernafasan dan pencernaan.

Anak-anak jadi tahu banyak, dong, Bu? Tentu saja. Mereka pun mengajukan banyak pertanyaan sebagai hasil dari “insight” selama belajar. Jadi kalau aku sudah menstruasi, tandanya aku sudah bisa hamil? Apakah sperma dan ovum bisa bertemu lewat berciuman? Tentu tidak, jawab mereka sendiri. Mengapa? Karena jalurnya berbeda, bu. Hidung dan mulut tidak termasuk sistem reproduksi.

Kalau mereka bertanya macam-macam, apa yang bu tia lakukan? Saya jawab baik-baik. Mereka bertanya karena mereka ingin tahu. Mereka bertanya pada saya sebab mereka percaya saya akan memberi tahu mereka informasi yang benar, tidak bohong, dan tidak menyesatkan. Saya memilih untuk menghargai rasa percaya mereka.

Maka ayah dan ibu, daripada khawatir, mungkin lebih tepat bersyukur jika anak-anak bertanya tentang seks. Anak-anak percaya pada anda untuk membicarakan hal-hal yang disebut orang tabu atau sensitif. Anda sudah pegang kuncinya; rasa percaya itu. Anda bisa menggunakannya untuk membawa mereka masuk ke dalam nilai-nilai keluarga yang ingin anda teruskan pada mereka.

Selamat berbagi.


Tuesday, August 05, 2008

Brokoli di Kamar Mandi

Tahun ini, tema sistem pernafasan benar-benar menyerap perhatian anak-anak kelas 5 sampai sudut terkecil. Mereka selalu riang gembira setiap kali saya datang dan selalu bertanya, 'Lagi? Percobaan lagi?'

Ya, saya tidak heran mereka senang, karena sejak hari ke dua saya sudah mengajak mereka main air untuk mengukur kapasitas paru-paru. Hari ini saya membawakan mereka coffee straw dan sedotan biasa utk mencoba bernafas dengan "trakea mengecil".

Hari ini, sekali lagi saya mengajak murid-murid saya bicara dengan rokok.

Thalia yang suaranya masih kecil (tapi relatif jauh terdengar) memekik keras saat kami membaca komposisi tar. Dan Riri langsung menemukan taglinenya.

Ditanya apa yang akan dia katakan kalau diajak merokok, jawaban Riri adalah, "Maaf, mulutku bukan kamar mandi."

Saya ceritakan apa yang saya baca pada anak-anak.

Saya : 1 dari 4 orang perokok mulai merokok sebelum usianya 10 tahun.

Dhimas : Kalau begitu aku pasti bukan 1 dari 4 orang itu! (dia baru saja ulang tahun yang ke 10)

Saya : Kabarnya 1 batang rokok memperpendek hidupmu 4 menit.

Anak-anak : WAH! Coba kalau dikalikan 100!

Adinda : Waktu itu Dhimas juga cerita, dia membaca kalau makan 1 brokoli memperpanjang usia 12 menit.

Dhiadri cekikikan di meja yang lain. Ia mulai berhitung bersama Agung, bahwa 3 batang rokok setara dengan 1 brokoli.

Hihihihi.


Kami membicarakan berbagai istilah tentang perokok pasif, serta social smoker.

Dhimas bilang, "Ayahku hanya merokok dengan teman-temannya. Ayah tidak pernah melakukannya di rumah. Sayangnya, Ayahku jarang di rumah. Dia cuma di rumah kalau sakit. Lucunya bu, sekarang dia sakit seminggu sekali. Setiap hari Minggu."

Halah, kelas ini....

Friday, August 01, 2008

Super Hero

Saya punya separation anxiety, jadi masih sering clingy.

Kelas 6 (sekarang bersama Bu Andin) sedang belajar tentang ciri-ciri khusus makhluk hidup. Bu Andin membuat rencana pelajaran dengan meminta anak-anak merancang satu superhero berdasarkan hewan tertentu. Jelas, mereka harus paham betul ciri-ciri khusus si hewan atau superheronya jadi tidak super (dan habis dibantai teman-teman).

Beberapa kali anak-anak bercerita selintas tentang tugas ini. Dhara chatting dengan saya sambil "browsing tentang superhero". Mita yang bergelantungan di ayunan juga bercerita bahwa Adam sangat bersemangat dan serius menyiapkan superheronya.

Ketika unit ini selesai, Bu Andin pun terheran-heran. Ternyata anak-anak kelas 6 sudah jago ngeles, alias pandai membantah dan mempertahankan pendapatnya. Semua daftar kata yang direncanakan Bu Andin untuk dipelajari anak-anak pada unit ini, muncul saat presentasi tanpa kecuali dan tanpa paksaan. Mereka memang butuh kata-kata itu untuk menjelaskan superheronya dengan baik.

Saya percaya bahwa anak-anak memang menguasai bahan dan jelas tidak akan mudah lupa.

Itu adalah tantangan terbesar bagi saya saat menyiapkan rencana pelajaran. Bagaimana, apa, yang dapat saya lakukan untuk membuat anak-anak sepenuhnya terlibat? Bagaimana saya tahu mereka terlibat dan kegiatan itu bermakna bagi mereka?

Parameter "bodoh" saya adalah:
1. Kegiatan menjelaskan, diskusi terpimpin, atau semacam itu, hanya terjadi 15- 20 menit saja.
2. Selebihnya anak-anak mengerjakan sesuatu tanpa kecuali. Tak ada yang diam saja, atau sibuk mengganggu teman. Dan ini terjadi dengan sendirinya tanpa saya suruh dan tanpa saya peringatkan bahwa mereka harus tenang. Bahkan, biasanya mereka akan tetap berbicara tentang apa yang dikerjakan, tapi tidak mengobrol
3. Saya tidak dihujani pertanyaan boleh gini boleh gitu atau aku nggak ngerti. Jika terlibat penuh, anak-anak tahu bahwa saya ada dan siap membantu mereka, tapi mereka lebih ingin mengerjakannya sendiri.
4. Mereka marah kalau waktunya habis.

Parameter ini saya gunakan untuk melihat berkeliling kelas selagi menunggui dan membantu mereka bekerja.

Menyiapkan kegiatan yang akan membuat anak-anak terlibat sepenuhnya memang perlu waktu sedikit lebih panjang dan usaha sedikit lebih banyak. Tetapi melihat hasilnya, kadang-kadang saya merasa mau saja mengusahakannya dua kali lipat lebih keras.

Tidak hanya ingatan anak-anak bertahan lebih lama, tapi masalah-masalah perilaku di kelas juga jadi menurun drastis. Tak ada acara ngambek dan bertengkar. Saya tak perlu marah karena suara anak-anak terlalu keras. Saya juga tak perlu kesal karena merasa anak-anak lambat, tidak antusias, tidak kreatif, malas-malasan, dan semacamnya. Saya tak perlu jadi gembala yang sibuk menghela-hela kambing ke satu arah saja.

Karena kami, saya dan anak-anak, sama-sama menikmati pengalaman belajar itu dengan perasaan gembira....

Wednesday, July 16, 2008

Hari Pertama

Hari pertama.

Anak-anak kelas 6 mulai muncul di sekolah sebelum pukul tujuh pagi dan sudah berlari-lari ke kelasnya. Ketika dipeluk dari belakang, saya merasa dipeluk raksasa...hihihihi.
Mereka benar-benar siap sekolah lagi sampai-sampai belum waktunya masuk kelas sudah duduk manis semua di mejanya. Bu Andin menyuruh mereka main keluar, karena masih ada waktu, dan anak-anak berkilah bahwa mereka mau di situ saja. Akhirnya kelas 6 masuk kelas 10 menit lebih awal.

Saya menemani kelas 5 makan snack pagi, bertanya-tanya mengapa mereka tampak begitu dewasa dan tidak teriak-teriak tak tentu seperti biasanya. Selesai makan, Dhimas mengomentari hot dog besar yang ia habiskan sekali makan. Tidak pernah begitu lho Bu, biasanya. Dalam hati saya bilang, lihat saja tahun ini, pasti mulai wabah kelaparan di kelas 5. Dhimas dan Agung menyelesaikan membuat sampul buku.

"Why don't you play outside? This is your first day!"

"Don't worry, Bu. There will be another 200 days."

Saya bilang pada anak-anak kelas 5 bahwa saya akan mengajar IPA dan Bahasa Indonesia. There will be a lot of writing, (Oh nooooooooo!!!!) dan Thalia yang sekarang tak terlalu pendiam lagi, memandang saya berbinar-binar. Ya, ya, saya pasti akan melihat banyak tulisan bagus darinya tahun ini.

Sepulang sekolah, Carlo berpegangan pintu pagar mungil sekolah dan bilang pada ibunya, "Kok sekolahnya sebentar sekali?!"

Sekolahnya atau mainnya yang sebentar?

Mereka dan saya tertawa.


Tapi, hari ini saya melihat pemandangan yang membuat saya tersenyum. Serombongan bapak dan ibu yang begitu bangga pada anak-anak TK A dan Kelas 1nya sehingga nyaris tak beranjak dari jendela-jendela kelas.

Hebatnya, tidak ada yang menangis karena takut ditinggal hari ini! Yey!

Monday, July 14, 2008

Two Days Before The First Day

Mini : Hari Rabu ada yang harus dibawa, tidak?

Saya : Makanan untuk snack pagi :)

Mini : Maksudnya di luar dari yang biasa kita bawa.

Saya : a whole bag of spirit? :)

Mini : Hahahaha... Memangnya kita biasanya nggak bawa itu ya, Bu?

Saya : -- jadi malu -- Hehehe, biasanya kalian bawa kok. Malah banyak.

Mini : We're always excited.

Saya : Oh, i will quote this.

Sunday, July 13, 2008

Mengeluh

Ini adalah keluh kesah lama yang sudah amat lama pula bersarang di kepala saya. Terpicu kembali dengan nilai UAN seseorang di ujung desa yang lantas tidak bisa masuk sekolah negeri karena nilai UANnya kurang sedikit.

Saya tahu di sebuah sekolah maha unggulan di Jakarta ini menyeleksi calon siswanya hanya dari nilai ujian akhir sejak namanya EBTANAS sampai UAN. Rata-rata nilai yang dibutuhkan untuk menembus sekolah maha unggulan itu ((ketika hanya 3 mata pelajaran diujikan, pada suatu tahun) adalah lebih dari 9,5. Ya, kalau 9, 5 boleh deg-degan belum tentu diterima deh. Mungkin tahun ini, dugaan saya, sekitar 9.

Maka keluh kesah lama saya mencuat lagi.

Apa sebenarnya kriteria sekolah maha unggulan itu? Sekolah yang isinya anak-anak super pandai dengan fasilitas maha lengkap?

Mengapa logika itu tak masuk-masuk di kepala saya? Sebab menurut saya tidak ada susahnya mengumpulkan anak paling pandai seantero Jakarta, lalu berbangga hati karena sekolah itu selalu berhasil memasukkan mantan murid-muridnya ke sekolah-sekolah lanjutan terbaik. Atau diberi nama unggulan karena alasan itu. Atau selalu dapat kemudahan memperoleh fasilitas terbaik hanya karena mengumpulkan anak pintar?

Hah, bukannya anak sepintar UAN dengan rata-rata nyaris 10 itu dilepas di lapangan berumput juga tetap pintar, ya?


Sepertinya saya memang salah mikir.

Seorang teman saya mewawancara calon murid baru di kelas 1 dan bercerita saat makan siang.

Eh, saya tadi bertemu seorang anak dari sekolah A. Dia mau masuk sekolah kita. Lalu, kami mengobrol, dan saya pikir sebaiknya dia masuk sekolah kita.

Kenapa, saya tanya.

Dia manis sekali. Mengerjakan apa-apa selalu rapi. Ditanya juga selalu menjawab, dan jawabannya baik. Pintar juga. Tapi bukan itu alasan saya.

Lalu, apa?

Dia tidak bisa senyum. Ketawanya malu-malu. Saya pikir ia harus ada di sekolah kita supaya bisa lebih lepas tertawa dan berani.

Kami saling pandang dan cengar-cengir.


Tidakkah seharusnya sekolah unggulan bisa berpikir lebih hebat dari obrolan kami itu? Sekolah unggulan mestinya bisa mengembangkan siapa saja yang masuk ke sana menjadi jauh lebih baik. Mestinya sekolah unggulan tidak bangga karena berhasil menyeleksi anak-anak yang pandai, tapi anak-anak yang butuh. Sebab mestinya sekolah unggulan yakin bahwa mereka bisa memenuhi kebutuhan murid-muridnya. Mestinya sekolah unggulan tidak bangga karena statistik kelulusan dan penerimaan di sekolah lanjutan bergengsinya amat tinggi. Mestinya sekolah unggulan bangga karena murid-muridnya jadi tahu minat dan kemampuan mereka dan berhasil mencari jalan menuju sekolah-sekolah terbaik sesuai minat dan kemampuan mereka.


Sekolah unggulan mestinya sudah lebih unggul dari bicara tentang angka. Mereka mestinya sudah lebih maju dan bicara tentang bangsa.


Saya hanya bisa berharap, mereka yang tak mampu masuk sekolah unggulan karena nilai UANnya tidak sempurna, tak berpikir bahwa mereka kurang berharga. Bahwa mereka tidak punya kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik, atau bahwa mereka merepotkan orang tua yang tidak bisa berbangga hati. Semoga mereka tak termakan sistem pendidikan di negara ini yang memberi pesan bahwa a good learner should be perfect.

Wednesday, July 09, 2008

School Sick



Selama liburan ini saya sering chatting bersama anak-anak. Paling sering ngobrol bersama Mini. Hari ini, Riri juga ikut mengobrol sebentar. Mini sudah ingin masuk sekolah lagi. Acara bekerja di sekolah saya bersama guru-guru lain dianggap Mini sebagai, 'Bu Tia sih enak, tiap hari ke sekolah."

Sekolah baru akan dimulai satu minggu lagi.

Riri bilang, dia kangen berat dengan sekolah. And she called it, a school sick.

hihihi....

Friday, June 27, 2008

Berpikir Positif

Dari berbagai jenis anak-anak yang pernah saya temui, mulai yang amat pemalu sampai mudah menangis, saya paling sedih jika bertemu dengan anak-anak dengan negative thinking kronis.
Apapun di sekitarnya menyebalkan.
Teman-temannya tak ada yang baik.
Gurunya galak.

Tak peduli sebaik apa ia diperlakukan, banyak dipuji, ditemani dengan tulus, dibuat senang, dimaklumi, tetap saja, semua buruk.

Temanku mendiamkan aku.
Kelompokku tak bisa bekerja sama.
Aku selalu diejek.
Semua tahu aku benci si anu.
Aku capek.
Semua tak peduli.

Sungguh miris rasanya. Khawatir saya dalam hati. Saya tahu betul hal-hal seperti ini cenderung menetap. Kebiasaan berpikir buruk tentang apa saja menetap hingga tua. Hingga menjadi orang yang tidak bisa bahagia serta lelah tak putus-putus. Dan, entah bagaimana, sepertinya semua kejadian buruk suka pada orang seperti ini.


Selain mencontohkan, selain tak bosan-bosan mengingatkan, selain tekun hanya menegur tingkah laku yang salah, bukan person yang saya benci... apa lagi yang bisa saya lakukan sebagai orang dewasa di dekat anak-anak seperti ini?


Bagaimana cara berbagi bahwa bahagia, bahkan surga itu hanya sebatas berpikir positif dan punya harapan?

Tuesday, June 17, 2008

Pelajaran Bernama PLKJ, eh, PLBJ

Jadi, pada semua sekolah dasar di Jakarta, ada sebuah mata pelajaran muatan lokal bernama PLKJ, eh, ternyata baru saja saya tahu namanya menjadi PLBJ (Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta).

Apa isinya?

Macam-macam; permainan tradisional, cerita rakyat, kesenian Jakarta dan masalah lingkungan seperti air, polusi, sampah, dan sebagainya.

Sepintas tampak menarik, tapi kalau melihat bagaimana materi disajikan dalam buku pelajaran aneka penerbit , atau bagaimana permainan tradisional DIUJIKAN dalam pilihan ganda, kadang-kadang saya pun ikut putus asa.

Tetapi, untuk apa mengomel terus? Di kuartal terakhir ini saya tidak membuat kuis, evaluasi, atau bentuk tertulis apapun tentang PLKJ atau PLBJ itu. Kelas 5 membahas tentang ruang terbuka hijau dan selama berminggu-minggu kami berkutat membuat maket kota dengan ruang hijau 30 %.

Kami sudah tahu, Jakarta padat luar biasa. Kami juga sudah tahu orang-orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta tak mungkin diusir. Kami tahu bahwa seharusnya ada 30 % ruang terbuka hijau di sebuah kota, sementara Jakarta hanya punya 7 % saja. Sebagian berupa lapangan golf, yang tentu saja tak bisa dinikmati banyak orang. Can we do something about it?

Dengan aneka persediaan art and craft di kelas, ditambah barang-barang bekas, jadilah anak-anak membuat maket kota dengan syarat, 30 % ruang terbuka hijau.

Saat presentasi tiba. Kelompok Lika, Mita, dan Dito menggotong maketnya ke depan kelas dan mulai bercerita. Mereka menempatkan hutan kota di sebelah tempat parkir mobil yang padat. Mereka membuat taman atap dan mengganti semua pagar besi dengan tanaman merambat atau tanaman yang bisa dijadikan pagar. Mereka membuat peraturan setiap rumah harus menanam satu pohon (atau meletakkan pot-pot tanaman) dan memperlebar bahu jalan sehingga orang bisa bersepeda atau berjalan kaki. Mereka bahkan menambahkan ide jembatan akar (seperti yang ada di Sumatera Barat) untuk menghubungkan gedung satu dan lainnya!

Teman-teman yang lain terkesan dengan presentasi mereka sehingga berkomentar, "Ini sepertinya agak belum selesai (menunjuk bagian putih kosong dan pondasi supermarket). Kamu selesaikan saja, lalu kirim ke pemerintah."

Kelompok Adam, Bram, Putu dan Saras membuka presentasi dengan kalimat, "Kelompok kami lebih fokus pada life style."

Maksudmu?

Mereka menunjukkan maket kota yang amat sibuk dan penuh gedung-gedung tinggi, berikut mobil sport warna cerah yang melintas. Adam menunjukkan restoran cepat saji dekat taman kota yang tidak menyediakan kemasan plastik. "Pengunjung harus bawa gelas sendiri, dan di kota ini trendnya begitu."

Mereka membuat area khusus jalan kaki dan bersepeda yang cukup luas. Hanya jalan utama saja yang bisa dilintasi mobil. Selebihnya, harus jalan kaki atau naik sepeda, kata mereka. Kemudian, Adam dengan bangga menunjukkan kompleks pemakaman yang hijau dan penuh bunga-bunga hasil karyanya. Teman-teman tertawa, tapi mereka setuju bahwa kelompok ini pun berusaha menghijaukan kotanya.

Saya tak perlu ujian bukan, untuk melihat apakah anak-anak mengerti tentang apa gunanya ruang hijau dan bagaimana menambah ruang hijau. Apakah mereka akan ingat materi ini?

Beberapa hari kemudian, saat makan siang, seseorang bercerita dengan nada kesal pada saya,
"Bu, ternyata ada lho peraturannya bahwa setiap rumah itu harus ada pekarangan dan pohonnya!"

Sunday, June 15, 2008

I hate saying goodbye

Sekali lagi, satu tahun ajaran berlalu. Saya tak perlu lagi bercerita betapa sibuk dan rusuhnya kami tahun ini. Anda sudah menikmatinya bersama kami, - tanpa terasa- sepanjang tahun ini.

Saya belum pernah merasa puas mengakhiri suatu kelas seperti kali ini. Secara statistik peta nilai anak-anak semakin 'merapat ke tengah'. Ini berarti saya makin jarang menemui nilai 3 atau 4. Sebaliknya anak-anak yang biasa berada di jajaran nilai tinggi masih awas bahwa jika tidak menguasai materi, nilai mereka bisa menggelinding ke tengah. Mita yang biasanya mudah panen nilai 90 dan 100 misalnya, agak lama merenungi nilai ulangan umum IPA yang hanya 82. "Aku ketiduran Bu, waktu belajar."

Dan, saat saya duduk di meja membaca lembar-lembar self evaluation anak-anak, saya makin terharu-bangga-sedih lagi.

"Akhirnya bu, aku bisa bilang aku suka matematika. Aku rasa matematika bisa menantang aku berpikir".

Anak ini sejak dulu saya kenal anti matematika. Ia selalu berkeluh kesah dan menggigiti kuku juga ngantuk saat jam matematika tiba. Coba tebak, hasil akhir evaluasi matematikanya adalah 92!

"Aku bangga sekali dengan peta Kalimantan yang kubuat. Ini tugas paling sulit kuartal ini, perlu ketelitian dan hati-hati. But I made it!"

Ia dilaporkan psikolognya punya kesulitan visual motorik yang salah satunya berarti sulit menyalin. Ia berhasil memperbesar peta Kalimantan dua kali lipat dengan tangannya sendiri dan hasilnya amat mengaggumkan.

"Aku sangat suka dengan tugas pariwisata. Aku jadi sadar bahwa Indonesia itu besar, kaya, dan amat indah. Cara presentasi kami kemarin juga sangat menantang!"

"Aku tidak pernah berwisata. Tapi ternyata aku bisa membuat program wisata yang seru. Aku mau buat lagi yang lebih bagus!'

"Aku pikir tahun ini aku sudah lebih mandiri dan bertanggung jawab. Aku bisa mengatur sendiri tugas-tugasku agar selesai tepat waktu."

Semua yang mereka tulis sama dengan catatan-catatan saya tentang mereka. Saya dan mereka ternyata dapat menilai perkembangan mereka dari sudut pandang yang sama. Buat saya ini hal yang amat penting. Anak-anak punya self concious yang tinggi. Inilah bekal mereka untuk mengenali dirinya sendiri. Jika mereka sudah kenal dirinya sendiri, bisa mengukur kekuatannya, mengenali kelemahannya dan tahu strategi apa yang mereka butuhkan untuk maju,..

...saya rasa mereka sudah siap pula untuk berkembang sendiri.

Anak-anak pun berbaik hati menulis evaluasi tentang saya. Yang mengharukan adalah, pernyataan mereka menunjukkan bahwa mereka mengenali tujuan saya.

"You know how to teach us in the way we like, Bu Tia."

"Aku senang Bu Tia selalu menegur kalau ada yang berbuat salah. Aku jadi ingin berusaha untuk tidak membuat kesalahan."

Seusai berdoa di hari terakhir kelas kami Jumat lalu, anak-anak enggan mengucap selamat siang. Kami hanya saling memandang dan berkata selamat siang dengan lirih.

"Terima kasih untuk tahun ini," kata saya sebelum mulai berkaca-kaca lagi.

Anak-anak lalu berlarian keluar menyanyi tentang liburan.

Oh, i hate saying good bye.

Wednesday, June 11, 2008

Si Anak Tengah

Suatu ketika, saya pernah membaca buku yang ditulis seorang guru. Ia menceritakan pengalamannya mengajar di salah satu kelas, dari sekian puluh kelas yang pernah diajarnya puluhan tahun.

Saya ingat, dalam salah satu halamannya, ada murid guru ini yang berkomentar bahwa gurunya adalah guru yang baik karena sangat peduli pada murid-muridnya yang perlu perhatian khusus dan sangat menghargai anak-anak yang cerdas. Murid kecil ini adalah "si anak tengah" di kelas. Anak yang tidak pernah merepotkan, tapi juga tidak menonjol. Murid kecil ini melanjutkan, tapi kadang-kadang saya senang kalau Ibu juga punya waktu untuk saya.

Jawaban itu membuat saya tersentuh.

Hari ini saya mendapat teguran serupa. Kemarin, saya meninggalkan kelas siang hari karena ada keperluan lain. Anak-anak menulis refleksi akhir tahunnya ditemani Ibu Andin. Baru tadi pagi saya berkesempatan membaca tulisan anak-anak.

Salah seorang menulis begini, untuk saya

"Ibu, hati-hati kalau tahun depan ada yang kesusahan. Soalnya saya sering."

Apakah kalimat itu membingungkan? Baik, mudahnya seperti ini: Ibu, tahun depan coba lebih perhatian pada anak-anak yang (diam-diam) mengalami kesulitan. Saya sering mengalami kesulitan (dan tidak tahu harus bagaimana).

Murid saya ini adalah anak yang amat ceria dan murah hati. Hanya saja ia sering mengalami kesulitan mengekspresikan dirinya dan menangkap ekspresi orang lain dengan tepat. Dalam urusan pelajaran, ia SELALU antusias; tak pernah mengeluh, tapi jarang juga mendapat hasil yang benar-benar baik. Ada kalanya saya menganggap itulah usaha maksimalnya dan saya tidak selalu mendorongnya hingga ke puncak.

Kalimat yang ia tulis membuat saya amat merasa bersalah sekaligus sedih.

Murid saya hanya sepuluh dan saya guru yang amat antusias. Tetapi, tetap saja, ada yang terlewat dari perhatian saya dan ternyata hal itu adalah hal penting baginya. Bukankah saya semestinya peka?

Ah, Nak, maafkan Bu Tia ya, kalau ternyata saya masih harus banyak belajar membagi perhatian bahkan pada hal-hal yang tak terlihat kasat mata di depan saya tapi sebenarnya ada.

Monday, June 09, 2008

Taking Pictures

Saya tidak pandai memotret, tidak sebaik saya menulis. Tapi sepanjang tahun mengajar, saya senang memotret anak-anak dalam berbagai kegiatannya. Setelah sekian tahun, saya baru menyadari bahwa saya menyimpan foto-foto anak-anak sejak mereka masih ompong (karena gigi susunya baru tanggal) sampai sekarang gigi mereka sudah tumpang tindih. Hehehe.

Satu hal yang tidak berubah dari foto-foto itu. Sejak dulu sampai sekarang mereka selalu tampak engaged dengan keadaan sekitarnya. Di mana-mana saya selalu melihat mata yang antusias, tangan yang sibuk, dan senyum yang selalu terkembang. Ditambah kelas berantakan dan pakaian warna-warni mereka, foto-foto itu jadinya nggak jelek-jelek amat.

Saturday, June 07, 2008

Tersisa Satu Minggu (1)

Satu minggu sebelum ulangan umum di sekolah adalah minggu paling rusuh. Susah sekali mendapatkan jatah ruang terbuka karena hampir semua kelas memilih untuk melakukan permainan di luar ruangan.

Satu minggu sebelum ulangan umum.

Anak-anak justru sibuk teriak-teriak kegirangan dan berlarian.

Sekolah aneh.

Wednesday, June 04, 2008

Lagi, tentang Indonesia

Melanjutkan cerita Planet Kesepian, akhirnya anak-anak jadi juga bermain peran jadi agen wisata dan wisatawan. Kegiatan yang saya jadwalkan hanya satu kali pertemuan molor jadi dua kali pertemuan. Bergantian anak-anak mempresentasikan program wisatanya pada teman-teman yang berlagak jadi wisatawan (dengan topi, backpack, dan kacamata hitam).

Serius lho, mereka berjualan program dan cerewet bertanya pada teman. Ada yang membawa kain songket dan tenun ikat Nusa Tenggara segala untuk ditunjukkan pada calon-calon klien. Kelas kami riuh rendah dengan suara lima orang pedagang paket tur dan lima orang klien super cerewet. Saya berkeliling sambil mendengarkan ocehan mereka.

Adam : Jadi apa lagi yang bisa saya lihat.
Lika : Oh, ini ada adu kerbau yang menarik. (Sedang bercerita tentang Sumatera Barat).
Adam : Wah, jangan itu. Saya takut adu kerbau.
Lika : Selain itu Bapak bisa juga berkunjung ke Jam Gadang. Bapak bisa foto-foto di sana.
Adam : oooo.... Jam Gadang seperti di New York ya?
Lika : (hening sejenak) Hm, maksud bapak seperti di London?
Adam : hihihi, ya ya ya. Itu maksud saya. Terima kasih ya (sambil menepuk-nepuk bahu Lika).

Mereka meneruskan pembicaraan sampai ke acara jalan-jalan ke Nias. Lika bercerita tentang masakan dari daging anjing. Adam yang sedang jatuh cinta pada golden retriever peliharaannya langsung protes.

Adam : Daging anjing? Apa tidak kasihan itu mereka? Aduuh, tur anda kok serem sekali ya. Saya jadi mikir-mikir mau ikut atau enggak.
Lika : (Jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan Adam yang amat rinci) Itu bukan salah saya Pak, itu salah daerahnya.

Huahahahahaha.

Anak-anak benar-benar menyiapkan diri dengan pilihan penginapan dan transportasi, paket harga, dan rangkaian acara. Kadang-kadang mereka jadi lebih asyik memilih hotel daripada mencari tahu tentang keistimewaan tiap daerah sehingga saya mesti mengingatkan.

Kegiatan ini seru. Tapi lain kali, saya akan memberi panduan yang lebih jelas supaya mereka tidak kehilangan arah atau terlalu repot mencari informasi sekunder. Ujicoba ini saya nilai cukup berhasil. Anak-anak jadi tahu lebih banyak tentang berbagai tempat di Indonesia.

Di akhir kegiatan saya minta mereka mengurutkan tujuan wisata favorit mereka. Papua, Kalimantan, dan Sumatera nyaris sama banyak peminatnya.

Tuesday, May 20, 2008

Baca Koran

Tahun ini UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional) untuk tingkat SD mulai diberlakukan. Minggu lalu saya membaca sebuah artikel di surat kabar yang menarik.

Hanif Nurcholis menunjukkan dengan gamblang dan hati-hati (wah, saya yakin beliau mengajar dengan enak dan jelas di depan kelas) bagaimana UASBN untuk mata pelajaran Indonesia tidak valid mengukur hasil belajar yang sesuai dengan standar dan proses belajar di kelas.

Begini, sederhananya, pelajaran Bahasa Indonesia mencakup ketrampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Jadi selama di Sekolah Dasar, anak-anak belajar berkomunikasi dengan empat cara itu. UASBN hanya menguji aspek membaca dan menulis saja. Dengan asumsi empat aspek itu sama pentingnya dan diajarkan dengan pembagian waktu yang merata, maka UASBN hanya menguji 50 % dari isi kurikulum nasional pelajaran Bahasa Indonesia.

Benar begitu?

Soal-soal UASBN adalah soal berbentuk pilihan ganda. Semua soal pilihan ganda. Bagaimana menilai ketrampilan menulis dalam soal pilihan ganda? Apakah pertanyaan pilihan ganda tentang penggunaan awalan ber-, misalnya, merefleksikan kemampuan anak mengekspresikan dirinya dalam menulis? Apakah soal pilihan ganda untuk memilih mana pantun, dan mana puisi menggambarkan kemampuan anak membuat puisi? Apakah memilih mana pembuka surat yang paling sopan bercerita tentang kemampuan anak menulis surat?

Rasanya sih tidak, ya.

Benar kata Hanif Nurcholis bahwa menulis adalah kemampuan produktif untuk mengembangkan gagasan di otak. Sedang membaca soal pilihan ganda tidak ada urusannya dengan memproduksi gagasan.

Berarti, sebenarnya UASBN hanya menilai aspek membaca saja. Lho, berarti tidak hanya 50 % tetapi 25 % dong.

Tulisan Hanif Nurcholis ini menguatkan apa yang selalu saya risaukan. Bahwa ujian semacam UASBN tidak selalu adil menilai proses belajar yang terjadi. Bahwa untuk ikut ujian anak-anak harus berlatih ekstra keras, menginap di rumah kepala desa, dan seterusnya, buat saya tidak masalah. No pain, no gain. Dengan kerja keras mereka akan ingat bahwa hasilnya tidak boleh disia-siakan. Tapi, apa gunanya kerja keras kalau ternyata alat ujinya tidak valid dan reliable?

Meski saya juga masih kalang kabut belajar mengajar Bahasa Indonesia, saya cukup kagum dengan perkembangan bahasa anak-anak di sekolah kami. Kelas 5 setidaknya sudah lima tahun bersama kami belajar menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Anak-anak tahu waktu dan tempat untuk menggunakan bahasa formal dan non formal. Mereka selalu presentasi dengan suara keras dan jelas. Anak-anak hampir tak pernah lagi bertanya di luar konteks pembicaraan. Mereka tahu bagaimana berdebat dan berbeda pendapat. Mereka menyelesaikan masalah dengan berbicara baik-baik. Kecepatan dan ketepatan membaca mereka 20 % di atas batas kecepatan dan ketepatan membaca yang disyaratkan oleh standar kompetensi nasional. Mereka bisa dan biasa menggunakan daftar isi, indeks, ensiklopedi, buku, dan kamus.

Kegiatan kami membuat laporan buku setiap kuartal sering membuat saya terkagum-kagum. Ketika guru SMA masih memberi tugas membuat sinopsis novel, anak-anak di kelas saya sudah membahas penokohan dan latar cerita. Beberapa anak melesat jauh menggunakan kalimat-kalimat yang mengagumkan seperti


...buku ini memiliki tema sederhana, namun pengembangannya amat menarik...

...Dini adalah anak yang suka berpikir tetapi sering memilih untuk diam, sehingga ia terkesan sebagai anak yang pendiam...

...sayang, pengarang buku ini kurang memberi ruang kepada pembaca untuk...

... buku ini memiliki alur bolak balik sehingga menarik untuk dibaca...

Beberapa yang lain juga berkembang jauh jika kita membaca tulisan pertama mereka, dan laporan buku yang terakhir diserahkan. Dibalik itu, mereka semua amat terbuka pada umpan balik dan biasanya selalu mau memperbaiki tulisannya untuk diperiksa ulang!

Semua ini tak akan tampak dalam soal pilihan ganda UASBN.

Saya sedang berpikir untuk mengajari anak-anak membuat portfolio. Semoga sempat ya, mengingat tiga minggu ke depan jadwal kami luar biasa padat. Saya ingin mengajak mereka mengumpulkan karya-karya terbaiknya, dan menjilidnya menjadi satu. Kelak, di sekolah manapun mereka diwawancara untuk masuk, saya akan minta mereka membawa porfolionya dan bercerita apa yang sudah mereka kerjakan.

Sunday, May 18, 2008

Planet Kesepian

Minggu-minggu ini anak-anak sedang luar biasa sibuknya. Selain kerja bakti mengurus barang-barang sumbangan hasil program amal, anak-anak juga sedang khusyuk menyiapkan program wisata ala kelas 5. Kunjungan Bu Indri akhir minggu yang lalu ternyata cukup sukses membuka mata mereka tentang apa yang bisa dilakukan di Indonesia.











Ya, itu salah satu foto kelas -sedang-riset-dan-berantakan- kami. Anak-anak bekerja berpasangan. Masing-masing memilih salah satu wilayah di Indonesia, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku, atau Nusa Tenggara. Jawa dan Bali kami tinggalkan, karena menurut anak-anak sudah terlalu sering dibahas.

Dengan satu seri ensiklopedi Indonesian Heritage, Webster Dictionary, atlas Bakorsurtanal, serta banyak sekali pinjaman buku dari kawan-kawan kami, anak-anak mulai bekerja. Saya membebaskan mereka memilih salah satu provinsi, seperti Dito dan Leo yang memilih Sulawesi Utara, atau membuat rangkaian perjalanan wisata di beberapa provinsi, seperti apa yang yang dilakukan Lika dan Saras. Sudah 4 jam pelajaran anak-anak melakukan hal yang sama, dan mereka tampak tidak bosan.

Anak-anak perempuan ini tampak sudah mahir mencari dan mengelompokkan data. Mereka mencoba membuat rencana perjalanan dan mencari banyak alternatif kegiatan. Bram dan Adam lebih praktis. Mereka catat apa saja yang mereka temukan tentang Kalimantan, lantas membuat jadwal perjalanan.

Leo dan Dito ternyata menikmati kegiatan mereka membaca. Leo, yang biasanya saya keluhkan amat sedikit membaca, ternyata cukup anteng di depan sebuah seri ensklopedi. Saya lihat ia membaca dengan sungguh-sungguh tentang Topeng Cirebon (padahal tugasnya mencari kesenian di Sulawesi). Saya urungkan niat saya menegurnya karena tampaknya ia begitu tertarik pada apa yang dibacanya sampai tertawa kagum sendiri.

Salah satu buku yang menjadi favorit anak-anak adalah panduan wisata Planet Kesepian. Kelengkapannya menganggumkan. Cara bertuturnya lucu dan jujur sekali, begitu kata Saras. Sampai-sampai saya harus menggilir penggunaan buku itu setiap sepuluh menit.

"Bu, belinya di mana, sih?"

"Di banyak toko buku ada, kok." Saya menyebutkan beberapa toko buku yang ada di Jakarta.

"Harganya mahal, tidak?"

"Sepertinya iya, cukup mahal. Setidaknya 200 ribu."

Besoknya anak-anak melapor lagi. Kalau mereka melihat terbitan baru Planet Kesepian tentang Indonesia di toko buku dekat sekolah. Ternyata harganya hampir dua kali lipat dari yang saya sebutkan.

"Bu, kalau pakai kartu pelajar, kita akan dapat diskon, ya, kan?"

"Iya, sepuluh persen."

Setelah dihitung-hitung lagi, harganya tetap mahal sekali. Anak-anak agak kecewa. Lalu mereka berencana untuk duduk dan membaca buku itu di toko buku saja. Hehehehe.

Sambil membaca, agaknya mereka tengah jalan-jalan virtual di Indonesia. Mereka menemukan banyak burung, bangunan bagus, alam yang indah, bawah laut yang menakjubkan, dan adat serta kebiasaan yang beragam.

"I think I really love Indonesia, now," kata Mini. Saya terharu mendengarnya. Saya jadi ingin melindungi mereka dengan membiarkan mereka tetap cinta pada Indonesianya di kelas kami. Tentu saja itu tidak bijaksana (dan tidak bisa saya lakukan).

Apa yang akan mereka rasakan kalau kelak tahu bahwa saat ini kita masih sulit mengakui dan menerima keragaman? Apa yang akan mereka katakan kalau kelak mengerti bahwa negara ini nyaris tak kenal dan tak mampu mengolah kekayaannya sendiri?

Apakah mereka akan patah hati, kecewa, dan pergi? Apakah saya turut andil membuat mereka tahu terlalu dini dan kemudian patah hati, kecewa, dan pergi? Saya tidak tahu mana yang lebih baik, membuat kegiatan ini hanya tinggal kenangan akan sebuah kegiatan seru di kelas, atau membuat kegiatan ini meninggalkan satu rasa dan sikap baru di dalam diri mereka? Rasa dan sikap yang belum tentu membuat mereka cocok tinggal di masyarakatnya?

Nah, sekarang saya merasa tinggal di planet kesepian.

Thursday, May 15, 2008

Menjadi Tua

Saya rasa saya harus mencatat hal ini baik-baik.

Suatu ketika, Saras membereskan makan siangnya sebelum ikut bermain bersama teman-temannya. Sembari memasukkan kotak-kotak makanan, tiba-tiba Saras bilang begini,
"Bu, aku rasa seharusnya orang tidak perlu takut menjadi tua. Mereka harusnya takut karena menjadi tahu makin banyak."

Saya suka pemikirannya.

Sunday, May 11, 2008

Keliling Indonesia

Jumat ini kami kedatangan tamu. Ibu Indri datang dan bercerita tentang ekowisata di Indonesia. Satu setengah jam kami asyik melihat foto-foto dari tempat-tempat terindah di Indonesia. Anak-anak melihat Gunung Rinjani dan danaunya yang indah, kegiatan bird watching di Pangrango, dunia bawah laut di sekitar Pulau Seram dan selatan Sulawesi. Bagusnya bikin merinding.

Anak-anak yang tadinya tertarik pada aneka merk di mall-mall mewah pada segmen wisata belanja, akhirnya ikut terkagum-kagum pula pada udang yang transparan, ikan sebesar penyelam, dan pantai berpasir indah. Tiba-tiba homestay di rumah penduduk, atau tidur di penginapan sederhana yang letaknya di sebelah pohon-pohon tempat monyet menginap menjadi ide yang tak kalah menggiurkan dibanding tidur di hotel yang bagus.

"Now I LOVE Indonesia," celetuk anak-anak.

"Indonesia punya hampir 18.000 pulau. Jika setiap hari kita mengunjungi satu pulau, berapa waktu yang diperlukan agar selesai menjelajahi Indonesia?" begitu Ibu Indri bertanya.

Kami menghitung bahwa kita butuh waktu kurang lebih enam puluh tahun lamanya.

"Let's start it from now!" kata Mita tidak sabar. Mungkin ia juga khawatir perjalanannya tidak akan selesai.

Setelah Bu Indri dan anak-anak pulang, giliran saya yang bertanya-tanya, berapa banyak yang bisa kami pelajari kalau "sekolahnya" adalah mengelilingi Indonesia?

Yang pasti, tidak lulus Ujian Nasional.


*Terima kasih banyak untuk Bu Indri, sudah memberi kami kesempatan melihat bahwa Indonesia sangat indah dan pantas dicintai.*

Thursday, May 08, 2008

Memimpin Kota

Jika ditanya, apakah saya lebih suka mengajar anak-anak usia dini atau anak-anak usia "menengah", saya agak bingung menjawabnya. Jelas anak-anak yang lebih muda begitu lucu dan menyenangkan. Saya sering mendapat pelukan, dan kalau mereka tertawa, dunia rasanya indah sekali. Pertanyaan-pertanyaan mereka, perkembangan mereka, mudah membuat saya takjub.

Mengajar anak-anak yang lebih besar, tak kalah menyenangkannya. Dunia mereka tak lagi sepenuhnya berpusat pada "aku". Mereka sudah lebih lihai bicara dan witty sekali. Sindirannya tajam, komentarnya menonjok, cara pandang mereka amat menarik. Saya tidak pernah bosan (setidaknya bersama kelas ini). Anak-anak ini adalah orang dewasa dan anak-anak sekaligus. Mereka masih suka main tanah dan harus ditegur karena main air sampai becek. Di sisi lain, mereka mengejutkan saya dengan pemikiran-pemikiran yang saya kira tak akan muncul dari mulut mereka.

Beberapa minggu belakangan ini, anak-anak makin sering protes dan mengeluh tentang segala macam. Kemarin ngomel karena ada jerapah mati menelan plastik. Suatu kali ingin menulis surat ke koran karena ada orang yang menyalakan mobil berjam-jam hanya agar tetap dingin saat si bos naik lagi ke mobil.

Salah satu sasaran mereka adalah pemerintah yang tidak becus, terutama pemda kota ini. Hihihihi. Begitu seringnya mereka ngomel sampai kadang-kadang saya tak ingat apa asal muasalnya. Tapi saya jadi senyum-senyum sendiri waktu Bram tahu-tahu nyeletuk, "Ah, lebih baik kita saja yang jadi pemerintah kalau begini caranya."

Menurut mereka, memilih gubernur yang satu ini adalah kesalahan besar. Saya keburu tertawa-tawa karena terkejut hingga lupa bertanya apa penyebabnya. Tapi mereka setuju bahwa dipilih karena pengalaman adalah alasan yang aneh. Kemudian anak-anak mulai menyahut, Bram, kamu kan yang suka politik, mungkin kamu nanti jadi gubernur tahun 2035. Mereka benar-benar berpikir bahwa suatu hari nanti mereka ada di sisi itu; memerintah.

Saya kurang suka protes panjang tapi tak punya penyelesaian masalah. Maka saya balik bertanya, memangnya apa yang akan kalian lakukan kalau kalian jadi pemerintah?

Saras yang menjawab saya. Ia ingin membuat suatu pusat pelatihan tenaga kerja. Katanya dia akan membuat semua orang mau menerima para pencari kerja meskipun mereka tak terlatih, sebab ia akan menjamin mereka semua jadi terampil dan terlatih.

Lika menimpali, Saras sudah "memikirkan" itu sejak lama.

Kami membicarakan semua ini sambil menggambar, atau makan siang. Kami membicarakan semua ini sambil menertawakan aneka komentar konyol, dan kami pun bertelanjang kaki.

Ide main gubernur-gubernuran ini saya tanggapi saat kami belajar tentang pariwisata. Apa yang akan kalian lakukan kalau kalian jadi kepala daerah yang berpotensi untuk jadi tempat wisata?

Jawaban anak-anak sangat menarik. Umumnya mereka ingin membuat kotanya lebih bersih. Lebih dari separuh berpikir untuk memisahkan kawasan pemukiman dan kawasan berkegiatan para turis. Mini ingin membuat sanggar seni. Bram akan membuat penduduknya lebih banyak naik sepeda. Dara ingin membuat restoran yang makanannya disesuaikan dengan selera turis yang tidak suka pedas. Tapi jawaban paling cerdas adalah jawaban Dito. Ia ingin menerbitkan buku yang bercerita tentang daerahnya. Ia berpikir tentang promosi.

Suatu kali mereka akan terbang entah kemana. Mungkin, saat itu saya masih asyik memeriksa tulisan anak-anak tentang buku yang mereka baca. Hihihi...