Saturday, December 31, 2005

Tahun 2005

Saya selalu berusaha menjadikan refleksi sebagai bagian dari keseharian kami di dalam kelas. Setiap orang dalam kelas kami menyimpan sebuah jurnal. Saya berpendapat, setiap anak perlu berlatih menguraikan kembali kesan, perasaan, pendapat, dan idenya mengenai pengalaman yang telah lalu. Merefleksikan pengalaman memberi kesempatan kita mengenal diri sendiri lebih baik lagi. Bangga atas keberhasilan, meskipun kecil, dan menumbuhkan keinginan untuk menjadi lebih baik lagi. Bagi Gardner, kemampuan refleksi diri adalah salah satu bagian kecerdasan intrapersonal. Satu kecerdasan dari delapan macam kecerdasan potensial yang dimiliki setiap manusia.

Menulis jurnal dengan rutin setiap hari cukup berat untuk anak-anak seusia mereka. Maka saya berusaha untuk mengajak mereka mengisi jurnal setiap kali kami mengakhiri sebuah tema pelajaran, atau saat kami mengalami kejadian-kejadian istimewa.

Salah satu kejadian yang cukup istimewa adalah mengakhiri sebuah kuartal. Di akhir kuartal kami menyempatkan diri untuk melakukan sebuah perayaan kecil atas kerja keras kami selama 12 minggu. Setiap akhir kuartal pula , saya akan meminta anak-anak menuliskan refleksi mereka tentang pelajaran, kegiatan, kesenangan, dan kekecewaan yang terjadi sepanjang kuartal yang telah kami lalui. Kami selalu menulis resolusi atau tekad baru untuk memperbaiki diri di kuartal mendatang.

Blog ini adalah refleksi sepanjang tahun atas pekerjaan saya. Membacanya kembali mengingatkan saya bahwa tahun ini adalah tahun yang perlu saya syukuri. Banyak sekali kegembiraan dalam haru dan tawa. Kesulitan-kesulitan ternyata lalu juga bersama dengan waktu yang terus berjalan. Kemudian saya sadar bahwa banyak sekali orang-orang yang berjalan beriringan bersama saya. Senang sekali menyadari bahwa selama tahun ini saya tidak pernah sendirian.

Tahun depan, tahun 2006, saya bertekad untuk terus belajar dari murid-murid kecil saya.

Belajar berani.
Belajar mengasihi.
Belajar memiliki harga diri.
Belajar menghargai orang lain
... dan belajar untuk terus bermain-main.


Selamat Tahun Baru, 2006!

Sunday, December 25, 2005

SMS pagi ini

Tadi pagi saya dikejutkan sms dari sekolah.

Berita duka : Pak J satpam sekolah meninggal di sekolah jam 4 pagi tadi.

Saya terkejut. Orang-orang yang kemarin masih bertemu dengan Pak J yang sehat juga terkejut.

Pak J adalah orang pertama yang saya temui setiap pagi. Saya selalu senang kalau Pak J yang jaga malam sebab ia selalu sudah bangun ketika saya datang selepas subuh seperti rampok. Pak J akan memandu saya parkir mundur -- yang mana adalah prestasi buat saya, dan saya harus bilang bahwa Pak J yang membuat saya berani parkir mundur-- baru ia pergi mencari sarapan dengan mengayuh sepedanya.

Pak J juga yang selalu tersenyum kalau saya jalan kaki pagi-pagi diseret-seret Lenin, si siberian husky.


Pak, anak-anak pasti bertanya tentang anda selepas libur nanti. Saya akan bilang pada mereka bahwa anda sangat berdedikasi pada pekerjaan anda. Saya akan tambahkan bahwa tidak ada pekerjaan yang kecil dan tidak berarti. Berarti atau tidak itu tergantung pada bagaimana kita menambahkan nilai pada pekerjaan kita. Saya akan meminta anak-anak mencontoh anda.

Selamat jalan.

Saturday, December 24, 2005

Kangen

Saya lupa bilang ya, bahwa dua minggu ini kami LIBUR lagi?

Di hari terakhir kami sekolah, seperti biasa saya dan teman-teman mengantar anak-anak kami sampai ke depan gerbang. Melepas mereka satu persatu kepada Ayah, Ibu, Si Mbak, atau Pak Supir.

Salah satu teman saya memandang murid kelasnya yang pulang paling akhir. "Sudah libur lagi Bu Tia. Pasti (kita akan) kangen deh sama anak-anak."

Saya tertawa. "Nggak ah. Kali ini saya tidak mau kangen. Saya mau libur!"

Teman saya nyengir tak percaya. "Nanti juga kalau liburnya sudah jalan, kangen."

Barangkali teman saya benar. Sampai hari ke delapan saya libur ini pun bayangan anak-anak masih datang silih berganti kalau saya sedang bengong. Tapi saya juga sungguh-sungguh waktu berkata pada teman saya bahwa saya tidak akan kangen. Entahlah. Saya memang tidak pernah terlalu suka kuartal kedua. Akhir kuartal kedua adalah saat-saat di mana saya merasa tidak puas dengan perkembangan keseluruhan kelas (termasuk saya sendiri). Akhir kuartal dua biasanya ditandai dengan kecemasan, mengapa anak-anak tidak menunjukkan perkembangan berarti. Akhir kuartal dua biasanya merasa tidak optimal menjalankan pekerjaan saya. Akhir kuartal dua membuat saya sadar bahwa saya god damn emotional dan tidak menjadi guru yang bisa diandalkan murid-murid saya.


Jadi saat ini saya ada di sini. Mengakhiri tengah pertama tahun ajaran sambil browsing berbagai bahan untuk mengajar tahun 2006. Entah akan dipakai atau berakhir terlantar di salah satu folder laptop saya.

PS: Ternyata saya berhasil libur tanpa terharu biru memikirkan anak-anak. Meskipun sekali waktu saya perlu mengingat mereka untuk merencanakan apa yang akan kami lakukan tahun depan.

Selamat Natal, dan selamat berlibur!

Monday, December 19, 2005

Fokus!

Tadi malam saya datang ke sebuah pemutaran film (beberapa film pendek) dan diikuti diskusi singkat. Yah, sekedar tanya jawab tentang salah satu film yang barusan diputar. Saya tidak ikut bertanya atau menjawab, tapi saya shock berat. It was a total mess. Topiknya apa, pertanyaannya apa. Kasihan yang menjawab. Saya pikir, setelah melewati kelas 1 SD seseorang akan lebih baik dalam kemampuan mengikuti satu topik dalam diskusi. Ternyata saya salah besar.

Jangan-jangan, selama ini saya yang menetapkan target terlalu tinggi untuk kelas-kelas saya?

Hmm...

Mengajar di sekolah ini selama hampir dua tahun, saya sudah lupa berapa banyak topik yang kami diskusikan sehari-hari. Satu yang saya perhatikan, secara gradual anak-anak sudah tidak kesulitan lagi untuk memfokuskan diri pada permasalahan yang sedang kami bicarakan setelah duduk di kelas 2 selama 2 bulan. Bulan-bulan pertama memang saya kadang-kadang perlu bertanya "Apakah pertanyaanmu berhubungan dengan apa yang sedang kita bicarakan?" atau mungkin mengalihkan dengan, "Bu Tia ingin mendengar ceritamu tentang itu, tapi nanti waktu istirahat atau setelah tugasmu selesai."

Sekarang, setelah enam bulan, teman-teman di kelas akan mengambil alih dengan kalimat yang mirip, "Musa, itu kan tidak ada hubungannya dengan apa yang kita bicarakan!"

Salah satu concern terbesar saya di kelas adalah bagaimana membuat anak-anak mau mendengarkan. Mendengarkan guru dan teman-temannya, bukan hanya mendengarkan saya. Mendengarkan tidak hanya butuh telinga. Mendengarkan butuh keinginan, butuh konsentrasi, butuh rasa hormat, butuh kesabaran, dan butuh kerendahan hati.

Lepas dari keluhan dan "omelan" saya selama ini di dalam kelas, kejadian malam itu membuat saya justru yakin bahwa anak-anak ini kelak akan bisa mendengarkan orang lain dengan baik. Semoga saja. Semoga seiring dengan usia mereka, anak-anak ini tidak akan kehilangan kesabaran, kerendahan hati, dan keinginan menghargai orang lain.

Sebab banyak orang seusia saya (dan lebih tua lagi) sudah belajar dan tahu begitu banyak tampaknya, hingga merasa tidak perlu lagi sabar dan rendah hati. Tidak perlu lagi mendengarkan. Yang penting bagaimana supaya saya didengarkan.

Itu yang bikin banyak diskusi berubah jadi tempat debat kusir.


Sunday, December 11, 2005

Membaca dan Menonton

Minggu ini Jiffest mulai lagi. Saya sudah mendaftarkan diri untuk menonton 14 film dalam seminggu. Saya bersemangat, gembira, dan merasa sedang kembali ke sekolah. Ada film yang ingin saya tonton karena -- tentu saja -- berhubungan dengan pekerjaan saya. Judulnya Etre Et Avoir. Tentang single class school yang ada di Perancis.

Dengan gembira pula saya mewartakan kabar gembira ini pada rekan-rekan kerja. Sambutannya, nihil. Saya jadi agak kecewa. Saya kan ingin mengajak mereka berbagi dan belajar bersama-sama. Gratis lho, filmnya. Lagipula selama ini saya selalu menempatkan prasangka positif bahwa saya bekerja bersama teman-teman yang gigih, senang belajar, dan selalu berusaha mengerjakan yang terbaik. Saya masih berprasangka positif, tapi sepertinya item "senang belajar" itu perlu dicermati lagi.

Lama saya berpikir tentang buku-buku, film-film, teman-teman, dan murid-murid saya. Kemudian saya baru menyadari sesuatu. Saya lebih banyak membicarakan buku-buku "klasik" anak dan film-film bagus dengan MURID-MURID SAYA daripada teman-teman sesama guru.

Murid-murid saya tidak pernah segan membawa ke sekolah buku-buku bagus yang sedang mereka baca. Temanya aneka ragam, mulai dari dinosaurus, astronomi, Thomas si Kereta Api, Art Attack, Teka Teki, dan lain sebagainya. Mereka juga selalu bercerita tentang film-film yang mereka tonton.

Minggu lalu saya sedang membahas buku Roald Dahl dan Michael Ende dengan teman-teman di Kemang. Paginya, Adinda yang datang pada saya dan bercerita tentang buku Charlie and The Chocolate Factory. Beberapa teman yang menanggapi ikut bercerita tentang filmnya.

Jadilah pagi itu saya dan Adinda mengobrol tentang Roald Dahl. Saya katakan bahwa buku favorit saya adalah Mathilda. Adinda bilang dia belum membacanya. Saya bilang bahwa saya punya lima buku Roald Dahl dan saya akan meminjamkan satu padanya. Esoknya Adinda sibuk di pojokan kelas bersama buku Fantastic Mr. Fox milik saya sepanjang waktu istirahat dan pulang sekolah. Ia bahkan minta ijin membawanya pulang.

Saya juga ingat obrolan-obrolan saya yang lalu dengan anak-anak lain tentang film Super Size Me dan sikap mereka terhadap junk food. Ngomong-ngomong mereka tetap tidak anti junk food, sometimes they do eat junk food, tapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa memakan junk food berlebihan.

Saya ingat bagaimana saya diminta menjelaskan tentang Nazi dan Kamp Konsentrasi gara-gara Saras baru selesai membaca buku tentang Anne Frank. Atau ketika saya bilang bahwa saya sangat suku cerita Charlotte's Web, dan anak-anak menimpali tentang film Charlotte's Web yang mereka tonton. Saya maklum, bukunya masih terlalu sulit untuk anak seusia mereka.

Tapi LITTLE PRINCE?
Saya memasang wallpaper dengan gambar Baobabs Tree dari The Little Prince. Salah satu murid saya melihat telepon genggam saya dan berkomentar, "Hey, i know this... this is from The Little Prince."
"Yes, it is. It's a very good book. You have to read it someday."

Intinya, saya bersyukur mereka besar dalam lingkungan yang menjadikan membaca dan menonton seperti makan dan minum dalam hidup sehari-hari. Saya hanya perlu memancing mereka dalam pembicaran dan lebih demonstratif membawa film atau buku. Ini seperti menanam bibit-bibit toleransi dan open mindedness. Semoga kelak ada pohon besar dan kokoh yang tumbuh.




Thursday, December 08, 2005

Serangan Virus

Ada virus yang sedang menyerang Jakarta. Virus yang menyerang tenggorokan dan membuat orang panas tinggi. Virus itu mengakibatkan separuh isi sekolah menghilang. Saya serius, ini benar-benar literal separuh sekolah. Hari ini saja hanya 5 orang dari 10 anak di kelas saya yang datang. Kebetulan guru kelas 1 dan 3 absen. Jadi saya dan beberapa guru lain mondar-mandir berbagi tugas supaya setidaknya ada satu guru di tiap ruangan.

Sebenarnya sama sekali tidak berat karena kelas-kelas kami kecil. Lagipula beberapa pelajaran diajar oleh guru spesialis. Kami bisa bergantian mengisi waktu. Tetapi di akhir hari tetap saja saya merasa lebih lelah dari biasanya. Lalu saya jadi memikirkan guru-guru di pelosok daerah yang bahkan harus mengajar enam kelas sekaligus. Setiap hari selama puluhan tahun.

Saya jadi malu.

Monday, December 05, 2005

Berebut Kontrol

Hari Senin selalu menjadi hari paling sulit bagi kelas saya. Hari Senin adalah hari di mana anak-anak cranky, agitated, atau malah lemas karena kurang tidur atau terlalu gembira sepanjang akhir minggu. Saya juga kurang mengerti mengapa perubahan rutinitas selalu jadi masalah besar untuk anak-anak.

Seperti pagi ini, Mas “Moody” datang ke kelas dengan mulut terjungkir ke bawah alias cemberut. Ia dan Zaky bermain kejar-kejaran di dalam kelas, jadi saya tegur. Main kejar-kejaran di luar nak, bukan di kelas. Mas Moody langsung menangis di bangkunya sambil bilang, “I hate Zaky.”

I rolled my eyes. Saya sudah hafal. Ia tidak bisa salah dan tidak suka ditegur.

Melihat gejala-gejala seperti ini, saya sengaja mengajak anak-anak ke luar kelas pada lima belas menit pertama kelas dimulai. Saya ajak mereka bermain “Mr. Fox, what time is this?” dan kami lari kejar-kejaran lima belas menit. Sepertinya saya yang harus lebih banyak olahraga supaya kuat lari.

Anak-anak lain jadi lebih bersemangat dan memaklumi keinginan saya agar mereka semua penuh perhatian selama jam pelajaran. Mas Moody sepertinya masih ingin melakukan sesuatu sesuai kehendaknya, yang kebetulan berbeda dengan kehendak saya. Ia sibuk sendiri (dan mengajak orang lain untuk sibuk bersamanya) ketika saya dan teman-teman lain sedang membicarakan apa yang akan kami lakukan berikutnya.

Saya sengaja tidak menegur this wonderful boy. Saya justru meminta mereka yang tidak berulah untuk mulai bekerja lebih dulu. Mas Moody makin kesal. Ia berusaha dipilih untuk duduk dan mulai bekerja, saya menyisakannya di urutan terakhir.

Di meja, anak-anak lain sibuk dengan kertas dan spidol menggambar mereka. The Moody Boy sibuk mengajak ngobrol teman di dekatnya. Saya tetap tidak berkata apa-apa pada Mas Moody ini. Saya meminta Riri, untuk pindah ke meja lain yang kebetulan kosong. Sial bagi Mas Moody, ia tinggal sendirian di mejanya.

Mas Moody mulai menggeram-geram (ini betulan!). Ia sengaja berkata keras-keras, “I work superslow when I am alone.”

Agung yang sangat peka pada perasaan sahabat-sahabatnya bertanya pada saya, “He sits alone, Bu Tia.” Saya menghampiri Agung dan mengajaknya bicara tentang gambarnya. Agung mengalihkan perhatian pada pekerjaannya.

Saya melakukan hal yang sama pada anak-anak yang potensial diajak mengobrol oleh Mas Moody. Mungkin karena topik tugas mereka menarik, mereka hanya menjawab seadanya kalau Ma Moody mengajak ngobrol. Sebentar kemudian sudah kembali mengerjakan cerita bergambar mereka.

Mas Moody masih menggeram-geram dan mengeluh karena harus mengambil semua peralatan gambar sendirian. “I will work superslow and I will finish this until music class is over.” Ia berteriak dari meja.

Dari meja saya, saya jawab, “Take your time. You may finish it until it is time to go home.”

Mas Moody kehilangan kata-kata sepertinya. Selama ia tetap uring-uringan sepanjang hari, saya membiarkannya duduk sendiri. Ia tetap berpendapat bahwa ia bekerja superslow kalau sendirian. Saya tidak peduli.

Tahu tidak? Di akhir hari, Mas Moody inilah yang paling dulu menyelesaikan tugasnya dan tidak perlu melanjutkannya di rumah. Superslow, you said?



Sepanjang hari Mas Moody masih melalui banyak kejadian yang membuatnya jengkel. Termasuk ketika saya memperingatkannya karena berlaku sangat tidak sopan pada guru bahasa inggrisnya. Sepanjang hari itu pula saya harus pasang mata memperhatikan kelakuannya. Saya berusaha sesedikit mungkin menegur kesalahannya (kecuali pada saat ia tidak sopan tadi) dan balik mengingatkan atau memuji calon partner kriminalnya. Mas Moody tidak bisa menyalahkan saya.

Tapi saya capek perang dingin seperti itu.

Game Boy

Hari ini pembicaraan kami masih berputar di hari Sabtu lalu.

Adinda : Pulangnya ibuku memberi hadiah dan surat.
Saya : Apa isi suratnya?
Adinda : That she is very proud of me.
Saya : I am proud of you too.
Adinda : Hadiahnya kalung bu. Tapi sebetulnya aku ingin punya game boy.
Saya : Bukannya kamu juga ingin kalung?
Adinda : Iya sih. Lagian Ibuku bilang, aku boleh punya game boy asalkan ada pelajaran game boy di sekolah.

Hihihi… Apa perlu Bu Tia membuat pelajaran game boy?

Adinda's mom is very creative with her answers.

Sunday, December 04, 2005

Panggung Kami

Selama dua bulan ini, 32 orang murid SD kami sedang sangat sibuk. Mereka berlatih untuk mementaskan sebuah operet dan menyanyikan beberapa lagu.

Selama dua bulan ini anak-anak bekerja keras.
Menghafalkan naskah berhalaman-halaman.
Berusaha bersuara sekeras mungkin.
Mengatur jadwal latihan dan les les yang lain.
Diomeli karena tidak serius atau terlalu ribut.
Mengingat-ingat blocking di panggung.

Di minggu terakhir, kami berlatih setiap hari. Setiap pagi, saya selalu merasa miris. Saya kasihan pada mereka. Saya merasa jahat sekali sudah memaksa-maksa mereka. Masalahnya saya tahu these kids are damn good. I want that good comes out of them. I was too excited about them. Lebih lagi, tidak satu menitpun semangat itu hilang dari mata mereka. Setiap waktu latihan tiba, mereka semua tanpa kecuali sudah ada di aula dengan raut wajah antusias. Padahal saya rasa ketika latihan saya sudah berubah bengis.

Saya tidak tahu apa yang anak-anak kecil itu pikirkan tentang sikap saya selama latihan. Mereka mungkin tidak tahu bagaimana diam-diam saya sangat terpesona pada mereka. Siapa yang tidak, jika melihat Mini dan Dara bergerak begitu luwes menunjukkan bahwa panggung itu adalah milik mereka. They are the queens and their roles are actually queens.

Saya sangat terbantu oleh anak-anak kelas 3 yang begitu sigap dan siap membantu adik-adik kelasnya di atas panggung tanpa kecuali dan tidak mengeluh. Mereka jauh lebih matang di panggung daripada tahun lalu ketika kami mementaskan Pinokio. Apa jadinya kami tanpa mereka. Belum-belum saya merasa mendadak tua, anak-anak itu sudah bisa dipercaya.

Saya terheran-heran melihat mereka berkembang sangat pesat dalam waktu dua tahun. Bayi-bayi TK A yang dua tahun lalu menangis tak mau naik panggung, tahun ini tahu timing bicara, menari dengan lincah, berani cerewet pula menanyakan clue.

Selama dua bulan ini, jauh di dalam hati, saya sangat menikmati waktu berlatih bersama mereka. Saya kagum, anak-anak sekecil ini bisa berlatih keras dengan cinta dari dalam hati. Sampai-sampai naik panggung dalam keadaan demam. Berusaha datang gladi resik dengan tenggorokan sakit. Dan tetap saja mereka bersinar di panggung.

Ya, walaupun saya hanya bisa menemani mereka dari balik panggung, saya tahu di hari pementasan anak-anak bermain lebih baik dari latihan-latihan kami. Mereka menanggapi kesalahan-kesalahan teknis di panggung dengan tertawa. Mike gantung jatuh tidak ada yang panik. Topeng terpasang terbalik, Dara cuma nyengir. Tidak grogi, tidak kecil hati. Mereka menikmati keberadaan mereka di panggung. Mereka seperti ingin bercerita pada orang tua yang antusias menonton, "Hei, ini lho yang kami sedang lakukan. Kami sangat menyukainya karena ini menyenangkan!"

Ketika saya menyalami para orang tua dan mengucapkan selamat atas penampilan anak-anak mereka sekaligus minta maaf karena sering membuat anak-anak pulang terlambat, para orang tua hanya bilang begini, "Ah Bu, tidak apa-apa. Anak-anak senang kok."

Pak, Bu, anak-anak anda sangat hebat. Saya sangat tersanjung berkesempatan bekerja bersama mereka.

Tuesday, November 29, 2005

Sehari di Sekolah

Kelas 1
Anak-anak sedang membahas tema komunikasi. Mereka sedang belajar tentang berbagai cara menyampaikan informasi pada orang lain. Selain sibuk mengerjakan majalah dinding, hari ini mereka kedatangan seorang tamu. Ia adalah reporter dari salah satu tv swasta. Pak Reporter bercerita tentang pekerjaannya, dan anak-anak berkesempatan untuk bermain peran. Ada yang menjadi anchor, kameraman, reporter lapangan, dan sebagainya. Mereka masih sibuk di kelasnya sampai jam makan siang.

Kelas 2
Anak-anak kelas 2 sedang belajar tentang mata uang dalam matematika, dan tempat-tempat umum untuk Pengetahuan Sosial. Hari ini kami membuka pasar. Empat orang anak menjadi penjual dan sibuk sekali membuka kios dan menghargai barang-barang jualannya. Jual apa? Apa saja yang ada di kelas; pensil warna, spidol, bola bekel, raket plastik, cat air, dan buku-buku. Enam orang anak menjadi pembeli. Mereka juga sibuk menghitung uang dan membuat daftar belanjaan.
“Selamat pagi, Pak Diadhri”
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu.”
“Saya mau membeli pensil warna satu. Berapa harganya?”
“Yang warna cokelat 500 rupiah, yang warna hitam 400 rupiah.”
“Kalau yang biru muda?”
“Dua ratus rupiah”
“Ya deh. Ini uangnya”
Sepanjang pagi anak-anak sibuk sekali. Ada yang lupa membayar, ada yang bingung menghitung kembalian, ada yang berteriak-teriak menyuruh temannya menunggu karena ia harus mencatat setiap transaksi yang terjadi.


Kelas 3
Belajar sejarah ternyata tidak membosankan. Anak-anak kelas 3 sedang membahas Perang Diponegoro. Hari ini kelas mereka ramai sekali. Bukannya mendengarkan ibu guru mendongeng sampai anak-anak mengantuk, kelas 3 memutuskan untuk bermain peran. Mereka membaca teks tentang Perang Diponegoro dan memilih peran yang mereka sukai dalam teks itu. Untuk merekonstruksi kembali ingatan dan pemahaman mereka tentang Perang Diponegoro, anak-anak memerankan sebuah fragmen tentang perang itu. Tak ada yang bosan, dan tak ada yang tidak mengerti pada akhirnya.


Lumayan, hari ini cukup sibuk.

Sunday, November 27, 2005

Berkunjung ke ACG

Minggu lalu ada pengumuman bahwa hari Jumat ini kami akan membawa semua anak SD berkunjung ke sebuah International School di daerah Buncit. Mereka mengundang kami untuk sedikit acara ramah tamah sambil memberi kesempatan kami untuk performing something. Karena kami sendiri sedang sibuk berlatih untuk pementasan tanggal 3 Desember besok di sekolah, kami memutuskan untuk menampilkan beberapa lagu yang akan kami pentaskan itu.

Anak-anak cemas sekaligus bersemangat. Mereka datang lebih awal, 07.30 dengan seragam sekolah. Kami berangkat dengan empat mobil besar. Somehow we were able to stuck 12 children and 2 adults inside every car.

Sampai di sana kami disambut kepala sekolah dan beberapa stafnya. Tiba-tiba dari belakang tempat duduk saya terdengar komentar
"Ya ampun, siapa itu? Ganteng banget. Seperti Josh Groban!"
For sure, it was one of my 8-years-old -girl-student.

Anak-anak segera kami bariskan supaya bisa masuk dengan tenang sampai ke aula dengan selamat. Kalau tidak, mungkin kami sudah diusir pulang.

ACG sendiri adalah sekolah baru. Muridnya berjumlah 90 orang, dari level TK sampai Senior High. Sebagian besar sudah berkumpul menunggu di aula. Sekolah kami mendapat giliran pertama untuk tampil. Anak-anak kelas 1 yang masih kecil-kecil sedikit malu, tapi mereka berhasil menyanyikan seluruh bait lagu mereka sampai selesai. Anak-anak kelas 2 menyanyi lantang penuh semangat. MEreka tidak menjadi kehilangan nyali meskipun harus mengulang lagi penampilan mereka akibat kesalahan teknis. Anak-anak kelas 3, tentu saja, menyanyi dengan sangat indah sampai saya sendiri jadi sesak nafas. Sebagai tambahan, sebagian anak kelas 2 dan 3 menyanyikan the famous "Getting To Know You". Sambutannya sangat meriah.

Sampai saat itu saya makin yakin bahwa murid-murid saya adalah banci tampil. They LOVE to be on stage. Kalau kami tidak memanggil-manggil mereka untuk turun, saya rasa mereka akan tetap ada di panggung dengan senyum lebar.

Murid-murid ACG memberikan tampilan balasan. Anak-anak menonton dengan tenang. Sebagian lebih tertarik pada seorang guru yang memberikan translasi dalam American Sign Language.
Mereka menganggapi tampilan anak-anak TK itu dengan komentar
"Mereka lucu ya, Bu.."

Anak-anak junior dan senior high menampilkan sejenis show and tell. Penonton diminta menebak siapa tokoh yang sedang mereka ceritakan. Saya sendiri hanya berhasil menebak satu, Colombus. Dhimas kecewa,
"I don't know any of them, Bu Tia."
"Well, I think you have to read more."
"Yes, you are right. Bu Tia, i think we can do this in our class. Let's try!"
My God, they are inspired by senior grades.

Setelah itu anak-anak berkunjung ke kelas-kelas yang sebaya dengan mereka. Tanpa malu-malu mereka langsung mengeksplorasi ruang sekitar dengan membacai buku-buku di sudut perpustakaan, mengamati siput peliharaan, dan entah apa lagi. Jujur saya yang agak cemas. Apalagi setelah kepala sekolah mereka meminta kami pergi ke ruang guru untuk minum kopi bersama, sementara anak-anak ditinggal di kelas. Rasanya saya memang over protective.

Akhirnya, semua kelas yang kami tinggalkan masih utuh, dan anak-anak pun selamat masuk ke mobil masing-masing.

Kunjungan seperti ini menyenangkan. Mungkin kami akan lebih sering mengadakan. Setidaknya agar anak-anak tahu bagaimana harus bersikap di rumah orang. Mereka cerdas dan sangat aktif. Tapi pasti menyebalkan kalau tidak tahu sopan santun. Ya, kan?








Thursday, November 24, 2005

Quotation

The Great Alexander met his soulmate. The soulmate gave me this wonderful quotation. An oriental proverb.

To plant a seed is to think a year ahead.
To plant a tree is to think 10 years ahead.
To educate a people is to think 100 years ahead.


Monday, November 21, 2005

Ke Pasar

Akhir minggu lalu saya menugaskan anak-anak untuk pergi ke pasar tradisional dan pasar swalayan. Saya minta mereka (tepatnya saya berpesan pada orang tua) untuk membeli sendiri satu atau dua barang, dan menceritakan pengalaman mereka. Karena anak-anak juga sedang belajar mengenal nilai uang, saya menyarankan agar anak-anak tidak disuruh membeli barang-barang dengan harga bombastis. Kalau bisa di bawah lima ribu rupiah.

Anak-anak menyerbu kelas saya pagi ini dengan penuh semangat bercerita bagaimana mereka berbelanja. Adinda bilang begini, "Bu ternyata di pasar itu setiap barang ada yang jaga."

Ini beberapa laporan mereka. Ya, tentu saja semua masih dalam kacamata anak-anak yang polos dan belum tercemar oleh paham-paham anti kapitalisme segala. Mereka hanya membandingkan dengan apa yang biasa mereka temui.


Saya pergi ke Pasar Santa. Saya membeli jeruk seharga Rp 5000. Saya menawar dari harga sebelumnya Rp 6000. Bibi penjual memperbolehkannya. Kemudian saya membeli beras dan telur. Harga telurnya Rp 5000 dan tapi harga berasnya saya tawar dengan harga Rp 4000 dan diperbolehkan penjualnya sehingga saya dikembalikan Rp 1000. Suasananya panas, becek, bau, tidak rapi barang-barangnya. Setiap penjual barangnya sama sehingga harus menawar. -Musa-


Suasana di pasar tradisional ramai, bau dan kotor. Sedangkan harga-harga barang-barangnya lebih murah dan bisa ditawar. Suasana di pasar swalayan bersih, rapi, dan teratur sedangkan harga-harganya lebih mahal dan tidak bisa ditawar. - Thalia-


Aku membeli kelapa parut setengah, harganya seribu lima ratus. Aku membayarnya sama dengan harganya jadi tidak ada kembalian. Orang-orang boleh menawar harga yang mereka mau. Ketika aku bertemu dengan si penjual kelapa parut aku bertanya: permisi mas... bolehkah saya membeli satu kelapa tua tapi diparut? Pedagangnya boleh dia langsung bekerja secepat mungkin. Setelah selesai memarut aku bertanya lagi: Mas, jadi harganya berapa? Ia menjawab harganya 1500. Setelah membayar aku melihat daftar belanjaanku. Setelah semua seudah dibeli aku pulang bersama embakku sambil jalan kaki. Suasana di pasar tradisional sangat ramai dan kotor dan juga bau.
Kalau di pasar tradisional boleh menawar harga barang. Terserah boleh harganya dinaikkan atau diturunkan pun boleh! - Adinda-


Di pasar swalayan saya membeli tomat. Harga tomatnya adalah Rp 8.062. Saya membayar Rp 10.000. Uang kembaliannya adalah Rp 1.950. Jika aku ingin membeli sebuah barang di pasar swalayan, saya akan masuk dan mencari di mana kelompok barang itu dijual. Saya membayarnya di kasir. Suasananya dingin, bersih, dan ramai.
Di pasar tradisional saya membeli buah mangga. Harga mangganya Rp 6.000 tetapi saya tawar menjadi Rp 5.000. Saya boleh menawar harga, waktu saya menawar harganya saya bilang seperti ini: "bu boleh tidak harga mangganya menjadi 5.000? Suasananya kotor, banyak sampahnya dan bau. Menurutku tidak ada yang menarik - Riri-

Friday, November 18, 2005

Berhitung, Mulai!

Minggu ini kami sedang berdiskusi tentang bagaimana olahraga membuat kita menjadi lebih sehat. Setelah anak-anak ribut sendiri tentang jantung yang memompa darah, paru-paru, pembuluh vena dan arteri serta celetukan Dhiadri,

Di rumah ibuku punya alat itu. Alat pompa jantung
...
Maksudmu, pengukur tekanan darah, Dhi?"
Ya. Mungkin.

saya mencoba mengajak anak-anak merasakan detak nadi mereka. Ini adalah tugas yang menantang bagi mereka (dan ternyata saya). Saya dan Bu Novi harus mencari nadi dipergelangan tangan mereka dulu, baru kemudian meminta mereka menggantikan jari saya. Itupun ditingkahi komentar "MANA BU? MANA BU? TIDAK ADA? KOK TIDAK TERASA?" Ketika kami mencoba di bagian leher, lebih parah lagi. Because you have to be quiet. Mana bisa terasa kalau pasiennya sibuk bicara.

Disitulah tantangannya untuk kelas saya yang ingin serba cepat dan serba instant dan serba lantang. Diam, itu adalah tantangan besar.

Tetapi, melihat binar mata mereka ketika menemukan ada 'sesuatu' di balik tubuh mereka, saya jadi ikut tertawa.

Untuk menambah tingkat kesulitan, saya mencoba mengajak anak-anak menghitung nadi mereka ketika dalam keadaan tenang dan santai, serta habis berlari-lari.

Berdasarkan pengalaman tahun lalu, saya cukup optimis kegiatan ini berhasil. Optimisme saja tahun ini tidak cukup, ternyata. Pada percobaan pertama, setelah waktu menghitung 10 detik berlalu, saya bertanya pada mereka

Coba, berapa hasil hitunganmu!
13 bu!
Aku 35.
Aku 5
Aku 1

Satu?
Iya. Satu. Habis itu berhenti.

Haduh!

Sunday, November 06, 2005

Sepatu Bertali

Suatu hari, Agung datang ke sekolah dengan wajah berseri-seri, “Bu Tia, look.. I have new shoes!” sambil memamerkan sepatu merah. Bangga sekali dia.

Waktu istirahat tiba, Agung menghabiskan waktu lima menit duduk berkutat dengan sepatu barunya. Saya menghampirinya. Agung biasa menggunakan sepatu dengan velcro yang mudah dibuka dan dipasang. Kali ini sepatunya bertali. Ternyata Agung sedang berjuang mengikatkan tali sepatunya. Ia baru belajar mengikat tali sepatu.

Sepintas, sebuah pikiran lewat di kepala saya : HA? SUDAH KELAS 2 SD TIDAK BISA MENGIKAT TALI SEPATU? YA AMPUUUN…. MANJA SEKALI SIH.

Agung memandang saya, “I already make the loop. Now what next? “
Saya duduk di sebelahnya, dengan sepatu yang sebelah lagi saya tunjukkan cara mengikat tali sepatu. Agung mengikuti dengan serius. Tidak langsung berhasil, tapi setelah mencoba sekali lagi, ia berhasil.

Agung tidak menguasai ketrampilan mengikat tali sepatu dalam sehari. Selama seminggu berturut-turut ia akan keluar kelas paling akhir untuk berusaha mengikat tali sepatunya sendiri.

Setiap kali kesabaran saya tinggal sedikit, saya menahan diri. Saya tidak mengikatkan talinya. Saya tidak menyalahkan cara mengikat tali sepatunya yang miring sana sini (bukan cara mengikat paling efektif, tapi paling tidak untuk saat ini adalah cara mengikat paling mudah). Dan saya memberi feedback positif untuk setiap usahanya mengikat tali sepatu yang memakan waktu ‘bertahun-tahun’ itu.

Ya, walaupun saya yang paling besar di kelas, paling tua, dan paling berpengalaman, saya tidak bisa terus-menerus memimpin medan pertempuran dengan kebanggaan sebagai Si Hebat. Sering sekali saya harus merunduk, berdiri sama tinggi dengan mereka, melihat dari sudut pandang dan ketinggian yang sama, mengulang kembali those past first experiences, dan sama-sama mengalami rasa puas dan bangga bersama anak-anak asuh saya untuk berbagai pengalaman pertama mereka berusaha menguasai sebuah ketrampilan, bagaimanapun kecilnya.
Meskipun mengikat sepatu bisa saya lakukan sambil menutup mata.

Thursday, November 03, 2005

Lebaran

Dari : +628111xxxxx
03/11/2005
9:28 am

Bu Tia yang baik, selamat hari raya Idul Fitri, semoga bisa dimaafkan semua kesalahanku.


Untuk : +628111xxxxx
03/11/2005
9:30 am

Terimakasih, maafkan juga kesalahan Bu Tia. Selamat Idul Fitri untukmu dan keluarga...

Wednesday, November 02, 2005

Tuhan (2)

Di hari terakhir sebelum libur lebaran selama dua minggu, kelas kami sempat berdiskusi tentang Lebaran. Dengan antusias anak-anak bicara tentang ke rumah nenek, makan ketupat, sholat Ied, dan sebagainya. Beberapa teman kami tidak merayakan Lebaran, jadilah kami pun bicara tentang hari-hari raya yang lain. Sekali lagi, saya harus mengakui bahwa berbicara tentang agama, tuhan, dan seks dengan anak-anak perlu keterampilan menggunakan bahasa dan analogi yang tepat tapi sederhana. Misalnya untuk menjawab pertanyaan -pertanyaan seperti ini :

Dila : Tuhan orang Islam dan orang yang agamanya lain itu beda, kan Bu?
Saya : Menurut Bu Tia, sama.
Dhiadri : Bu, kalau Tuhan itu cuma satu kenapa namanya banyak? Kenapa dipanggilnya berbeda-beda?

Setelah memutar otak sedikit saya mencoba menjawab

Saya : Menurutmu, apakah orang-orang di dunia ini hanya menggunakan satu bahasa?
Anak-anak : (terkikik-kikik geli dan menganggap pertanyaan saya konyol) ya tidak lah, bu! Ada bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Sunda, Bahasa Bali.. ada bahasa Perancis.
Saya : Riri, bagaimana kamu memanggil ayahmu?
Riri : Bapak
Saya : Agung, bagaimana kamu memanggil ayahmu?
Agung : Aji
Saya : Adinda, bagaimana kamu memanggil ayahmu?
Adinda : Papa
Dhiadri : Sometimes I call ayah " Daddy"..
Saya : Sama juga dengan orang-orang yang agamanya berbeda. Sepertinya mereka menyebut nama Tuhan dengan panggilan yang berbeda-beda juga. Menurutmu, maksudnya sama tidak?
Anak-anak : (berpikir sebentar ) Sama sih...

Monday, October 24, 2005

Mata Mata

Minggu yang lalu, saya membawa sebuah fishbowl dan setumpuk kertas berukuran 8 x 5 cm. Saya mengumumkan pada anak-anak bahwa sepanjang minggu ini kita akan menjadi mata-mata.

Mata-mata?

Ya, kita akan memata-matai teman-teman satu kelas. Setiap ada yang ketahuan melakukan perbuatan menghargai orang lain, kita tulis namanya dan masukkan dalam fishbowl. Jangan lupa menulis sandi rahasia (dengan kata lain inisial nama masing-masing sebagai pelapor). Kita akan menghitung hasilnya hari Senin minggu depan.

Kami sudah berlatih mengenali apa saja yang termasuk perbuatan menghargai orang lain (sesederhana mendengarkan orang lain, minta ijin sebelum meminjam barang, tidak mengganggu teman yang sedang bekerja, dan sebagainya).

Tugas ini cukup sulit untuk kelas saya yang nyaris tidak punya bayangan tentang apa itu menghargai orang lain, dan sangat kompetitif. Mudah sekali menemukan sesuatu untuk menjatuhkan lawan. Bagaimana dengan tugas sebaliknya?

Hari ini kami membahas hasil tugas memata-matai itu. Anak-anak menikmati sekali ketika tahu bahwa teman-temannya memperhatikan good deeds yang ia lakukan. Juga tak kalah bangga ketika tahu bahwa ia adalah mata-mata paling rajin minggu ini. Anak-anak dengan jumlah catatan sedikit langsung tahu bahwa ada sesuatu yang harus mereka perbaiki.

Satu hasil yang menakjubkan untuk saya. Anak-anak yang mendapat catatan paling banyak dari teman-temannya adalah anak-anak yang selama ini selalu jadi biang kerok keributan di kelas (1). Tampaknya mudah tertangkap mata kalau Zaky yang bisa 'duduk tenang sepanjang kami menonton film' atau Dhimas yang 'bisa menunggu giliran dengan sabar'. Mereka SANGAT bangga melihat hasilnya.

Saya berpikir untuk menghentikan permainan ini hari ini. Tapi, setelah fishbowl saya kosongkan, anak-anak mulai mengisinya lagi. Jadi kami belum bisa berhenti.

Sunday, October 23, 2005

Siapa Saya?

Anak seusia penghuni kelas saya sedang senang-senangnya mengulik pertanyaan "Siapa saya?". Mereka sedang tumbuh menjadi bagian dari lingkaran sosial yang makin hari makin besar. Mereka makin perlu tahu dan bisa menyatakan siapa diri mereka sebenarnya.

Hal yang paling sederhana dari acara eksplorasi identitas diri ini adalah dengan mengelompokkan diri dengan orang lain yang (menurut mereka) sama dengan dirinya. Tiba-tiba saja Bu Tia jadi orang dewasa yang tidak boleh tahu urusan anak-anak.

Anak-anak perempuan jadi lebih senang berkumpul dan membuat permainan versi mereka sendiri. Mereka juga mulai senang duduk-duduk di tempat yang teduh dang ngobrol kian kemari. Anak-anak laki-laki juga memilih untuk berpisah dan main bola tak habis-habis.Sekali waktu mereka masih bermain bersama dan tidak peduli pada perbedaan jender (yang mana saya amat bangga pada mereka tentang ini), tapi saya tidak bisa mungkir bahwa memahami jender juga harus melalui proses membedakan anak laki-laki dan perempuan. Tahun ini saya bisa melihat perbedaan jender ini lebih jelas karena saya punya lima anak laki-laki dan lima anak perempuan. Tahun lalu anak laki-laki harus mengalah dibawah dominasi perempuan karena perbandingannya adalah 1:4.

Mengintip mereka bermain, saya sempat melihat bagaimana anak-anak kelas 2 ini tiba-tiba bersikeras tidak mau bergabung dengan anak kelas 3 untuk bermain lempar bola. Mereka ngotot memakai dua bola sehingga bisa memisahkan kelompok kelas 3 dan kelas 2 .

Setelah atribut-atribut umur, jender, dan kelas, identitas berikutnya yang sedang asyik mereka pertanyakan adalah agama. Jangan lupa bahwa anak-anak ini juga sedang mengembangkan batas-batas untuk diri mereka sendiri. Boleh dan tidak boleh, baik dan buruk, jadi penting untuk mereka mengukur tingkah lakunya sendiri. Tampak luar institusi agama yang jelas berisi tokoh otoritas berikut batas-batas, hadiah, dan hukuman mudah dicerna anak-anak, karena tidak jauh berbeda dengan rumah dan sekolah beserta isinya. Menariknya lagi, di lingkup bermain pun mereka bisa melihat persamaan dan perbedaan.

Karena di sekolah kami tidak ada pelajaran agama secara resmi di kelas, saya justru bisa mengamati perkembangan identitas agama ini dengan lebih alamiah. Semua pelajaran dari rumah masing-masing lebur dalam kelas kami yang beragam. Anak-anak mulai bertanya mengapa Musa tidak puasa, dan menyimpulkan sendiri karena Musa beragama Kristen. Tapi mengapa Mini yang Katolik, atau Chandra dan Agung yang Hindu juga puasa?

Mereka mulai menamai fakta-fakta dasar yang berbeda tentang hari raya, tempat ibadah dan kitab suci. Sampai di sini biasanya saya hanya membantu menjawab pertanyaan, atau membiarkan mereka menjawabnya sendiri. Saya hanya bagian monitoring, sampai mana sih mereka ingin tahu dan sudah tahu.


Riri selalu ingin tahu lebih jauh dan lebih dalam dari teman-teman lainnya. Kemarin kami menonton film tentang seorang anak yang tinggal di Manadotua, dekat Taman Laut Bunaken. Diceritakan dalam film itu bahwa masyarakat Manadotua kebanyakan beragama Kristen (digambarkan dengan sekelompok anak-anak bernyanyi di gereja). Riri bertanya pada saya.

Bu, mengapa mereka pergi ke Gereja, tidak ke Masjid?
Karena kebanyakan beragama Kristen, Ri.

Mengapa di sana agamanya Kristen? Ada Masjid tidak, Bu?
Ada. Memang kebanyakan agamanya Kristen, tapi ada juga yang beragama Islam.

Mengapa begitu, Bu? Mengapa di sana banyak yang agamanya Kristen dan di sini banyak yang agamanya Islam?

Di titik ini saya hanya mampu menunjukkan fakta bahwa di banyak tempat ada kecenderungan mayoritas dan minoritas agama yang berbeda-beda. Saya belum mampu menjelaskan dengan sederhana pada Riri bahwa ini semua terkait dengan sejarah masing-masing daerah. Untung anak saya yang super kritis seperti ini hanya satu.

Pada beberapa kesempatan, saya hanya bisa nguping ketika anak-anak sibuk bicara tentang kegiatan mengaji mereka di luar sekolah. Lain kali mereka berdiskusi apa saja yang bisa dibicarakan dengan Tuhan ketika berdoa. Seperti kata Adinda, "Sebelum tidur aku berdoa lho, aku selalu minta maaf sama Tuhan kalau aku salah hari ini. Kayak gini nih, 'Tuhan... maafin Adinda ya hari ini.." Saya tidak bisa mengikuti pembicaraan selanjutnya sampai ketika Dila menimpali, "Iya tapi waktu aku nonton Takdir Ilahi... katanya gini ..."

INI DIA YANG MEMBUAT PROSES MENCARI IDENTITAS BISA KACAU BALAU! 2)

Selagi anak-anak mengumpulkan potongan-potongan identitasnya, saya sengaja tidak mau melakukan intervensi terlalu banyak. Saya tidak mau membuat mereka memiliki identitas seragam, atau bahkan memaksakan idealisme terlalu awal. Biar saja mereka memahami perbedaan jender mereka dengan alamiah, tanpa buru-buru saja jejali dengan pemahaman tentang feminisme. Toh anak-anak perempuan itu tidak pernah merasa rendah diri dari rekan laki-lakinya. Kadang-kadang saya biarkan saja mereka menolak bermain bersama teman-teman lain kelas. Kami tetap punya kegiatan yang melibatkan semua kelas dalam waktu yang sama sehingga mau tak mau mereka tetap berinteraksi. Ketika Ibu Tia tidak boleh tahu urusan anak-anak, ini justru saat yang baik untuk mengenalkan apa itu menghargai urusan orang lain. Ketika isu agama muncul, saya jadikan perbedaan agama tidak ubahnya dengan perbedaan jenis kelamin, usia, warna kulit, keriting lurusnya rambut, tanpa membuatnya jadi berlebih-lebihan.

Saya jadi ingin tahu, gambar apa yang terbentuk dari potongan-potongan puzzle identitas mereka, nanti ya?


1)
Para orang tua muda, tolong, tolong, tolong, jauhkan anak-anak anda dari televisi. Terutama stasiun televisi Indonesia, sampai suatu hari kelak ada kekuatan gaib atau penerima hadiah Nobel yang bisa mengubah mereka. Otherwise, your children will have a non-sense identity.

Friday, October 21, 2005

Perkalian

Anak-anak kelas 2 sudah menanti-nanti saatnya belajar perkalian. Untuk mereka, perkalian adalah satu bagian matematika yang hanya dipelajari mereka yang sudah mahir dan sudah besar. This is a big milestone.

Tiga minggu terakhir ini anak-anak sudah melakukan banyak sekali permainan, acara tempel menempel dan menyelesaikan puluhan lembar kerja tentang perkalian. Berkat semua itu, mereka sudah memahami konsep dasar bahwa perkalian adalah penjumlahan berulang. Juga bahwa 5 x 4 dan 4 x 5 hasilnya sama saja. Mereka sudah tahu bahwa semua bilangan dikalikan 1 sama dengan bilangan itu sendiri. Semua bilangan jika dikalikan 0 sama dengan 0.

Sekarang sudah saatnya menghafalkan tabel perkalian. Menurut ingatan saya, tabel perkalian adalah momok menakutkan. Dulu saya belajar perkalian di kelas 3. Tidak pernah ada cukup waktu untuk mengerti konsep awal perkalian sebagai bekal. Satu-satunya jalan ya dihafalkan. Kalau tidak hafal, bisa-bisa tidak bisa mengerjakan apa-apa. Guru saya bisa memanggil siapa saja dan meminta anak yang dipanggil itu untuk melafalkan perkalian di depan kelas. Tidak ada kesempatan untuk salah kecuali mau malu!

Di kelas saya sekarang, menghafalkan perkalian adalah tantangan yang perlu ditaklukkan. Anak-anak sudah membuat daftar perkalian dalam kartu kecil sebagai alat bantu. Mereka bisa datang pada guru-guru di kelas atau guru matematikanya untuk membuktikan bahwa mereka sudah hafal dan mendapatkan stiker bintang. Dua stiker kalau kamu bisa melafalkannya dengan cepat. Jadi, bisa dibayangkan bahwa seminggu terakhir ini kelas saya mendengung seperti sekumpulan lebah. Saya bisa ditarik-tarik kapan saja untuk mendengarkan perkalian mereka.

Menarik sekali melihat mereka begitu bersemangat dan bisa menampilkan kemampuan mereka sesuai kecepatan yang mereka inginkan. Agung misalnya, belum berhasil melalui perkalian tiga, dan ia sama sekali tidak cemas. Sebaliknya Riri hari ini membuktikan bahwa ia sudah menguasai perkalian 1 sampai 10. Riri bangga sekali. Adinda langsung panas hati. Ia menemui saya sembilan kali untuk mendengarkan perkalian delapannya.Kami tertawa setiap kali Adinda lupa atau membuat kesalahan. Adinda masih komat-kamit berusaha menghafalkan meski saya sudah menyuruhnya istirahat.

Dhimas dan Dhiadri menggunakan cara lain. Mereka bermain – apa yang mereka sebut dengan – TENIS PERKALIAN. Dengan raket tenis bohongan mereka memukul bola bohongan dengan kalimat “3x8!” dan harus dijawab lawan dengan benar. Begitu seterusnya sampai mereka berkeringat.

Pada kenyataannya Dhiadri masih enggan menghafalkan, “I cannot memorize all of this!” keluhnya. Sepanjang pagi tadi Dhiadri sibuk mendatangi teman-temannya yang berusaha menghafalkan perkalian dengan menceritakan penemuan-penemuannya mengenai pola hasil perkalian. “Lihat ini, kalau perkalian sembilan, yang sebelah kiri ditambah satu, yang sebelah kanan dikurang satu. Very easy!”
“Kalau perkalian lima belakangnya pasti nol atau lima. Bergantian saja!”
Saya merasa egonya sebagai anak pintar dan tukang berpikir agak terganggu ketika mendapati dirinya bisa lupa apa yang sudah berusaha ia ingat. Apalagi dia tidak berhasil menemukan pola menarik untuk hasil perkalian tujuh.


Yah, ngomong-ngomong hari ini jadi menyenangkan gara-gara perkalian. Padahal tadinya saya anti dengan acara hafal menghafal. Anak-anak menunjukkan pada saya, menghafal bisa juga menyenangkan. Mau tidak mau (kadang) acara menghafal harus dilewati juga.

Thursday, October 20, 2005

Biskuit dan Puasa

Sudah beberapa hari, The English Teacher meletakkan satu toples biskuit berbentuk bulan sabit di kelas. Biskuit itu menjadi perhatian Adinda. Ia bahkan dengan khusus mendatangi si ibu guru untuk minta kantong plastik agar bisa membawa beberapa biskuit pulang.

Maklum, Adinda sedang belajar puasa.

Keesokan paginya, di jam istirahat, Adinda mendatangi saya. " Bu, tadi pagi aku sudah nangis, jadi puasaku batal. Aku nggak puasa hari ini." Saya manggut-manggut dan Adinda menghabiskan setengah cadangan makan siang yang disiapkan ibunya. Setelah itu, "Bu, aku minta biskuitnya, dong. Dua ya.."

Dan dua lagi.

Dan satu lagi.

Saya tidak ingat persis bagaimana ceritanya, tapi hari itu si biskuit jadi terkenal. Anak-anak mulai mengatur siasat. Riri dan Dila memilih untuk membungkus beberapa biskuit dengan tissue, lalu mengelemnya hati-hati sekali dengan selotip. Mereka memutuskan untuk memakannya saat buka puasa.

Dhimas, Agung, dan Dhiadri (tidak seperti biasanya) main bola sampai bersimbah keringat. Mereka bilang, "I want to break my fast now!" dan minum beberapa teguk. Beberapa saat kemudian mereka datang ke saya.

"Bu Tia, May I have some biscuits please?"
Hihihi. Saya beri masing-masing empat buah.

Sekarang biskuit itu sudah habis tak bersisa. Anak-anak kembali puasa seperti biasa.


Tuesday, October 18, 2005

A Student to Share

Beberapa minggu belakangan ini saya tertekan oleh dua hal. Satu, selama bulan puasa ini kelas saya luar biasa sulitnya. Saya yang selama bertahun-tahun tidak pernah mengeluh soal pekerjaan hanya karena puasa, tahun ini sepertinya harus menyerah kalah.

Tekanan yang lain berhubungan dengen pementasan operet akhir tahun. Modal saya yang 'kecil tapi galak' dimanfaatkan teman-teman untuk mengurusi masalah latihan. Jadilah saya yang pertama kali histeris melihat alokasi waktu dan banyaknya bahan latihan. Tahun lalu saya masih tertawa-tawa ketika harus latihan bersama 18 anak kelas 1 dan 2. Tahun ini ada 32 anak, bervariasi dari baru ulang tahun ke enam sampai ulang tahun ke sembilan. Dan semua harus siap untuk pertunjukan sepanjang satu jam dan menghafalkan posisi mereka di dua pintu belakang panggung untuk keluar masuk. Kami menamainya Pintu Kanan dan Pintu Kiri.

Kesialan lain adalah, saya selalu gagal melafalkan kanan dan kiri dengan benar.

Hari ini, kembali saya harus latihan bersama sebagian anak. Kali ini saya sendirian. Untungnya saya berlatih bersama sekelompok anak yang sangat koperatif. They did share ideas tentang bagaimana sebaiknya panggung itu tampak oleh penonton. Mereka meneliti naskah dengan baik dan bahkan menegur saya kalau ceroboh menempatkan mereka di panggung.

Senang rasanya, punya teman berbagi ketika bekerja.

Tuesday, October 11, 2005

Laki-laki

Di tengah pembahasan tentang makhluk-makhluk laut dari plankton sampai paus, tiba-tiba Adinda angkat tangan, minta diberi kesempatan bicara.

Adinda : Bu, menurutku laki-laki itu tidak termasuk mamalia.
Saya : Kenapa begitu?
Adinda : Laki-laki kan tidak menyusui dan tidak melahirkan.
Saya : (tidak bisa menjawab), tapi ada kemiripan-kemiripan ciri yang lain, kan?
Adinda : Tapi intinya mamalia itu ya menyusui dan melahirkan, bu! Jadi laki-laki itu bukan mamalia.
Saya : ....

Dila : Lalu apa? Reptil??

Hahahhahahaha.... Saya jadi ingat obrolan sesama teman perempuan tentang kadal dan buaya.

Monday, October 10, 2005

Murah Meriah

Sejak saya kecil, lego adalah salah satu permainan edukatif yang populer. Balok-balok bergerigi warna warni ini tidak ada habis-habisnya dimainkan. Setiap hari ada saja benda baru yang bisa dirancang dari lego. Hari ini rumah, besok pesawat tempur, lusa sudah berubah jadi robot hebat.Selalu ada cerita baru yang bisa dibuat, dan selalu ada pesan untuk siapa saja untuk tidak mengutak-atik si robot sampai diijinkan.

Sampai hari ini mainan rancang bangun sejenis lego masih bisa ditemui di toko-toko mainan. Harganya, cukup mahal.

Anak-anak saya sudah beberapa hari menemukan kesenangan merancang bangun dengan menggunakan penjepit jemuran. Mereka membuat pesawat terbang, robot, capung, dan sebagainya.

Penjepit jemuran warna-warni ini jelas murah meriah. Sebelum semua harga naik dua kali lipat bulan ini, harga penjepit jemuran di pasar sekitar Rp 2500 selusin. Jika harganya Rp 5000 pun, masih jauh lebih murah membeli lima lusin penjepit jemuran daripada sekotak lego.

Terakhir kali saya kepingin sekali menghadiahi keponakan saya satu ember lego ukuran sedang, harganya mendekati Rp 300.000. Mungkin kalau ia ulang tahun kelak, saya belikan satu ember jepit jemuran saja, ya.



Puasa

Puasa bagi anak-anak bisa berarti macam-macam.
Puasa bisa berarti alasan yang baik untuk tidak perlu makan, terutama bagi mereka yang tidak suka makan.
Puasa bisa berarti kesempatan yang baik untuk menambah waktu bermain karena tidak perlu dipotong waktu makan.
Puasa berarti pengakuan, bahwa saya sudah besar.
Puasa berarti prestasi, karena sudah kuat sehari penuh sampai maghrib.

Adalah salah satunya alasan anda juga untuk puasa? :)

Sunday, October 09, 2005

Menjelajah Peta

Saya menempelkan sebuah peta Jakarta di salah satu dinding kelas kami. Cukup besar, sampai untuk melihat di mana Pelabuhan Tanjung Priok atau Taman Impian Jaya Ancol, anak-anak harus memanjat bangku.

Seharian ini (tentunya di jam pelajaran saya) anak-anak sudah mirip dengan cicak di dinding. Semua menempel sampai mata mereka hanya 3 cm dari dinding, semua saling tumpang tindih.

Sebagian besar anak-anak di kelas saya sudah cukup lancar menuliskan alamat rumah mereka sendiri, meski tidak kenal RT/RW, kelurahan dan kecamatan. Saya beri mereka masing-masing sebuah stiker untuk dinamai, dan kemudian menempelkannya di peta Jakarta. It was a very fun hide and seek game.

"Rumahku di dekat Kebun Binatang Ragunan. Aku tahu itu. Sekarang di mana Kebun Binatangnya?"

"Ibu, Ibu, aku tidak bisa menemukan Jalan K.H Ahmad
Dahlan. Harusnya di dekat rumah Dhimas, tapi Dhimas belum menempelkan
stikernya."


"Ini jalan yang aku lewati setiap hari, Bu. Tapi
jalannya habis di sini. Rumahku tidak kelihatan lagi di peta." Hihi. Ya tentu
Nak, rumahmu jauh di Bekasi, sedangkan ini hanya peta Jakarta. Lain kali kita
pasang peta Jabotabek.


"Rumahku di Kebayoran Baru. Tapi Ini Kebayoran Lama.
Kebayoran Baru ada di sebelah mana?"


Setelah 30 menit berlalu, anak-anak masuk ke babak berikutnya. Mereka mulai membandingkan jarak rumah masing-masing. Oh, ternyata rumah Agung dan Musa hanya berjarak beberapa gang saja. Ternyata rumah Dhiadri dan Dhimas dekat dengan Mall Itu. Ternyata tempat latihan baseball itu jauh juga ya dari rumah. Ternyata rumah Ai yang paling dekat dengan sekolah.

Anak-anak terus berlanjut menjadi cicak di dinding sambil bermain 'Saya lihat... MONAS! Saya lihat... STASIUN KOTA!' Seru sekali.

Saya hampir-hampir tidak melakukan apa-apa selain membantu menyiapkan stiker dan menggilir anak-anak bergantian menempelkan stiker-stiker mereka.
Mungkin nanti kalau saya punya 20 murid, saya harus menempel 2 peta.



Monday, October 03, 2005

Cermin, Cermin

Tema tentang Respect, atau Penghargaan adalah salah satu tema yang paling saya gemari di kelas. Dalam tema ini anak-anak punya banyak kesempatan untuk mengeksplorasi konsep dirinya dan cara pandang mereka pada orang lain maupun hubungan mereka dengan orang lain. Saya selalu merasa bersemangat untuk mengamati perkembangan mereka dari hari ke hari dalam bahasan tema ini. Lebih lagi, tema ini selalu berhasil mengalir begitu saja dan tidak pernah membosankan.

Dari buku Living Values for Education Age 3-7 saya menemukan sebuah kegiatan unik yang selalu saya jadikan kegiatan pembuka untuk tema ini. Judulnya, Cermin, Cermin.

Biasanya saya mulai dengan diskusi pagi di karpet. Saya katakan pada anak-anak bahwa ada seseorang yang sangat istimewa yang ingin menemui mereka. Anak-anak selalu excited 'kedatangan tamu'. Saya katakan, orang yang sangat istimewa ini hanya mau menemui mereka satu persatu. To this level, normally my children were halfway to jump. Saya akan menambahkan bahwa saya ingin orang istimewa ini menemui mereka karena orang ini adalah orang yang baik hati, pintar dan banyak tersenyum. Saya minta mereka mencari apa istimewanya orang ini.

Satu per satu anak saya minta pergi ke ruang sebelah. Tanpa sepengetahuan mereka saya sudah memasang sebuah cermin di ruang sebelah yang kosong. Ya, sebenarnya tamu istimewa yang harus mereka temui adalah mereka sendiri. Saya, sebagai dalang atas semua ini akan sangat menikmati suasana di mana ada sekelompok anak yang tegang menunggu giliran, sementara setiap anak yang kembali dari ruang sebelah akan tertawa terkikik-kikik tanpa berani buka mulut. Sudah saya wanti-wanti untuk tidak bercerita sedikitpun mengenai pertemuan itu.

Dhimas tadi memanggil saya sambil berbisik ketika sedang menunggu giliran, "I think I know who he is. A clown."

Kami akan mengakhiri kegiatan ini dengan berkumpul lagi di karpet dan berbagi cerita. Benarkah apa yang Bu Tia katakan tadi, tentang orang yang sangat istimewa? Sambil masih tersenyum-senyum mereka akan mengangguk mengiyakan. Beberapa tampak sumringah, tiba-tiba merasa sangat istimewa.

Apa istimewanya?

Jawaban yang berloncatan dari mulut mereka adalah jawaban serupa; Aku cuma satu. Aku unik. Tidak ada yang sama dengan aku.

Setelah kegiatan seperti ini, tidak pernah sulit bagi anak-anak untuk mulai menggali hal-hal yang baik dari dirinya. Dari hal besar seperti "Aku tahu banyak hal" sampai hal kecil seperti "Aku cepat tenang lagi kalau sedang marah."
Setelah sekian kegiatan, anak-anak akan dengan cepat merefleksikan pemahaman bahwa setiap orang berbeda-beda, tidak ada yang sama. Tidak juga teman sepermainanku, kakak atau adikku. Tak ada lagi yang sulit dengan memahami bahwa kita harus menghargai perbedaan-perbedaan itu setelah sampai di titik ini.




Kembali dari Liburan

Pagi ini, ketika saya membelokkan mobil ke jalan kecil menuju sekolah saya bertemu dengan salah satu murid saya. Saya tidak bisa menahan senyum yang sangat lebar, menyadari hari ini dan hari-hari besok kelas kami akan tetap lengkap, 12 orang.



Tuesday, September 27, 2005

One Week Break

Kami sedang libur satu minggu. Anak-anak menanggapinya dengan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang mau main sepeda setiap hari tidak berhenti di rumah nenek yang lokasinya dekat sawah dan lapangan-lapangan luas.
Ada yang berencana untuk main ke timezone on weekdays.
Tidak ada rencana bepergian ke luar kota atau luar negeri --so far -- karena ayah ibu tidak bisa cuti. Lagipula semua les piano, les balet, les vokal, berenang dan sebagainya tidak libur.
Ada yang mau menghentikan hobi berpikirnya, lalu tidur sepanjang hari (saya agak meragukan keberhasilan rencana ini)
Ada yang berencana untuk menemani mama di restorannya yang baru. Sepertinya seru.
Hanya satu anak yang berseru gembira karena libur. Yang lain menanggapi dengan dingin.

Bagaimana libur Ibu Tia? Well, berkurang satu hari untuk terkapar di tempat tidur karena diare berat. Sisa hari mau dipakai untuk sering-sering berenang, meneleponi (dan mungkin bertemu) teman lama untuk minum kopi dan bersenang-senang. Pastinya ke toko buku untuk beli peta Jakarta yang besar dan buku-buku menarik lainnya.

That's it. Empat hari cukuplah, sebelum mereview silabus-lesson plan-other plans dan berdenyut-denyut memikirkan operet akhir tahun.

Good Bye. We are on holiday.

Sunday, September 25, 2005

Pertanyaan Paling Umum

Orang lain : Sudah ambil S2?
Saya : Belum. Saya masih bekerja.
Orang lain : Di mana?
Saya : Saya mengajar.
Orang lain : Oh. Dosen?
Saya : Bukan.
Orang lain : Di SMA?
Saya : Bukan. Saya mengajar di SD
Orang lain : Oh. Bahasa Inggris?
Saya : Tidak. Bahasa Indonesia.
Orang lain : Lalu mengajar apa?
Saya : Semuanya. Saya kan guru kelas.
Orang lain : Oh. *speechless*

Saya seringkali mengalami percakapan seperti ini. Terutama percakapan dengan seorang distant relatives. Sungguh nggak matching sepertinya, tampang saya dan pekerjaan saya. Hihihi...

Wednesday, September 21, 2005

Melamun

Dhimas adalah salah satu energizer di kelas saya. Ia super aktif sehingga sulit sekali diam barang semenit. Bahkan ketika ia terokupasi pada suatu pekerjaan pun, bisa dipastikan ia juga sedang mengkhayalkan dunia yang lain.

Ketika anak-anak makan siang hari ini, suasana cukup sepi. Kecuali Dhimas tentu saja. Ia mengambil kantong plastik bekas roti coklat yang dibawanya. Ia melipat plastik itu kemudian menempelkannya di depan mata. Dhimas berlagak seperti robot dengan kacamata super.

Saya dan Bu Novi sudah terkikik-kikik geli di meja guru. Riri memperhatikan Dhimas tanpa berkedip.

Riri : What are you doing?
Dhimas : I am daydreaming. My brain is stimulated, you know that.
(kembali menirukan robot berkacamata)


Saya tertawa mendengar obrolan serius itu. Dhimas menyimpan plastik bekas coklat lengket itu dan membawanya keluar waktu bermain.

Thursday, September 15, 2005

Untung Rugi


Sekolah kami adalah sekolah yang tidak berdasarkan agama apapun, dan memutuskan untuk tidak mengajarkan agama apapun sampai kelas tiga.

Kebijakan seperti ini memang disetujui oleh semua yang memasukkan anaknya ke sekolah ini. Tapi, tetap saja kadang-kadang terdengar keluh kesah. Saya sih tidak heran kalau ada orangtua yang bangga karena anaknya pandai menghafal serentetan doa sejak batita. Barangkali berkerut muka mereka melihat anak-anak di sekolah kami tidak ada pelajaran agama di kelasnya.

Apa ruginya mengajarkan agama sejak awal di sekolah? Tidak ada kan?


Ya, tidak rugi. Saya tahu banyak orang tua yang ingin menanamkan segala sesuatu sejak dini pada anak-anak mereka, termasuk agama dan tiga bahasa asing sekaligus. Tidak rugi memang.

Hanya saja kami berpikir dengan cara yang berbeda. Kami berpendapat bahwa hal pertama yang harus diketahui anak-anak adalah bahwa setiap orang adalah sama. You have to respect each and every person you meet today. You have to love your friends, your pet, your tree and yourself.

Kami beranggapan anak-anak usia TK dan SD awal belum perlu menyisihkan waktu istirahat dan bermain mereka untuk antri wudhu dan sholat. Makan sendiri saja masih susah payah.

Kami tidak menggiring anak-anak menyadari perbedaan jendernya dengan memisahkan barisan sholat mereka di depan dan belakang. Kami lebih dulu mengajari mereka sama berani, sama pintar dan sama penyayangnya, laki-laki atau perempuan.

Kami memberi mereka jurnal untuk mencatat serba-serbi hari yang mereka lewati, senang, sedih, kesal, cemas, ide baru yang muncul dan impian-impian mereka. Kami tidak memberi mereka jurnal untuk mencatat berapa sholat yang mereka lakukan atau tinggalkan hari ini, juga berapa ayat yang mereka baca hari ini.

Kami tidak merasa perlu membebani pikiran-pikiran segar mereka dengan rentetan doa dan arti yang harus mereka hafalkan. Kami lebih merasa perlu mendampingi mereka menggunakan kesegaran itu untuk mengeksplorasi dunia tempat mereka tinggal. Biar mereka menikmati dan mengagumi setiap keajaiban baru yang mereka temui. Saat itu mereka sedang mengagumi Tuhannya.

Kami tidak mengenalkan perbedaan agama dengan membuat kelompok dan memisahkan anak-anak yang tidak beragama A dengan yang beragama A ketika di kelas ada pelajaran agama A. Kami tidak ingin kelompok anak yang jumlahnya lebih sedikit merasa dikecilkan artinya dibanding kelompok beranggota besar.

Mari hidup bersama-sama. Seperti ketika bulan puasa tiba dan setiap anak di sekolah sama antusiasnya, apapun agama mereka. Jika anak-anak yang tidak diharuskan puasa dalam agamanya ikut puasa, bukan karena ada islamisasi atau karena mereka mengkhianati agamanya. Coba lihat lebih dekat, anak-anak itu hanya ingin berempati pada temannya, ikut merasakan pengalaman temannya.

Kami tidak mengajar mereka bagaimana seluk beluk beribadah sejak dini. Kami belajar pada mereka untuk menerima bahwa setiap orang, apapun agamanya, berhak hidup bersebelahan. Boleh tercatat sebagai satu keluarga dalam kartu keluarga.

Mengapa tidak kita biarkan anak-anak menganggap semuanya indah, semuanya menarik. Jangan dulu menyuruh mereka mengotak-ngotakkan semua dalam surga dan neraka. Biarkan mereka belajar tentang benar atau salah, tanpa takut dosa atau diiming-imingi pahala. Biarkan mereka menggandeng semua temannya, memilih siapapun jadi ketua kelas, tanpa lebih dulu menimbang apa agama dan jendernya.


Saya pikir, itupun tidak rugi.

Monday, September 12, 2005

Dari Hati Ke Hati

Thalia adalah salah satu murid di kelas saya. Ia gesit dan cerdas. Hanya saja suaranya tidak terdengar. Kami, guru-guru dan teman-temannya tidak pernah bosan menyemangati Thalia untuk sedikit mengeraskan suaranya. Tapi, kami juga sudah mulai bisa hidup dengan itu.

Hari ini saya sedang sibuk mengerjakan paperworks ketika Thalia tampaknya ingin bicara pada guru bahasa Inggrisnya. Ibu guru itu sedang sibuk dengan murid yang lain. Adinda melihat Thalia celingukan, dia menyarankan Thalia untuk menemui saya.

Saya memasang bahasa tubuh siap mendengarkan. Thalia mendekati saya, tetapi tidak berkata apa-apa. Saya terus menunggunya, sambil sekali-kali bertanya apa yang ingin ia katakan. Thalia tetap tidak bersuara.

Sudah waktunya istirahat makan siang. Semua teman-teman Thalia sudah bergerak mencuci tangan dan mengambil makan siang masing-masing. Thalia masih berdiri di depan meja saya, tidak mengatakan apa-apa. Saya berusaha menjaga kontak mata dan bersikap menunggu.

Lima belas menit kemudian saya bertanya pada Thalia, apakah ia ingin menceritakan sesuatu atau ingin makan sekarang?
Tidak ada jawaban.

Kepala saya mulai berdenyut-denyut. Saya ingin mengalihkan pandangan tapi tidak berani. Saya ingin menyuruhnya beranjak pergi, tapi saya rasa ia butuh waktu untuk didengarkan. Saya tidak ingin mengusir.

Saya jelaskan padanya saya tidak sedang marah. Kalau Thalia ingin bicara, saya akan menunggu dan mendengar. Kalau Thalia lapar, Thalia boleh makan. Thalia tidak berkata apa-apa. Mulutnya bergerak-gerak, tapi saya bahkan tidak bisa membaca bibirnya. Saya mencoba mengatakan yang lucu-lucu, dan Thalia tersenyum malu. Saya katakan nanti orang lain mengira saya marah padanya. Dia tertawa.

Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan, atau apa yang saya harapkan. Saya merasa tidak sabar sekaligus sedih. Seandainya saja saya bisa membaca pikiran.

Kami duduk berdua saling berpandangan tanpa suara selama 60 menit. Betul! 60 menit. Thalia kehilangan kesempatan makan siang. Saya juga sudah sangat ingin ke toilet.

Terakhir, sebelum teman-teman lain berdatangan untuk pelajaran berikut, saya bertanya pada Thalia, " Thalia, boleh Ibu Tia bergabung dengan teman-teman lain untuk belajar? Atau Thalia masih ingin Ibu Tia di sini untuk mendengarkan apa yang ingin kamu katakan? Kalau Thalia tidak menjawab, ibu Tia akan menunggu di sini."

Dengan sangat perlahan ia menganggukan kepala.

Riri, Adinda, dan Ai masuk ke kelas dan mengerumuni meja saya. Ada apa sih Bu? Lalu saya jelaskan. Saya bertanya pada Adinda, "Tadi sebenarnya Thalia ingin apa sih, Adinda?"

"Itu bu... tadi Thalia ingin tanya, pembatas buku yang sudah selesai harus ditaruh mana.."

Itu saja? Adinda mengangguk dan Thalia tersenyum malu.

Sungguh, kesabaran saya betul-betul diuji hari ini. 60 menit berusaha bicara dari hati ke hati tanpa mulut.

Sunday, September 11, 2005

Katakan

Anak-anak bertengkar setiap waktu, setiap hari.Mereka bertengkar untuk berbagai alasan, kecil dan besar. Lima menit kemudian berbaikan kembali. Tetap saja mereka sedang belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain. Tetap saja mereka sedang belajar bagaimana mengungkapkan perasaan dan keinginannya dengan tepat, tidak destruktif. Lima menit pertengkaran itu tetap lima menit yang tidak mengenakkan, mungkin penuh rasa bersalah atau marah. Mungkin juga penuh air mata.

Saya berusaha tidak sering ikut campur dalam pertengkaran anak-anak, kecuali masalahnya melibatkan sesuatu yang berbahaya atau sesuatu yang sama sekali unacceptable. Anak-anak tetap datang pada saya, mengadu, atau membela diri. Saya tetap berkata pada mereka, coba selesaikan sendiri.

Coba katakan apa yang kamu rasakan.
Coba katakan apa yang kamu ingin ia lakukan.
Coba katakan apa yang kamu ingin ia tidak lakukan.

Anak-anak cepat belajar. Dari boneka tangan hingga mempraktekkannya sendiri ketika benar-benar bertengkar dengan teman, lugas selalu mereka katakan
"Aku tidak suka kamu mendorongku. Itu membuatku marah. Lain kali jangan mendorong lagi."

Beruntung anak-anak tidak pernah mendendam. Tangan mereka cepat terulur dengan maaf. Cepat memaafkan. Cepat bermain lagi sebelum bel berbunyi.

Sepertinya saya harus belajar dari mereka. Sebab saya masih sering diam seribu bahasa ketika marah dan menolak bicara pada siapapun. Sepertinya saya harus meniru mereka, mengatakan apa yang saya rasakan, apa yang saya ingin orang lain tidak lakukan, apa yang saya ingin orang lain lakukan.

Lebih susah jadi orang dewasa daripada anak-anak.

Saturday, September 10, 2005

Soal Bonus

Dulu, saat Alexander The Great masih sekolah, Aristoteles selalu menyiapkan ekstra soal. Masalahnya Alexander The Great selalu menyelesaikan tugasnya dua kali lebih cepat dari teman-teman yang lain. Kalau dibiarkan begitu saja, ia akan lasak mengganggu teman-temannya. Sebelum hal itu terjadi, Aristoteles mengambil langkah preventif dengan memberi soal tambahan. Alexander The Great tidak pernah menyadari hal ini sampai ia agak besar, dan itu membuatnya sangat kesal.

Di kelas, saya juga punya sebuah kotak menarik dengan label KOTAK BONUS. Di dalamnya saya meletakkan banyak sekali soal tambahan berupa teka-teki, puzzle, soal-soal matematika dan bahasa yang lucu-lucu. Maksudnya lucu karena biasanya bergambar dan meminta anak-anak untuk ikut menggambar, mewarnai, dan sebagainya.

Begitu juga dengan guru-guru spesialis yang lain, mereka selalu siap dengan lembaran tugas tambahan berjudul SOAL BONUS. Anak-anak selalu bersemangat dan merasa bangga setiap kali mendapatkan SOAL BONUS. Kalau guru matematika mereka sudah bilang, "Ya, Riri boleh mengambil soal bonus," pasti Riri langsung berseru gembira.

Padahal sebetulnya kan mereka mendapat tugas tambahan, ya?

Kemarin, untuk pertama kalinya Agung menyelesaikan tugas jatahnya dua puluh menit lebih awal. Ia boleh mengambil soal bonus dan katanya, 'Wow, this my first bonus!" dan minta diijinkan tinggal sepulang sekolah untuk menyelesaikan bonusnya.

Saya sedang bertanya-tanya sendiri. Kalau suatu hari nanti mereka sudah besar, marah tidak ya mereka, mengetahui bahwa di balik label SOAL BONUS itu sebenarnya mereka diminta bekerja lebih banyak dari seharusnya?

Wednesday, September 07, 2005

Tidak ada yang istimewa

Tidak ada yang istimewa hari ini. Semua berjalan normal-hiruk-pikuk seperti biasa. Seperti setiap Rabu pagi saya ngebut merancang rencana pelajaran untuk minggu depan. Anak-anak datang silih berganti, mampir ke meja untuk bercerita atau mencari-cari tugas yang belum selesai.

Adinda datang terisak-isak. Katanya Dimas sengaja menendang bola kena matanya. Saya mengajak Adinda menyelesaikan ini dengan Dimas. Di mana Dimas? Masih main bola dengan teman-temannya. Melihat kami dari jauh, Dimas langsung berhenti, " I already said sorry four times!"
Adinda masih ngotot untuk bilang, "Aku (hiks).. tidak suka (hiks) kalau kamu menendang bola (hiks) ke arah mataku (hiks)..."

It was almost 8 o'clock. Teman saya mengingatkan bahwa jam 8 ada casting untuk operet Lutung Kasarung yang akan kami pentaskan Desember nanti. Saya membagi dua kelas. Anak-anak yang tidak ikut casting peran hari ini mengerjakan anu anu dan anu. Yang ikut casting berkumpul di aula. Setelah mondar mandir kian kemari, saya berakhir dengan mengasuh anak kelas 1 yang gurunya harus mengurusi casting, dan guru yang lainnya absen karena flu berat.

Saya kembali ke kelas, sudah hampir setengah sembilan. Saya membacakan buku tentang kehidupan tiga generasi yang berbeda. Di akhir buku itu anak-anak sudah menyusun puluhan pertanyaan untuk mewawancara kakek dan nenek masing-masing. Dan mereka kesal karena belum selesai ketika sudah waktunya pelajaran musik.

Karena satu dan lain hal, guru musik tidak ada. Saya menemukan lagu bagus di internet, dan memainkan midi file-nya. Lagunya gembira sekali. Anak-anak senang dan cepat bisa. Saya memutuskan untuk memainkan lagu ini untuk konser berikut.

PAGI-PAGI - Ibu Sud

bangun ! bangun ! hari sudah siang

ayo kawan-kawan segeralah jaga
lekas ! lekas ! lekaslah bekerja
jangan turutkan watak yang malas

dengar ! dengar ! ayamku berkokok
bersambutan dengan suara bunyi murai
jangan ! jangan ! terlambatlah handai
tunjukkanlah kegiatan kamu

ayo ! ayo ! bersiaplah seg'ra
matahari takkan menantikan kamu
lihat ! lihat ! sinarnya menyerbu
membangunkan anak-anak malas


Bu Novi harus membantu kelas TK jam berikutnya. Saya membagi tiga diri saya dengan membantu anak-anak mencari kata di kamus dalam pelajaran Bahasa Inggris, menunggui Zaky yang ngantuk dan kehilangan mood untuk membaca dan mencari kata-kata yang sulit, sambil mondar mandir ke komputer membereskan data-data observasi. Thanks God i don't have to teach English today.

Sudah jam istirahat makan siang. Makanan Agung tumpah membasahi seisi tasnya. Ia kesal karena lapar. Jadi saya temani cari makanan di depan. Dhiadri sudah mulai bermain dan jingkrak-jingkrak sendiri. Entah apa yang ia lakukan, menjelang bel Dhiadri menghampiri saya setengah menjerit, "Look at my teeth! Look at my teeth!"

"There's nothing, Dhiadri. Itu karang gigi. Giginya tidak apa-apa, " jawab saya setelah memperhatikan mulutnya. Dhiadri tidak puas lalu sibuk minta cermin dan terus-terusan bertanya karang gigi itu apa. Sementara itu guru-guru kelas lain sudah membunyikan bel. Anak kelas saya baru muncul setengah. Setengah lagi mana?? Saya baru akan mencari ketika bertemu anak-anak itu di tengah jalan. Di kelas, Dhiadri sudah menuntut cermin. Saya mencarikan cermin.
Setelah melihat bahwa giginya masih utuh dan hanya serpihan karang gigi saja yang lepas, ia langsung tenang.

It's time for art and craft. Setelah saya hitung-hitung, ada tiga kelompok anak di kelas saya. Satu, masih harus menyelesaikan craft minggu lalu. Dua, sudah siap memulai craft yang baru. Tiga, belum selesai craft yang lalu dan bersiap dipanggil untuk melanjutkan casting. Sialnya lagi saya sedang memilih untuk melakukan kegiatan art and craft yang repot dan butuh panduan. Ada saja yang hampir menangis karena tidak berhasil memotong kertas lurus sesuai garis.

Hari ini berakhir sepuluh menit lebih lambat dari seharusnya. Kelas saya sedikit belepotan lem PVC tapi hampir semua berhasil menyelesaikan pekerjaannya dan sudah meletakkannya di tempat yang rapi.

Ya. Sudah begitu saja. Tidak ada yang istimewa.

Tuesday, September 06, 2005

Riset Kecil

Bedanya mengajar di playgroup dan di SD adalah di SD boleh memberi tugas. Hehehe. Saya senang memberi tugas-tugas open ended. Saya senang melihat hasil kerja anak-anak yang beraneka ragam dan seringkali mengejutkan.Tugas open ended juga memaksa anak-anak bertanya; baik bertanya pada orang lain yang lebih tahu maupun bertanya pada buku.Lagipula tugas open ended tidak merepotkan buat saya, tapi merepotkan mereka.

Membiasakan anak-anak mengenal buku referensi, menggunakan kamus, dan menggunakan atribut-atribut lain pada buku mau tidak mau jadi bagian proses belajar, kalau sebagai guru saya maunya memberi tugas open ended. Tentang keinginan mereka untuk mulai bertanya pada buku, itu soal lain lagi.

Hari ini kegiatan kami tidak open ended, karena saya menyiapkan permainan dan lembar kerja. Ternyata saya tetap mendapatkan hasil tidak terduga.

Saya mengajak mereka bermain lomba mengelompokkan gambar hewan. Mereka harus mengelompokkan gambar-gambar itu dalam kriteria tertentu. Saya mulai dengan kriteria kasat mata seperti hewan yang hidup di darat atau hidup di air, bertelur atau tidak bertelur. Dalam tiga kali percobaan anak-anak sudah melesat pada pengelompokkan hewan vertebrata. Saya ketinggalan. Saya baru bicara tentang hewan kaki dua dan hewan kaki empat, ada saja anak yang menerangkan pada temannya bahwa laba-laba itu bukan serangga karena kakinya delapan sedangkan semua serangga kakinya enam.

Topik ini sungguh menarik sampai-sampai ketika kami melanjutkan ke sesi lembar kerja, anak-anak fall into silence. Semua langsung serius. Mereka sedang menulis persamaan dan perbedaan gambar sekelompok hewan. Tiba-tiba Adinda dan Dhiadri menghampiri saya.

"Boleh ke perpustakaan, tidak, Bu? Aku butuh buku untuk menjawab soalnya."

Saya berpikir sejenak. Saya tidak merencanakan pelajaran sampai sejauh ini sih, tapi mengapa tidak? Walaupun sebenarnya soal yang saya berikan tidak perlu informasi sejauh itu. Saya hanya meminta mereka mengamati gambar.

Dua anak itu lari ke perpustakaan dan kembali lima menit kemudian dengan setumpuk buku tentang hewan. Mereka letakkan di karpet dan mempersilakan teman yang lain untuk ikut melihat.

Limabelas menit kemudian kertas-kertas tugas itu sudah berpindahtangan ke saya.

Ini jawaban mereka.


"Hewan-hewan ini termasuk mamalia. Mereka sama-sama menyusui, mempunyai rambut, mempunyai kerangka dan berdarah panas. "

"Hewan-hewan ini termasuk reptil. Kulitnya bersisik dan agak kasar. Reptil itu bertelur dan berdarah dingin."


Riset yang bagus.

Sunday, September 04, 2005

Artikel

Nama saya muncul di sebuah majalah edisi September.

Itu ulah teman saya yang merasa perlu "mendongkrak popularitas" saya. Jujur dan agak malu saya harus mengakui bahwa saya agak termakan kilahnya itu, sampai -sampai saya sengaja memakai baju kesayangan saya di hari pemotretan.

Tiga hari lalu saya berusaha keras mencari majalah edisi September keliling kelurahan hanya untuk dikecewakan agen koran dan majalah. Ketika akhirnya saya berhasil mendapatkan majalah itu, antusiasme saya sudah tinggal sepertiga. Saya sedikit merasa apa yang saya katakan tidak ditulis dan apa yang ditulis tidak saya katakan.

Ibu saya justru sangat antusias. Dipamerkannya artikel sepotong itu pada sepupu-sepupu saya yang cukup lama bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional mapan. Selama ini mereka memang tidak pernah menggubris apa yang saya lakukan. Selain mengejar-ngejar saya untuk segera kawin, tidak sekalipun mereka pernah bertanya tentang apa yang saya lakukan sekarang. Selama ini saya pun tidak merasa perlu repot bercerita pada mereka. Saya cukup tahu apa yang mereka anggap penting dan apa yang tidak. Saya bukan dokter, tidak bekerja di perusahaan besar, dan tidak sekolah di luar negeri. Jadi tidak ada yang ingin mereka dengar.

Ibu saya juga bertekad untuk menggunting dan memamerkan artikel itu di sekolah yang dibawahi yayasan tempatnya bekerja. Saya (yang ternyata tidak siap dengan popularitas terdongkrak) segera mempertanyakan dua aksinya itu; untuk apa?

Ibu saya bilang, ia ingin mengatakan pada sepupu-sepupu saya itu betapa miripnya saya dengan kakek saya. Ia ingin bilang keras-keras di depan muka mereka bahwa, bahagia tidak identik dengan banyak duit (huhuhu... dengan kata lain saya masih termasuk kaum dhuafa). Ia juga ingin bilang pada guru-guru di sekolahnya bahwa penghargaan datang dari determinasi, bukan dari job title.

Saya cuma bisa nyengir. Saya bisa memahami antusiasmenya. Saya menghargai dan terharu pada rasa bangganya akan saya.

Sayang sekali saat ini saya tidak merasa antusias apalagi bangga. Artikel itu sedang menampar betapa 'middle class'-nya saya. Saya tidak bangga akan itu.