Saturday, April 29, 2006

Bisa!

Anak-anak di kelas saya terkenal paling suka main di luar. Mereka tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa berlari sekencang-kencangkan di halaman sekolah kami yang tidak begitu besar, meskipun mereka baru bisa keluar kelas 2 menit sebelum akhir waktu bermain tiba.

Anak-anak di kelas saya juga paling senang menciptakan permainan baru.

Ada saat-saat di mana mereka senang sekali membuat halaman kelompok bermain porak poranda karena sibuk membuat aneka bentuk halang rintang. Hari yang lain lagi, mereka meletakkan dua gawang futsal portable bertolak belakang dan menjadikannya net voli ala sekolah kami. Pernah anak-anak menemukan tongkat golf mainan terbuat dari plastik. Mereka membuat bola dari kertas dan selotip. Tadinya saya pikir untuk main hoki, tapi mereka bilang itu bola golf. Sejak itu mereka sibuk berlatih golf dan menghitung par birdienya.

Suatu kali saya sedang menunggui anak-anak dijemput sepulang sekolah. Beberapa anak kelas saya belum dijemput. Mereka mulai menciptakan permainan baru lagi. Kali ini adalah kontes melompat. Pertama, mereka menyusun bangku sekaligus kontainer Ikea bertumpuk-tumpuk. Tiga orang anak antri dan mencoba untuk melompat tanpa menjatuhkan tumpukan bangku kontainer itu. Satu bangku kontainer, bisa dilewati. Dua bangku kontainer, masih bisa dilewati. Tiga bangku kontainer, tetap bisa dilewati. Anak-anak senang. Empat bangku kontainer, sudah terlalu berbahaya. Tingginya sudah lebih tinggi dari anak-anak, sedangkan lintasan untuk berlari dan mendarat tidak cukup.

Tidak hilang akal sekarang mereka menyusun bangku kontainer itu secara horizontal. Satu bangku kontainer, tentu tidak sulit sama sekali. Dua bangku kontainer, hanya harus melompat lebih kuat. Tiga bangku kontainer, ternyata bisa dilewati. Empat bangku kontainer... Adinda mulai berteriak-teriak. Aku tidak bisa, bu. Tidak mungkin bisa. Ini panjang sekali.

Riri dan Dhiadri mulai mengambil ancang-ancang, melompat, dan mendarat dengan mulus.
Adinda mencoba juga sambil mengomel bahwa ia tidak bisa melewatinya. Ternyata benar. Adinda menggulingkan bangku kontainer yang terakhir. "Tuh, kan, aku tidak bisa."

Dengan tenang saya berkomentar,"Ya jelas saja kamu tidak bisa, sejak awal kamu sudah bilang kamu tidak akan bisa."

Panas mendengar komentar saya, Adinda membalikan badan dan mengambil ancang-ancang lagi. Ia berlari dan melompat... lalu berhasil mendarat tanpa menyentuh satu bangku kontainer pun.

Adinda melihat ke arah saya dan Bu Ayu dengan wajah pemenang medali emas olimpiade, dan bicara dengan kecepatan tinggi "tahunggakbutadinyaakularisambilmikirakunggakbisalaluwaktu

akulompatakupikirakuharusbisaharusbisaharusbisalaluakhirnya AKU BISA!!!"

Ini alasan lain mengapa anak-anak perlu bermain. Mungkin ini pula alasan mengapa anak-anak terus menerus menciptakan permainan baru selain mewarisi permainan-permainan terdahulu. Barangkali ini alasannya mengapa banyak permainan memiliki tingkat kesulitan bertahap. Saya rasa anak-anak, secara alamiah, terus melatih dirinya untuk berani menghadapi tantangan demi tantangan.

Mengapa mengeluh kalau anak-anak terus bermain?
Tidakkah terlihat bahwa mereka terus menerus melatih diri untuk siap menjadi orang dewasa yang tidak gampang menyerah?

Thursday, April 27, 2006

Komodo

Suatu diskusi pagi minggu ini, saya dan anak-anak membahas bagaimana cara melakukan presentasi yang baik. Minggu depan mereka akan membawakan satu topik tentang Indonesia. It could be anything, really. Adinda mau bercerita tentang Sate Kalong. Saya menggodanya, apakah ia akan membawakan sate kalong untuk kami semua.

Saya : Akan lebih menarik kalau kamu bisa membawa gambar, foto, atau bahkan bendanya (yang akan diceritakan) sendiri.

Dhiadri : Aku juga bu?

Saya: Lebih baik begitu. Memangnya topik apa yang kamu pilih?

Dhiadri : Komodo.

Ups....

Wednesday, April 26, 2006

Jurnal

Saya mengajar penuh waktu hari ini, dari jam delapan pagi sampai siang. Padahal mulut saya masih belum bisa diajak kompromi untuk mengoceh panjang-panjang. Jadilah siang hari saya ganti haluan dan mengeluarkan jurnal.

Biasanya kalau saya minta anak-anak menulis jurnal, saya harus menyertakan satu topik untuk ditulis. Kalau tidak, anak-anak akan memanfaatkan waktu menulis jurnal untuk melamun dengan pensil di bibir seakan-akan berpikir keras.

Siang ini saya tidak punya topik untuk ditulis. Saya bilang, topiknya bebas. Kalian boleh menulis apa saja asal pensil kalian terus bergerak.

Boleh aku menulis tentang foto-foto kita tadi?
Boleh.

Boleh aku menulis tentang mobilku?
Boleh.

Boleh aku menulis tentang percobaan IPA yang kemarin?
Boleh.

Boleh aku menulis tentang Benua Amerika?
Sure.

Boleh menulis tentang magma?
... Magma? Ya... boleh saja (Dalam hati saya berpikir keras, darimana topik magma bisa muncul. Baru saya ingat kemarin anak-anak membaca dengan serius tentang jenis-jenis batuan Saya jadi ingat juga betapa kagumnya saya ketika hampir seisi kelas bisa menjelaskan bahwa batuan metamorfosis terbentuk karena panas dan tekanan).

Pensil-pensil bergerak sibuk.
Kalau tahu begini, saya tentu tidak perlu repot-repot memikirkan aneka topik untuk menulis jurnal.

Saya memperhatikan kalender. Sekarang sudah bulan April. Sudah hampir sepuluh bulan sejak mereka datang ke kelas saya. Sampai sekarang saya belum merasa cukup percaya diri untuk berkata kemampuan menulis anak-anak di kelas saya sudah meningkat. Anak-anak tentu tahu bagaimana saya sangat cerewet memperbaiki susunan kalimat dan tanda baca mereka. Mereka tentu hafal betul bahwa saya selalu berpendapat mereka harus membaca lebih banyak bacaan berbahasa Indonesia.

Tetapi hari ini ada yang berbeda. Mendengar bagaimana anak-anak spontan memilih apa yang ingin mereka tulis tanpa mengeluh, tanpa melamun, tanpa menunda-nunda, saya bisa merasakan selintas kesenangan dan semangat untuk menulis. Spontanitas itu memberi tanda bagi saya: anak-anak sudah menikmati menulis.

That IS a big progress for me. Tanpa saya sadari anak-anak berkembang. Itulah mengapa saya cinta bulan April dan Mei.

Tuesday, April 25, 2006

Teman Baik

Today is my first day with braces.
It is painful.

Seperti dugaan semua orang, anak-anak bertanya ada apa dengan barisan gigi saya. Untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka saya memotong lima belas menit waktu pelajaran untuk menjelaskan segala sesuatu tentang gigi, kawat sementara dan kawat permanen. Termasuk diantaranya mengapa ada orang yang harus memakai gigi palsu.

Lima belas menit di mana anak-anak sampai berdiri dan maju supaya ditunjuk untuk bertanya itu membuat saya melupakan rasa sakit di seisi mulut saya.

Sebagai teman, saya katakan pada mereka, " This is my first day and i am adjusting to this braces. It is quite painful, but i will be ok tomorrow. Would you help me today?"

Teman-teman baik saya tidak menjawab, tapi mereka manis sekali hari ini.

Sunday, April 23, 2006

Pilihan


Hanya ada dua hari besar nasional yang kami rayakan di sekolah. Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, dan Hari Kartini 21 April. Setiap tahun kami selalu sibuk memikirkan bagaimana perayaan yang akan diselenggarakan menjadi sesuatu yang bermakna bagi anak-anak meskipun sederhana.

Satu hal yang kami sepakati dalam hari Kartini adalah tidak ada parade baju daerah. Pertama kali saya mengetahui kesepakatan itu (maklum, saya datang agak belakangan), saya setuju seratus persen. Menurut saya parade baju daerah lebih cocok dengan hari Sumpah Pemuda daripada Hari Kartini.

Banyak hal yang lebih bisa ditiru dari riwayat hidup Kartini daripada memakaikan sanggul dan rias wajah yang tidak nyaman ke anak-anak kecil lalu menganggap mereka lucu dan menggemaskan.

Dua minggu belakangan ini setiap kelas berusaha menyisipkan lagu dan kisah tentang riwayat hidup Kartini di sela tema pelajaran di kelas yang sedang berjalan. Saya membuat ringkasan dari berbagai sumber dengan bahasa anak-anak. Hal yang ingin kami sampaikan sederhana saja; anak laki-laki dan perempuan adalah teman sejajar.

Mungkin ide ini terdengar kuno di tahun dua ribu sekian. Tapi saya yakin, kami perlu menanamkan hal ini sejak sekarang, sejak mereka dengan polosnya memang masih beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan tidak berbeda kecuali tampak luarnya sebelum lingkungan mendidik mereka bahwa perempuan ada di belakang laki-laki untuk banyak hal.

Di kelas 2, saya menambahkan lebih banyak hal. Saya garisbawahi semangat tidak mudah putus asa Kartini yang terus belajar meski tinggal di rumah. Bagaimana ia senang membaca dan selalu menulis pengalaman, perasaan, dan cita-citanya lewat surat. Juga bagaimana dengan surat dan tulisan-tulisannya ide-ide besar itu tidak pernah hilang.

Ketika saya bertanya pada anak-anak, apa yang bisa kita tiru dari Kartini, mereka menjawab

Kita harus banyak membaca.

Kita harus rajin menulis surat.


Mengapa kita harus banyak menulis?

Supaya nanti bisa dibaca lagi.

Iya, supaya nanti orang lain tahu kalau kita sudah mati.

Anak-anak bertanya mengapa perempuan di masa itu harus dipingit. Saya bilang, karena masa itu anak-anak perempuan bangsawan dipersiapkan menjadi istri. Perempuan tidak punya pilihan lain selain menjadi istri. Tidak bisa menjadi yang lain-lain.

Baikkah menurutmu menjadi istri itu?
Anak-anak spontan menjawab tidak. Jawaban yang membuat saya tersenyum.

Lalu, bagaimana dengan ibumu?
Barulah mereka sadar. Bahwa selain menjadi istri, ibu mereka punya restoran. Ibu mereka adalah arsitek. Ibu yang lain adalah guru. Ibuku bekerja di bank. Anak-anak meralat sendiri, menjadi istri dan ibu pun baik.

Ya, saya bilang, menjadi apa saja baik. Asalkan kamu memilihnya sendiri. Yang tidak baik adalah bila orang lain melarangmu punya pilihan. Yang baik adalah jika kamu punya pilihan dan memilih sendiri. Kalau ada orang mengatakan kamu tidak punya pilihan karena kamu laki-laki atau perempuan, orang itu salah.

Jadi ingat itu, kamu punya pilihan dan kamu harus memilih sendiri.

Wednesday, April 19, 2006

Ruang Selisih

Setiap kali menyiapkan suatu tema dalam pelajaran, saya akan melihat tiga hal (selain silabus saya sendiri tentunya).

Satu, saya akan melihat pada kurikulum nasional dan buku-bukunya. Saya ingin tahu bagaimana kurikulum nasional meliput tema tersebut.

Dua, saya akan melihat pada kurikulum internasional. Saya juga perlu tahu aspek-aspek apa saja yang ditekankan dalam kurikulum itu.

Tiga, saya harus ke perpustakaan dan mengumpulkan semua buku dan alat peraga yang berhubungan dengan tema itu.

Harapan minimal saya biasanya jatuh pada kurikulum nasional. Contohnya saja saat kemarin kami bicara tentang matahari dan bayang-bayang. Dalam kurikulum nasional, mereka hanya ingin anak-anak tahu bahwa posisi matahari berubah-ubah sehingga letak bayang-bayang pun berubah. Mereka menekankan anak-anak tahu apa kegunaan matahari dalam kehidupan sehari-hari. Sederhana dan masuk akal.


Sebenarnya dalam kurikulum internasional pun tak beda jauh.

Begitu saya masuk kelas dan hendak memulai tema itu, seperti biasa saya akan bertanya pada anak-anak, “Kita akan berbicara tentang matahari selama beberapa minggu ke depan. Apa yang ingin kalian ketahui tentang matahari”

Beberapa tangan mengacung ke udara.

Bintik hitam di matahari itu apa sih bu?

Sebenarnya matahari itu bergerak tidak?

Seberapa besar matahari itu?


Wah, saya perlu lebih banyak buku.

Tiga minggu berikutnya saya berusaha meliput tentang bagaimana hubungan matahari dan bayang-bayang, bagaimana hidup berbagai makhluk dengan dan tanpa sinar matahari, bagaimana terjadinya siang dan malam, dan apa itu matahari sendiri.

Kemarin, saya bertanya lagi pada mereka, “ Apa yang kamu ingat dari pelajaran tentang matahari minggu-minggu yang lalu?

Anak-anak tumpang tindih menjawab

Bintik hitam itu ternyata tempat yang suhunya lebih dingin dari yang lain.

Jaman dulu ada jam matahari.

Ternyata orang membuat garam dengan bantuan sinar matahari

Kalau di Amerika malam, berarti di Indonesia siang.

Ternyata bukan hanya bumi yang berotasi, matahari juga.

Suhu di matahari 6000 derajat celcius, jadi panaaaaaas sekali.

Dan kita tidak kepanasan karena jarak bumi dan matahari adalah 150 juta meter… eh, kilometer!

Ada tempat yang mengalami empat musim karena bumi revolusi.

Kita harus pakai payung, topi atau kacamata hitam supaya terlindung dari sinar matahari.

Iya, sinar matahari ada ultravioletnya.

Tapi kulit kita ada melaninnya.

Makanya orang Afrika kulitnya hitam. Di Afrika kan panas. It is safe for them because the have a lot of melanin.


Selisih itu jelas ada. Selisih antara kurikulum yang saya tahu disusun para ahli dengan keringat dan air mata, dan keingintahuan anak-anak.Tak ada yang salah, kurikulum memang tidak disusun untuk mengakomodasi keliaran berpikir anak-anak. Kurikulum hanya berfungsi untuk memandu.

Saya rasa di situlah tempat saya bebas bergerak, di ruang selisih yang diberikan anak-anak. Di sanalah saya bebas belajar seliar-liarnya dengan mereka. Saya beruntung, ruang selisih yang diciptakan anak-anak saya begitu lapang dan mereka punya semangat yang menulari saya untuk terus menggali lebih dalam dan terbang lebih tinggi.

Monday, April 17, 2006

Siapa Lebih Pintar?

Ibu Musik membawakan cerita tentang Kartini. Sepertinya ini berkaitan dengan lagu Ibu Kartini yang diajarkan menjelang hari Kartini 21 April besok.

Pertanyaan-pertanyaan klasik anak-anak sekolah ini mulai bermunculan.

Kenapa bu?
Kenapa perempuan tidak boleh sekolah? Kenapa orang dulu seperti itu (tidak mengijinkan anak perempuan sekolah)? Apa salahnya? Kenapa harus tinggal di rumah?

Semua bertanya, menjawab, menimpali, dan berpendapat.


Adinda : Ah, perempuan juga ada yang lebih pintar dari laki-laki.

Dhiadri : Iya. Adinda jago sekali matematika lho. She is the best.

Riri : Iya. Seperti ibuku. Ibuku lebih pintar dari ... dari...

Adinda : Ayahmu?

Riri : hm... ya... betul. Ayahku.


Saya tak sanggup menahan tawa.
Hati-hati ayah...

Saturday, April 15, 2006

Anak-anak Liar*

Sekali lagi, ada yang bertanya, akan ke mana anak-anak yang sekolah di sekolah-sekolah alternatif** setelah mereka lulus nanti.

Teman saya yang menulis email;

beberapa orang ngasih gue masukan kalo anak2 keluaran alternative school susah terintegrasi dengan lingkungan (baca : sekolah baru & masyarakat sekitar) yang tidak "seideal" alternative school tersebut... Bahkan banyak diantara siswa/i tsb akhirnya yang jadi "liar"... karena tidak biasa mendapat pelajaran yang terjadwal…


Benarkah anak-anak itu akhirnya jadi liar?


Liar. Saya yakin, murid-murid di kelas saya akan dianggap liar oleh guru-guru yang tidak biasa melihat anak-anak bertanya dan berpendapat sesuka hatinya. Saya pikir, orangtua-orangtua yang beorientasi akademis dan berharap melihat anak-anak duduk manis belajar membaca buku teks pelajaran juga akan menganggap saya guru yang tak kompeten kalau mendapati kelas saya berantakan dengan buku dan kertas berserakan, juga anak-anak yang mengoceh sambil berbaring-baring di lantai. Belum lagi anak-anak tidak menulis dengan indah di atas kertas bergaris. Mereka senangnya menulis besar-besar dengan spidol.

Saya tidak heran. Saya pun punya dugaan bahwa murid-murid saya itu akan dianggap liar suatu hari nanti. Mereka dan orang-orang yang menganggap mereka liar punya dua persepsi berbeda tentang belajar.

Orang-orang yang menganggap mereka liar punya persepsi bahwa belajar berarti duduk manis di hadapan buku teks pelajaran selama berjam-jam. Belajar berarti mendengarkan guru dengan perhatian penuh dan tidak bergerak sesentipun selama berjam-jam. Belajar, berarti menahan diri.

Bagi murid-murid saya, belajar berarti melepaskan diri. Melepaskan diri untuk mencari tahu lewat apa saja; bertanya sepuas hati, seru sendiri membaca buku, menonton film, dan mengamati segala sesuatu. Murid-murid saya terbiasa melepaskan diri untuk menggambar dan menulis sesuka hatinya, mengekspresikan apa yang ia tahu, apa yang lucu, dan apa yang mengkhawatirkan. Mereka bahkan melepaskan diri untuk tenggelam dalam pekerjaan-pekerjaan yang mereka senangi.

Semua uji coba, pertanyaan, dorongan rasa ingin tahu, dorongan untuk mengekspresikan diri sebebas itu, akan dianggap liar oleh mereka yang tidak mengerti.

Benarkah anak-anak tidak bisa belajar dengan terjadwal?

Iya sih. Saya baru ingat kejadian kemarin di kelas. Saat ini kami sedang sibuk mempersiapkan diri untuk mendongeng dan melakukan presentasi tentang benua.

Sebelum bel berbunyi, kelas saya sudah hiruk pikuk. Anak-anak yang baru datang langsung menyimpan tas, lalu mengambil pekerjaan yang belum selesai dan mulai asyik mengerjakan. Mereka terus bekerja sambil menjelaskan pada teman lain yang bertanya. Mereka bahkan tidak mendengar bunyi bel yang saya bunyikan, tanda waktu belajar sudah dimulai.

Mereka sudah mulai duluan sebelum jadwal belajar dimulai. Tetapi justru saat itu saya tahu apakah si anak mengerti atau tidak dengan apa yang sedang ia kerjakan. Saya juga tahu apakah mereka berminat atau tidak, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan teman sekelompok maupun lain kelompoknya.

Benarkah anak-anak tidak bisa belajar dengan tenang?

Seringkali kelas saya sunyi sepi tanpa suara selama beberapa jam. Semua orang sibuk mengerjakan pekerjaannya dan bergeming walaupun ada petir. Saya belajar bahwa anak-anak bisa bekerja dengan tenang dalam jangka waktu lama ketika tugas itu dapat mereka tangani dengan baik dan memiliki makna. Mereka tahu mengapa mereka mengerjakan tugas itu.

Teman, anak-anak yang sekolah di sekolah alternatif itu pasti liar. Liar dalam istilah yang digunakan orang-orang dengan standar patuh dan pintar konvensional. Tapi saya berharap anak-anak liar ini adalah anak-anak yang pemberani, anak yang berani menyatakan dirinya dan melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan.

Ya, ada sedikit kekhawatiran bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Saya jauh lebih khawatir kalau mereka akhirnya tidak bisa membuat perubahan apapun di lingkungannya, dan mengekor pada keadaan yang ada sekarang ini.


* Anak-anak Liar adalah salah satu judul buku kesukaan saya waktu saya masih kecil. Pengarangnya Enid Blyton.

** Saya tidak menganggap sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah alternatif. Mungkin istilah alternatif dalam tulisan di atas merujuk pada sekolah yang tidak menggunakan cara konvensional dengan murid banyak, bangku berderet dan guru mengoceh.

Friday, April 14, 2006

Terbayarkan

Saya kagum pada guru-guru yang bekerja dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Saya selalu membayangkan mereka adalah orang-orang yang punya kesabaran yang minta ampun banyaknya. Saya mungkin hanya punya sepuluh persen saja. Bagaimana cara mereka bertahan pada pekerjaannya?

Beberapa hari ini saya sedang intens bekerja bersama salah seorang murid saya. Seseorang membantu saya mengidentifikasi apa masalahnya. It's just complicated seperti status friendster. Tetapi kemudian saya menemukan celah untuk mengimbangi segala kesulitannya di kelas.

Ia punya kemampuan auditory yang baik.

Beberapa hari ini saya duduk di sampingnya. Saya tidak berkata 'Ayo kerjakan' seperti biasanya. Saya minta ia mengucap keras-keras setiap soal matematika, petunjuk di lembar kerja, atau bahkan kalimat yang ditulisnya. Bersamanya, kami berdua selalu mengobrol apa yang sedang kami kerjakan. Bahkan saya mengucap keras-keras cara berpikir saya ketika menyelesaikan satu permasalahan. Di titik ini mendadak saya mengerti apa itu scaffolding dalam teori Vygotsky.

Hasil pendampingan terus menerus itu cukup menggembirakan. Murid saya ini sendiri gembira karena bisa menyelesaikan 80 soal perkalian dengan benar dan masih punya waktu bermain. Ia sudah lebih strategis dalam menghitung, tidak lagi membuat penjumlahan berulang berkali-kali sampai saya sendiri lelah melihatnya.

Kemarin, ia mengejutkan saya dengan tidak mau menghitung dan mencoba mengingat-ingat fakta perkalian dua dan tiga. Ia senang kalau saya mengiyakan jawaban benarnya dengan gembira. Kantuknya hilang, ia lupa menggigiti pensil, lupa mengiris-iris penghapus, lupa bahwa matematika sulit buatnya.

Ia bahkan bisa menceritakan kembali sebuah dongeng dengan sepuluh kalimat singkat, padat, dan runut.

Saya, bukan dia, yang merasa senang sekali.

Sekarang saya mengerti darimana guru-guru anak berkebutuhan khusus itu selalu kembali pada pekerjaan mereka dengan sabar setiap pagi. Semua itu terbayarkan kembali. Tunai.

Sekarang saya pun mengerti mengapa anak-anak di sebuah SLB yang saya lewati setiap hari begitu girang kalau bertemu gurunya di depan gerbang. Saya pun memahami senyum yang terkembang di wajah keduanya, guru dan murid itu. Setiap pagi.

Wednesday, April 12, 2006

Pertanyaan

Anak-anak menanyakan banyak pertanyaan. Setiap hari, setiap jam, dan setiap menit. Pertanyaan mereka bisa menggugah, menggelikan, mencengangkan, dan -- setelah dosis yang terlalu banyak-- tentu menjengkelkan.

Itu sebabnya anak-anak sering mengeluh,

Ibuku bilang aku terlalu banyak omong, tanya melulu.
Kalau kebanyakan bertanya, ibuku akan bilang, "Sudah jam empat sore, sayang. Berhenti dulu. Besok lagi."

Memang berapa pertanyaanmu setiap hari.

... Ya... mungkin sekitar tiga puluh lima.


Itu yang di rumah saja. Tidak terhitung pertanyaan yang dilontarkan untuk Bu Tia setiap hari. Coba kalikan sepuluh. Coba ditambah kalimat-kalimat penuh tuntutan seperti, "Aku masih bingung bu.." dan alis mata yang dikerutkan sungguh-sungguh. Kadang-kadang saya pun menghela nafas putus asa.

Beberapa orang yang saya kenal takut dengan pertanyaan anak-anak. Alasannya sesederhana malas menjawab, atau punya imajinasi luar biasa tentang pertanyaan anak-anak.

Contoh paling sederhana, dan paling klasik, tentu pertanyaan mengenai dari mana bayi datangnya.* Teman-teman saya itu bisa kalang kabut mengira pertanyaan anak-anak itu sama artinya dengan "Apakah seks itu menyenangkan?"

Saya pernah mencoba memeriksa jawaban ensiklopedi anak-anak, dan jawaban sang ensiklopedi adalah seperti ini

Kamu berasal dari sel telur dalam tubuh ibumu yang bertemu dengan sperma milik ayahmu.... (penjelasan berlanjut dengan bagaimana sel membelah diri dan berkembang jadi janin dalam perut ibu).

Jawaban yang jujur dan cukup memuaskan. Anak-anak toh tidak pernah benar-benar bertanya bagaimana cara bertemunya kecuali memang sudah tahu dan ingin mengetes orang dewasa, atau mungkin -- in some cases-- terlalu kritis. Tapi menurut saya, sepertinya tidak akan sedetil imajinasi orang dewasa.

Di dalam ruang kepala anak-anak (kecil) bagian tubuh adalah apa yang terlihat dari luar. Buat mereka, sel telur bertemu sperma dianggap sama saja dengan tangan bertemu kaki.

Contoh lain yang benar-benar terjadi adalah ketika salah satu murid kecil saya yang masih berusia 6 tahun, baru duduk di kelas 1 selama dua bulan, membaca di perpustakaan. Ia membaca buku tentang pertumbuhan manusia. Ada sebuah foto menggambarkan sebuah sel sperma.

Ia bertanya keheranan, "Ini gambar apa?"
Teman saya yang duduk di dekatnya, berpikir sesaat kemudian sepertinya ia memutuskan untuk menjawab apa adanya, "Sperma".
Murid kecil saya mengamati gambar itu lekat-lekat untuk beberapa saat,
"Oh. Aku belum pernah lihat."
Lalu ia membalik halaman berikutnya.

Lihat, kan?

Betul, anak-anak dilengkapi satu peralatan lengkap untuk beraptasi dan mengenal dunia berupa pertanyaan. Apa ini? Kenapa begini? Bagaimana caranya? Ingatlah juga bahwa mereka tidak lantas besar begitu saja dan mengerti semua permasalahan dengan segala kompleksitasnya.

Hehe. Anak-anak itu sangat rumit. Di lain sisi, mereka juga sederhana.



* Sebenarnya sepanjang umur saya berkenalan dengan anak-anak, belum ada seorangpun yang bertanya seperti itu. Tapi, yah, siapa tahu. Saya masih muda.

** Sebenarnya saya membahas ini setelah saya bercerita tentang Kepala Sekolah Toto Chan yang mengijinkan murid-muridnya berenang telanjang karena beranggapan keingintahuan anak-anak tentang lawan jenis yang berlebihan justru tidak baik. Dibuatnya acara berenang telanjang sebagai cara 'berkenalan' yang alamiah. Saya setuju, teman saya mendebat. Saya tertawa, anak-anak kan tidak berpikir jorok.


Tuesday, April 11, 2006

Merasuki

Giliran Dhiadri membawa kata.

"Kalau 'merasuki' bagaimana, Bu?" Dhiadri bertanya.

Sambil memasang pengeras suara, saya meneruskan pertanyaannya, "SIAPA YANG TAHU APA ARTI KATA MERASUKI?"

Tidak ada jawaban. Aman, kata saya. Boleh mencari di kamus.

The Big Red, begitu anak-anak menamai KBBI edisi paling baru.

Merasuk dalam KKBI salah satunya berarti masuk ke dalam tubuh seseorang.

Saya tanyakan lagi pada anak-anak, adakah yang bisa membuat kalimat dengan kata 'merasuki'?

Dila angkat tangan dan menjawab, " Ada setan merasuki tubuh orang itu."
"Hiii...." teman-temannya menyahut lalu tertawa cekikikan.

Dhiadri angkat tangan dan menjawab, " Rasa sepi merasuki diriku."

"Dari mana kamu dapat kalimat itu?" Maknanya dalam betul.

Dhiadri menjawab dengan nada 'bagaimana mungkin bu Tia tidak tahu', " TV."

Hore. Hidup televisi.

Saturday, April 08, 2006

Dampak Negatif

Tak sengaja saya membaca sebuah surat pendek seorang ibu yang bertanya pada seorang psikolog. Si ibu bertanya, apakah dampak negatif belajar dengan metode active learning.

Psikolog yang dulu dekan saya ini menjawab:

Dampak dari active learning (kalau teknik yang dilakukan guru benar) adalah anak akan lebih aktif, lebih ingin tahu, lebih termotivasi, mencari sumber informasi sendiri, dan kritis.
Buat orangtua yang tidak biasa, akan membingungkan, menimbulkan rasa marah, bahkan menganggap anak kurang ajar. Di SMP sebaiknya juga dimasukkan ke SMP active learning, kalau tidak, anaknya yang akan bingung dan putus asa.



Waktu saya baca, saya tertawa-tawa. Saat makan siang, teman-teman dari kelas lain saling berbagi cerita dan keluh kesah tentang anak-anak di kelas masing-masing. Saya teringat tanya jawab di atas dan saya ceritakan pada mereka.

Teman saya menjawab, "Berarti kita benar dong, bu.... kita saja bingung dan kadang-kadang marah melihat kelakuan anak-anak..."

Saya cengar-cengir.

Lega

Mengingat betapa mencengangkannya cara berpikir dan tingkah laku anak-anak ini, saya sering khawatir mereka terlalu dewasa dan tidak normal.

Saya menjadi agak lega setelah memperhatikan anak-anak bermain di waktu istirahat. Beberapa anak perempuan sedang senang-senangnya bergerombol dalam kelompok kecil. Mereka sibuk dengan sebuah folder kecil berisi kertas-kertas dengan aneka gambar dan warna-warni. Mata mereka sibuk melihat-lihat, tangan mereka sibuk membolak-balik, dan mulut mereka sibuk berkomentar sambil tawar menawar.

Ya, seperti anak-anak tahun kapanpun juga, mereka mengoleksi "sesuatu yang berharga". Folder itu adalah harta tak ternilai. Setiap kertasnya diperoleh dengan usaha, baik usaha merayu orang tua masing-masing, juga merayu teman-teman untuk mau saling tukar. Belum lagi usaha-usaha untuk memperoleh pencapaian tertentu yang disyaratkan orang tua untuk memperoleh modal awal koleksi mereka berupa kertas dan foldernya.

Maka berjalanlah proses belajar jual beli yang paling awal; barter; tawar-menawar; mempertimbangkan "harga" setiap kertas; berusaha konsisten.

Saya dan Bu Andin saling pandang. Sepertinya isi kepala kami sama. Kami mengingat barang hasil koleksi di masa kecil yang kini teronggok begitu saja. Komentarnya adalah, "Setidaknya anak-anak ini adalah anak-anak."

Friday, April 07, 2006

Citra

Di sekolah kami tidak ada pelajaran agama,tetapi kami punya satu jam pelajaran khusus untuk pergi ke perpustakaan. Jam ini tidak boleh terlewatkan karena anak-anak akan protes. Kalaupun kelas saya terlalu sibuk untuk pergi ke perpustakaan, saya akan mencuri-curikan waktu di saat istirahat atau diskusi pagi.

Sejak minggu pertama di sekolah ini, saya tahu bahwa setiap Senin guru kelas (baik TK atau SD) akan meminta satu atau dua anak berbicara tentang buku yang dibacanya minggu lalu. Anak-anak yang pandai bercerita bisa membuat setiap buku ini jadi rebutan teman-temannya minggu depan.

Sekolah tidak mengijinkan anak-anak membawa mainan ke sekolah, tapi membolehkan mereka membawa buku apa saja. Sejauh ini anak-anak tak pernah ragu berbagi buku yang baru atau buku yang menarik dengan seisi sekolah.


Suatu kali tahun lalu, Mimi dan Saras bertanya apakah saya tahu siapa Anne Frank. Mereka baru saja membaca bukunya, dan ingin tahu apa yang dimaksud dengan kamp konsentrasi.

Tahun ini di kelas saya ada Adinda yang menikmati buku seperti kita ngemil kacang goreng. Sedapat mungkin ia membaca sambil melakukan hal lainnya. Saya pikir kebiasaan saya makan sambil membaca sudah buruk, tapi Adinda bahkan ingin menulis agenda sambil membaca.

Saya ingat, saya pernah menulis sebuah lema tentang bagaimana anak-anak lari ke perpustakaan hanya untuk menjawab dua pertanyaan sederhana yang ada di lembar kerjanya demi sebuah jawaban yang menyeluruh. Seminggu lalu Adinda mengulanginya lagi karena ia ingin tahu bunga apa yang mekar di malam hari.

Sebulan yang lalu, ketika saya memulai tema listrik, Dhimas angkat tangan dan bertanya apakah kami akan membahas tentang Thomas A Edison. Soalnya saya sedang membaca bukunya. Jangan khawatir, besok saya bawa. Lalu buku tentang Pak Edison itu menghuni rak perpustakaan kelas kami.

Suatu kali saya pernah memuji buku buatan Thalia dan meletakkannya di perpustakaan kelas kami agar teman-temannya membaca. Beberapa kali di waktu-waktu yang saya alokasikan untuk membaca tenang, teman-teman Thalia masih sering berkata dengan memelas, "Gantian ya, habis kamu aku mau baca buku itu." Saya memperhatikan bahwa Thalia yang cenderung pemalu bangga sekali dan jadi sering membaca buku buatannya sendiri itu.

Saat ini kami sedang bicara tentang matahari di kelas. Musa berulang kali bertanya kapan tema tentang matahari ini habis, karena ia ingin membawa buku tentang benda-benda langit yang ia miliki.

Kemarin saya mengamati Zaky seharian.Zaky yang senang sekali pada serangga. Zaky begitu gembira karena ada kaki seribu mampir di aula sekolah. Zaky lari masuk ke kelas dan pergi ke sudut perpustakaan kami.Cepat diambilnya sebuah ensiklopedi tentang serangga, dan membuka-bukanya.Tak lama ia sudah dikerumuni teman-temannya,dan Zaky menerangkan betapa miripnya si kaki seribu dengan gambar yang ia temukan dalam buku itu.

Siangnya anak-anak kelas 3 kembali sibuk dengan buku tahunannya. Ada anak-anak yang sedang sibuk dengan lay out dan pilihan foto. Ibu Lusi, guru pembimbing mereka bertanya pada Lika, "Kalau harus memilih satu foto yang menggambarkan sekolah kita, foto mana yang kamu pilih?"

"Sebentar," Lika memperhatikan deretan foto-foto yang ada,kemudian dengan yakin ia menunjuk foto seorang anak kelompok bermain usia 3 tahun yang sibuk membaca buku di tengah keramaian pesta sekolah.

" Ini Bu, anak-anak sekolah kita senang membaca."





Monday, April 03, 2006

Dunia Sophie

Setiap Senin pagi meja saya ramai. Sebenarnya hampir setiap pagi meja saya ramai. Anak-anak akan bergantian (kalau mereka ingat untuk bergantian) menceritakan sesuatu pada saya; hal kecil, hal besar, hal penting, dan hal-hal yang sangat penting (bagi mereka).

Pagi ini Adinda mendatangi saya sambil membereskan map-map tugasnya.

Bu, aku menemukan sebuah buku tua yang bagus.
Apa itu, nak?
Judulnya Dunia Sophie.
Dunia Sophie?
Iya.
Itu buku yang bagus. Tapi mungkin agak sulit. Nanti kalau kelas lima kamu pasti mengerti.
Tapi aku sudah baca. Aku mengerti kok.
Oh, ok.Nanti kalau sudah kelas lima, baca lagi ya.
Iya Bu. Dibelakangnya ada komentar dari newspaper. Kata newspaper bukunya bagus.

Sampai rumah saya mengambil buku Dunia Sophie-nya Jostein Gaardner. Iya, disampulnya ada dua komentar dari The Washington post dan Newsweek.

Alasan

Di antara hari-hari kami mengajar, saya dan seorang rekan seringkali duduk memandangi anak-anak dengan iri.

Rekan saya ini seringkali berkata, "Saya mau sekali memiliki satu tahun saja masa sekolah seperti yang mereka alami saat ini. Kalau saja bisa..."

Ia juga sering berkata bahwa anak-anak ini tidak akan melupakan masa-masa sekolah mereka. Saya sendiri tidak yakin. Sebagai anak-anak saya lupa banyak hal. Saya mengingatnya dari cerita orang-orang tua di sekitar saya.

Tapi, ya, tahun-tahun bersama mereka hebat sekali. Karena itu saya akan terus menulisnya. Saya berharap, jika mereka lupa, setidaknya sesuatu sudah mencatat masa sekolah mereka.

Saturday, April 01, 2006

Berbeda Bahasa

Ada dua hal beriringan yang ada di kelas saya. Dua hal ini tidak pernah berhenti saya pikirkan secara terpisah. Hal yang pertama adalah bagaimana saya berinteraksi dengan setiap murid saya. Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mereka, apa yang bisa saya lakukan untuk membentuk mereka, dan apa yang bisa saya lakukan untuk mengajari mereka hal-hal baru.
Hal yang kedua adalah bagaimana materi yang saya siapkan untuk seluruh kelas dapat mempengaruhi cara berpikir dan sikap mereka.

Meskipun saya tahu keduanya (sebenarnya) berhubungan erat, saya belum pernah melihat kedua hal itu bersilang jalan seperti kali ini.

Berawal dari tema komunikasi sepanjang kuartal yang lalu. Meski anak-anak belum mengerti benar seluk beluk setiap segi komunikasi, saya ngotot untuk menunjukkan pada mereka bahwa setiap orang dapat berkomunikasi dengan berbagai cara. Ini hanya sebuah awal dari keterbukaan pikiran dan toleransi.

Rabu lalu kami kedatangan seorang guru dan ayah dari anak tuna rungu. Ia memperkenalkan anak-anak pada bahasa isyarat. Acara yang berlangsung enam puluh menit itu berlangsung tenang dan damai. Anak-anak tidak banyak bertanya tapi mata bening mereka tak lepas dari si ayah yang terus menggunakan bahasa isyarat selama bicara. Mereka berusaha keras menirukan setiap gerak isyarat apapun artinya.

Setelah tamu itu pulang, saya membagikan jurnal dan meminta mereka bercerita tentang kunjungan tamu barusan. Sambil menemani mereka menulis, saya duduk di antara mereka dan mengobrol sedikit. Saya lupa bagaimana tepatnya obrolan kami, tapi saya terkesan dengan komentar Dhiadri.

"Aku suka bahasa Inggris bu. Aku juga suka bahasa Indonesia. Bahkan aku suka bahasanya Zaky."

Tiga puluh menit kemudian, saya duduk diam di meja saya mengamati anak-anak makan sambil memikirkan ucapan Dhiadri tentang bahasanya Zaky. Setelah sekian bulan bersama mereka, saya baru tahu kalau ternyata teman-teman sekelas Zaky menganggap Zaky punya bahasa berbeda. *

Kata-kata Dhiadri memberi saya pencerahan. Tampaknya Dhiadri benar, selama ini saya (dan mungkin guru-guru lainnya) bicara dalam bahasa yang berbeda dengan Zaky. Itu sebabnya kami tidak berhasil membantunya beradaptasi dengan kelas-kelasnya. Itu sebabnya Zaky dan saya gurunya sama-sama frustrasi ketika kami saling berhadapan.

Sampai kami menggunakan bahasa yang sama dengan Zaky (dengan kata lain mengerti apa kebutuhan khususnya), kami tidak akan pernah berdamai dan melihatnya berkembang pesat.

Satu hal yang mengusik saya, betulkah anak-anak sekecil Dhiadri dan teman-temannya sudah mengerti bahwa bahasa adalah sesuatu yang lebih rumit dari sekedar berkata-kata? Bahwa bahasa yang digunakan seseorang merepresentasikan segala sikap, kemampuan, cara berpikir, cara merasa, (dan bahkan barangkali latar belakang sosial ekonomi atau yang lebih rumit lagi dari itu)?
Benarkah pelan-pelan mereka sudah membuka hati dan pikirannya untuk orang-orang yang berbeda dari mereka?

Saya mengingat bagaimana anak-anak memperlakukan Zaky sehari-hari. Bagaimana mereka sering marah tapi tetap berusaha menjadikannya anggota kelas kami. Bagaimana mereka selalu bertepuk tangan keras-keras setiap Zaky(atau teman-teman istimewa lain) membuat prestasi kecil, meskipun prestasi itu adalah hal lumrah bagi mereka. Bagaimana mereka berinteraksi dengan teman-teman baru yang tunanetra.

Yah, seperti saya selalu bilang, di kelas ini saya tidak mengajar. Saya belajar.



*Ya, Zaky memang istimewa. Kami guru-gurunya sudah sering kehilangan akal bagaimana menghadapi sikapnya sehari-hari dan prestasi belajarnya. Semua rasa tumpah ruah diantara Zaky, teman-teman, dan gurunya. Kami kesal sekaligus sayang. Kami sering putus asa sekaligus tak bisa berhenti berharap bahwa ia akan membuat kemajuan berarti.

Saya menduga ia punya kebutuhan khusus, tapi saya tidak punya kemampuan untuk menentukan diagnosa yang tepat. Urusan dengan orang tua dan psikolog ternyata memakan waktu berbulan-bulan dan sampai saat ini saya masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Zaky.