Friday, August 31, 2007

Kongres Pemuda

Saya rasa anak-anak sudah mulai jenuh dengan berbagai pengetahuan baru tentang sejarah Indonesia. Mini sudah mulai mengerang, "Aduh buu... aku bingung banyak sekali tahun-tahunnya!"

Mengenal saya yang tidak menyukai acara hafal-menghafal, anak-anak juga sudah bisa menduga hal-hal mana yang akan jadi perhatian saya dan mungkin keluar dalam soal-soal ulangan, dan mana yang tidak. Untuk meyakinkan diri mereka sering bertanya

"Tanggal berdirinya PETA ini harus aku hafalkan, tidak?"

"Bu Tia tidak akan menanyakan tentang jadwal dan tempat-tempat rapat dalam kongres pemuda, kan?"


Saya sendiri nyaris mati langkah membuat sejarah jadi menyenangkan. Minggu lalu, saya meminta anak-anak merekonstruksi kembali Kongres Pemuda II. Mereka memilih peran-peran sebagai Muhammad Yamin, WR.Supratman, Sugondo Joyopuspito dan teman-teman dari berbagi Jong.

Dhara sudah siap dengan kertas untuk dijadikan papan nama, "Aku mau jadi Jong Ambon. Nah, siapa yang berasal dari Ambon, Bu?"

Saya memberinya buku pelajaran IPS dan ia segera menemukan nama Leimena.
Mini dan Lika memilih tokoh-tokoh perempuan. Sebagai pemimpin kongres, Mita memilih peran Sugondo Joyopuspito. Saras memilih tokoh yang "paling banyak bicara, Bu. Aku mau jadi M.Yamin."

Adam dipanas-panasi teman-temannya untuk menjadi W.R Supratman. Mendengar tugasnya adalah menyanyikan lagu Indonesia Raya, Adam setuju.

Maka anak-anak mengubah posisi meja dan kursi mereka menjadi sebuah meja panjang. "Kalau rapat kan mejanya seperti ini, ya Bu."

Mereka juga membuat papan-papan nama untuk menunjukkan peran mereka masing-masing. Dasar anak-anak ini, sebelum mulai mereka terus-terusan bertanya. Ini rapat yang ke berapa bu? Satu, dua atau tiga? Kalau rapatnya yang terakhir tidak usah memperkenalkan diri lagi, ya? Rapat ke satu, dua, atau tiga ini juga mereka gunakan untuk menentukan salam pembuka.
Selamat pagi, selamat siang, atau selamat sore.

Saya duduk di sisi kelas menjadi Belanda yang mengawasi jalannya rapat (sambil memegang lembar observasi, tentunya).

Anak-anak mencoba rapat sambil mempraktekkan sopan santun kongres menurut mereka. Isinya? Tentu tidak seseru dan liat seperti apa yang kita pikir jika membayangkan semua pemuda dari seluruh penjuru nusantara duduk bersama. Anak-anak bilang, mereka sedang memikirkan strategi yang tepat untuk melawan Belanda. Mereka cepat sampai pada keputusan bahwa sebaiknya mereka bekerja bersama-sama dan bersatu.

Sungguh sulit melakukan observasi sambil tersenyum-senyum mendengar mereka bergantian menyampaikan ide dengan bahasa dan sikap seresmi mungkin. Tapi saya jadi tersentuh ketika Mohammad Yamin aka Saras menyampaikan idenya tentang sumpah pemuda. Teman-temannya berseru riuh menyetujui ide itu. Saras mengajak mereka semua mengucapkannya bersama-sama, dan anak-anak mengucapkan sumpah pemuda dengan lantang.

Saya tidak tahan untuk tidak tepuk tangan. Para peserta kongres pun memandang saya dengan gusar dan berkomentar, "Belanda kok setuju."

Kini giliran Adam menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ia memberi pengantar, "Mari kita nyanyikan bersama-sama!"

Suara protes pun bermunculan. Tidak boleh, Adam, kalau terdengar Belanda nanti kamu ditangkap. Nyanyikan saja dengan biolamu. Lagipula Adam, ini kan baru sekali kamu mainkan. Kita belum tahu dong lagunya seperti apa!

Jadilah Adam, dengan muka setengah kesal, menirukan bunyi biola dengan penggaris di tangannya.

Berakhirlah kongres Pemuda mengingat jam matematika sudah hampir tiba.

Monday, August 20, 2007

Karena Saya Peduli

Mengiringi topik sejarah Indonesia yang tidak ada habis-habisnya, anak-anak sempat membahas tentang kepahlawanan. Setelah membahas berbagai rupa pahlawan baik pahlawan versi perang kemerdekaan sampai orang-orang yang ngotot melakukan hal-hal yang dirasanya berarti untuk sekitarnya, saya mengajukan pertanyaan ini:

Jika kamu dapat meniru salah satu sifat pahlawan, sifat apa yang ingin kamu tiru? Apa alasanmu?


Kemudian, saya sangat tertarik pada jawaban Saras

Peduli; karena dengan kepedulian kita akan menemukan ide-ide besar untuk membuat perubahan. Tanpa kepedulian kita tidak akan punya kekuatan untuk membuat suatu perubahan yang berarti.

Kepedulian dapat membuat perubahan karena peduli dapat mengubah bagaimana kita memandang sesuatu dan dapat mempunyai ide untuk membuatnya berubah menjadi lebih baik.

Thursday, August 16, 2007

Belajar Lompat Tali

Anak-anak sedang senang-senangnya bermain lompat tali. Mini dan kawan-kawannya penasaran bagaimana cara melakukan lompat tali dengan dua tali sekaligus, berikut teknik-teknik semi akrobatik lainnya.

Bu Tia, di mana sih tempat belajar lompat tali? Siapa yang bisa mengajarkan kami double dutch (?)

Ada yang bisa membantu?

Wednesday, August 15, 2007

Cara Berpikir Sederhana dan Murah Meriah

Bagaimana cara kita menghargai kemerdekaan?
a. Menyanyikan lagu wajib.
b. Mengunjungi makam pahlawan
c. Berkunjung ke museum

Kalimat di atas bukan soal pilihan ganda. Ini adalah bahan dalam kurikulum IPS nasional bahwa anak-anak harus tahu bagaimana cara menghargai jasa para pahlawan dan mengisi kemerdekaan. Tiga itu sebagian jawaban dari tujuh total jawaban yang kurang lebih serupa. Suka atau tidak, saya harus mengatakan bagian ini pada mereka atau mereka tak akan bisa menjawab soal ujian nasional.

Cara pikir ini (mengisi kemerdekaan dengan hal-hal seremonial) sama persis dengan pemikiran banyak orang bahwa jika anda membuka jendela mobil, mengulurkan dua koin lima ratus rupiah pada seorang anak jalanan, berarti anda sudah menghapus sedikit dosa-dosa. Kalau hal yang sama dilakukan setiap hari, tentu dosa-dosa anda habis.

Sederhana dan murah meriah.

Tuesday, August 14, 2007

Buku Sejarah

Beberapa minggu lalu saya sempat heran dengan heboh-heboh tentang lagu Indonesia Raya. Ya, lagu Indonesia Raya terdiri dari tiga stanza. Lalu? Itu bukan berita baru.

Putu bertanya pada saya, stanza itu apa sih?

Esoknya saya membawa versi lengkap Indonesia Raya untuk anak-anak. Saya pikir, mereka mungkin belum tahu, dan tentu akan tertarik mengingat mereka sedang senang-senangnya membaca aneka berita dari media massa.

Apa tanggapan mereka?
"Iya memang, Bu. Indonesia Raya memang ada tiga bait lirik. Kan sudah pernah di kelas 3 atau kelas 2, gitu..."

Jadi, bagaimana caranya seorang pakar tidak tahu bahwa IndonesiaRaya terdiri dari tiga stanza, sementara anak-anak di kelas saya yang bahkan baru lahir saat perubahan politik tahun 1998 terjadi sudah tahu sejak beberapa tahun yang lalu?

Saya menyimpan keheranan ini sambil terus mengumpulkan bahanbahan untuk membahas tema Sejarah Indonesia. Barulah saya mengerti mengapa si pakar (dan mungkin banyak orang di negeri ini) tidak paham sejarah.

1. Buku teks sejarah untuk sekolah tidak memerhatikan (apalagi membahas) garis waktu.

Untuk membahas tentang Perang Nusantara pada periode 1800 -1900an saya membaca satu buku tulisan R.P Suyono (nanti saya edit kalau salah). Ketika membandingkannya dengan teks sejarah di buku IPS untuk kelas V SD, saya menemukan kejanggalan. Di salah satu sub judul Perang Bone, foto yang tercantum adalah foto Sultan Hassanudin. Cerita tentang Sultan Hassanudin hanya dua kalimat, lanjutannya adalah tentang Perang Bone pasca Traktat Bonga.

Setelah membaca lebih jauh lagi di buku Pak Suyono, saya temukanbahwa Sultan Hassanudin hidup di masa VOC dan melakukan perlawanan pada VOC.

Barangkali penulis buku IPS Kelas V saat menulis buku itu masihmenganggap asal Belanda sama saja. VOC atau pemerintah Hindia Belanda, sama saja. Toh sama-sama orang Belanda.

Masih pada buku yang sama, di dalam BAB YANG SAMA, para penulismenyusun sejarah Indonesia menjadi tiga bagian:
A. Penjajahan Belanda di Indonesia
B. Penjajahan Jepang di Indonesia
C. Pergerakan Nasional di Indonesia

Sebelum anak-anak sama lieur-nya dengan para penulis, saya membuat garis waktu dan menjelaskan tiap perpindahan periode bahasan dengan anak-anak.

2. Penjabaran sebab dan akibat yang suka-suka gue.

Kalimat berikut ini menjadi pengantar dalam pembuka sub bab Pergerakan Nasional Indonesia dan Tokohnya;

Baik Portugal, Inggris, maupun Belanda mencobamenaklukkan
kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara. Mereka menindas rakyat Nusantara dan memanfaatkan kekayaan alam Nusantara untuk kepentingan mereka sendiri.

Penjajahan itu kemudian menciptakan rasa kebersamaan diantara penduduk di
wilayah Nusantara. Mereka merasa sama-sama berada di bawah penindasan penjajah. Karena itu mereka bekerja sama untuk memperoleh kemerdekaan. Mereka semua ingin merdeka sebagai satu kesatuan dalam suatu negara baru, yaitu Indonesia.

Pembahasan dilanjutkan dengan terbentuknya Budi Utomo. Coba pikirkan, saudara-saudara, apakah di awal tahun 1900 sms sudah begitu murahnya sehingga semua orang di nusantara bisa saling kirim sms untuk menceritakan beban senasib sepenanggungan mereka?

Lalu apa manfaatnya aktivis-aktivis muda itu membuat pergerakan kalau rakyatnya sudah merasa senasib dan ingin merdeka? Perlu waktu setidaknya 20 tahun sejak Budi Utomo berdiri, hingga para pemuda itu berpikir bahwa mereka adalah satu bangsa. Apa yang terjadi dua puluh tahun kemudian tidak bisa menjadi penyebab kejadian hari ini, bukankah demikian?

Saya hampir melempar buku ini keluar jendela kalau saya tidak ingat bahwa saya tetap butuh panduan buku ini agar saya tahu apa yang harus saya berikan agar anak-anak lulus ujian.

Apa yang saya lakukan di kelas? Saya jelaskan pada anak-anak tentang Politik Etis. Bisa kok, menjelaskan politik etis dengan sederhana dan tetap membuat anak-anak menyusun fakta sejarah di kepalanya dengan lurus pikir, bukan sesat pikir.

3. Fakta dan opini campur baur menjadi satu.

Saras membawa sebuah buku untuk tingkat SMP. Kebetulan materinya juga tentang Pergerakan Nasional. Selagi anak-anak sibuk menjelajah internet dan membaca buku-buku untuk menulis riwayat hidup para tokoh Pergerakan Nasional, saya mengambil buku yang dibawa Saras dan membacanya.

Salah satu bagian membahas tentang perpecahan Sarikat Islam. Kalimat-kalimat yang menjelaskan siapa itu Semaun sungguh penuh dengan opini. Ringan saja si penulis menghubungkan satu ideologi dengan tekad untuk menghancurkan satu agama. Dan, ya, tentu saja, si penulis tahu bahwa pembaca bukunya adalah anak-anak, yang tentu saja serba percaya. Sayang buku itu tidak ada pada saya sekarang, jadi saya tidak bisa tulis contohnya.

Ya, sejarah ditulis oleh pihak yang menang. Mungkin sekali ada kecenderungan untuk membuat lawan yang sudah kalah tampak jadi pendosa. Saya ingat betul, cerita tentang Perang Padri saat saya kecil. Susunan kalimatnya jelas pro Padri dan kontra Adat.

Dengan beberapa sumber yang lebih baik, saya menyusun bacaan tentang Perang Padri, dan dengan sengaja menunjukkan sudut pandang Kaum Padri dan Kaum Adat, serta apa yang mereka pertentangkan.

Ketika membacanya, Saras mulai menggaruk-garuk dagunya sambil berkomentar, "Susah juga ya Bu. Dua-duanya benar dan dua-duanya salah. Aku setuju kalau Kaum Padri ingin memperbaiki jalannya ajaran Islam. Tapi kalau sampai membunuh begitu, aku rasa salah juga. Kaum Adat juga mungkin salah karena melakukan hal-hal yang dilarang agama, tapi hmm... harusnya tidak begini. "

Saya tersenyum-senyum di sebelahnya, "Kamu lihat miripnya dengan situasi sekarang."

"Hehe, iya sih."

Di saat berdiskusi Lika menambahkan, "Boleh saja memberitahu orang lain apa yang kita anggap benar, tetapi tidak boleh memaksa apalagi dengan kasar."

Barangkali memang benar, memberi keleluasaan anak-anak untuk terbiasa dengan sudut pandang yang berbeda bisa jadi masalah besar. Masalahnya, mereka jadi tahu caranya berpikir, dan mungkin bisa beradu argumentasi dengan kita; guru, orangtua dan orang dewasa lainnya. Sebelum bahaya terjadi, baiknya kita racuni saja mereka dengan opini-opini kita. Searah. Selesai masalahnya.


Jadi, kembali ke buku sejarah. Ngomong-ngomong, kenapa ya, buku sejarah banyak yang dibakar? Pasti bukan karena berisi opini ketimbang fakta, dong? Juga bukan karena tidak pakai garis waktu, kan?

Saturday, August 11, 2007

Di Balik Simbol

Mulai tahun ajaran ini saya juga mengajar satu subjek berjudul pengetahuan agama. Bahannya menarik, tiap kali menjelajah saya menemukan pengetahuan baru. Tetapi, mengajar pengetahuan agama tak semudah yang saya bayangkan.

Saya memulai dengan tema pertama mengenai symbols and sign. Anak-anak senang saat kami membuat gambar-gambar yang menunjukkan bedanya sign dan symbols.

"Simbol itu mewakili sesuatu, bu, seperti bendera."

Kami juga sempat menggambar makna denotatif dan konotatif sebuah ungkapan. Saya jadi mendapat gambar hati penuh bunga (hatiku berbunga-bunga) sekaligus gambar anak yang sangat gembira. Saya juga mendapat gambar telur dan tanduk (telur diujung tanduk) dan seorang yang melawan rampok.

Apa hubungannya dengan pengetahuan agama? Kemudian kami membahas beberapa ayat populer dari beberapa agama yang memuat metafora.

Suatu ketika saya bertanya pada mereka, "Mengapa perumpamaan yang digunakan? Mengapa tidak langsung saja kita merinci sifat-sifat Tuhan, misalnya?"

Tanpa diduga saya mendapat jawabannya dari anak-anak.

"Lambang mengingatkan kita pada cerita-cerita sebelumnya, Bu." kata Mita.

"Lambang yang dipakai orang juga kadang-kadang menunjukkan apa agama orangnya," kata Adam. Ya, lambang kemudian juga menjadi identitas agama.

"Menurutku... kalau ada lambang... jadi nanti kalau mau cerita sama anakku nggak susah. Ceritanya kalau diceritakan begitu saja nanti ada yang berubah atau banyak yang kelupaan. Kalau pakai lambang kan orangnya langsung mengerti," Putu mencoba menjelaskan.

Dengan kalimat yang susunannya kian kemari, saya mengerti maksudnya. Ketika saya bercerita pada seorang teman, ia mendadak marah pada saya. Katanya, saya sudah memperkenalkan teori semiotika Ferdinand de Saussure yang biasanya baru dikenal mahasiswa sastra semester tujuh.

Lho, apa salah saya? Bukan saya yang menjawab begitu, tapi Putu.

Friday, August 10, 2007

Menanggapi Tugas

Untuk merangsang anak-anak mau berpikir dan melakukan riset kecil-kecilan sekaligus memberi tantangan untuk mereka yang perlu tantangan lebih, saya menulis sebuah pertanyaan setiap minggu. Saya namai QUESTION OF THE WEEK.

Question of the week minggu ini adalah; Apa arti lambang bulan dan bintang yang ada di kubah masjid?

Masalahnya, sepanjang bulan ini kami belajar tentang tanda dan lambang dalam agama. Kemarin anak-anak bertanya tentang lambang bulan dan bintang setelah kami membahas larangan menggambarkan Tuhan di dalam agama Islam.

Pagi ini, anak-anak muncul dengan berbagai tanggapan tentang pertanyaan itu.

Putu, "Bu, aku sudah tanya-tanya tapi tidak ada yang tahu. Tetanggaku yang agamanya bagus juga tidak tahu."

Dhara, "Aku sudah tanya Pak Ustad Bu, katanya tidak ada artinya kok."

Ketika lebih banyak anak muncul, mereka justru mendiskusikan pertanyaan itu tanpa saya. Sambil menulis agenda, Lika memulai, "Aku belum tulis jawabannya soalnya aku bingung. Beda-beda sih jawabannya."

Dari sisi meja yang lain Saras menceritakan temuannya, "Lima sudut bintang itu menggambarkan lima Rukun Islam."

Mita yang baru datang, langsung bergabung, "Bukan, itu dulu lambang yang dipakai sama Dinasti Ottoman. Dinasti Ottoman itu penguasa Turki. Nah dulu Turki itu kerajaan Islam yang besar sekali dan daerah kekuasaannya sangat luas. Kalau perang dia pakai lambang itu. Sebenarnya itu bukan lambang Islam, tapi jadi nyambung saja. Aku baca di internet, begitu."

"Oh ya? Jawaban Saras tadi juga menarik tuh yang lima sudut itu."


Dari obrolan mereka saya jadi tahu bahwa ternyata anak-anak sudah menggunakan sumber yang berbeda-beda. Lebih jauh lagi, ternyata mereka bisa menghargai hasil temuan bahkan yang berbeda dengan temuannya sendiri. Tidak masalah siapa benar dan siapa yang salah.

Thursday, August 09, 2007

Rokok, Iklan dan Kesan

Kami sedang membahas sistem pernafasan manusia. Sudah kenyang dengan aneka alat peraga dan uji coba untuk mengerti bagaimana manusia bernafas, saya melempar topik rokok pada anak-anak.

Anak-anak membaca bagaimana tar dan nikotin bekerja pada sistem pernafasan manusia. Saya menjelaskan, lari ke mana tar dan nikotin itu. Apa yang terjadi pada tubuh kita.Tentu saya tidak membual tentang rokok dan kanker.

Tidak sekalipun saya mengatakan pada mereka apakah sebaiknya mereka merokok atau tidak. Saya juga berbagi cerita bahwa orang-orang dekat saya perokok. Mereka, mungkin mengalami situasi yang sama. Anak-anak pun seru berbagi tentang pengalaman mereka mencoba rokok, menjadi perokok pasif, bahkan menyatakan pilihannya.

“Aku sudah pernah mencoba rokok dan aku tidak suka. Bu Tia sudah pernah coba?”

“Sudah, dan Bu Tia memilih untuk tidak merokok.”

Tangan Mita terkembang, “Join the club, Bu!”

Saya menggoda mereka. Lihat saja nanti, kalian pasti ingin coba. Saat teman-teman kalian bilang merokok itu keren. Saat kalian pikir merokok membantu kalian untuk bisa berpikir lebih baik, menghilangkan kesal, dan masih banyak lagi.

“No way. Aku sudah tahu isinya. I am not stupid.”

“Lagian aku dan Mini akan temenan terus. Kami kan sudah tahu rokok itu seperti apa.”, protes Mita lagi.

Saya cuma cengar-cengir, “Ada yang namanya peer pressure, nak. You have to deal with it."

Pembahasan kami berlanjut pada iklan rokok.

“Bu, aku tidak mengerti mengapa di iklan rokok itu ada tulisan, merokok menyebabkan kanker, serangan jantung, dan seterusnya itu. Iklan kan dibuat untuk menarik pelanggan. Kalau ditulis seperti itu, siapa yang mau beli? Kan jadinya aneh,” Bram bertanya.

“Ya orang yang merokok sih tidak peduli lagi. Itu peraturan pemerintah," sahut yang lain.

Saya ikut nimbrung, “Ya betul, itu peraturan pemerintah. Kira-kira untuk apa?”

“Supaya orang yang tidak merokok tidak ikut-ikutan?"

“Kalau itu tujuannya, apakah tidak lebih baik jika iklan rokok dilarang?” saya memancing.

Beberapa suara bergumam setuju. Mini memotong, “Ya Ibu tahu kan orang Indonesia, yang penting uang…”

Keesokan harinya saya menunjukkan artikel berisi cuplikan penelitian yang menunjukkan bahwa banyak anak mulai merokok sebelum usia mereka sepuluh tahun. Anak-anak tetap berpikir bahwa iklan adalah salah satu penyebab utama, selain anak-anak mencontoh dari orang dewasa di sekitarnya.

Anak-anak berbagi cerita tentang bagaimana mereka pernah tertarik pada produk yang ditawarkan iklan.

Lika berpendapat, “Menurutku Bu, iklan rokok di tv itu bagus-bagus lho, Aku suka.”

Teman-temannya menanggapi dengan menceritakan adegan iklan yang mereka sukai dan menyanyikan jingle-nya. Saya setuju dengan mereka.

“Tapi Bu, aku perhatikan kok iklan rokok tidak pernah menampilkan orang yang merokok.” kata Putu.

“Betul sekali pengamatanmu. Itu memang dilarang dalam peraturan membuat iklan rokok. Tapi bagaimana iklan bisa menarik pelanggan kalau tidak menunjukkan orang merokok?”

“Karena gambar-gambarnya bagus?” seseorang menebak.

"Gambar-gambar apa yang kamu lihat?"

“Ok, kalau kamu menonton iklan rokok, seperti rokok M misalnya. Kesan apa yang kamu tangkap?”

“Seru, Bu!’

“Berpetualang!”

“Keren!”

"Beramai-ramai."

Ya, itulah yang mereka ingin kamu ingat tentang rokok mereka. Tidak perlu pakai rokok, juga sudah bisa kelihatan, kan? Sekarang, ayo kita main buat-buat iklan. Bisa tidak kamu buat iklan tentang pizza yang enak tanpa membuat gambar pizza?Sambil bercanda anak-anak berpura-pura jadi copywriter iklan sampai datang guru matematika untuk memulai pelajaran.


Tuesday, August 07, 2007

Tiga Minggu Pertama

Minggu 1 : Menyesuaikan Diri

Meski kami sudah lama saling kenal, hari ini saya kembali merasa asing. Jika tertawa, tawa saya seperti tersangkut di awang-awang. Saat bicara, saya rikuh sendiri kehilangan nyali. Apa ya, yang kini membuat mereka tertarik?

Anak-anak sudah nyaris sama tinggi dengan saya.

Diam-diam nomor sepatu mereka sudah lebih besar dari nomor sepatu saya.

Tanpa perlu dibantu, anak-anak sudah bisa menjalankan kelas sendiri. Sudut-sudut kelas kami tetap rapi jali tanpa saya perlu mengomel sana sini dan serba menunjukkan ini itu.

Wah, anak-anak ini – mereka sudah besar. Apa masih mau disebut anak-anak?


Minggu 2 : Mulai Belajar

Baik, saya sudah mulai bisa menyesuaikan diri bahwa saya tak lagi terlalu dibutuhkan untuk mengurus mereka. Di meja, saya masih kalang kabut menyusun dan mempelajari bahan-bahan. Sudah kelas 5, sekarang kami benar-benar harus mempelajari sesuatu. Saya tak bisa lagi mengandalkan isi kepala saat harus memulai kelas. I have to read, and read, and read…

Contoh-contoh soal dan “rangkuman” bahan dari aneka sekolah sampai di meja saya. Sebuah batu bata besar tertelan rasanya. Ya ampun, segini banyak yang harus mereka ketahui? Do we have all the time in this world? Lama saya termangu. Lama saya butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa yang saya ingin anak-anak lakukan bersama saya di kelas adalah belajar dan berproses. Bukan mengingat setumpuk fakta dalam selembar kertas bersama rangkuman.

Nanti, saya gunakan contoh-contoh soal itu jika perlu. Sekarang, saya akan cari tahu dulu bagaimana saya bisa membuat anak-anak mempelajari semua itu tanpa saya perlu menyuapi mereka satu persatu.

Minggu 3 : Sebuah Sisi

Apa yang menarik dari ABA (Anak Baru ABG)? They are both children and adult. Mereka berbicara dengan lugas dan tandas, meniru sinisme orang dewasa, dan di saat yang sama tidak ragu menjadi anak-anak. Mereka tidak sungkan main petak umpet atau melonjak gembira karena tahu sedotan untuk percobaan IPA boleh dipakai main sumpit.

Pemahaman ruang dan waktu mereka sudah jauh lebih memadai untuk bisa memahami sejarah. Dunia mereka sudah lebih luas dari “aku dan aku”. Mereka sudah sepenuhnya mengerti bahwa setiap orang yang mereka temui adalah entitas yang berbeda dari mereka. Maka, pertanyaan, “Bagaimana Ibu dulu waktu seumur kami?” jadi begitu penting dan menarik.

Bagi anak-anak ini, teman, guru, orang tua dan saudara mereka bisa dilihat dari kacamata baru. Semua orang punya cerita, kami bisa mirip sekaligus berbeda. Jika saya bertanya, apa cita-citamu? Mereka balik bertanya, Bu Tia dulu ingin jadi apa? Ketika mereka berkeluh kesah dengan matematika, Mini dan Mita mendongak melihat pada saya penuh ingin tahu, “Did you like maths?” “Matematika waktu Bu Tia kelas 5 seperti apa?”

Melihat Mita yang selalu terkantuk-kantuk pagi hari, saya bertanya, “ I suppose you are a night person, Mita. Kamu pasti merasa lebih segar di sore dan malam hari.” Ia nyengir dan mengangguk mengiyakan. “Bu Tia juga?”

Saya tertawa. Saya? Sepenuhnya makhluk pagi.

Anak-anak ini seperti baru sadar (atau setidaknya saya baru melihat mereka demikian) mereka ada di sebuah dunia yang menarik dan tak habis-habis dikupas, dilihat dari berbagai sisi yang berbeda.

Absen Sebulan

Lho, saya punya blog ya?

Monday, August 06, 2007

Pertanyaan Bulan Agustus

Sepanjang kuartal ini tema pelajaran ilmu sosial kami berkisar di sejarah Indonesia mulai masa pra kolonialisme sampai merdeka. Pada minggu-minggu pertama, pertanyaan-pertanyaan mereka sudah membuat saya terkesima.

Mini : Bu, seandainya ya, seandainya kita membiarkan saja Belanda mengatur-atur kita sampai sekarang. Kira-kira kehidupan sekarang akan bagaimana? Lebih baik tidak, ya?

Mita: Bu, kenapa sih orang-orang Eropa itu melakukan eksplorasi ke selatan, bukan ke utara saja?

Pertanyaan pertama berakhir dengan tugas membuat tulisan tentang perbandingan kehidupan masyarakat jaman penjajahan dan sekarang. Anak-anak menyambut gembira, tapi saya sengaja menjadikannya tugas pilihan. Boleh dikerjakan, boleh juga tidak. Entahlah bagaimana hasilnya, karena tenggat waktu baru berakhir tanggal 20 Agustus.

Pertanyaan kedua, membuat seisi kelas berkumpul di depan peta, lalu tertawa-tawa membayangkan ada kapal yang mau mengarungi laut arktik.