Wednesday, August 30, 2006

Sibuk, Sibuk

Memiliki kelas dengan kemampuan merata dan perilaku yang cukup manis membuat saya berani bekerja dengan kecepatan tinggi bersama mereka.

Kemarin dalam waktu dua jam kami sempat membaca buku, berdiskusi, melakukan dua percobaan, termasuk beberapa lembar kerja, tentunya.

Setelah lembar ke tiga, dan saya masih mengedarkan satu lagi, anak-anak mulai berkomentar. "Banyak amat bu, pekerjaan kita hari ini!"

Sargie menambahkan, "Bu Tia pasti capek sekali mengetik semua ini!"

Sunday, August 27, 2006

Pet Shop

Suatu Selasa, anak-anak datang ke kelas dengan gulungan-gulungan poster yang sangat mereka banggakan. Saya mengintip, dan di dalamnya banyak gambar kuda, kucing, aneka kadal, anjing, dan masing banyak lagi. Mereka memberikan poster itu pada saya sambil bercerita betapa sibuknya mereka mencari buku di toko buku, atau menunggu ayah mencetak gambar yang diambil dari internet.

Seharian itu kami membuat hewan yang akan jadi model dalam toko hewan kami dengan berbagai bahan.

Putri membuat seekor anjing mini dari plastisin. Namanya Vigo, seperti labrador tetangga yang ia sayangi. Setelah membuat alas tidur, tempat makanan, dan tempat minum, Putri membuatkan televisi untuk Vigo dari aluminium foil.

Mey dan Bintang sama-sama membuat poster tentang kuda. Mereka sibuk berkolaborasi membuat dua ekor kuda beserta kandang dan palung-palungnya. Sibuk sekali sampai kandang kardus mereka jebol berkali-kali.

Maira seharusnya membuat ikan, tetapi ia begitu bersemangat melihat teman-temannya menciptakan hamster, kucing, kuda, dan anjing sampai-sampai ia ikut membuat semua jenis hewan.

Anak-anak gembira sekali ketika kami menggelar petshop seusai makan siang sampai waktunya pulang. Tara begitu cakap bercerita tentang iguana yang kandangnya harus dibersihkan seminggu sekali. Putri meyakinkan pembelinya bahwa anjing bisa dilatih untuk menyelamatkan orang dari gempa bumi dan menemukan narkoba. Mereka juga senang melihat gambar-gambar kucing pintar di dalam poster Medina. Medina menemukan gambar kucing yang sedang main bilyar.

Waktu yang sempit membuat saya berjanji, kalau ada waktu kita akan bermain pet shop lagi. Asalkan semua tugas yang tertunda sudah selesai. Tahu tidak, hari berikutnya anak-anak tidak istirahat menyelesaikan semua tugas-tugas mereka yang terbengkalai.

Kami sempat bermain petshop lagi, dan kali ini lebih menyenangkan karena sepertinya anak-anak sudah lebih berpengalaman. Saya berjalan berkeliling dan menyimak percakapan mereka.

Fia dan Putri sedang mengobrol. Fia berjualan burung dan Putri ingin membeli burung.
Putri : Burung makannya apa?
Fia : Macam-macam. Burung bisa makan buah, makan biji, atau makan daging. Tapi sebaiknya yang makan daging jangan dipelihara, soalnya galak.
Putri : Ada burung mau makan daging? Kira-kira kalau corned beef mau nggak ya dia?


Bintang sedang menjaga kandang kudanya. Sargie dan Iman memperhatikan foto-foto aneka kuda yang ditunjukkan Bintang.
Sargie: Bagus ya kuda-kudanya. Suda poni ada apa lagi?
Iman : Kalau kuda nil, jual nggak?

Setelah semua hewan dimasukkan kembali ke kandang, dan semua poster dikumpulkan, saya bertanya pada mereka, adakah sesuatu yang baru kamu ketahui setelah berkunjung ke "toko hewan" temanmu?

Tangan-tangan mengacung.

Aku baru tahu kalau kuda perlu diganti sepatunya.

Aku baru tahu kalau iguana bisa jatuh dari ketinggian 50 meter dan tidak merasa sakit.

Aku baru tahu kalau kucing ada banyak jenisnya.

Aku baru tahu kalau kadal ada yang namanya gila monster.

Aku sudah tahu dari lama sih, kalau makanan burung bisa kelihatan dari paruhnya.


Baguslah kalau begitu. Semua senang dan semua belajar sesuatu yang baru.

Friday, August 25, 2006

Makanan kesukaan

Saya yakin, ketika jauh dari rumah, kita sering mengingat hal-hal kecil yang istimewa.
Hal-hal kecil yang hanya ada di rumah kita, bukan di rumah-rumah lainnya.
Saya yakin, saat mengingatnya kita sering tersenyum-senyum sendiri.

Hari ini saya dan anak-anak masih meneruskan riset kami tentang keluarga-keluarga di kelas kami. Salah satunya tentang makanan favorit keluarga. Anak-anak rancu membedakan makanan kesukaan mereka dan makanan kesukaan seluruh keluarga.

Medina yang menyelamatkan dengan bercerita bahwa seisi rumahnya suka makan kerupuk.

Di tengah riuh rendah anak-anak yang sibuk mewawancara teman tentang keluarga mereka, tiba-tiba Fia memanggil saya.


Bu, sini Bu. Sekarang aku sudah tahu apa makanan kesukaan keluargaku.

Apa Fi?

Kepala ayam bu! Soalnya aku dan ayah suka rebutan....


Saya ikut tertawa bersamanya.
Kamu beruntung Fia, pasti rumahmu meriah dengan kasih sayang.

Wednesday, August 23, 2006

Bermain Peran

Saya bertanya pada anak-anak, menurut kalian, apa artinya keluarga?

Anak-anak menyimpulkan beberapa jawaban:
Keluarga itu kelompok, Bu. Ada yang kecil dan ada yang besar.
Keluarga itu orang yang paling sering kita temui.
Keluarga itu orang-orang yang tinggal serumah dengan kita.
Keluarga adalah orang-orang yang kita sayang.
Keluarga itu orang-orang yang selalu memberi kita kasih sayang.

Saya mencontohkan. Ya, kita sering bertemu, hampir setiap hari. Apakah kita keluarga?
Anak-anak ribut berteriak, iya, kita keluarga SD2!

Siapa lagi ya yang bisa kita sebut keluarga? Coba pikirkan orang-orang yang selalu memberi kita kasih sayang...

(saya berharap mereka menyebut ayah atau ibu)

Fia mengacungkan jarinya dan menjawab, "Ibu Tia!"

Mudah-mudahan tidak ada yang melihat bahwa sesuatu terasa mengalir deras dari perut ke wajah saya. Pikirkan bahwa belakangan ini saya berlaku sangat tegas pada Fia karena menurut saya perilakunya bisa lebih dewasa dari yang ia tunjukkan sehari-hari. Saya yakin Fia pasti menganggap saya guru yang galak sekali. Sudah beberapa minggu saya kehilangan senyum dan keramahan awal tahun ajaran.

Hal-hal kecil seperti ini yang selalu membuat saya ingat mengapa saya selalu menyukai kelas-kelas saya (oh, saya masih selalu perlu diingatkan). Saya selalu bersama anak-anak, anak-anak selalu penuh maaf. Mereka tidak pernah ingat lagi kalau seharian saya jadi nenek sihir yang meledak-ledak.

Seorang teman saya selalu mengeluh bahwa saya tak tahu rasanya menjadi ibu, jika saya berusaha urun pendapat tentang anaknya. Kecil hati rasanya kalau begitu.

Fia mengingatkan saya bahwa dalam keluarga SD2 kami pun selalu main ibu-ibuan.

Sunday, August 20, 2006

Keakraban Kata

Ke toko buku belakangan ini cukup melelahkan hati. Seperti biasa, terlalu banyak yang ingin dibeli. Apalagi sekarang saya senang pergi ke bagian buku untuk anak-anak. Buku anak berbahasa Indonesia sudah makin banyak dan makin menarik tampilannya. Topik yang diangkat pun mulai banyak ragamnya. Kalau saya menjelajah rak mencari buku-buku yang sesuai dengan tema di kelas saat ini, tidak ada kesulitan sama sekali.

Satu hal yang sering membuat saya kecewa ketika mulai membuka dan membaca buku-buku itu. Beberapa penerbit mengeluarkan buku-buku anak dengan pilihan kata enggak, tuh, dong, deh, loh ya, dan sejenis itu. Saya jadi urung memilih.

Sayang sekali, sebab materi buku itu baik. Pesan yang ingin mereka sampaikan pun baik. Benarkah pesan dan materi itu tidak akan sampai kalau menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar? Saya menduga itulah pertimbangan para penulis, penyunting, dan penerbit; menggunakan istilah-istilah yang lumrah dalam percakapan sehari-hari agar akrab dan disukai anak-anak.

Benarkah begitu?

Saya masih ingat beberapa buku berbahasa Indonesia waktu saya masih kecil. Beberapa buku itu tertulis dalam bentuk kalimat-kalimat bersajak. Saya ingat betul waktu itu saya senang mendengar bunyinya dan bisa membaca buku-buku itu berulang-ulang kali. Adik saya yang belum bisa membaca pun bisa berpura-pura sudah bisa membaca karena ia hafal kalimat-kalimat di buku itu, satu buku penuh!

Menurut saya, anak-anak tidak jadi lebih tertarik dengan lah deh dong gitu loh yang menyertai isi sebuah buku. Anak-anak mudah tertarik pada berbagai topik beserta gambar-gambar menarik. Anak-anak akan tekun jika kalimat-kalimat dalam buku itu sederhana, runtut, dan mudah dicerna.

Saya sedih. Di televisi orang-orang sudah berbicara dengan cara sesuka hati. Di rumah kita, siapa pula yang mau berbahasa baku baik dan benar. Kalau buku-buku anak sudah tidak mau memberi ruang, kalau bahasa baku hanya ada di buku pelajaran, nanti buku-buku sastra tak bisa lagi didekati anak-anak. Buku-buku indah itu akan terasa jauh dan asing.

Mungkin saya terlalu konservatif. Tetapi menurut saya, ada hal-hal yang harus dilakukan sesuai aturannya, ada juga hal-hal yang boleh dilakukan sesuka hati. Bahasa, adalah sesuatu yang harus dihargai seperti kita menghargai isi kepala dan hati kita di saat yang sama.

Friday, August 18, 2006

Cepat Lupa

Ternyata 13 murid dan 10 murid itu bedanya banyak sekali. Ketigabelas murid saya umumnya senang menawarkan diri untuk menjawab pertanyaan atau sekedar tunjuk jari ingin bicara. Karena begitu meratanya kecenderungan ingin bicara ini, saya agak kesulitan membagi waktu dan kesempatan untuk mereka.

Maira, salah satunya, paling kesal kalau ia mendapat giliran agak belakangan. Ia akan sering berseru-seru, "Ibu, ayo cepaaat... nanti aku keburu lupa aku mau ngomong apa..."

Lalu betul saja, ketika saya persilakan ia bicara, ia akan mematung sebentar dan berkata, "Aku sudah lupa." Membuat saya jadi tertawa. Syukurlah Maira biasanya ingat lagi.


Wednesday, August 16, 2006

Bertanya Pada Buku

Alexander The Great sering mengingatkan saya untuk tidak serta merta menjawab pertanyaan anak-anak.

Lho?

Maksudnya, ia ingin saya menggiring anak-anak untuk bertanya pada buku, dan bukan saya. Saya hanya guru mereka, saya bukan sumber pengetahuan. Anak-anak harus tahu bahwa buku punya jawaban yang lebih luas dan meyakinkan. Jika saya punya kebiasaan menjawab dengan segera, tentu anak-anak akan lebih suka mengambil jalan pintas dengan bertanya pada saya.

Pada kenyataannya, agak sulit juga selalu merujuk pada buku jika anak-anak bertanya. Kami hanya punya waktu sekitar empat jam sehari, dan tiga belas anak yang setidaknya bertanya sekali sehari. Ayo berhitung!

Hari Selasa, kami punya proyek untuk membuat Pet Shop. Saya mengajak anak-anak melakukan riset kecil mengenai binatang peliharaan pilihan mereka di perpustakaan. Kegiatan seperti ini di minggu-minggu awal tahun ajaran cukup riskan. Anak-anak masih perlu banyak bantuan.

Cukup mengejutkan bagi saya ketika tahun ini anak-anak kelas saya bisa melakukannya dengan baik. Separuh kelas bekerja sendiri, memilih buku, dan mencatat informasi-informasi yang mereka perlukan. Sebagian anak masih kesulitan menemukan buku yang tepat, membaca, dan mengambil informasi yang mereka butuhkan. Saya perlu membantu. Ada juga yang begitu asyik melihat-lihat gambar dan hampir tidak menulis apapun di lembar kerjanya. Hehe.

Saya tidak menerapkan standar terlalu muluk. Ketika saya berkeliling dan melihat mereka memilih buku-buku yang relevan dengan topik pilihannya saya sudah merasa gembira. Sekar bahkan sempat membantu temannya mencari bahan tentang tupai setelah bahan-bahannya mengenai kucing terkumpul. Dengan tenang Sekar berkata pada saya, "Aku tahu semua tentang binatang, Bu."

Menuliskan laporan tentang apa yang mereka baca memang perlu ketrampilan lebih tinggi. Beberapa anak bisa melakukannya, tetapi wajar kalau mereka perlu bantuan.

Setidaknya kami sudah memulai kebiasaan bertanya pada buku.

Nanti saya ceritakan bagaimana hasil akhir pet shop kelas kami.


Saturday, August 12, 2006

Keluarga

Ibu saya bekerja mengurus sebuah sekolah. Suatu kali ia bercerita pada saya. Seorang gurunya berbicara pada anak-anak bahwa ayah adalah orang yang bertanggungjawab atas keluarga dan harus mencari nafkah. Seorang muridnya mengacungkan jari dan menyanggah, "Di rumah ibu saya lah yang bekerja mencari uang. Ayah saya tinggal di rumah. " Sang guru tidak begitu berkenan dan bertanya, memangnya kenapa? Dengan tenang muridnya menjawab, "Sebab ayah saya sakit stroke sejak saya TK." Masih tak percaya, guru itu melakukan cek silang dengan si ibu.

Membicarakan keluarga dengan anak-anak saat ini tidaklah semudah guru saya berbicara tentang keluarga Budi yang bahagia saat saya masih SD. Berbicara tentang keluarga saat ini berarti bicara tentang keputusan ayah atau ibu untuk memiliki hanya satu orang anak, orang tua tunggal, nenek atau orang lain yang berperan sebagai orang tua, keluarga angkat, keluarga lain budaya, keluarga lain agama, dan masih banyak varian lain.

Kurikulum ilmu sosial untuk kelas 2 mencakup banyak materi tentang keluarga. Tema sederhana tapi riskan ini mesti saya bawa ke kelas. Saya harus peka pada beragam keadaan keluarga murid-murid saya. Membuat pohon keluarga belum tentu tugas yang menyenangkan bagi mereka dengan orang tua tunggal. Membicarakan hak dan kewajiban orang tua mesti saya selingi dengan hak dan kewajiban anggota keluarga lain.

Sekali waktu, salah seorang murid saya memandang saya sambil memegang lembar kerjanya, "Tapi saya tidak punya ayah, bu."

Sambil tersenyum saya menjawab, "Sama, bu tia juga tidak punya kakak." Saya memintanya bercerita lebih banyak tentang ibunya.

Keberagaman ini jadi ide yang menarik. Kemarin saya meminta anak-anak melakukan riset tentang jumlah anggota keluarga setiap anak di SD. Hasilnya kami buat grafik batang. Saya bertanya pada mereka, apa yang mereka lihat?

Sargie cepat menjawab, ternyata setiap keluarga jumlah anggotanya berbeda-beda.

Mengapa begitu? Mengapa ada keluarga yang anggotanya hanya dua orang?

Medina bilang, mungkin saja karena baru menikah dan belum punya anak.

Maira menambahkan, bisa juga karena ayah atau ibunya sudah meninggal.

Saya katakan, bisa jadi orang tua sudah berpisah dan anaknya hanya seorang.

Adakah jumlah anggota keluarga yang lebih baik dari yang lain?
Tidak ada. Yang penting semua saling sayang.

Bagi saya, keluarga adalah akar tempat saya berasal. Menyangkal keberadaan keluarga hanya karena perlu mengikuti norma umum tentang keluarga semestinya berisi ayah, ibu, dan anak-anak sama sekali tidak membantu. Itu bagian dari identitas mereka. Menyangkal identitas hanya memulai sebuah kesulitan panjang berputar.

Saya ingin anak-anak tahu tidak semua rumah seperti rumah mereka. Setiap rumah isinya berbeda. Tak ada yang salah dengan berbeda.

Apapun itu, rumah mereka harus tetap jadi rumah yang paling hangat tempat mereka pulang. Saya harap begitu.

Monday, August 07, 2006

... dan....

Kami sedang menulis jurnal tadi pagi. Putri lancar menulis kalimat demi kalimat tentang acara keluarga bersama sepupu-sepupunya. Sampai di satu titik ia memanggil saya.

Ini gimana bu. Aku masih mau cerita kalau aku jadi tidak bisa tidur.

Saya menjawab (sambil mengiyakan panggilan dari meja lain), tambahkan saja: Dan akibatnya saya tidak bisa tidur.

Lho. Mana bisa bu. Kata Bu Tia kemarin "dan" tidak boleh ada di depan kalimat. "dan" harus ada di tengah-tengah.

Oh iya, kamu betul. Ayo kita ubah kalimatnya.... bagaimana ya kira-kira?

....

Sunday, August 06, 2006

Tumbuh Besar

Kemarin saya dan seorang teman sedang duduk, makan sambil bekerja di restoran dekat bioskop. Kami memperhatikan orang-orang yang lalu lalang dekat bioskop. Hari itu Sabtu sore, dan banyak anak-anak berjalan berkelompok sambil mengobrol.

Anak-anak. Iya, anak-anak sebesar anak-anak di sekolah kami. Paling besar kelas 6 SD (karena saya tahu anak sekarang besar-besar, bahkan anak kelas 4 hampir sama besar dengan saya). Saya dan teman saya saling berpandangan sambil tertawa-tawa. Kami sedang membayangkan, bagaimana jika kelak satu hari kami pun berpapasan dengan murid-murid kami.

Kemungkinan yang makin hari makin besar, karena anak-anak makin lama makin memilih teman sebaya daripada orangtuanya untuk menjelajah pusat perbelanjaan. Kemungkinan yang masih besar karena di Jakarta toh tak banyak pilihan tempat untuk menghabiskan waktu.

Lucu juga membayangkannya, mengingat murid-murid saya sekarang masih sering menangis kalau jatuh atau bertengkar. Mereka masih minta dibantu membukakan tempat minum, dan macam-macam. Tahu-tahu sudah bisa pergi sendiri dengan teman sebayanya? Cepat sekali waktu berlalu. Mudah-mudahan teman saya yang masih sibuk mengeluh tentang bayinya yang sangat menuntut ingat ini. Bahwa "penderitaannya" menyusui dan mengakali asupan makan bayinya akan segera berganti. Berganti masalah lain maksudnya.

Ah, anak-anak memang cepat besar. Saya selalu senang memperhatikan mereka tumbuh dan berkembang setiap hari. Saya tahu tumbuh itu tidak enak rasanya. Mungkin menyakitkan dan membingungkan. Untuk saya yang hanya melihat saja rasanya, kadang-kadang, tidak menyenangkan. Ada hari-hari di mana saya merasa ditinggalkan dan diabaikan. Apalagi ayah dan ibunya ya?

Seperti beberapa waktu lalu, orangtua-orangtua baru di kelas saya sudah mengeluhkan itu. Mey sekarang tidak mau lagi kalau saya ikut turun dari mobil bu. Iman sekarang selalu lihat kanan kiri kalau mau dicium, takut ada temannya. Ia juga ngotot mau tidur sendiri. Sekar tidak percaya lagi pada peri gigi. Ia menginterogasi ibunya atas tuduhan meletakkan uang tiga ribu dibawah bantal sebagai pengganti giginya yang tanggal.

Mereka baru mulai. Baru mulai untuk berani mengambil resiko untuk tumbuh, termasuk resiko kehilangan rasa percaya pada dongeng-dongeng indah.

Saya bukan bagian darimu lagi, bu. Saya adalah saya. Saya sendiri.
Saya punya teman sendiri.
Saya punya pilihan baju sendiri.
Saya sudah bisa semua sendiri.
Saya punya keinginan sendiri.
Saya punya mimpi sendiri.
Saya ....



Saturday, August 05, 2006

Reuni

Kini setiap Kamis saya bisa reuni dengan dua kelas pertama saya. Kami punya kegiatan bersama. Satu jam seminggu, bermain dan bermain sama-sama. Dua kelas itu bergabung bersama saya, jadi kira-kira ada 14 anak.

Sekarang mereka sudah kelas 3 dan Kelas 4. Saya masih sering terbalik-balik. Kadang-kadang saya melihat ke arah kelas 4 dan menanyakan mengapa kelas 3 keluar terlambat. Mereka saling pandang tidak mengerti. Ah, Bu Tia memang pelupa.

Saya juga hampir lupa bagaimana kebiasaan-kebiasaan mereka di kelas saya dulu. Misalnya saja, saya lupa kalau Dhiadri dan Dhimas memang tak bisa berhenti bicara dan tidak bisa bicara dengan suara pelan. Kadang saya frustrasi sendiri, merasa deja vu. Lalu heran sendiri juga, bagaimana saya bisa tahan menghadapi mereka setahun yang lalu.

Bagaimanapun, kegiatan Kamis sore tidak pernah berat. Kami hanya bermain sambil berlatih problem solving dan creative thinking. Komentar pertama Riri adalah, "Wah, bisa gawat bu. Nanti Dhimas tambah kreatif lagi. Dia kan sudah kreatif. "

Pada pertemuan pertama saya meminta mereka membawa keberanian mengambil resiko. Saya bilang, tak ada gunanya kita berkumpul dan berkegiatan bersama dalam sesi ini kalau kalian takut salah. Sebenarnya tak ada gunanya saya bilang begitu pada mereka. Ya, tidak?

Benar saja, dua kali Kamis ini empat belas anak itu benar-benar saling sikut dan gontok-gontokan untuk menunjukkan kenekatan dan keberanian mereka berpikir. Anak-anak kelas 4 yang manis-manis hampir habis dilindas kelas 3 yang tak bisa berhenti bilang "AKU.... AKU YANG MAU JAWAB!!!" sambil mengacungkan jari, berdiri, dan berlompat-lompat di saat yang sama. Saya yang sendirian kewalahan membagi 60 menit untuk 14 anak seperti mereka.

Pertemuan kami Kamis lalu menarik. Saya meminta mereka mengambil barang apa saja, lalu membuat daftar baru kegunaan benda itu. Sebanyak-banyaknya, dan segila-gilanya. Anak-anak kelas 4 sudah pernah mengikuti kegiatan serupa tahun lalu, dan tahun ini mereka bisa menunjukkan pada saya betapa luwesnya mereka berpikir. Anak-anak kelas 3 masih perlu waktu untuk menyesuaikan diri, tapi saya yakin sebentar lagi mereka akan melesat entah ke mana.

Setelah sibuk membuat daftar, saya minta mereka membacakan pada seisi kelas apa saja yang sudah mereka tulis. Mita dan Adam benar-benar berhasil membuat kami terpingkal-pingkal hanya karena sebuah penjepit jemuran. Apa saja kegunaan penjepit jemuran?

Jepitan baju bisa digunakan untuk mengambil karton.
Jepitan baju bisa digunakan sebagai anting-anting dan jepit rambut.(bayangkan bahwa Adam yang memperagakan ini dengan sepenuh hati)
Jepitan baju bisa digunakan untuk memperagakan huruf A dan V.
Jepitan baju bisa digunakan untuk puppet show sebagai buaya.
Jepitan baju bisa digunakan sebagai alat musik (Adam menjentik-jentikkan jepitan dengan irama)
Jepitan baju bisa digunakan untuk mencubit diri sendiri kalau sedang mengantuk.

Adinda menambahkan bahwa
Jepitan baju bisa digunakan menjadi paper clip. (Saya melakukannya di kelas!)

Dhimas menambahkan bahwa
Sekantong jepitan baju bisa berubah jadi pesawat tempur dan robot-robotan.


Sebelum pulang saya bertanya pada mereka. Kira-kira kegiatan seperti tadi dapat kita manfaatkan kapan saja?

Dhiadri mengacungkan tangan penuh semangat.
"Kalau sedang sendirian bu, bengong, tidak ada kerjaan, lebih seru bermain seperti itu Bu!"

Hahaha. Tidak pernah terpikirkan oleh saya untuk melakukan itu di waktu luang. Ide yang bagus, jadi kita tidak perlu merasa kesepian kalau sedang sendirian, harus menunggu, dan lupa membawa buku.


PS: Anda juga mau menambahkan apa kegunaan penjepit jemuran?