Friday, August 14, 2009

Panjang Umur


Saya mulai berpikir bahwa panjang umur tidak berarti mati tua, tapi justru selalu hidup. Karya-karya kita yang selalu hidup, meski kita sudah habis dimakan tanah.

Minggu ini anak-anak TK dan SD sedang belajar menyanyikan mars sekolah kami yang diciptakan lulusan angkatan pertama.

Saya mendengar suara-suara lantang mereka bernyanyi dari luar kelas. Sekilas saya melihat banyak mata yang berkilau bangga. Saya juga ikut tersenyum ketika murid-murid di kelas saya bertepuk tangan sendiri, setelah akhirnya mereka bisa menyanyikan lagu itu sejak awal hingga selesai.

Mereka masih menggumamkannya di sela-sela waktu belajar.

Tidak bisa mengelak, saya jadi ingat para penulis lagu ini. Seakan mereka ada lagi di ruang sebelah.

Saya bertanya-tanya, apakah yang akan mereka rasakan, ketika suatu hari mendengar seisi sekolah ini, kini, dan barangkali jauh nanti, akan terus menyanyikan lagu yang mereka ciptakan sepenuh hati?

Adakah hati mereka berdesir seperti yang saya rasakan mendengar lagu itu berulang-ulang?

Mereka sudah memberikan sesuatu yang akan terus berputar seperti roda, di usia mereka yang begitu muda.

Seperti apa rasanya?

Sunday, August 02, 2009

Lomba Lari

Untuk pertama kalinya sekolah kami keluar kandang untuk ikut lomba. Kali ini kami ikut lomba lari estafet 8 x 50 meter atas undangan PASI. PASI ingin memperkenalkan atletik pada anak-anak SD.

"Datang saja, Bu. Tidak harus sudah tahu teknik. Tidak punya sepatu juga tidak apa-apa," panitia menjelaskan pada saya lewat telepon.

Ah, mengapa tidak? Anak-anak pasti senang punya pengalaman baru. Apalagi nanti acaranya akan bersamaan dengan Kejurnas Atletik 2009, berarti juga bisa menonton atlet sungguhan bertanding.

Kami memilih 16 anak menjadi 2 regu estafet; putra dan putri. 16 anak ini dipilih dari kelas 3 sampai kelas 6. Semula anak kelas 6 agak jengkel karena harus satu regu dengan anak-anak yang lebih kecil.

"Mana bisa menang, bu kalau tim lain besar-besar badannya?"

Bukan soal menang atau kalah, Non. Ini permainan beregu. Di atas menang atau kalah, saya ingin melihat lebih banyak anak-anak dari sekolah kami mendapat pengalaman baru. Komposisi "atlet" yang terkirim kemarin membuat saya senang. Bagi beberapa di antara mereka, ini adalah kali pertama mereka terpilih mewakili sekolah melakukan sesuatu. Saya bisa melihat binar-binar bangga itu di mata mereka.

Sebenarnya waktu persiapan kami mepet sekali, kalau tidak bisa dibilang sebenarnya kami tidak bersiap-siap. Hehe. Syukurlah salah satu kakek nenek kami yang aktif di PASI mau membantu memperkenalkan lapangan dan cara memberikan tongkat estafet. Sempat ternganga juga anak-anak melihat lintasan lari 400 meter.

"Untuk anak-anak, lari estafetnya 8 x 50 m, jadi setiap anak hanya perlu menempuh 50 m saja, tidak keliling lapangan." Kira-kira begitu penjelasan Kakek.

"Alhamdulillah," Adinda kelihatan lega sekali.

Latihan Minggu lalu berjalan menyenangkan. Meski sempat kaku waktu harus mengalihkan tongkat, anak-anak sangat menikmati berada di ruang terbuka yang luas. Agak susah memanggil mereka berkumpul, karena semua lari-lari terus.

Mau menambah latihan di sekolah, susah juga. Seperti sekolah-sekolah yang mungil di Jakarta, ruang gerak amatlah terbatas. Mau sprint, belum sempat lari kencang, sudah ketemu dinding.

Dengan penuh semangat, tim atlet dari kembang berkumpul di lapangan madya Sabtu siang lalu. Anak-anak datang berseragam dan bersepatu. Ada sekitar 200 anak dari belasan sekolah lain. Beberapa anak membuat saya, Bu Andin dan Bu Nanda gentar.
"Melihat betisnya, sepertinya mereka atlet beneran," kami agak bisik-bisik.

Sementara itu, anak-anak sekolah kami tidak terpengaruh sama sekali. Mereka berlari-larian di lapangan pemanasan tanpa takut dan cemas. Belum setengah jam, nomor dada yang terpasang dengan peniti sudah lepas-lepas. Ampun deh, Nak, kalian ngapain saja sih?

Agaknya panitia pusing juga mengatur begitu banyak anak. Sudah dipanggil untuk berbaris misalnya, masih ingin ke kamar kecil. Saya jadi senyum-senyum.

"Mendingan ngurusin atlet, Bu. Anak-anak ribet," keluh salah satu pak guru olahraga.

Saya tertawa saja, sambil memandangi anak-anak saya yang --syukurlah-- manis-manis dan tidak merepotkan sama sekali.

Saat anak-anak harus masuk lapangan, guru-guru mereka mengingatkan, "konsentrasi, ya, nak. Lari yang kencang."

Saya dan Bu Andin melambai-lambai, "Good luck! Have fun!"

Sebagai tim yang pertama kali ikut lomba dan tidak pernah latihan olahraga serius, kami tidak punya target menang. Jadi? Nikmati saja!

Kami kalah, tentu saja. Tapi apa komentar atlet-atlet kami?

"Tahun depan kita ikut lagi, ya Bu!" Tara dan Rai tetap berbinar-binar usai lomba.

Tentu! Itu yang saya ingin dengar, dari anak-anak. Jika ingin menang di lomba-lomba semacam ini, tentu sekolahlah yang harus punya sistem dan program pelatihan yang baik, dengan guru yang mengajar sungguh-sungguh.

Sepatu

Salah satu bagian terpenting dari lomba ini adalah soal sepatu. Seperti pengumuman panitia pendaftaran, sepatu bukan prasyarat ikut lomba. Sebagian tim estafet memilih untuk bertelanjang kaki.

Komentar panitia pemanggilan sempat bikin saya jengkel. "Acara ini ditonton Pak Menteri, jadi kalau bisa pakai sepatu, ya!"

Sementara di depannya anak-anak sudah berbaris siap masuk lapangan. Sungguh mengecilkan hati komentar bapak itu! Tahu tidak sih, mencari sepatu yang nyaman untuk berlari dan berlomba itu susah? Apalagi untuk anak-anak tanggung yang serba salah.

Mungkin itu pula pendapat Adinda. Melihat teman-teman dari sekolah lain yang tidak pakai sepatu, Adinda memilih untuk meniru mereka, bukan memandang remeh mereka.

Tidak salah juga sih, mengingat di sekolah kami juga selalu tidak bersepatu. Meski pilihannya agak nyeleneh, Adinda menunjukkan bahwa tanpa sepatu pun ia bisa berlari kencang dan masuk finish nomor 4 di regunya.

Tentu saja suporter Kembang kegirangan.

Ngomong-ngomong tentang suporter, Keluarga Kembang memang tiada dua. Tidak cuma anak-anak yang bertanding, tapi keluarga mereka, teman-teman dan keluarga teman-teman, berikut alumni club yang membawa banner besar juga datang memberi semangat!


Pertanyaan beberapa orang tua saat saya mengabari bahwa anaknya terpilih masuk tim, "Bu, memangnya anak saya bisa lari?" sudah terjawab tuntas di lapangan sebesar itu. Anak-anak mereka-- besar atau kecil badannya, penggemar olahraga atau membaca -- lari dengan gigih dan berani. Mereka keluar lapangan dengan senyum meski kecapekan dan kaki sakit semua. Anak-anak yang lebih besar memenuhi permintaan saya untuk menjaga adik-adiknya. Begitu pula para adik, mereka sungguh mudah diajak bekerja sama.

Kami tidak menang, tentu saja. Bahkan tidak masuk final. Namun pengalaman berlomba, berusaha sekuat-kuatnya, menerima kekalahan, dan memberi semangat pada mereka yang bertanding, adalah pengalaman baru yang sulit kami abaikan begitu saja. Sungguh senang ada di tengah mereka semua.