Sunday, December 24, 2006

Ibuku Sinterklas

Satu minggu menjelang terima rapor, kami sedang senang-senangnya menyanyikan lagu Rudolph The Red Nose Reindeer. Mey sangat senang. Ia sedang menunggu-nunggu tiga kado dari Sinterklas.

Mey : Bu Tia, Sinterklas itu datangnya jam berapa sih?
Saya : Hmmm.... mungkin tengah malam?
Medina : Sinterklas kan nggak ada.
Mey : Ada ya Bu? (Wajahnya penuh harap)
Saya : Menurutmu bagaimana Mey?

Saya tak berani menjawab tentang keberadaan Sinterklas, sebab saya tak tahu apa yang dikatakan ibunya. Tidak lucu kalau beberapa hari sebelum "kedatangan Sinterklas" saya menuduh ibunya bohong.

Bintang: Yang jelas, Sinterklas yang ada di mall-mall itu palsu semua.

Beberapa hari kemudian, kisah Sinterklas tenggelam oleh Hari Ibu. Di sela kesibukan anak-anak membuat kartu-kartu natal dan tahun baru, mereka juga membuat kartu untuk ibu.

Duh, sebenarnya saya ingin sekali bercerita pada mereka tentang kisah St. Nicholas yang murah hati dan kemudian hari dikenal sebagai Santa Claus atau Sinterklas.

Saya juga ingin bilang pada mereka bahwa Hari Ibu di negara kita bukanlah Mother's Day dimana kita merayakan motherhood. Tetapi bagaimana cara menerangkan pada mereka bahwa Hari Ibu adalah hari peringatan Kongres Perempuan pertama di Indonesia tahun 1928. Hari itu perempuan Indonesia berkumpul, memperjelas dukungan dan peran mereka untuk masa depan negaranya.

Saya bisa membayangkan hari itu ibu-ibu tidak bersenang-senang melupakan tugas domestiknya, tetapi menambah kesibukannya dengan membicarakan penolakan perkawinan di bawah umur, juga sekolah-sekolah dan beasiswa untuk anak perempuan. Mereka tidak mengeluh karena harus mengurus rumah, tapi beranggapan bahwa dirinya bisa melakukan lebih banyak hal untuk orang lain.

Tidak, barangkali tidak sekarang. Mungkin beberapa tahun lagi. Saat ini saya masih ingin membiarkan mereka menikmati perayaan dan mencoba membuat hari istimewa menjadi bermakna dengan cara mereka sendiri. Apakah dengan membuat surat untuk Sinterklas, atau menyatakan kasih sayangnya dalam kartu untuk Ibu.

Kelak kalau mereka sudah lebih mengerti, baru saya akan mengajak mereka memikirkan kembali pemaknaannya pada hari-hari istimewa. Baru pelan-pelan kita akan membentuk kembali sistem nilai dan kepercayaan yang paling mendekati benar, dan sesuai untuk mereka.

Tuesday, December 19, 2006

Waktu Milik Mereka

Pernah bertemu seseorang yang ingin anak perempuan usia 5 tahunnya segera masuk SD? Biasanya alasan mereka si anak sudah bisa membaca. Ia jauh lebih cerdas dari anak-anak umur lima tahun lainnya. Nanti bosan sekolah kalau di TK semua serba mudah.

Saya sering mendengar keinginan orangtua yang seperti ini. Motto mereka makin cepat selesai sekolah makin baik. Keinginan pasar seperti ini diinterpretasikan dengan baik oleh bisnis pendidikan dengan terciptanya kelas-kelas akselerasi. (Ancaman) tidak naik kelas benar-benar bisa membuat para orangtua panik bukan kepalang.

Tetapi, benarkah anak-anak bisa diperlakukan seperti mi instan?

Saya ingat betul, Desember tahun lalu saya masih kesulitan untuk bisa mengobrol dengan Zaky. Ia hanya menjawab dengan satu atau dua frase. Asisten saya mengeluh, Zaky belum bisa bicara dalam 1 kalimat lengkap. Jangan tanya bagaimana saat kami sedang belajar menulis cerita. Kacau balau. Di saat yang sama teman-temannya menyerap dua bahasa sekaligus nyaris sama cepatnya.

Desember tahun ini, saya bisa mengobrol tentang segala rupa bersama Zaky. Suatu kali ia mengajak saya mengunjungi kampung halamannya di kaki Gunung Merapi. Katanya banyak sawah, sapi, dan ikan. Ia bercerita betapa dalam sungai tempatnya bermain. Lain hari ia berkomentar tentang galaksi. Tadi kami tertawa karena saya mendengar ia mengomentari temannya hiperaktif. Siangnya ia bertanya apa manfaatnya vitamin D. Ternyata ia sedang sibuk mengamati tabel kandungan gizi minuman kotak. Saat ini, jika Zaky sibuk membual saya pun bersyukur. Kalimat-kalimatnya yang mengalir dari mulutnya saya nikmati sebagai kemajuan besar.

Hari ini saya mulai mengisi rapor yang harus dibagikan Sabtu besok. Ketika sampai pada giliran Zaky, saya harus membolak-balik semua arsip nilai dan memeriksanya satu per satu. Saya hampir tak percaya ketika melihat jumlah nilai Zaky jauh lebih tinggi dari median nilai kelas. Nilainya naik sebelas poin dibandingkan Juni tahun ini.

Mengurutkan kembali nilai-nilainya membuat saya ingat bahwa kuartal ini saya hampir tak pernah duduk di sampingnya untuk membantu. Saya ingat juga bahwa saya lebih sering mendapati Zaky sibuk membantu temannya mengerjakan tugas sementara tugasnya sendiri tercecer. Saya ingat bahwa saya sering melerai Zaky dan teman-temannya saat bekerja kelompok karena sekarang Zaky pun ikut mengatur apa yang harus mereka kerjakan. Saya ingat bahwa saya dan teman-teman barunya pernah duduk dan mengagumi lapangan bola dari karton buatannya.

Ia tumbuh saat waktunya tiba. Saat kemampuan sosial emosionalnya sudah cukup, ia pun berteman, bermain, dan menekuni tugas-tugasnya seperti seharusnya. Saat berhasil, ia punya cukup cadangan rasa nyaman dan bangga pada dirinya. Orang lain menanggapi dengan penghargaan seperti sepantasnya. Zaky senang, merasa berharga, lebih termotivasi, dan tampaknya lebih mudah baginya mempelajari sesuatu.

Bersama Zaky, saya belajar bahwa masa tumbuh kembang anak-anak butuh waktu. Zaky butuh waktu untuk tumbuh. Barangkali kebutuhannya jauh lebih banyak dari teman-teman sebayanya.

Zaky membuat saya sadar bahwa waktu adalah bagian dari tumbuh kembang yang tak bisa kita curi. Anak-anak perlu waktu untuk menuntaskan jadwal pertumbuhan mereka di semua aspek. Tak hanya intelegensinya tetapi juga sisi-sisi manusia lainnya. Zaky perlu waktu dua tahun untuk menjadi murid kelas 3 yang siap dan gembira. Saya lega waktu itu kami berkeputusan memberinya kesempatan sekali lagi.

Tuesday, December 05, 2006

TV Talks

Smackdown tidak laku di kelas saya. Bagaimanapun, televisi menyumbangkan banyak obrolan makan siang yang menarik dan menunjukkan bagaimana spons di kepala mereka sangat efektif menyerap apapun yang terlihat di kotak ajaib, sebagaimana separuh murid-murid di sekolah kami fasih berbahasa Inggris berkat Disney Channel.

Setelah Mati

Anak 1: Bu, Bu… masa bu, kalau suka melawan orangtua nanti kalau sudah mati mayatnya bolong-bolong dimakan belatung.

Saya : Bukan dikutuk jadi batu? (Sure, they won’t understand my cynicism)

Anak 1: Bukan bu, bolong-bolong!

Saya : Do you remember that we talked about respect last term?

Anak 1 : Yes.

Saya : Why do your parents take care of you?

Anak 1 : Because they love me.

Saya : And why should you respect your parents?

Anak 1 : Because I love them.

Saya : I think that is the reason to respect others.

Anak 1: Iya, dan nanti kalau mati bisa bolong-bolong.

Orangtua, terpikirkah oleh anda kalau anak-anak bisa saja mengasosiasikan kita dengan belatung? Kami mendiskusikan penguraian bangkai beberapa minggu setelahnya.

Ciuman

Anak 2 : Ibu, kenapa sih kalau orang ciuman di tv itu mulutnya suka dibuka lebar-lebar baru ciuman.

Saya : Kenapa ya?

Anak 2 : Tidak tahu. Aku juga heran. Ciuman kok seperti mau makan orang.

Keguguran

Anak 1 : Eh, kemarin di TV ada itu lho, ada perempuan lagi hamil digugurin.

Anak 2 : Gugur itu apa sih bu? Meninggal ya?

Saya : Iya.

Anak 2 : Jadi kalau keguguran itu bayinya meninggal di perut ibunya?

Saya : Kurang lebih seperti itu.

Anak 1: Iya, terus kemarin yang menggugurkan itu dokter lho.

Anak 2 : Ih, gimana ya caranya menggugurkan bayi?

Anak 3 : Dipotong-potong kali.

Anak 2: Berarti dokterya jahat dong ya? Membunuh bayi.

Saya terkesima mendengar percakapan itu. Saya baru ingat kalau malam sebelumnya, saya sedang berbicara dengan seorang teman. Kira-kira saat itu pukul 8 malam. Di tengah obrolan kami, tiba-tiba ia menginterupsi dengan kalimat ini, “Gila, TV tambah aneh. Masa ini ada bapak-bapak nyukurin anaknya yang keguguran karena hamilnya di luar nikah.” Saya tanya, mengapa ia menonton. Katanya, kebetulan saja TV menyala.

Saya tidak sadar bahwa di rumah-rumah murid kecil saya TV-TV juga kebetulan menyala, atau kebetulan ditonton. Kebetulan saja ingat apa yang kebetulan ditonton saat kebetulan TV-nya menyala. Barangkali kebetulan juga kalau besok tak sengaja mereka membunuh seseorang, atau menganggap bayi mati adalah sesuatu yang wajar dan bisa diobrolkan sambil menelan. Kebetulan saja anak-anak ini masih berumur 7 tahun.

Kebetulan, adalah sesuatu yang ada di luar kontrol kita. Ya, kan?

Semua pembicaraan itu membuat saya makin teguh hati untuk tidak akan punya televisi kalau saya punya anak sendiri.

Thursday, November 23, 2006

Kapan Saja dan Di Mana Saja

Di tengah riuh rendah hari ini (panggung yang baru dipasang betul-betul menarik dan membuat sekolah luar biasa ributnya), tiba-tiba Bintang memanggil saya.

Ibu, belajar kan bisa di mana saja dan kapan saja ya?

Betul.

Iya, aku nonton film Denias, katanya begitu.

Medina menyahut dari arah lain, " Lalu kenapa kita belajarnya di sini terus?"




SKAK MAT Bu Tia....

Tuesday, November 21, 2006

Plesetan

Saya menemani Putri dan Medina menghabiskan snack pagi mereka. Melihat salah satu poster di kelas kami, Putri membuka percakapan

Putri : Bu, tips itu artinya kembalian ya?
Medina : Itu tip! Tips itu gimana caranya...
Putri: Oh, bukannya kembalian?
Saya : Maksudmu memberi uang tambahan pada satpam atau pelayan restoran?
Putri : Iya.
Saya: Medina benar, yang kamu maksud itu tip bukan tips.
Medina : Aku suka memberi tip bu, kecuali ada tulisan Dilarang Memberi Tip.
Putri: Kalau tip itu bukannya yang buat dengerin musik itu?
Medina : Itu tape... t-a-p-e. (Medina tertawa, saya tertawa belakangan soalnya baru ngerti).
Saya : Kamu kok senang main plesetan sih.
Putri : (Melihat-lihat ke lantai) Aku nggak kepleset kok, Bu.


-- ditambahkan kemudian --

Saya sering memperhatikan bahwa anak-anak senang sekali meminjam buku tentang teka-teki di perpustakaan. Saya ingat, ada satu buku teka-teki tentang dinosaurus yang begitu laris sampai lusuh sepertinya. Saya juga belajar, bahwa jika saya sedang tidak dalam mood yang baik untuk menanggapi serangkaian teka-teki, sebaiknya saya menghindar. Mereka tak bisa berhenti dari satu teka-teki ke teka-teki lain.

Ternyata, begitulah anak-anak usia sekolah (usia 6 - 12 tahun). Anak-anak ini mengalami perkembangan pesat dalam kemampuan berbahasa mereka. Kosakata mereka bertambah berkali-kali lipat, dan somehow, mereka jauh lebih pandai mengemukakan pendapat, perasaan, keraguan, bahkan pikiran-pikiran absurd mereka dalam kalimat yang baik.

Salah satu petunjuk bahwa kemampuan bahasa mereka berkembang adalah mereka mulai tertarik pada teka-teki, tertawa pada lelucon-lelucon, dan main plesetan. Saya tidak heran, jika kita bisa tertawa pada sebuah lelucon atau teka-teki, itu karena kita tahu ada sesuatu yang tidak biasa pada konteks yang kita kenali. Untuk memahami sebuah lelucon, kita harus punya satu pengetahuan dasar dan kemampuan menggeser frame berpikir (O' Mara, tahunnya saya tidak tahu).

Begitu juga dengan plesetan. Lihat saja bagaimana Putri bisa memainkan kata-kata yang mirip bunyinya tetapi berbeda konteks untuk membuat orang berpikir, dan kemudian tersenyum. Ahli perkembangan bahasa berpendapat ini adalah salah satu tanda bahwa anak-anak mulai mengembangkan kemampuan memahami sistem bahasa.

Riddles are dependent on phonological, morphological, lexical, or syntactic ambiguity. (Holger Hary, 2006)*

Jadi, sepertinya sederhana dan mengganggu, tetapi kesenangan anak-anak bermain kata menurut saya menakjubkan. Bayangkan saja, kita tertawa padahal di kepala mereka sedang berjalan satu proses yang kompleks dan mencengangkan.

Monday, November 20, 2006

Sekretaris Pribadi

Ada gadis kecil di kelas saya yang punya ketelitian dan perhatian pada detil yang luar biasa. Bintang namanya. Sekali waktu ibunya pernah bercerita bahwa Bintang sangat suka pada buku bon dan kwitansi yang ada di toko buku. Ia senang mengisi bermacam-macam tabel. Jika saya bertanya, apa rencananya akhir pekan ini atau liburan nanti, ia akan menjawab bahwa ia perlu melihat jadwal ayahnya di komputer sang ayah. Ia juga fasih membaca koordinat peta (tentu yang sederhana ya, tidak pakai lintang bujur utara selatan) karena sering dimintai tolong melihat peta Jakarta buatan Gunther. Saya rasa ada satu sistem pemrosesan dan penyimpanan data yang sangat efisien di kepalanya.

Kemarin saya sedang memeriksa kamus-kamus anak-anak (mereka punya buku untuk mencatat kata-kata baru berikut artinya). Anak-anak juga sedang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, tapi kami tetap mengobrol. Bintang seringkali menimpali -- bahkan mendikte saya:

Bintang : Huruf L bu, cuma satu, LUGU (ia menyebutkan kata di barisan huruf L).
Saya : (memperhatikan bahwa dia tidak memegang kamusnya). Kamu hafal ya?
Bintang : Iya. Itu kan yang bawa Bu Tari.

Lantas ia menyebutkan siapa membawa kata apa. Ia hafal semua entry dalam kamus kelas kami selama satu bulan ini. Ia juga memberitahu kalau saya melewatkan giliran si A dan si B yang lupa membawa kata baru. Kadang-kadang ia membantu saya menulis nama-nama anak yang masih perlu melanjutkan tugas-tugas yang belum selesai di salah satu papan kelas. Jujur, saya saja sering lupa saking banyaknya hal-hal yang mesti saya daftar (atau karena sudah tambah tua?)

Hehehe. Rasanya seperti punya sekretaris pribadi.

Sunday, November 19, 2006

Bergerak di Mall

Kemarin anak-anak sedang me-review materi tentang habitat. Mereka tahu bahwa setiap habitat harus memiliki air, makanan, tempat berlindung, dan ruang gerak bagi penghuninya. Saya minta anak-anak menciptakan sebuah habitat baru, dan memasukkan aspek-aspek penting itu dalam habitatnya.

Anak-anak cukup kreatif membuat sungai soda sebagai sumber air, dan pohon berdaun mie berbuah bakso. Hanya saja, saya miris melihat beberapa dari mereka menggambar dan menulis mall sebagai ruang gerak dalam habitatnya.

Mungkin, di dalam tujuh tahun usia mereka, hanya pengalaman bergerak, berlari, dan jungkir balik di mall yang mereka ingat dan rasakan wajar.

Friday, November 17, 2006

Kedamaian dan Keluarga

Ini adalah sepotong cerita dari kelas 3. Bu Andin yang bercerita pada saya di salah satu pertemuan senang-senang kami.

Kelas 3 sedang membahas tema kedamaian. Bu Andin bertanya pada murid-muridnya, menurut kamu apa gunanya kedamaian?

Riri menjawab, kedamaian itu akan membentuk keluarga, bu.

Bu Andin meminta Riri menjelaskan jawabannya.

Iya, bu, kalau damai tandanya semua orang saling berteman. Kalau orang berteman akrab, bisa juga jadi pacaran. Kalau orang pacaran nanti bisa menikah. Nah, orang menikah kan membentuk keluarga.


Bu Andin langsung menyebarluaskan pesan perdamaian ini.
Saya bantu ya, Bu...

Thursday, November 16, 2006

Children Are Not Cute

Untuk saya anak-anak selalu mempesona.

Tetapi sejak saya mulai mengajar, saya menghentikan anggapan bahwa anak-anak itu lucu dan menggemaskan. Saya tahu, jika saya menganggap mereka lucu dan menggemaskan saya hanya akan membuat mereka sebagai hiasan. Saya akan mendandani dan melatih mereka agar tampak menarik saja. Saya tidak akan menggiring mereka jadi manusia.

Saya memulai rencana belajar saya dengan bertanya pada saya sendiri, bagaimana saya bisa membantu mereka mempelajari sesuatu dengan cara yang menyenangkan?
Saya tidak memulai rencana belajar saya dengan bertanya pada diri saya sendiri, apa yang bisa saya lakukan agar mereka senang dan tidak menggangu saya?

Saya berusaha keras tidak menjadikan mereka hiburan bagi saya, meski seringkali mereka menghibur saya yang sedang merasa kacau balau. Saya tidak melakukan sesuatu hanya agar mereka mengganduli dan memeluk saya. Saya bekerja untuk mereka, bukan saya yang mempekerjakan mereka agar memuja saya.

Untuk saya anak-anak selalu mempesona.

Saya selalu memikirkan mereka, dan saya selalu ingin bercerita tentang mereka pada orang-orang dekat saya bukan karena mereka lucu dan menggemaskan; tetapi karena mereka hebat dan mengajari saya banyak hal.

Wednesday, November 15, 2006

Berhenti Merajuk

Saya paling tidak sabar kalau mendengar lagu suara anak-anak yang naik turun saat melaporkan keisengan temannya.

Buuuuuuuuu ( uu naik turun) si ini menganggukuuuuuuuu (uu naik turun)!

Saya tak pernah bosan menyuruh mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri kalau memang hanya sebatas ganggu mengganggu dan jahil menjahili begitu. Sampai kemudian saya sadar, bahwa saya tidak ingin membuat mereka segan melaporkan sesuatu yang tak beres pada saya, mengingat anak-anak sedang belajar tentang ruang pribadi mereka. Suatu kali saya ajak mereka bicara tentang itu. Bahwa semua orang di lingkungan sekolah ini, apapun perannya, harus saling menghargai satu sama lain. Kamu berhak mengatakan bahwa kamu tidak suka atau tidak nyaman diperlakukan begini atau begitu, bahkan oleh orang dewasa. Kamu harus memberitahu orangtuamu, atau Bu Tia kalau di sekolah. Kami sempat berlatih bedanya mengadu dengan membicarakan hal-hal yang memang patut dilaporkan pada orang yang lebih dewasa.

Hal ini lewat begitu saja. Saya tak berpikir bahwa kata-kata semacam itu bisa lekat di pikiran mereka.

Tetapi, lama kelamaan uuu panjang itu menghilang. Kemana gerangan?

Suatu kali, pintu kelas terbuka keras. Zaky masuk berlari-lari. Lalu Bintang dan May mengikuti di belakangnya. Bintang yang biasanya cepat naik darah (dan menangis kalau disakiti teman) berseru dengan suara keras, "Zaky, berhenti menjambak aku. Dijambak itu sakit! Aku tidak mau dijambak lagi. Lain kali jangan menjambak, ya!"

Tinggal saya terbengong-bengong melihat Zaky mengangguk sambil diam, dan Bintang balik badan lalu keluar kelas tanpa terlihat marah.

Di lain kesempatan saat berkumpul di karpet, Medina minta tunjuk tangan. "Bu, aku mau cerita. Tadi waktu main si anu memeluk-meluk aku. Aku tidak suka dibegitukan, Bu."

Saya tanya, kamu sudah bilang sama dia?

Medina mengulang kalimat ketidaksukaannya pada teman yang dimaksud. Saya menambahkan bahwa semua orang tidak suka disentuh-sentuh sembarangan. Seringkali kita hanya mau dipeluk, disentuh oleh orang-orang dekat saja seperti ayah, ibu, kakak atau adikmu. Saya tahu maksudmu baik, tapi sepertinya kita harus lebih pandai menahan diri, keep your hand to yourself.

Ada beberapa hal yang saya harap akan terus berlanjut pada anak-anak ini. Salah satunya, mereka tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya secara asertif pada orang lain. Lalu mereka juga tahu bahwa mereka berhak meminta bantuan orang lain jika perlu. Yang lebih penting lagi, anak-anak mulai mengembangkan batas-batas tentang ruang pribadinya. Jadi saat besar nanti, mereka juga tak mudah melanggar ruang pribadi orang lain.

Friday, November 03, 2006

Inspirasi

Seseorang pernah bertanya pada saya. Ada tidak sih, guru-guru saya di masa lalu yang membuat saya ingin menjadi guru dan kemudian menjadi (guru) yang seperti ini.

Saya bilang ada. Guru-guru saya di masa SMU (dulu namanya masih SMU).

Seseorang ini heran, karena ia tahu saya tidak menyukai masa sekolah saya di SMU.

Saya bilang, ya, merekalah inspirasi saya.
Saya jadi tahu apa yang tidak boleh saya lakukan kalau saya menjadi guru.
Jadi, saya tinggal melakukan hal-hal yang berkebalikan dari apa yang biasa dilakukan mereka.

Saturday, October 28, 2006

Mengenalkan Puisi

Saya sedang senang-senangnya mendengarkan musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Saya dengarkan berulang-ulang dan saya kagumi berulang-ulang. Apa sebenarnya isi kepala Bapak Sapardi itu sampai bisa menulis puisi seperti itu? Apa yang terjadi pada kehidupannya dan apa yang dilihatnya dari dunia hingga bisa menulis seperti itu?

Pertanyaan lain yang sudah lama mengganggu saya pun muncul, bagaimana cara memperkenalkan puisi pada anak-anak?

Pada satu titik, kita, saya, mungkin anda, menikmati puisi karena indahnya atau karena isinya mengena. Seorang teman saya mengingatkan bahwa puisi bukan hanya tentang keindahan tetapi juga tentang manusia. Ia benar. Setidaknya bagi saya, di dalam puisi dan berbagai turunan bentuknya, ada ruang untuk berpikir lebih jauh tentang saya sebagai manusia, as a part of human race.

Bagaimana saya bisa ajarkan bahwa puisi adalah tentang manusia dan kemanusiaan pada anak-anak berusia tujuh tahun?

Setiap kali saya mencoba membawa dan mengintegrasikan kegiatan membaca, menikmati atau bahkan mencoba menulis puisi, saya sering mendapati wajah-wajah bingung dan putus asa. Ya, ya, saya mengerti. Mereka baru saja berhasil melewati fase “saya sudah bisa membaca”. Maka mungkin memang terlalu ambisius kalau saya berharap mereka langsung bisa membedakan bentuk prosa dan puisi (lantas menulisnya pula). Sedang saya sendiri selalu cemas saat harus menjelaskan perbedaaannya, dan menjelaskan bahwa puisi nyaris tanpa aturan baku.

Sekarang mereka sedang mengeksplorasi apa saja yang bisa mereka lakukan dengan ketrampilan baru mereka itu. Maka saya merasa punya tugas untuk menunjukkan berbagai bentuk material tertulis yang bisa dibaca. Juga mengenalkan berbagai perlengkapan tambahan untuk bisa mengekspresikan diri dalam bentuk tertulis; seperti kosakata yang lebih luas, juga kesadaran tentang segala sesuatu di dalam diri mereka dan lingkungan sekitarnya.

Saya ingat, ketika kecil, kira-kira umur 8 – 10 tahun, saya senang menulis (sesuatu yang saya sebut) puisi. Saya menyukai kalimat bersajak yang saya buat. Saya tertantang untuk menceritakan segala sesuatu di sekitar saya termasuk yang remeh temeh. Untuk bisa membuat banyak “puisi” saya pun harus lebih banyak memperhatikan sekitar saya.

Barangkali, hal-hal sesederhana pengalaman kecil itu bisa menjadi sebuah jembatan besar untuk tertarik, menikmati, dan memaknai puisi sebagai bagian dari manusia dan kemanusiaan.


Nah, mendengarkan Sapardi dan terusik oleh kutipan dari teman saya, membuat saya jadi berpikir tentang hal-hal kecil yang bisa saya lakukan di kelas untuk mengajak anak-anak mulai mengapresiasi berbagai bentuk tulisan.

Thursday, October 19, 2006

Mengapa Saya Membaca

Jika kita mengintip segmen membaca dalam kurikulum nasional, yang terlihat adalah penekanan pada bagaimana cara membaca. Membaca dengan lantang, membaca dengan intonasi yang benar, membaca untuk mencari inti permasalahan, dan seterusnya. Sangat teknis.

Pertanyaan mengapa saya perlu membaca hampir tidak pernah dibahas. Membaca (dalam kurikulum itu) selalu terisolasi dalam bentuk bacaan, puisi, dongeng, dalam unit-unit buku pelajaran. Tidak ada kegiatan tentang membaca label, membaca rambu dan petunjuk, membaca novel yang bagus, membaca manual, membaca koran, membaca tabel, membaca daftar, membaca untuk mencari tahu, dan membaca untuk kesenangan.

Siang tadi, saya dan anak-anak membaca buku tentang olahragawan. Kami mengobrol tentang bagaimana caranya menjadi olahragawan yang hebat. Anak-anak setuju bahwa untuk menjadi olahragawan yang hebat harus berlatih dengan sungguh-sungguh, mengatur makan, dan istirahat yang cukup. Jawaban menarik muncul dari mulut Putri. Ia berpendapat bahwa untuk menjadi olahragawan yang baik, kita harus banyak membaca dan mencari tahu tentang olahraga itu. Belajar taktik dan strategi agar bisa menang.

Saya minta anak-anak berangan menjadi seorang olahragawan hebat. Cabang olahraganya boleh pilih sendiri. Ketika anak-anak membuat peta rencana menjadi olahragawan yang hebat, saya berkeliling mengintip pekerjaan mereka. Mereka menulis rencana latihan mereka(saya akan latihan tiga jam sehari dengan pelatih paling hebat), cara mengatur makan (saya akan makan sayur, minum vitamin, minum susu, mengurangi permen dan gorengan), dan istirahat (saya tidak akan tidur terlalu malam agar bisa bangun pagi dan latihan lagi). Banyak yang menulis tentang bagaimana belajar menjadi olahragawan yang hebat dengan

- mempelajari sejarah figure skating
- banyak membaca tentang catur.
- mempelajari cara kerja mobil balap.
- membaca buku tentang sepakbola.
- menonton rekaman figure skating dan mempelajari gerakannya.

Kalimat-kalimat ini membuat saya bisa melihat bahwa di kepala anak-anak ini, membaca adalah salah satu alat untuk mencari tahu tentang hal-hal yang mereka minati. Dalam lingkup sederhana (walaupun kalimat belajar sejarah tidak sederhana) tampaknya mereka sudah memiliki gagasan bahwa membaca adalah alat untuk belajar.

Kalau sudah sampai di sini, saya tidak akan heran kalau mereka banyak membaca. Bukan hanya karena mereka berminat, atau membaca itu menyenangkan, tapi lebih karena mereka membutuhkannya untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka.

Monday, October 16, 2006

Hutan Hujan

Seorang ibu menulis pesan pendek dalam agenda. Anaknya sangat menikmati tugas-mirip-riset tentang habitat. Ia membaca buku dan menggunakan internet sendiri untuk mencari informasi yang ia butuhkan tentang orangutan di hutan tropis.

Saya senang mendengarnya. Senang mendengar bahwa ia punya cukup ketertarikan untuk mendorongnya mencari tahu. Senang pula mendengarnya berbagi dengan nada prihatin, bahwa setengah dari hutan hujan sudah habis ditebang. Bahwa makin sedikitnya pohon berarti makin sedikitnya makanan dan tempat tinggal untuk orang utan, dan orangutan terancam punah.

Senyum saya makin lebar ketika teman-temannya menanggapi tentang kebakaran hutan lalu ada yang polos bertanya, "Ibu, katanya hutan-hutan dibakar karena banyak orang miskin. Aku nggak ngerti apa hubungannya orang miskin dengan hutan yang dibakar."

Di saat-saat seperti itu kadang saya ingin punya kekuatan super yang bisa menghentikan waktu; sehingga kami bisa menjelajah semua jawaban sesuai keinginan kami tanpa khawatir pada jarum jam, waktu musik, waktu makan, waktu main, waktu pulang, dan waktu-waktu lain.

Heran ya, saya cepat berubah dari tidak ingin ada di kelas dan ingin ada di kelas seterusnya.

Friday, October 13, 2006

Di Kandang

Hari ini kami membaca cerita tentang seseorang yang suka suara ribut. Waktu ia pindah dari kota besar ke desa kecil, tidak bisa tidur, karena kurang ribut. Jadi dibelinya banyak hewan, diundangnya banyak orang, supaya cukup riuh untuknya tidur.

Cerita ini sangat deskriptif. Saya meminta anak-anak menggambar selengkap mungkin, deskripsi yang mereka baca dalam cerita itu.

Empat puluh lima menit berlalu, anak-anak mulai datang silih berganti menunjukkan hasil kerjanya. Tara menunjukkan sebuah gambar nyaris tak berpenghuni, kecuali seekor hewan (saya lupa apa tepatnya).

Saya : Sepertinya di cerita ini banyak hewan-hewannya?
Tara : Iya.
Saya : Kok tidak kelihatan di gambarmu?
Tara : Mereka ada di sini (menunjuk sebuah rumah kecil di kanan kiri sebuah rumah kayu, dan sebuah rumah besar tak jauh dari situ). Ini kandang kucing, ini kandang anjing, ini kandang hewan-hewan lain.
Saya : (manggut-manggut berusaha mengerti)

Thursday, October 12, 2006

Ketemu!

Akhirnya sekarang saya tahu kapan saya sangat tidak ingin ada di kelas seharian bersama anak-anak.

Yaitu saat sedang sakit gigi.

Friday, October 06, 2006

Menghafal

Kali ini cerita saya bukan sesuatu yang indah dan menakjubkan.

Salah satu hal yang paling ditunggu-tunggu oleh kebanyakan murid kelas 2 saya adalah belajar perkalian.* Perkalian jaman dahulu kala, memang diajarkan dengan menghafalkan. Karena kita pun selalu punya kesempatan untuk maju mundur ke jaman dahulu kala dan sekarang, saya tak heran kalau anak-anak ada juga yang tahu perkalian dengan menghafalkan.

Masalah besar muncul ketika ada yang berpikir, this multiplication is a piece of cake because i've memorized it, lalu datanglah soal-soal tentang konsep perkalian, bukan fakta perkalian.

Saya diam saja ketika suara-suara piece-of-cake bermunculan.Setelah setengah jam bermain dadu membuat lingkaran penuh bintang-bintang, ternyata banyak yang kebingungan ketika tidak menemukan deretan soal fakta perkalian di lembar kerjanya, melainkan soal-soal yang membentuk konsep dasar perkalian.

Ketika suara-suara piece-of cake menghilang, barulah saya bicara pada mereka.


Tak ada yang bisa dibanggakan kalau hanya hafal dan tidak mengerti.
Setelah mengerti sehingga hafal, itu hebat.

Bisa jadi banyak yang tak sependapat dengan saya. Kadang-kadang menghafal perlu juga, seperti mengingat kata kerja tidak teratur, kosakata dalam bahasa yang baru dipelajari, dan beberapa contoh lain. Tetapi menghafal dalam matematika hanya akan berujung pada malapetaka. Setidaknya pada soal cerita yang mereka temui.


Mengingat fakta, apalagi banyak fakta sekaligus, memang bisa mempesona orang lain. Tetapi buat saya, begitu banyak fakta tanpa bisa menjalin hubungan antara satu dan lain, menggunakannya untuk memecahkan masalah, atau mengaplikasikannya, tak ada bedanya dengan menjadi kamus berjalan.


Saya tidak mau menjadi guru dari kamus berjalan. Sebab untuk jadi guru kamus berjalan terlalu mudah. Saya tidak perlu mengurangi jam tidur menyelesaikan silabus, saya tinggal membawa rotan seperti jaman es batu.

Alexander The Great berpendapat mulut saya terlalu pedas tentang ini. Ah, saya cuma agak sedih karena saya sedang berusaha menanamkan bahwa belajar adalah eksplorasi. Saya selalu berusaha memuji jawaban-jawaban kritis yang dimunculkan anak-anak saat mereka berusaha menghubungkan fakta satu dan lainnya. Saya tidak membiasakan diri memuji hasil hafalan (rote learning). Percuma, nanti juga lupa.

Ayo nak, jangan kurung pikiranmu dengan menghafal.

Ayo kita jalan-jalan dan gunakan segala yang kita punya untuk memaknai segala yang kita lihat, dengar dan rasakan.


*Sepertinya saya sudah menulis tentang perkalian tahun lalu.


Friday, September 22, 2006

Sibuk Ngomong

Ternyata kelas saya yang ini luar biasa senang bicara dan bertanya.

Sudah dua hari ini susah sekali diajak pulang.
Diminta membereskan barang-barangnya, masih bu.. bu.. bu.. mau tanya.
Tadi juga sama saja.
Sudah di depan pintu, tinggal melangkah keluar dan pulang, masih bu.. bu.. bu... mau cerita.

Hei, kita kapan pulangnya, nak?

Wednesday, September 20, 2006

Video Game

Sudah dua hari ini anak-anak berhenti menjalankan Klub Kerja Bakti. Sepanjang minggu kemarin, mereka sedang senang-senangnya menyapu daun-daun kering di areal kelompok bermain. Dengan tekun mereka memunguti daun-daun satu persatu, atau memakai sapu lidi bertangkai panjang yang panjangnya hampir dua kali tinggi mereka. Entah mengapa kegiatan melelahkan ini jadi permainan yang mengasyikkan. Dalam waktu seminggu saja, kegiatan sapu-sapu iseng sudah berubah menjadi klub dengan mandor, anggota tercatat dan sistem evaluasi khusus. Sudah itu bosan.

Nah, dua hari ini anak-anak minta diajak main video game. Jadilah setiap habis istirahat makan siang kami main video game.

Video game versi sekolah kami tidak butuh listrik dan tidak butuh layar. Video game kami cuma perlu ruang, makin banyak pesertanya, makin luas tempat yang dibutuhkan. Video game kami juga membutuhkan koordinasi yang baik dari seluruh anggota tubuh, bukan hanya mata dan jempol saja.

Salah satu dari kami akan jadi penentu permainan. Saya suka peran ini karena saya bisa berbuat sesuka hati saya. Sebagai penentu permainan saya akan menentukan tantangan-tantangan apa saja yang muncul di setiap babak.

Anak-anak lain biasanya memilih icon jagoan mereka. Mereka harus menyeberangi si tanah lapang dengan tantangan-tantangan kreasi saya (kalau kebetulan saya penentu permainan). Saya bisa asal-asalan bilang, sekarang kita ada di dunia es, dan karena skormu belum cukup kamu tidak punya sepatu khusus es. Lalu anak-anak akan menyeberangi lapangan sambil berjingkat kedinginan atau pura-pura terpeleset.

Ya! Naik ke level 2. Kita masuk terowongan. Anak-anak akan merangkak-rangkak menyeberangi lapangan.

Terus saja menciptakan tantangan-tantangan baru seperti berjalan dengan barbel di kaki, lewat dunia ranjau, naik ke helikopter, terkena angin ribut, masuk ke danau pasir hisap, lewat bengkel yang lantainya tersiram oli, dan seterusnya, dan seterusnya.

Paling seru kalau harus masuk ke laut yang penuh hiu dan terpaksa kehilangan "nyawa" sampai tiga kali. Babak yang ditunggu anak-anak adalah Babak Bom Bola. Nah, biasanya ini perlu beberapa guru untuk jadi sukarelawan melempar bola-bola ketengah lapangan, anak-anak senang sekali karena harus tiarap berulang-ulang.

Saat mereka sibuk melewati babak demi babak sambil berteriak-teriak histeris, saya bisa melihat banyak hal. Ada anak-anak yang begitu penuh penghayatan dan menunjukkan koordinasi gerak yang sangat baik. Ada juga yang tak peduli apapun yang terjadi ia akan lari menerjang segala sesuatu sampai ke seberang. Geraknya cuma itu, lari.

Begitu bel berbunyi, semua tergeletak di karpet dan mengeluh, "Capek buuu...."

Sama, Bu Tia juga capek teriak-teriak di tengah hari.

Tuesday, September 19, 2006

Tidak Bisa Tidur

Bayangkan kalau otakmu bekerja lebih cepat dari tangan yang disuruh menulis.
Bayangkan kalau semua orang memiliki lensa biasa dan matamu adalah mikroskop elektron yang tentu melihat hal-hal tak terlihat oleh orang lain.
Bayangkan kalau di dalam kepalamu banyak orang-orang kecil yang sibuk bicara dan mempertanyakan segala sesuatu di waktu yang sama.
Bayangkan kamu selalu punya ide bagus yang kamu khawatirkan hilang sehingga kamu perlu mengatakannya, menuliskannya, atau menggambarkannya saat itu juga.
Bayangkan kalau semua hal yang ditangkap oleh seluruh inderamu mendesak-desak ingin dipahami bersamaan.
Bayangkan bahwa setiap saat ada hal baru.


Bayangkan kalau semua itu terjadi bersamaan pada dirimu.
Bayangkan kalau semua orang berteriak menyuruhmu diam.
Berhenti berpikir.
Berhenti ingin bicara.
Berhenti bertanya.
Berhenti ikut berbagi cerita.
Berhenti bergerak.
Berhenti.
Berhenti.

Bayangkan rem seperti apa yang harus kamu gunakan untuk menghentikan seluruh kegiatan dalam tubuhmu itu.

Bayangkan, setelah itu kamu bertanya-tanya mengapa kamu harus berhenti.


Ya, bayangkan saja dulu. Nanti saya akan bercerita lebih lanjut tentang anak berbakat dan ketidakbiasaan mereka.

Saturday, September 16, 2006

Waktu

Ternyata sebelas minggu berlalu sangat cepat.
Dalam sebelas minggu, anak-anak sudah begitu pandai bercerita di depan kelas.
Runtut, jelas, dan meyakinkan.

Kamis lalu adalah hari terakhir pertemuan problem solving untuk kuartal ini. Anak-anak datang dengan gulungan kertas berisi disain sepeda super mereka, kecuali Dhimas dan kawan-kawan. Ia agak marah karena Agung lupa membawa apa yang harus mereka presentasikan.

Saya duduk manis-manis di belakang, sementara anak-anak bergantian menceritakan isi disain sepeda super mereka.

Anak-anak sama sekali tidak malu-malu atau ragu menceritakan kehebatan sepeda mereka yang dilengkapi pelindung otomatis, robot pengayuh pedal, persediaan makanan dan minuman otomatis, berikut toilet dan kamar mandi merangkap tempat tidur. Belum lagi payung yang bisa terbuka otomatis begitu terkena tetesan air. Oh, ada juga yang melengkapi sepedanya dengan sayap dan "tutup" agar bisa menyelam. Terserah kalian lah nak, mungkin lima puluh tahun lalu telepon genggam dengan kamera video dan fasilitas push email juga tak pernah terpikirkan siapapun bahkan sutradara film.*

Lucunya, di tengah khayalan gila itu, anak-anak tetap logis mempertahankan pendapatnya.

Dhiadri : Sepeda ini bisa mengganti ban dengan otomatis. Jadi bannya akan berubah kalau berjalan di air, di batu-batuan, di pasir, atau di lumpur, sesuai keperluan.
Teman-teman: (berbisik-bisik) hihi.. bisa dipakai di tempat lumpur lapindo.

Dhiadri dan Riri terus menjelaskan tentang bagaimana sepeda mereka tetap kecil dan sederhana agar mudah dikayuh, juga dilengkapi dengan fitur penyedia makanan dan minuman otomatis. Mereka juga menjelaskan knalpot kecil yang ada di gambar.

Saras : Ada knalpotnya? Berarti pakai bahan bakar dong. Kita pakai sepeda, kan, untuk mengurangi polusi?
Dhiadri : Jangan kuatir, knalpot ini canggih sekali. Dia hanya mengeluarkan sediiiiit sekali asap enam hari sekali!
Riri : Sepedanya tidak pakai bahan bakar. Ini knalpot dari kompor tempat menyediakan makanan.
Yang lain : OOOOOOOOH... bilang dong.

Kelompok Adinda memilih untuk mendisain sepeda dengan mesin waktu dan mesin kebutuhan. Mesin waktu memungkinkan sepeda dikayuh ke masa depan atau masa lalu **, sementara mesin kebutuhan akan memberikan apa saja yang kita butuhkan.

Mini : Aku mau tanya! Mesin kebutuhan mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan dari mana?
Adinda : (kelihatan bingung) ya dari mesinnya....
Saya : Bu Tia tahu! Mungkin dari mesin waktu? Bisa mengambil barang di masa lalu atau masa depan?
Adinda : Iya betul!
Mini : Minta ijin dulu tidak, mengambil barangnya? Kita tidak bisa mengambil begitu saja, lho.

Di penghujung waktu, ketika semua sudah selesai presentasi, Dhimas berkomentar.

Dhimas : Dari semua gambar sepeda, tidak ada yang aerodinamis.
Yang lain : Apa tuh, aerodinamis?
Dhimas : ... Aku juga tidak tahu. (Barangkali maksudnya tidak bisa menjelaskan)
Yang lain : Duuuh....


Seharusnya saya rekam percakapan kami 40 menit itu, ya. Lalu saya buat verbatimnya.
Mengingat-ingat sepotong saja saya bisa tertawa sendiri sambil menyetir.

Lebih dari itu, saat mendengarkan mereka dari bagian belakang kelas, saya bisa tahu apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka mengaplikasikan apa yang mereka tahu.
Saya tak perlu menyuruh mereka diam mendengarkan saya.
Saya tak perlu membuat tes tertulis dan menuduh mereka tak tahu apa-apa karena tidak mendengarkan saya.




* Boleh saja saya dikoreksi. Lima puluh tahun lalu sudah ada belum sih, film tentang "masa depan" ?

** Adinda sudah membaca buku Momo (Michael Ende) dua kali setahu saya. Buku itu bercerita tentang keberadaan waktu. Teka-teki favoritnya datang dari buku ini. Saya salinkan:

Di suatu rumah tinggal tiga bersaudara, namun wajah mereka tiada serupa.
Ketika mau membedakan mereka bertiga, maka yang satu menjadi mirip yang dua.
Si sulung sedang tidak ada, dia baru mau pulang ke rumah.
Si tengah sedang tidak ada, rupanya dia pergi sudah.
Di rumah hanya ada si bungsu, sebab takkan ada yang dua tanpa dia.
Tetapi si bungsu yang dimaksud oleh kita, ada hanya karena si sulung jadi si nomor dua.
Dan setiap kali kita memandangnya, yang tampak selalu salah satu kakak.
Sekarang katakanlah: Apakah yang tiga itu hanya satu? Atau hanya dua? Atau sama sekali tidak ada? Jika kau sanggup menyebut nama mereka, kau akan mengenali tiga raja yangsangat berkuasa. Kerajaan besar yang mereka perintah bersama, sekaligus merupakan jati diri mereka.

Jawabannya klik di comments. Sekedar supaya anda penasaran saja.

Bagaimana bisa begitu? Baca saja bukunya.






Thursday, September 14, 2006

Fosil

Rai bercerita pada saya ular peliharaannya mati karena kepanasan. Saya takut ular, tapi tetap saja saya kaget mendengar itu. Saya tahu Rai bangga pada ular peliharaannya itu.

"Kemarin ularnya dikubur. Sekarang aku sedang menunggu kapan ularnya jadi fosil."

...

Wednesday, September 13, 2006

Cepat, Selesaikan

Karena anak-anak sedang belajar mengungkapkan apa yang ia rasakan secara verbal, kadang-kadang menangis masih jadi bagian dari proses belajar itu.

Begitu pula hari ini, ketika anak-anak sibuk membuat teka-teki tentang hewan. Mereka asyik sekali. Sebentar saja saya sudah dihujani teka-teki, karena setiap anak membuat tiga teka-teki. Ternyata seseorang tertinggal di belakang. Ia cemas dan menangis.

Ia terus menangis saat teman-temannya mulai membuka bekal makan siang mereka. Merasa tak ada yang bisa kami lakukan, kami semua diam saja. Anak-anak makan. Saya membereskan teka-teki mereka.

Putri memandangi si teman sambil menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri. Tak tahan rupanya Putri ini.

"Kamu nangisnya cepetan. Nanti nggak sempet makan lho. "

Tuesday, September 12, 2006

Anak-anak Menulis

Alexander The Great punya sepupu kecil yang berbakat menulis. Ia pernah mengirimi saya kumpulan tulisan si sepupu kecil untuk dibaca. Saya hanya mampu geleng-geleng kepala sambil bertanya, "Makannya buku apa ya?"

Selain senang menulis, Sepupu Kecil pasti senang membaca. Itu tak perlu ditanya. Yang juga saya kagumi, ia tidak takut meminta umpan balik. Tidak tanggung-tanggung, ia bisa menelepon Philip II, ayah Alexander The Great, untuk minta diperiksa isi tulisannya. Mengingat sepak terjang Philip II di surat kabar-surat kabar terkemuka negeri ini, Sepupu Kecil cukup pemberani. Saya tidak sepemberani Sepupu Kecil.

Ketika saya mendengar Sepupu Kecil minta tulisannya dibaca dan dikomentari beliau, saya nyengir. Apa kira-kira yang akan dikatakan Philip II sebagai masukan? Tulis menulis adalah dunia beliau. Sepupu Kecil umurnya belum genap 8 tahun kalau saya tidak salah. Apa yang akan dijadikan masukan agar Sepupu Kecil bisa memperbaiki tulisannya tanpa membuatnya takut salah dan berhenti menulis?


Kebetulan murid-murid di kelas saya kurang lebih sebaya dengan Sepupu Kecil. Jadi, saya cukup tahu seberapa jauh kemampuan dasar menulis anak-anak seusia ini. Umumnya mereka masuk kelas 2 dengan perasaan menulis itu membuat tanganku pegal. Mereka bisa berhenti menulis sewaktu-waktu dengan alasan tak terbantahkan, Aku Sudah Capek. Saya benar-benar harus menjadi cheerleader untuk menyemangati anak-anak agar mau menembus batas lima kalimat saat sedang menulis.

Sepanjang paruh tahun anak-anak masih akan berusaha menulis dengan ejaan yang benar, tidak menghilangkan huruf dalam kata, menggunakan huruf besar di awal kalimat, dan menggunakan titik di akhir kalimat.

Sebagai guru mereka saya seringkali perlu tarik ulur antara membiarkan mereka mengalirkan tulisan, sekaligus membiasakan mereka menulis dengan kaidah-kaidah kata dan kalimat sederhana seperti tanda titik dan huruf besar tadi.

Menulis yang mengalir itu penting. Ketika terlalu banyak harus dan jangan yang ditemui, aliran itu bisa mampet. Mereka berhenti menulis, maka mereka akan berhenti belajar.

Sementara itu menyunting tulisan adalah salah satu bagian dari belajar menulis. Ya, tidak?

Maka tips and tricknya adalah, menyunting tulisan dilakukan satu persatu.

Contohnya, anak-anak yang masih banyak salah mengeja hanya saya minta untuk membaca ulang tulisannya dan memperbaiki ejaan yang salah. Anak-anak yang sudah cukup lancar menulis tanpa salah mengeja, akan menyunting penggunaan huruf besar di awal kalimat dan tanda titik di akhir kalimat.

Anak-anak yang sudah tak perlu diingatkan menulis huruf besar dan titik yang paling dasar, bisa mulai menggunakan huruf besar di tempat-tempat lain, dan menambah tanda baca-tanda baca lain. Biasanya kesiapan ini akan terlihat dari tanda-tanda suka bertanya.
" Bu menulis INI pakai huruf besar tidak? "
" Bu menulis ITU pakai huruf besar tidak?"

Untuk mereka yang lebih percaya diri dan lebih lancar menulis, tidak terlalu banyak lupa dengan aturan-aturan di atas baru saya ajak untuk memperbaiki pilihan kata, susunan kalimat, atau susunan ide dalam satu tulisan. Saya suka mengambil contoh dari kalimat-kalimat yang dibuat anak-anak sendiri. Saya tunjukkan pada teman-teman mereka sambil memberitahu apa yang saya maksud bagus.

Sampai tahun ke tiga ini memang belum ada Abdurahman Faiz atau Sepupu Kecil di kelas saya. Saya juga heran pada mereka. Bagaimana caranya bisa menulis seperti mereka?

Sementara ketika tahun lalu anak-anak bisa bercerita cukup lugas dan runtut sebanyak satu halaman folio saja saya sudah senang. Setidaknya mereka tidak takut dan ragu kalau diminta menulis.

Bagaimanapun, menulis adalah masalah latihan.



Saturday, September 09, 2006

Senang Lagi (2)

Anak-anak sedang pura-pura jadi keluarga dan pura-pura mengisi kartu keluarga. Menantang sekali bukan, serombongan anak umur 7 tahun harus melengkapi 18 kolom dengan data khayalan?

Tantangan pertama adalah menentukan siapa kepala keluarga. Siapa yang boleh jadi kepala keluarga? Saya bilang, tak mesti harus ayah, ibu pun boleh saja.

Tantangan kedua. Ada kelompok-kelompok yang mulai bertengkar berebut jadi ayah dan bertengkar tak mau jadi istrinya ayah. Saya menengahi, coba kamu ingat berbagai bentuk keluarga yang sudah kita bahas. Keluarga tidak selalu sebangun dengan ayah ibu dan dua anak. Satu keluarga memilih jadi ayah dan tiga anak saja. Kalau ditanya ibu kemana, kata mereka pura-puranya sudah meninggal.

Tantangan ketiga. Menentukan umur dan menghitung tanggal lahir. Saya minta setiap anak menentukan sendiri umur dari perannnya. Kalau kamu jadi ibu, berapa umurmu? Kalau kamu jadi anak, berapa umurmu? Anak-anak bereksperimen dengan berbagai kelompok usia. Lumayan juga, mereka ternyata bisa memperkirakan usia dan peran dengan baik.

Menghitung tahun kelahiran berdasarkan umur, itu lebih repot lagi. Anak-anak kelas ini bukan penggemar matematika. Mereka pun baru belajar operasi bilangan sampai 1000. Saya juga tahu kalau mereka cukup tegang saat belajar tentang pengurangan dengan teknik menyimpan. Lucunya, setelah saya beritahu cara menghitung dengan mengurangkan tahun ini dengan usia yang dimaksud, mereka cukup anteng berhitung. Hasilnya pun betul semua!

Tara membuat saya terkesan ketika belakangan ia cukup teliti merunut tahun kelahiran dengan keterangan tentang tahun kepindahan. "Bu, Fia kan disini ceritanya lahir Juni 2003, sedangkan ceritanya kita pindah ke alamat yang ini Maret 2003, berarti di barisnya Fia tidak usah ditulis dong (bahwa dia pindah alamat). Kan dia belum lahir."

Anak-anak terus bertanya tentang ini itu, tentang golongan darah, tentang camat, tentang cap jempol. Sargie bertanya, "Bu, kenapa kalau cap jari harus pakai jari tangan kiri? Kita kan lebih sering pakai tangan kanan? "

Nah, untuk yang ini, tidak terpikir oleh Bu Tia apa jawabannya.

Kolom pekerjaan juga cukup seru. Anak-anak mau menentukan sendiri pekerjaan mereka apa. Saya ikut-ikutan brainstorming dan menyebutkan berbagai profesi. Ketika pada Bintang saya bertanya, apakah ia mau jadi wartawan, Bintang langsung terkikik-kikik.

"Enggak ah Bu, aku nggak mau jadi wartawan. Habis kerjanya ngomongin orang."

Teman-teman wartawan, jangan marah pada Bintang. Mungkin itu karena ia senang nonton tv dan tv kita penuh sesak oleh infotainment. Marahlah pada pemodal infotainment.

Senang Lagi (1)

Sejak kuartal baru mulai, saya agak kesepian. Saya jarang mendengar pertanyaan-pertanyaan yang mengejutkan dari kelas saya. Ada sih beberapa, tapi saat saya ingin menulis, susah mengingat-ingatnya.

Jumat kemarin saya senang sekali. Akhirnya! Akhirnya saya mendengar lagi pertanyaan-pertanyaan spontan penuh rasa ingin tahu dari anak-anak kelas ini.

Kami sedang membahas tentang dokumen-dokumen penting seperti akte kelahiran, ijazah, kartu keluarga, dan lain sebagainya. Sepertinya bahan ini membosankan, tapi ternyata sama sekali tidak. Diskusi merembet ke KTP, SIM, Paspor, lalu tiba-tiba Medina bercerita bahwa ibunya baru pulang dari Beijing dan sebelum berangkat perlu mengurus visa. Visa itu untuk apa?

Saya bilang bahwa jika ingin pergi ke sebuah negara kita perlu ijin dari negara itu. Ijinnya disebut visa. Biasanya kita mengurus surat ijin ini ke kedutaan negara itu. Misalnya kamu ingin pergi ke Perancis, kamu harus pergi ke kedutaan Perancis. Disana akan ditanya untuk apa pergi ke Perancis, akan tinggal di mana, berapa lama, dan lain-lain. Kalau diijinkan datang kita akan diberi visa yang diletakkan di paspor. Nanti, di tempat tujuan paspornya akan diperiksa.

Kedutaan itu di mana?

Wah, pertanyaan menarik karena kemarin-kemarin anak-anak sempat membahas bendera sebagai lambang negara. Jadilah anak-anak asyik bercerita kalau pergi ke Jalan Kuningan banyak gedung yang benderanya berbeda-beda.

Lalu kalau gedung yang benderanya banyak itu kedutaan apa, Bu?

Ibu, kalau ke Singapura juga perlu mengurus visa?

Kesempatan! Kami melihat peta dan melihat negara-negara di Asia Tenggara. Anak-anak jadi tahu bahwa kalau kita ingin berkunjung ke negara-negara ASEAN tidak perlu visa. Malaysia dan Singapura termasuk ASEAN. Kita tak perlu visa untuk pergi ke sana.

Bintang menyahut, buat apa ada kedutaan Malaysia kalau tidak perlu visa ke Malaysia?

Gara-gara kedutaan, somehow beberapa anak juga mempertanyakan apa itu catatan sipil. Tahu bahwa catatan sipil mengurus masalah-masalah pencatatan kependudukan seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, ada saja yang menanggapi

Bu, kalau orang sudah mati kenapa harus dibuat suratnya? Kan tidak bisa dibawa?

Aduh, anak-anak ini. Sekali mesinnya sudah panas, pertanyaannya tak berhenti. Saya ingin menjawab terus, tapi waktu di kelas begitu cepat berlari menuju waktu pulang.

Thursday, September 07, 2006

Hasil Karya

Tahun lalu, di kelas problem solving, anak-anak senang sekali saat saya meminta mereka merancang sebuah bak mandi. Mereka begitu bersemangat sampai-sampai membuat bak mandi tingkat tiga lengkap dengan perlengkapan dapur. Bangganya juga bukan main, sampai guru kelasnya pun diberitahu.

Jujur saya agak heran juga bagaimana mereka bisa tertarik sekali dengan ide merancang bak mandi. Mungkin kalau tia kecil disuruh merancang bak mandi yang aneh, bisa menangis karena bingung.

Tahun ini saya ingin mengulang lagi ide rancang merancang itu. Lebih seru tampaknya karena ada 15 anak yang ikut serta. Tahun ini saya minta mereka membuat sepeda super. Permintaan yang disambut sorak sorai sampai Bu Tari yang masih mengerjakan sesuatu di kelas tertawa.

Anak-anak sungguh serius membuat rancangan sepeda super itu. Saya biarkan mereka asyik sendiri selama satu jam, saya cuma berkeliling melihat-lihat. Dhimas dan teman-teman membuat sepeda berkanopi dan mesin turbo. Ibu-ibu kelas 4 memikirkan tempat untuk kantong-kantong belanja. Riri dan teman-teman membuat sepeda dengan juicer di bagian belakang. Mereka menjelaskan pada saya bahwa cara kerja juicer membuat jus dan mengalirkannya ke gelas di bagian depan sepeda sama dengan cara tumbuhan mendistribusikan air, yaitu dari akar sampai ke daun.

Saya bisa melihat mereka bangga menjadi perancang. Kalau tidak sibuk berbagi dengan kelompok lain, mereka mati-matian menyembunyikan rancangannya dari mata teman kelompok lain agar tidak ditiru. Usai kelas, Bu Andin pun bercerita kalau Dhiadri sempat memamerkan karyanya.

Bagus, tidak bangga sekedar ikut-ikut.

Seandainya saja saya seperti mereka. Menikmati ide-idenya dan tidak takut disalahpahami.

Hari ini beberapa orang tua anak-anak yang jadi subjek tulisan-tulisan saya menemukan blog ini. Adinda pun (Hai Adinda Laksmi!) konon sudah ikut membaca. Jujur saja saya cukup panik, meski heran kenapa harus panik. Ini adalah dunia maya yang tidak berbatas. Tak mungkin saya ngumpet terus-terusan. Bisa jadi karena tidak seperti anak-anak, saya tidak terbiasa berbagi ide saya dengan santai pada siapa saja tanpa takut dinilai.




Orangtua yang baik,

Senang bertemu anda di ruang ini. Ruang tempat saya merekam cerita tentang anak-anak yang saya kagumi. Saya memang tidak menulis nama anak-anak sesuai nama panggilan mereka sehari-hari. Yah, mungkin nama samarannya tidak cukup berhasil karena dicomot sembarangan dari nama-nama mereka juga. Setidaknya, saya ingin bilang bahwa saya tidak ingin mengeksploitasi mereka.

Kebetulan saya suka menulis, dan tentu tidak kebetulan kalau hari-hari bersama anak-anak ini selalu menarik untuk diceritakan. Dua-duanya bisa saling membantu, bukan?

Sekedar mengingatkan, tulisan-tulisan di ruang ini adalah tulisan-tulisan spontan. Saya jarang mengunjungi tulisan lama untuk melakukan peyuntingan. Semoga tidak ada yang terlalu sadis.

Selamat Membaca,
Bu Tia

Di Saat Paling Aneh Hari Ini

Teman-teman saya punya beragam anggapan tentang anak-anak. Ada yang menganggap anak-anak itu lucu, menggemaskan, menakjubkan. Sebagian lain beranggapan bahwa makhluk-makhluk kecil ini sangat mengganggu dan merepotkan. Suka lari-lari dan teriak-teriak. Bikin pusing kepala.

Kelompok terakhir hampir selalu mempertanyakan mengapa saya mau-maunya mengurung diri dengan makhluk macam itu sepanjang hari.

Kenapa ya?

Menurut saya seperti apa mereka adalah bagaimana cara kita melihat. Ya, kalau saya misalnya, memandang anak-anak itu lucu dan menggemaskan, lalu mereka sampai tahu, bisa habis saya dimanipulasi oleh wajah polos itu.

Kalau saya melihat mereka sebagai anak kecil tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa, betapa bosan hidup saya melihat segerombolan anak yang tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa di kelas setiap hari.

Begitu pula kalau anak-anak dilihat sebagai sekawanan makhluk liar yang harus dijinakkan. Dengan beberapa kata-kata dan peringatan yang itu dan itu lagi, mereka mungkin jinak didepanmu. Tidak bersuara, tidak berbunyi kecuali dibunyikan, dan membiarkanmu bicara sampai puas. Tapi jangan mengeluh bahwa mereka tidak mengerti, bahwa mereka suka melamun dan tidak perhatian. Bagaimana kita tahu mereka mengerti kalau satu-satunya hal yang boleh mereka lakukan adalah diam, dan membiarkan pikiran mereka melamun entah kemana hanya tuhan yang tahu?

Dari kelas saya tahun lalu, saya belajar bahwa ada kalanya anak-anak mempekerjakan seluruh anggota tubuhnya untuk memahami suatu persoalan. Kadang-kadang mulut mereka memang perlu terus bicara untuk membuat mereka sendiri paham tentang itu. Kadang-kadang mereka memang berdebat sendiri tanpa tahu siapa bicara siapa mendengarkan, tapi justru saat itu mereka belajar sesuatu yang baru.

Ya tentu mereka perlu tahu bagaimana seharusnya mendengarkan orang lain. Susahnya, mereka belajar dari bagaimana kita mendengarkan mereka, bukan belajar dari bagaimana kita menyuruh mereka mendengarkan.

Memang sulit mendengarkan anak-anak. Mereka belum bisa bicara dengan runtut dan efektif. Mereka suka bercerita tentang diri mereka sendiri sebab mereka hanya tahu itu, dunia kecilnya yang seakan seluas planet bumi. Mereka juga suka bicara di waktu-waktu tidak terduga. Misalnya waktu makan, waktu berjalan ke toilet, atau waktu kita ingin didengarkan.

Tapi, tahu tidak, teman. Kalau mau mendengarkan, mereka akan bercerita tentang banyak hal menakjubkan tentang tempat-tempat yang tidak mungkin kita datangi. Anak-anak mungkin tidak langsung menjawab pertanyaan kita saat itu dengan jawaban yang memuaskan. Tetapi bersama mereka beberapa saat, akan memudahkan kita melihat bahwa anak-anak "menjawab" di saat-saat paling aneh hari itu.

Saya sudah sering melihat anak-anak praktek ilmu fisika dasar di lapangan bermain.
Saya juga pernah melihat mereka menganggap bulatan-bulatan itu not balok lalu bernyanyi sendiri, tapi tidak di ruang musik.
Ketika mencuri dengar, saya pun tahu anak-anak berbagi isi buku yang mereka baca saat mengobrol dengan teman, bukan saat menjawab lembar kerja.
Barangkali para orangtua tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan menarik mereka muncul sebelum berangkat tidur, waktu sikat gigi, atau di tengah jalanan macet.

Anak-anak punya "jadwal" sendiri untuk menjadi besar.
Anak-anak juga punya bahasa sendiri. Jika kita mau belajar bahasa asing untuk memahami orang di belahan dunia lain, mengapa tidak mau belajar bahasa anak-anak untuk mengenal mereka?




Saya tulis ini untuk seorang teman, dan untuk mengingatkan saya sendiri.
Kadang-kadang saya juga lupa kalau mengajar bagaimana mendengarkan adalah dengan mendengarkan lebih dulu.

Wednesday, September 06, 2006

Majas

Medina adalah satu dari anak-anak yang sudah tidak biasa berbicara dengan melagukan kalimat bernada merajuk. Selama dua bulan ini ia bicara lugas pada saya dan teman-temannya, tanpa harus jadi galak. Wah, bahkan soal ini saya harus belajar darinya.

Masalah kurang air bersih di Jakarta berimbas juga ke sekolah kami. Kadang-kadang tidak ada cukup air untuk aktivitas di kamar kecil. Kadang-kadang pula, saluran pipa dan ledeng sering ikut ngambek. Saya sudah cukup kebal untuk tidak kesal atau panik kalau tiba-tiba ada yang muncul di depan pintu kelas sambil berlagu, 'Buu... di kamar mandi tidak ada aaaiiiiir...."

Kemarin, giliran Medina yang kesulitan air saat ke kamar kecil. Ia kembali ke kelas dan berkata.

Toilet sekolah kita itu lucu, bu.

Kenapa memangnya?

Kalau semprotan dihidupkan, airnya tidak keluar. Tapi pipanya bocor jadi air menetes ke mana-aman. Lucu kan?

Hehehe. Benar juga ya.

Wednesday, August 30, 2006

Sibuk, Sibuk

Memiliki kelas dengan kemampuan merata dan perilaku yang cukup manis membuat saya berani bekerja dengan kecepatan tinggi bersama mereka.

Kemarin dalam waktu dua jam kami sempat membaca buku, berdiskusi, melakukan dua percobaan, termasuk beberapa lembar kerja, tentunya.

Setelah lembar ke tiga, dan saya masih mengedarkan satu lagi, anak-anak mulai berkomentar. "Banyak amat bu, pekerjaan kita hari ini!"

Sargie menambahkan, "Bu Tia pasti capek sekali mengetik semua ini!"

Sunday, August 27, 2006

Pet Shop

Suatu Selasa, anak-anak datang ke kelas dengan gulungan-gulungan poster yang sangat mereka banggakan. Saya mengintip, dan di dalamnya banyak gambar kuda, kucing, aneka kadal, anjing, dan masing banyak lagi. Mereka memberikan poster itu pada saya sambil bercerita betapa sibuknya mereka mencari buku di toko buku, atau menunggu ayah mencetak gambar yang diambil dari internet.

Seharian itu kami membuat hewan yang akan jadi model dalam toko hewan kami dengan berbagai bahan.

Putri membuat seekor anjing mini dari plastisin. Namanya Vigo, seperti labrador tetangga yang ia sayangi. Setelah membuat alas tidur, tempat makanan, dan tempat minum, Putri membuatkan televisi untuk Vigo dari aluminium foil.

Mey dan Bintang sama-sama membuat poster tentang kuda. Mereka sibuk berkolaborasi membuat dua ekor kuda beserta kandang dan palung-palungnya. Sibuk sekali sampai kandang kardus mereka jebol berkali-kali.

Maira seharusnya membuat ikan, tetapi ia begitu bersemangat melihat teman-temannya menciptakan hamster, kucing, kuda, dan anjing sampai-sampai ia ikut membuat semua jenis hewan.

Anak-anak gembira sekali ketika kami menggelar petshop seusai makan siang sampai waktunya pulang. Tara begitu cakap bercerita tentang iguana yang kandangnya harus dibersihkan seminggu sekali. Putri meyakinkan pembelinya bahwa anjing bisa dilatih untuk menyelamatkan orang dari gempa bumi dan menemukan narkoba. Mereka juga senang melihat gambar-gambar kucing pintar di dalam poster Medina. Medina menemukan gambar kucing yang sedang main bilyar.

Waktu yang sempit membuat saya berjanji, kalau ada waktu kita akan bermain pet shop lagi. Asalkan semua tugas yang tertunda sudah selesai. Tahu tidak, hari berikutnya anak-anak tidak istirahat menyelesaikan semua tugas-tugas mereka yang terbengkalai.

Kami sempat bermain petshop lagi, dan kali ini lebih menyenangkan karena sepertinya anak-anak sudah lebih berpengalaman. Saya berjalan berkeliling dan menyimak percakapan mereka.

Fia dan Putri sedang mengobrol. Fia berjualan burung dan Putri ingin membeli burung.
Putri : Burung makannya apa?
Fia : Macam-macam. Burung bisa makan buah, makan biji, atau makan daging. Tapi sebaiknya yang makan daging jangan dipelihara, soalnya galak.
Putri : Ada burung mau makan daging? Kira-kira kalau corned beef mau nggak ya dia?


Bintang sedang menjaga kandang kudanya. Sargie dan Iman memperhatikan foto-foto aneka kuda yang ditunjukkan Bintang.
Sargie: Bagus ya kuda-kudanya. Suda poni ada apa lagi?
Iman : Kalau kuda nil, jual nggak?

Setelah semua hewan dimasukkan kembali ke kandang, dan semua poster dikumpulkan, saya bertanya pada mereka, adakah sesuatu yang baru kamu ketahui setelah berkunjung ke "toko hewan" temanmu?

Tangan-tangan mengacung.

Aku baru tahu kalau kuda perlu diganti sepatunya.

Aku baru tahu kalau iguana bisa jatuh dari ketinggian 50 meter dan tidak merasa sakit.

Aku baru tahu kalau kucing ada banyak jenisnya.

Aku baru tahu kalau kadal ada yang namanya gila monster.

Aku sudah tahu dari lama sih, kalau makanan burung bisa kelihatan dari paruhnya.


Baguslah kalau begitu. Semua senang dan semua belajar sesuatu yang baru.

Friday, August 25, 2006

Makanan kesukaan

Saya yakin, ketika jauh dari rumah, kita sering mengingat hal-hal kecil yang istimewa.
Hal-hal kecil yang hanya ada di rumah kita, bukan di rumah-rumah lainnya.
Saya yakin, saat mengingatnya kita sering tersenyum-senyum sendiri.

Hari ini saya dan anak-anak masih meneruskan riset kami tentang keluarga-keluarga di kelas kami. Salah satunya tentang makanan favorit keluarga. Anak-anak rancu membedakan makanan kesukaan mereka dan makanan kesukaan seluruh keluarga.

Medina yang menyelamatkan dengan bercerita bahwa seisi rumahnya suka makan kerupuk.

Di tengah riuh rendah anak-anak yang sibuk mewawancara teman tentang keluarga mereka, tiba-tiba Fia memanggil saya.


Bu, sini Bu. Sekarang aku sudah tahu apa makanan kesukaan keluargaku.

Apa Fi?

Kepala ayam bu! Soalnya aku dan ayah suka rebutan....


Saya ikut tertawa bersamanya.
Kamu beruntung Fia, pasti rumahmu meriah dengan kasih sayang.

Wednesday, August 23, 2006

Bermain Peran

Saya bertanya pada anak-anak, menurut kalian, apa artinya keluarga?

Anak-anak menyimpulkan beberapa jawaban:
Keluarga itu kelompok, Bu. Ada yang kecil dan ada yang besar.
Keluarga itu orang yang paling sering kita temui.
Keluarga itu orang-orang yang tinggal serumah dengan kita.
Keluarga adalah orang-orang yang kita sayang.
Keluarga itu orang-orang yang selalu memberi kita kasih sayang.

Saya mencontohkan. Ya, kita sering bertemu, hampir setiap hari. Apakah kita keluarga?
Anak-anak ribut berteriak, iya, kita keluarga SD2!

Siapa lagi ya yang bisa kita sebut keluarga? Coba pikirkan orang-orang yang selalu memberi kita kasih sayang...

(saya berharap mereka menyebut ayah atau ibu)

Fia mengacungkan jarinya dan menjawab, "Ibu Tia!"

Mudah-mudahan tidak ada yang melihat bahwa sesuatu terasa mengalir deras dari perut ke wajah saya. Pikirkan bahwa belakangan ini saya berlaku sangat tegas pada Fia karena menurut saya perilakunya bisa lebih dewasa dari yang ia tunjukkan sehari-hari. Saya yakin Fia pasti menganggap saya guru yang galak sekali. Sudah beberapa minggu saya kehilangan senyum dan keramahan awal tahun ajaran.

Hal-hal kecil seperti ini yang selalu membuat saya ingat mengapa saya selalu menyukai kelas-kelas saya (oh, saya masih selalu perlu diingatkan). Saya selalu bersama anak-anak, anak-anak selalu penuh maaf. Mereka tidak pernah ingat lagi kalau seharian saya jadi nenek sihir yang meledak-ledak.

Seorang teman saya selalu mengeluh bahwa saya tak tahu rasanya menjadi ibu, jika saya berusaha urun pendapat tentang anaknya. Kecil hati rasanya kalau begitu.

Fia mengingatkan saya bahwa dalam keluarga SD2 kami pun selalu main ibu-ibuan.

Sunday, August 20, 2006

Keakraban Kata

Ke toko buku belakangan ini cukup melelahkan hati. Seperti biasa, terlalu banyak yang ingin dibeli. Apalagi sekarang saya senang pergi ke bagian buku untuk anak-anak. Buku anak berbahasa Indonesia sudah makin banyak dan makin menarik tampilannya. Topik yang diangkat pun mulai banyak ragamnya. Kalau saya menjelajah rak mencari buku-buku yang sesuai dengan tema di kelas saat ini, tidak ada kesulitan sama sekali.

Satu hal yang sering membuat saya kecewa ketika mulai membuka dan membaca buku-buku itu. Beberapa penerbit mengeluarkan buku-buku anak dengan pilihan kata enggak, tuh, dong, deh, loh ya, dan sejenis itu. Saya jadi urung memilih.

Sayang sekali, sebab materi buku itu baik. Pesan yang ingin mereka sampaikan pun baik. Benarkah pesan dan materi itu tidak akan sampai kalau menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar? Saya menduga itulah pertimbangan para penulis, penyunting, dan penerbit; menggunakan istilah-istilah yang lumrah dalam percakapan sehari-hari agar akrab dan disukai anak-anak.

Benarkah begitu?

Saya masih ingat beberapa buku berbahasa Indonesia waktu saya masih kecil. Beberapa buku itu tertulis dalam bentuk kalimat-kalimat bersajak. Saya ingat betul waktu itu saya senang mendengar bunyinya dan bisa membaca buku-buku itu berulang-ulang kali. Adik saya yang belum bisa membaca pun bisa berpura-pura sudah bisa membaca karena ia hafal kalimat-kalimat di buku itu, satu buku penuh!

Menurut saya, anak-anak tidak jadi lebih tertarik dengan lah deh dong gitu loh yang menyertai isi sebuah buku. Anak-anak mudah tertarik pada berbagai topik beserta gambar-gambar menarik. Anak-anak akan tekun jika kalimat-kalimat dalam buku itu sederhana, runtut, dan mudah dicerna.

Saya sedih. Di televisi orang-orang sudah berbicara dengan cara sesuka hati. Di rumah kita, siapa pula yang mau berbahasa baku baik dan benar. Kalau buku-buku anak sudah tidak mau memberi ruang, kalau bahasa baku hanya ada di buku pelajaran, nanti buku-buku sastra tak bisa lagi didekati anak-anak. Buku-buku indah itu akan terasa jauh dan asing.

Mungkin saya terlalu konservatif. Tetapi menurut saya, ada hal-hal yang harus dilakukan sesuai aturannya, ada juga hal-hal yang boleh dilakukan sesuka hati. Bahasa, adalah sesuatu yang harus dihargai seperti kita menghargai isi kepala dan hati kita di saat yang sama.

Friday, August 18, 2006

Cepat Lupa

Ternyata 13 murid dan 10 murid itu bedanya banyak sekali. Ketigabelas murid saya umumnya senang menawarkan diri untuk menjawab pertanyaan atau sekedar tunjuk jari ingin bicara. Karena begitu meratanya kecenderungan ingin bicara ini, saya agak kesulitan membagi waktu dan kesempatan untuk mereka.

Maira, salah satunya, paling kesal kalau ia mendapat giliran agak belakangan. Ia akan sering berseru-seru, "Ibu, ayo cepaaat... nanti aku keburu lupa aku mau ngomong apa..."

Lalu betul saja, ketika saya persilakan ia bicara, ia akan mematung sebentar dan berkata, "Aku sudah lupa." Membuat saya jadi tertawa. Syukurlah Maira biasanya ingat lagi.


Wednesday, August 16, 2006

Bertanya Pada Buku

Alexander The Great sering mengingatkan saya untuk tidak serta merta menjawab pertanyaan anak-anak.

Lho?

Maksudnya, ia ingin saya menggiring anak-anak untuk bertanya pada buku, dan bukan saya. Saya hanya guru mereka, saya bukan sumber pengetahuan. Anak-anak harus tahu bahwa buku punya jawaban yang lebih luas dan meyakinkan. Jika saya punya kebiasaan menjawab dengan segera, tentu anak-anak akan lebih suka mengambil jalan pintas dengan bertanya pada saya.

Pada kenyataannya, agak sulit juga selalu merujuk pada buku jika anak-anak bertanya. Kami hanya punya waktu sekitar empat jam sehari, dan tiga belas anak yang setidaknya bertanya sekali sehari. Ayo berhitung!

Hari Selasa, kami punya proyek untuk membuat Pet Shop. Saya mengajak anak-anak melakukan riset kecil mengenai binatang peliharaan pilihan mereka di perpustakaan. Kegiatan seperti ini di minggu-minggu awal tahun ajaran cukup riskan. Anak-anak masih perlu banyak bantuan.

Cukup mengejutkan bagi saya ketika tahun ini anak-anak kelas saya bisa melakukannya dengan baik. Separuh kelas bekerja sendiri, memilih buku, dan mencatat informasi-informasi yang mereka perlukan. Sebagian anak masih kesulitan menemukan buku yang tepat, membaca, dan mengambil informasi yang mereka butuhkan. Saya perlu membantu. Ada juga yang begitu asyik melihat-lihat gambar dan hampir tidak menulis apapun di lembar kerjanya. Hehe.

Saya tidak menerapkan standar terlalu muluk. Ketika saya berkeliling dan melihat mereka memilih buku-buku yang relevan dengan topik pilihannya saya sudah merasa gembira. Sekar bahkan sempat membantu temannya mencari bahan tentang tupai setelah bahan-bahannya mengenai kucing terkumpul. Dengan tenang Sekar berkata pada saya, "Aku tahu semua tentang binatang, Bu."

Menuliskan laporan tentang apa yang mereka baca memang perlu ketrampilan lebih tinggi. Beberapa anak bisa melakukannya, tetapi wajar kalau mereka perlu bantuan.

Setidaknya kami sudah memulai kebiasaan bertanya pada buku.

Nanti saya ceritakan bagaimana hasil akhir pet shop kelas kami.


Saturday, August 12, 2006

Keluarga

Ibu saya bekerja mengurus sebuah sekolah. Suatu kali ia bercerita pada saya. Seorang gurunya berbicara pada anak-anak bahwa ayah adalah orang yang bertanggungjawab atas keluarga dan harus mencari nafkah. Seorang muridnya mengacungkan jari dan menyanggah, "Di rumah ibu saya lah yang bekerja mencari uang. Ayah saya tinggal di rumah. " Sang guru tidak begitu berkenan dan bertanya, memangnya kenapa? Dengan tenang muridnya menjawab, "Sebab ayah saya sakit stroke sejak saya TK." Masih tak percaya, guru itu melakukan cek silang dengan si ibu.

Membicarakan keluarga dengan anak-anak saat ini tidaklah semudah guru saya berbicara tentang keluarga Budi yang bahagia saat saya masih SD. Berbicara tentang keluarga saat ini berarti bicara tentang keputusan ayah atau ibu untuk memiliki hanya satu orang anak, orang tua tunggal, nenek atau orang lain yang berperan sebagai orang tua, keluarga angkat, keluarga lain budaya, keluarga lain agama, dan masih banyak varian lain.

Kurikulum ilmu sosial untuk kelas 2 mencakup banyak materi tentang keluarga. Tema sederhana tapi riskan ini mesti saya bawa ke kelas. Saya harus peka pada beragam keadaan keluarga murid-murid saya. Membuat pohon keluarga belum tentu tugas yang menyenangkan bagi mereka dengan orang tua tunggal. Membicarakan hak dan kewajiban orang tua mesti saya selingi dengan hak dan kewajiban anggota keluarga lain.

Sekali waktu, salah seorang murid saya memandang saya sambil memegang lembar kerjanya, "Tapi saya tidak punya ayah, bu."

Sambil tersenyum saya menjawab, "Sama, bu tia juga tidak punya kakak." Saya memintanya bercerita lebih banyak tentang ibunya.

Keberagaman ini jadi ide yang menarik. Kemarin saya meminta anak-anak melakukan riset tentang jumlah anggota keluarga setiap anak di SD. Hasilnya kami buat grafik batang. Saya bertanya pada mereka, apa yang mereka lihat?

Sargie cepat menjawab, ternyata setiap keluarga jumlah anggotanya berbeda-beda.

Mengapa begitu? Mengapa ada keluarga yang anggotanya hanya dua orang?

Medina bilang, mungkin saja karena baru menikah dan belum punya anak.

Maira menambahkan, bisa juga karena ayah atau ibunya sudah meninggal.

Saya katakan, bisa jadi orang tua sudah berpisah dan anaknya hanya seorang.

Adakah jumlah anggota keluarga yang lebih baik dari yang lain?
Tidak ada. Yang penting semua saling sayang.

Bagi saya, keluarga adalah akar tempat saya berasal. Menyangkal keberadaan keluarga hanya karena perlu mengikuti norma umum tentang keluarga semestinya berisi ayah, ibu, dan anak-anak sama sekali tidak membantu. Itu bagian dari identitas mereka. Menyangkal identitas hanya memulai sebuah kesulitan panjang berputar.

Saya ingin anak-anak tahu tidak semua rumah seperti rumah mereka. Setiap rumah isinya berbeda. Tak ada yang salah dengan berbeda.

Apapun itu, rumah mereka harus tetap jadi rumah yang paling hangat tempat mereka pulang. Saya harap begitu.