Sunday, December 06, 2009

Simple Thought

n
Kemarin, Bu Andin baru mengundang anak-anak dan orang tua murid di kelasnya untuk membicarakan UASBN yang akan datang. Setelah pertemuan selesai, saya menghampiri beberapa anak dan mengobrol dengan mereka. Adinda dan Dhimas mulai bercerita tentang nilai-nilai mereka yang 'good enough', ' quite good', dan ' i have to work harder on it'. Senang melihat mereka makin terampil memetakan kekuatan dan strateginya untuk menjadi lebih baik.

Pertanyaan berikutnya, UASBN jadi atau tidak sih, tahun depan? Sejujurnya, untuk alasan keamanan dan praktis, saya masih berharap UASBN ada. Keribetan prosedur birokrasi membuat saya lebih cemas lagi kalau ujian yang ditetapkan adalah ujian sekolah. Itu kabar buruk untuk sekolah-sekolah baru macam sekolah kami.

Oh, saya masih berpikir bahwa ujian bukanlah maha dari segala tujuan hidup. Proses belajar memang lebih dari sekedar nilai ujian, dan lama kelamaan makin saya sadari, membuat dan mengevaluasi proses belajar yang bermakna itu tidak segampang menghapuskan ujian. Kecuali kita bisa membuat saringan ekstra ketat untuk memilih hanya guru-guru berkualitas sangat baik, ya... Hanya merekalah yang bisa membuat proses belajar dan evaluasi proses belajar yang bermakna untuk tumbuh kembang anak-anaknya. Sisanya, saya bukan sang pemimpi.

Berhembusnya isu ada atau tidak adanya ujian nasional (lagi) membuat saya jadi iseng berpikir. Ibu dari Saras dan Adinda bercerita tentang ICAS, semacam tes pemetaan kemampuan matematika, ilmu pengetahuan alam, dan Bahasa Inggris untuk sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum Australia (Tolong saya dikoreksi kalau salah). Tes pemetaan ini berlaku untuk wilayah Asia Pasifik (kalau saya tidak salah lagi), dan mengingatkan saya tentang tujuan awal ujian nasional; untuk memetakan kualitas pendidikan (atau nilai ujian saja?) di Indonesia.

Peserta ICAS akan mengikuti tes terstandar dan hasilnya berupa kata sertifikat yang menunjukkan apakah nilai mereka dibawah rata-rata, di atas rata-rata, atau luar biasa. Selain itu mereka akan bisa melihat perkembangan kemampuan mereka dari tahun ke tahun. Istilah yang digunakan adalah Participant, Distinction, dan Merit, bukan lulus atau tidak lulus. Anak-anak akan melihat sendiri di mana posisi mereka dalam peta kompetensi anak-anak yang belajar dengan kurikulum yang sama Se-Asia Tenggara.

Saya jadi mikir iseng, mengapa Ujian Nasional tidak menggunakan cara yang sama saja? Selama ini anak-anak jadi objek yang harus memenuhi standar nilai 5,0 atau kurang (atau lebih). Tak ada yang peduli selama ini mereka beneran belajar, atau cuma numpang ngobrol dan tidur di sekolah karena gurunya sering tidak ada.

Saya suka cara ujian ala ICAS itu. Beritahu saja semua siswa dan para pengguna hasil ujian (sekolah, universitas, dll) dan biarkan mereka menentukan hasil macam apa yang ingin mereka capai. Biarkan semua siswa jadi subjek yang bisa menentukan target mereka sendiri (harusnya anak SMP dan SMA bisa dong, anak-anak di SD kami saja bisa kok...)

Lagipula, setelah sekian tahun ujian nasional, maka mestinya Pemerintah sudah punya pemetaan hasil ujian itu. Pakai saja. Taruhlah sekarang kita buat kategorinya, kalau nilaimu 0- 3,0 kamu dianggap sebagai Pernah Ikut Ujian, kalau nilaimu 3,0 - 5,0 kamu dianggap Di bawah Rata-Rata, kalau nilaimu 5,0 - 6,0 kamu dianggap Pas Pasan Saja, kalau nilaimu 7,0 - 8,0 predikatmu adalah Lumayan Juga, kalau nilaimu diatas 8,0 maka kamu adalah Hebat Sekali
Tentu tiap pelajaran bisa beda-beda, tergantung hasil pemetaan.

Biarkan siswa menentukan sendiri berapa nilai yang menjadi target mereka. Biarkan mereka belajar menentukan dengan mempelajari kemampuan diri sendiri, kebutuhan mereka, dan strategi mereka memperbaiki nilai. Saya dulu begitu. Karena sudah tahu mau masuk fakultas apa, saya cari tahu passing grade-nya berapa. Saya kerja mati-matian untuk tembus passing grade itu karena saya setengah mati ingin kuliah di situ. Teman saya yang malas bersaing misalnya, dia akan pilih fakultas yang passing gradenya lebih rendah karena kurang peminat. Ini membuat kami lebih termotivasi untuk banting tulang mendapat hasil yang cukup baik.

Para pengguna hasil tes juga bisa memanfaatkan cara yang sama. Tentukan saja hasil yang anda inginkan. Seandainya saya sebuah SMA misalnya, saya akan minta nilai Bahasa Indonesia dengan kateggori Hebat Sekali, nilai matematika dengan kategori "Lumayan Juga" dan IPA dengan kategori "Lumayan Juga" untuk pendaftar yang masuk.

Hasil seperti ini, lebih student centered, bukan? Anak-anak tidak harus mesti jago IPA dan Matematika untuk bisa lulus. Jika memang lebih baik dalam Ilmu Sosial, maka mereka harus dapat Hebat Sekali dalam ujian Ilmu Sosial. Jangan bilang jago, kalau tidak sampai kategori itu.

Menurut saya sih, cara seperti ini akan membuat anak-anak lebih termotivasi untuk bekerja keras menghadapi ujian. Mereka akan merasa hasilnya bermanfaat, bukan sekedar mengatasi ketakutan tidak lulus saja. Mereka juga jadi belajar menentukan target yang realistis.

Bagaimana?

Tuesday, October 13, 2009

Paradigma Baru

Tahun ini kami mulai mengubah format rapor. Jika tahun-tahun sebelumnya kami mencantumkan rata-rata kelas, tahun ini kami tidak melakukannya. Kami meletakkan standar nilai minimal di samping perolehan nilai anak sepanjang kuartal. Untuk melengkapinya, kami menambahkan deskripsi mengenai kegiatan dan pencapaian anak di setiap pelajaran. Kerja keras untuk para guru, tentunya.

Perubahan paperwork, itu soal mudah. Perubahan paradigma, itu lebih sulit diterima.

Kurikulum 2006 yang sebutannya berbasis kompetensi memang punya paradigma berpikir jauh berbeda dengan kurikulum 1994 dan sebelumnya. Salah satu yang paling besar menurut saya adalah kurikulum 2006 memberi ruang untuk melihat setiap anak sebagai individu yang unik, dan menuntut kerja keras para guru untuk membuat anak-anak memenuhi kompetensi yang dibutuhkan.

Apa konsekuensinya? Salah satunya adalah, laporan berkala tentang prestasi belajar anak tidak lagi diletakkan dalam bingkai "di kelas ia ada di posisi mana?" tetapi "seberapa jauh ia sudah menguasai kompetensi yang diminta dalam tingkatnya?"

Sebagai guru di kelas, sudut pandang ini membuat saya lebih terarah untuk berhenti melabel anak pintar dan bodoh. Saya jadi tidak keburu pesimis dan patah arang pada anak-anak yang biasa menempati posisi tiga terbaik dari bawah. Fokus saya sebagai guru berubah menjadi "apa yang bisa saya lakukan agar mereka menguasai hal ini atau hal itu?", bukan memandang mereka sebagai pecundang di kelas. Begitu mereka menunjukkan bukti-bukti bahwa mereka menguasai hal-hal yang kami syaratkan, maka itu cukup. Langkah berikutnya adalah memikirkan apa yang bisa kami lakukan untuk membuat mereka "lebih baik" lagi, atau memenuhi kompetensi-kompetensi yang belum tercapai sehingga mereka siap naik ke tingkat berikutnya. Daripada menyalahkan dan menilai, sudut pandang ini membuat kami merasa harus bersikap lebih aktif dalam perkembangan anak-anak di kelas.

Begitu pula pada pandangan saya kepada anak-anak yang cerdas di kelas. Begitu kami berhenti menghitung jumlah nilai total, kami pun berhenti menganggap anak yang cerdas harus serba bisa. Kini lebih mudah bagi kami mengenali kemampuan-kemampuan khusus anak-anak di dalam kelas. Oh, si A memang berbakat di matematika. Oh, si B memang jago olahraga. Jika sebagai guru kami diminta membesarkan anak-anak yang mengenal kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri, bahagia menerima diri mereka apa adanya, sekaligus terpacu untuk terus memperbaiki diri, sudut pandang ini sangat memudahkan kami.

Di sisi lain, banyak orang tua masih merasa cemas. Dari mana saya tahu anak saya hebat kalau saya tidak tahu apakah teman-temannya hebat atau tidak? Bagaimana kalau nilai 9 anak saya adalah yang terburuk di kelas karena semua dapat 10? Di luar sana kompetisi terus terjadi. Bagaimana anak saya bisa berkompetisi kalau dia tidak bisa membandingkan peringkatnya dengan peringkat teman-temannya?

Hm, mari kita coba membuat sebuah ilustrasi. Anggaplah saya menentukan tujuan belajar bahwa anak di kelas saya harus bisa membaca dengan lancar. Kapan sebaiknya saya berhenti mengajar? Apakah ketika 3 anak sudah bisa membaca dengan lancar, atau ketika seluruh kelas bisa membaca dengan lancar? Seandainya pada akhir masa belajar, 3 anak itu hanya bisa membaca terbata-bata dan 17 sisanya belum bisa membaca sama sekali, dapatkah saya menyebut 3 anak pertama sebagai anak paling cerdas di kelas? Banggakah kita sebagai orang tua melihat paparan statistik itu?

Ketika saya ingin membesarkan anak-anak menjadi anak yang jujur --misalnya--, maka tentu tujuan akhir saya adalah mendapatkan seisi kelas yang jujur, bukan hanya satu atau dua anak paling hebat yang jujur. Tujuan akhir kami mengajar adalah agar anak-anak memenuhi 100 % kompetensi yang disyaratkan, atau hal-hal yang menurut kami seharusnya mereka kuasai. Kalau semua anak di dalam satu kelas mencapai angka 90 % tentu kami bahagia sekali! Itu tidak membuat mereka kurang hebat, meski seisi kelas peringkatnya sama semua.

Ketika saya mengajar, tentu saya ingin semua murid saya berhasil. Tujuan akhir saya bukan menyeleksi siapa yang berhasil atau tidak berhasil, tetapi membuat semua murid saya berhasil. Di sini, saya akan dituntut untuk bekerja keras. Saya dituntut untuk mengerti seluk beluk setiap murid saya sehingga saya bisa membantu mereka dengan cara yang paling efektif agar mereka bisa mengembangkan dirinya. Pandai atau bodoh, saya tetap harus menghargai mereka sebagai anak-anak yang potensial untuk berkembang.

Maka, itulah yang ingin kami sampaikan pada para orang tua. Ini yang kami kerjakan bersama anak-anak di kelas. Ini yang kami harapkan untuk dicapai anak anda. Ini yang ia capai, dan kami bangga melihatnya berkembang. Ini yang belum dicapainya, dan kami memikirkan cara yang tepat untuk membantunya mencapai tujuan itu.

Apakah anak-anak belajar untuk berkompetisi? Ya. Anak-anak bermain dan berlomba di antara kawannya setiap hari. Mereka belajar menikmati kemenangan dan menerima kekalahan. Ini lebih mudah dikenali anak-anak yang masih berpikir konkret dan belum tentu bisa memikirkan konsekuensi jangka panjang dari perbuatannya. Secara alami, Tuhan sudah membuat mereka mengenal kompetisi lewat berteman dan berbagi dengan kakak adiknya. Kami berusaha memberi ruang ini dalam kegiatan sehari-hari.

Sekali lagi, ternyata tidak mudah melihat anak-anak kita sebagai mereka sendiri, bukan mereka dibandingkan kita, kakak, adik, atau temannya! Mari kita luangkan waktu sebentar, meninggalkan semua kecemasan kita tentang mereka, dan melihat bahwa setiap anak adalah istimewa.

Tuesday, September 15, 2009

Hope and Dreams

Sore ini Dhara yang sudah duduk di kelas 7 mampir di kelas saya. Kami ngobrol, Riri ikut juga. Dhara menanyakan apakah anak-anak lain sudah belajar lagu mars Kembang.

Saya jadi menggoda Riri yang tinggal 3 kuartal lagi juga duduk di kelas 7, "Eh, sebentar lagi giliran kelasmu, Ri. Kalian ingin memberi apa untuk sekolah?"

"Bahan bangunan, Bu. Untuk membuat SMP," katanya mantap.

Monday, September 14, 2009

Sebuah Kesempatan

Kami punya seorang murid di kelas 3. Al namanya. Al anak yang istimewa, karena dia suka mengingat (dan pandai mengingat) banyak fakta. Tapi Al belum suka menjelaskan banyak hal panjang-panjang dalam tulisan. Seringkali Al masih perlu dibantu menyelesaikan tugas-tugasnya di kelas.

Pak Guru Al kebingungan. Sebagai anak kelas 3, Al dan teman-temannya akan mulai mengikuti minggu ulangan umum. Bagaimana Al bisa duduk selama 90 - 120 menit mengerjakan berlembar-lembar soal, sementara biasanya Al hanya mau mengerjakan satu atau dua lembar saja?

Pak Guru Al dan guru-guru lain berdiskusi panjang tentang ini. Kami berpendapat bahwa tidaklah adil jika sebelum mulai bekerja kami sudah menganggap Al tidak bisa. Tidak adil juga apabila Al dipaksa duduk diam berjam-jam sementara ia belum bisa diam begitu lama. Kami sepakat Al harus mendapat kesempatan, meski kami harus melakukannya satu lawan satu secara lisan. Mengikuti ujian panjang barangkali juga sebuah tantangan besar bagi Al. Maka saya katakan pada Pak Guru Al, tak usah khawatir, dan tak perlu membandingkan hasil ulangan Al dengan teman-temannya. Kita beri saja kesempatan, dan biarkan Al menyelesaikan sebanyak yang ia bisa selesaikan.

Al mendapat kesempatan untuk mengerjakan soal ulangan umumnya di ruangan guru. "Khusus untuk calon pilot!" kata Pak Guru Al menyemangati.

Maka tadi, ketika semua teman-teman Al dan kakak kelas Al duduk di ruang-ruang ujian, Al duduk di ruang guru. Al tidak lupa berdoa dulu.

Pak Guru Al tahu Al tidak suka melihat soal berlembar-lembar. Maka dilepasnya bundelan soal itu, dan disodorkan pada Al satu per-satu. "Selesaikan dulu level satu, nanti kita lanjutkan ke level berikutnya. Cepat ya, nanti keburu game over!"

Setengah jam pertama saya memperhatikan Al bekerja. Al suka berpikir keras-keras, jadi ia akan baca soalnya dan menyebutkan jawabannya keras-keras. Agaknya soal level 1 kurang menarik buat Al. Setengah jam itu lebih banyak ia habiskan untuk bermain remote AC. Sesekali Pak Guru menghampiri untuk menyemangati Al bekerja.

Masuk level 2, saya mulai duduk di samping Al. Saya menduga Al hanya perlu diingatkan untuk tetap di "jalur mengerjakan soal". Al tidak perlu umpan balik tentang jawaban yang benar atau salah. Maka saya hanya duduk di sampingnya, menggumamkan kata "hm", "tulis", atau "teruskan". Kebetulan level 2 lebih menarik. Al mengisi soal-soal isian singkat dengan lancar.

Ketika merasa bahwa menyelesaikan sebuah level ternyata cukup menyenangkan. Al minta tambah terus. 30 menit berikutnya Al sudah menyelesaikan 9 level alias 9 halaman soal. Tidak semua benar, tapi saya berani bertaruh nilai Al cukup baik. Guru-guru lain sampai tersenyum dan menghampiri kami. Semua kagum, Al bisa menjawab dengan baik soal-soal dengan istilah IPA yang agak sulit untuk kelasnya.

Al berhasil selesai sebelum waktunya habis. Dengan bangga ia turun ke bawah dan bermain dengan teman-temannya. Dari jauh, teman Al mengeluh, 'Aduh, soalnya susah..."

Dengan tenang Al menjawab, "Ah tidak, gampang kok!"


Saya tersenyum. Pak Guru Al juga tak kalah senangnya. Siang hari, gantian Pak Guru yang menemani Al mengerjakan soal agama. Al bisa menyelesaikannya dengan baik pula!

Terima kasih ya Al, sudah mengingatkan Bu Tia lagi, betapa menyenangkannya menemani anak-anak belajar hal baru.

Sunday, September 13, 2009

Mencari Lagi

Saya kangen menulis di blog ini. Lebih dari itu, saya kangen rasa yang melingkupi saya saat melangkah ke sekolah dan menyiapkan diri mengeksplorasi dunia bersama anak-anak di kelas, kemudian pulang dengan hati tergugah.

Satu setengah tahun ini praktis mengajar hanya bagian dari cara saya agar tetap sane. Atau untuk menghibur diri bahwa saya tidak kehilangan sesuatu yang saya cintai. Atau karena saya berpikir, i should teach. Satu setengah tahun ini saya mengambil tantangan untuk bekerja di luar lingkup ruang kelas untuk menciptakan sistem. Hasilnya, lumayan. Saya bisa melihat saya menghasilkan sesuatu. Saya bisa mengatakan saya bangga, mengingat semua harus saya pelajari sendiri, dengan beberapa sparing partner berdiskusi saja. Tidak cukup, dan rasa ingin berkembang itu ada. It's not a finish line. Namun saya "sudah" penuhi apa yang saya inginkan dan pernah saya bayangkan tentang mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan sistem dan kurikulum.

"Saya kangen mengajar. Saya sudah lama tidak melakukan sesuatu yang berani di kelas. " Ini saya lontarkan pada rekan mengajar saya dua hari lalu. Menurutnya, barangkali saya terlalu sibuk mengerjakan banyak hal sehingga tidak punya energi lagi.

Semalam saya jadi bertanya-tanya sendiri. Apa yang saya ingin lakukan? Ini adalah tahun ke enam saya ada di sekolah ini. Saya sudah pernah sampai pada kesadaran bahwa, ya, inilah bidang yang ingin saya tekuni. This is my life. Saya pikir sudah tidak ada pertanyaan lagi. Tapi sekarang, pertanyaan baru muncul lagi; di bidang ini sebenarnya apa yang ingin saya lakukan? Apa yang saya kuasai dengan baik? Apa yang membuat saya merasa bahagia mengerjakannya?

Menyusun kurikulum, membuat sistem, bekerja bersama para guru, mengelola sekolah, saya tahu semua itu dapat saya lakukan sambil tersaruk-saruk belajar. Saya merasa tertantang. I can say, i'm quite good in it. Saya senang diajak berdiskusi tentang semua itu.

Tapi saya berhenti menulis. Saya sering merasa lelah. Dahi saya lebih banyak berkerut. Alexander The Great bilang ia melihat saya menua dalam dua tahun terakhir. Saya lebih sering uring-uringan. Saya lebih sering bangun kesiangan. Saya ada di kelas, tapi saya kangen anak-anak. Saya mengajar, tapi saya sudah jarang belajar dari anak-anak.

Ruang spontan saya menciut. Seperti buah simalakama dari sistem yang saya rancang sendiri.

Hehe. Ini proses belajar, atau sebenarnya saya benar-benar harus mencari tahu apa yang seharusnya saya kerjakan? Apakah saya bisa mengerjakan keduanya, atau saya harus memilih salah satu? Apakah saya ingin menjadi orang yang berhasil, atau saya ingin jadi orang yang tulus dan bahagia?

Karena...

Saya sedang berpikir, apa jadinya kalau suatu hari, tiba-tiba, Tuhan bilang, ok, mulai hari ini surga dan neraka saya bubarkan. Saya juga mau berhenti menghitung dosa dan pahala.

Apakah kita akan berhenti berbuat baik?

Buat apa berbuat baik kalau nggak dapat skor apa-apa?

Metode dosa dan pahala, hadiah dan hukuman, adalah cara termudah dan seraihan tangan untuk membuat anak-anak mau melakukan sesuatu. Habiskan makananmu, dan kamu dapat stiker bintang. Naikkan nilai rapormu, dan kamu dapat hadiah liburan ke Disneyland. Kalau kamu kuat puasa sehari penuh, ayah kasih kamu seratus ribu.

Pemandangan indah memuaskan hati, apabila anak-anak itu giat melakukan apa yang kita inginkan di depan mata.

Sungguh saya mudah tergoda melakukan hal-hal potong kompas seperti itu, kalau saja saya tidak berpikir, apa yang akan terjadi bila saya mati. Apakah anak-anak akan berhenti menyayangi temannya? Apakah mereka akan berhenti belajar? Apakah mereka akan berhenti melakukan kebiasaan-kebiasaan baik lainnya?

Tidak semua hal di sekolah kami diupahi dengan nilai dan hadiah. Tak ada hadiah untuk hasil karya terbaik dalam Art Festival. Anak-anak mendapat kenikmatan ketika teman-teman dan guru-guru mengagumi hasil karya jerih payah mereka.

Tidak ada nilai ketika anak-anak ikut ekstra kurikuler yang saya pimpin beberapa tahun lalu. Anak-anak ingin ikut lagi karena menurut mereka kegiatannya seru. Alhamdulillah.

Sedih hati saya ketika mendengar, "Ah, ngapain ikut kegiatan itu kalau tidak ada nilainya. Berarti tidak penting, bukan? Saya boleh biarkan anak saya absen tanpa memberitahu."

Saya khawatir kami tak punya cukup waktu untuk mengenalkan anak ini pada rasa senang dan ingin tahu untuk melakukan sesuatu yang baru. Saya tahu, akan amat sulit baginya bertenggang rasa bahwa siapapun yang datang mengajar dalam kegiatan itu, datang sepenuh hati meluangkan waktu untuk berbagi, dan mungkin kecewa bila anak-anak yang ia sayangi tidak muncul lagi. Saya bisa membayangkan, anak ini akan perlu waktu lebih lama untuk mengenali dorongan dalam dirinya.

Tak ada nilainya, tak ada hadiahnya. Tak ada pahala, tak ada surga.

Apakah kita akan berhenti berbuat baik? Apakah kita akan berhenti melakukan hal yang kita sukai atau kita anggap penting?

Friday, August 14, 2009

Panjang Umur


Saya mulai berpikir bahwa panjang umur tidak berarti mati tua, tapi justru selalu hidup. Karya-karya kita yang selalu hidup, meski kita sudah habis dimakan tanah.

Minggu ini anak-anak TK dan SD sedang belajar menyanyikan mars sekolah kami yang diciptakan lulusan angkatan pertama.

Saya mendengar suara-suara lantang mereka bernyanyi dari luar kelas. Sekilas saya melihat banyak mata yang berkilau bangga. Saya juga ikut tersenyum ketika murid-murid di kelas saya bertepuk tangan sendiri, setelah akhirnya mereka bisa menyanyikan lagu itu sejak awal hingga selesai.

Mereka masih menggumamkannya di sela-sela waktu belajar.

Tidak bisa mengelak, saya jadi ingat para penulis lagu ini. Seakan mereka ada lagi di ruang sebelah.

Saya bertanya-tanya, apakah yang akan mereka rasakan, ketika suatu hari mendengar seisi sekolah ini, kini, dan barangkali jauh nanti, akan terus menyanyikan lagu yang mereka ciptakan sepenuh hati?

Adakah hati mereka berdesir seperti yang saya rasakan mendengar lagu itu berulang-ulang?

Mereka sudah memberikan sesuatu yang akan terus berputar seperti roda, di usia mereka yang begitu muda.

Seperti apa rasanya?

Sunday, August 02, 2009

Lomba Lari

Untuk pertama kalinya sekolah kami keluar kandang untuk ikut lomba. Kali ini kami ikut lomba lari estafet 8 x 50 meter atas undangan PASI. PASI ingin memperkenalkan atletik pada anak-anak SD.

"Datang saja, Bu. Tidak harus sudah tahu teknik. Tidak punya sepatu juga tidak apa-apa," panitia menjelaskan pada saya lewat telepon.

Ah, mengapa tidak? Anak-anak pasti senang punya pengalaman baru. Apalagi nanti acaranya akan bersamaan dengan Kejurnas Atletik 2009, berarti juga bisa menonton atlet sungguhan bertanding.

Kami memilih 16 anak menjadi 2 regu estafet; putra dan putri. 16 anak ini dipilih dari kelas 3 sampai kelas 6. Semula anak kelas 6 agak jengkel karena harus satu regu dengan anak-anak yang lebih kecil.

"Mana bisa menang, bu kalau tim lain besar-besar badannya?"

Bukan soal menang atau kalah, Non. Ini permainan beregu. Di atas menang atau kalah, saya ingin melihat lebih banyak anak-anak dari sekolah kami mendapat pengalaman baru. Komposisi "atlet" yang terkirim kemarin membuat saya senang. Bagi beberapa di antara mereka, ini adalah kali pertama mereka terpilih mewakili sekolah melakukan sesuatu. Saya bisa melihat binar-binar bangga itu di mata mereka.

Sebenarnya waktu persiapan kami mepet sekali, kalau tidak bisa dibilang sebenarnya kami tidak bersiap-siap. Hehe. Syukurlah salah satu kakek nenek kami yang aktif di PASI mau membantu memperkenalkan lapangan dan cara memberikan tongkat estafet. Sempat ternganga juga anak-anak melihat lintasan lari 400 meter.

"Untuk anak-anak, lari estafetnya 8 x 50 m, jadi setiap anak hanya perlu menempuh 50 m saja, tidak keliling lapangan." Kira-kira begitu penjelasan Kakek.

"Alhamdulillah," Adinda kelihatan lega sekali.

Latihan Minggu lalu berjalan menyenangkan. Meski sempat kaku waktu harus mengalihkan tongkat, anak-anak sangat menikmati berada di ruang terbuka yang luas. Agak susah memanggil mereka berkumpul, karena semua lari-lari terus.

Mau menambah latihan di sekolah, susah juga. Seperti sekolah-sekolah yang mungil di Jakarta, ruang gerak amatlah terbatas. Mau sprint, belum sempat lari kencang, sudah ketemu dinding.

Dengan penuh semangat, tim atlet dari kembang berkumpul di lapangan madya Sabtu siang lalu. Anak-anak datang berseragam dan bersepatu. Ada sekitar 200 anak dari belasan sekolah lain. Beberapa anak membuat saya, Bu Andin dan Bu Nanda gentar.
"Melihat betisnya, sepertinya mereka atlet beneran," kami agak bisik-bisik.

Sementara itu, anak-anak sekolah kami tidak terpengaruh sama sekali. Mereka berlari-larian di lapangan pemanasan tanpa takut dan cemas. Belum setengah jam, nomor dada yang terpasang dengan peniti sudah lepas-lepas. Ampun deh, Nak, kalian ngapain saja sih?

Agaknya panitia pusing juga mengatur begitu banyak anak. Sudah dipanggil untuk berbaris misalnya, masih ingin ke kamar kecil. Saya jadi senyum-senyum.

"Mendingan ngurusin atlet, Bu. Anak-anak ribet," keluh salah satu pak guru olahraga.

Saya tertawa saja, sambil memandangi anak-anak saya yang --syukurlah-- manis-manis dan tidak merepotkan sama sekali.

Saat anak-anak harus masuk lapangan, guru-guru mereka mengingatkan, "konsentrasi, ya, nak. Lari yang kencang."

Saya dan Bu Andin melambai-lambai, "Good luck! Have fun!"

Sebagai tim yang pertama kali ikut lomba dan tidak pernah latihan olahraga serius, kami tidak punya target menang. Jadi? Nikmati saja!

Kami kalah, tentu saja. Tapi apa komentar atlet-atlet kami?

"Tahun depan kita ikut lagi, ya Bu!" Tara dan Rai tetap berbinar-binar usai lomba.

Tentu! Itu yang saya ingin dengar, dari anak-anak. Jika ingin menang di lomba-lomba semacam ini, tentu sekolahlah yang harus punya sistem dan program pelatihan yang baik, dengan guru yang mengajar sungguh-sungguh.

Sepatu

Salah satu bagian terpenting dari lomba ini adalah soal sepatu. Seperti pengumuman panitia pendaftaran, sepatu bukan prasyarat ikut lomba. Sebagian tim estafet memilih untuk bertelanjang kaki.

Komentar panitia pemanggilan sempat bikin saya jengkel. "Acara ini ditonton Pak Menteri, jadi kalau bisa pakai sepatu, ya!"

Sementara di depannya anak-anak sudah berbaris siap masuk lapangan. Sungguh mengecilkan hati komentar bapak itu! Tahu tidak sih, mencari sepatu yang nyaman untuk berlari dan berlomba itu susah? Apalagi untuk anak-anak tanggung yang serba salah.

Mungkin itu pula pendapat Adinda. Melihat teman-teman dari sekolah lain yang tidak pakai sepatu, Adinda memilih untuk meniru mereka, bukan memandang remeh mereka.

Tidak salah juga sih, mengingat di sekolah kami juga selalu tidak bersepatu. Meski pilihannya agak nyeleneh, Adinda menunjukkan bahwa tanpa sepatu pun ia bisa berlari kencang dan masuk finish nomor 4 di regunya.

Tentu saja suporter Kembang kegirangan.

Ngomong-ngomong tentang suporter, Keluarga Kembang memang tiada dua. Tidak cuma anak-anak yang bertanding, tapi keluarga mereka, teman-teman dan keluarga teman-teman, berikut alumni club yang membawa banner besar juga datang memberi semangat!


Pertanyaan beberapa orang tua saat saya mengabari bahwa anaknya terpilih masuk tim, "Bu, memangnya anak saya bisa lari?" sudah terjawab tuntas di lapangan sebesar itu. Anak-anak mereka-- besar atau kecil badannya, penggemar olahraga atau membaca -- lari dengan gigih dan berani. Mereka keluar lapangan dengan senyum meski kecapekan dan kaki sakit semua. Anak-anak yang lebih besar memenuhi permintaan saya untuk menjaga adik-adiknya. Begitu pula para adik, mereka sungguh mudah diajak bekerja sama.

Kami tidak menang, tentu saja. Bahkan tidak masuk final. Namun pengalaman berlomba, berusaha sekuat-kuatnya, menerima kekalahan, dan memberi semangat pada mereka yang bertanding, adalah pengalaman baru yang sulit kami abaikan begitu saja. Sungguh senang ada di tengah mereka semua.

Thursday, July 23, 2009

Peraturan Kelas


Setiap kelas di sekolah Kembang selalu membuat dan menyepakati peraturan kelasnya sendiri. Satu hal yang saya pelajari; selalu buat peraturan kelas dalam bentuk positif. Hindari kata "Tidak" dan "Jangan". Peraturan kelas sebaiknya bisa menjadi panduan tentang tingkah laku yang diharapkan, bukan yang tidak diharapkan.

Salah satu peraturan di kelas 5 tahun ini adalah:

Selalu berusaha mengerjakan segala sesuatu sebaik-baiknya dan penuh semangat.


Saya baru menemukan manfaat peraturan ini jika ada anak yang bertanya, "Ini diwarnai atau tidak, Bu?"

Saya tinggal menunjuk ke peraturan kelas.

"Oh, iya."

"Berapa banyak yang harus kutulis, Bu? Berapa kata minimal?"

Tunjuk lagi.

"Oh, iya."

Yang terbaik, itu tidak ada batas minimalnya.



* gambar dari sini

Obat Kangen

Suasana hidup sedang tidak bagus, jadi saya perlu banyak booster untuk tetap optimis. Mini dan teman-temannya menagih cerita karena kangen SD. Kebetulan, hari ini saya ingin cerita sedikit tentang kelas baru yang bikin saya akhirnya bisa senyum-senyum.

Kali ini saya bisa dibilang kembali mengajar penuh waktu di kelas. Sama seperti mereka yang sedang menyesuaikan diri di sekolah baru, saya pun begitu. Mesti berpikir keras, menyesuaikan langkah dan strategi. Contohnya ya, saya memundurkan unit sejarah ke kuartal akhir. Pertimbangannya, itu unit yang agak sulit dan biasanya kurang diminati. Tidak cocok untuk mengenal kecepatan kerja dan kemampuan dasar anak-anak.

Apa kata kelas baru saya? "Asyiiik... sejarah!"

Nah lho.

***

Kuartal ini saya dan bu arum mencoba strategi baru untuk belajar bekerja dalam kelompok. Kami membuat kelompok tetap yang berlaku sepanjang kuartal. Kami akan mencatat perkembangan tiap kelompok dalam bentuk evaluasi diri.

Tugas pertama kelompok-kelompok ini adalah memilih nama kelompok. Saya minta mereka memilih nama tokoh dari para penulis, ilmuwan, seniman, atau mereka yang bergerak di bidang kemanusiaan. Anak-anak memilih Leonardo Da Vinci, Enid Blyton, Isaac Newton dan Helen Keller.

Dua hari terakhir mereka sedang mengumpulkan informasi dan menulis biografi singkat tokoh pilihan mereka. Senang, melihat mereka sibuk dan ikut nimbrung mengobrol.

Fia, Rai dan Maira sedang menyusun poster Leonardo Da Vinci. Saya berkomentar, "Konon Leonardo Da Vinci itu bisa menulis dengan dua tangan sekaligus, lho."

"Wah, kalau bikin PR pasti cepat ya, Bu!" kata Fia.

Di meja lain, Gita sedang mengagumi Helen Keller yang ternyata memberi kuliah dan menulis buku pula. Ia bertanya pada saya, "Teladan itu apa, sih, Bu?"

"Teladan itu apa yang bisa kita contoh," dan Gita kembali ke teman-temannya untuk meneruskan poster Helen Keller. Ketika salah satu temannya mulai mengeluh soal pekerjaan, "Ih, baru begitu sudah mengeluh. Gimana mau meneladani Helen Keller."

Iya, betul, Gita. Mari kurangi mengeluh dan lebih bersemangat !

Wednesday, July 15, 2009

Being Optimistic

Memulai tahun ajaran baru, meski sudah berkali-kali, tidak bisa dibilang mudah. Apalagi tahun ini guru-guru sedang disibukkan berbagai workshop sehingga waktu untuk menyiapkan kelas rasanya sempit. Makin dekat hari tahun ajaran baru tiba, makin deg-degan rasanya! Seakan semua belum cukup siap untuk menyambut anak-anak tiba di kelas kami.

Situasi seperti ini tentu mudah mengundang si uring-uringan datang. Syukurlah anak-anak tiba tepat waktu untuk mengingatkan bagaimana seharusnya kita bersikap menghadapi tantangan baru.

Melihat anak-anak kelas 1 dan TKA yang gagah berani masuk kelas sendiri sudah membuat saya tersenyum. Anak-anak yang lebih besar tentu sudah lebih dulu gedubrakan masuk kelas masing-masing.

Saya membunyikan bel tepat pukul 8 (yang tidak berguna, karena anak-anak sudah duduk manis tidak sabar di kursinya), dan partner in crime saya tahun ini, Bu Arum, memulai pekan orientasi kelas 5.

Salah satu tugasnya meminta anak-anak saling mewawancara tentang aneka hal kesukaan dan harapan mereka. 'Jika saya boleh mengajukan satu keinginan, maka keinginan saya adalah...'

"Menjadi penyanyi terbaik di dunia!" kata Gita.

"Menjadi pembalap motor!" kata Fia. Tak ada sekat laki-laki dan perempuan di benaknya. Semua bisa berharap jadi apa saja.

'Jika saya punya uang 5 juta rupiah, saya akan...'

"Beli satu apartemen. Bisa tidak, Bu?" Alma bertanya malu-malu. Ah, nak, tak ada harapan yang dihancurkan di hari pertama, bukan? Tulis saja.

Sederhana dan selalu membuat saya terkesan; bagaimana anak-anak begitu polos mengungkapkan perasaannya.

"Even the sky is not our limit," begitu kesepakatan Adinda dan kawan-kawan yang kini duduk di kelas 6.

Baiklah, ternyata tidak sulit memulai tahun ajaran baru dengan optimis. Selamat belajar!

Saturday, June 27, 2009

Menyesal

Melihat ke belakang, saya menyesal tidak banyak menulis tentang kelas 5 2008/2009. Tidak banyak menghabiskan waktu bersama mereka, sehingga tidak sempat mendengarkan mereka baik-baik. Banyak cerita lucu dan seru yang terpikir saat saya menyetir pulang. Lalu hilang di depan layar komputer, TEPAT ketika harusnya saya tuliskan.

Sigh.

I hope they know that i do love them so much.

Tuesday, June 23, 2009

Meluluskan Angkatan Pertama

Saya sudah menunda pembicaraan ini berminggu-minggu hingga nyaris hilang rasa.

Hari ini, kami mendapat pengumuman resmi yang menyatakan bahwa sepuluh murid angkatan pertama kami lulus dengan memuaskan. Lepas sudah semua beban di hati. Angka-angka itu memang mengagumkan, tetapi ketika sampai di tangan, saya menjadi semakin sadar bahwa ini hanya sebagian dari potret perjalanan belajar kami.

Nilai-nilai itu mengamini bahwa selama ini kami tidak hanya asal bersenang-senang dan bergembira. Dulu saya terheran-heran melihat SLTP Qarriyah Thayyibah di Salatiga berhasil lulus ujian akhir dengan nilai gemilang, sementara mereka tidak belajar dengan cara yang sama dengan semua sekolah unggulan di indonesia; duduk manis, mencatat, mendengarkan dan latihan soal. Mereka belajar dengan mengeksplorasi dunia. Kami mencoba menirunya sesuai dengan lingkungan kami.

Saya sempat merasa cemas dan bertanya-tanya, bagaimana cara mempertanggungjawabkan kegiatan belajar ala sirkus di sekolah kami saat ujian kelak. Bagaimana cara percaya bahwa belajar adalah proses panjang dan rumit melibatkan pikiran, tubuh, dan jiwa. Bagaimana cara percaya bahwa anak-anak berhak mengendalikan proses belajar mereka. Bagaimana cara percaya bahwa semua ini juga akan membawa hasil yang baik ketika dievaluasi dalam sistem.

Saya beruntung, bekerja bersama guru-guru yang mengajar sepenuh hati, orang tua yang sangat mendukung, dan anak-anak yang luar biasa. Mereka tidak pernah goyah sedikitpun dan setia pada proses belajar yang menyenangkan dan bemakna.

Acara pelepasan murid kelas 6 minggu lalu dan hasil ujian nasional minggu ini berarak seperti slide foto di hadapan saya.

Dengan bangga dan tulus hati anak-anak kelas 6 menghadiahkan Mars Kembang, hasil karya mereka sendiri, sebuah lagu kebangsaan untuk sekolah kami dengan lirik yang menggambarkan keseharian kami dengan indah. Saya sungguh terpaku ketika liriknya bercerita bahwa susah senang di sekolah mereka lewati tanpa mengeluh. Bahwa kita semua harus bergandeng tangan tanpa membedakan sesama. Bahwa mereka percaya, mereka dididik menjadi orang yang baik untuk mengubah dunia.

Lagu yang indah. Lagu yang menyentuh saya sebab kini terasa nilai-nilai yang ingin kami bagi dari balik materi menurut kurikulum sampai tepat di hati mereka. Pidato yang ditulis Bram dan dibacakan Adam menutup acara pelepasan itu dengan sempurna, "...semoga adik-adik kelas kami akan lebih membanggakan daripada kami."

Tidak ada yang lebih membanggakan nak, meluluskan kalian yang cerdas, sekaligus rendah hati. Tidak ada yang lebih kami syukuri lagi.

Hari ini, saya menyadari bahwa anak-anak ini pergi dengan meninggalkan hadiah yang paling indah buat kami, guru-gurunya. Sebuah inspirasi untuk terus menjadi guru, untuk belajar menjadi guru yang baik dan percaya bahwa setiap anak memang bisa berkembang melebihi harapan jika diberi kesempatan.

Ya, angkatan pertama kami tumbuh besar dengan guru-guru muda yang nyaris tidak tahu apa yang harus mereka lakukan di kelas bersama segerombolan anak-anak penuh tatapan ingin tahu. Anak-anak ini adalah rekan-rekan belajar pertama kami. Dari mereka kami belajar berbagi, belajar mendengarkan, belajar bersabar, dan belajar menjadi orang yang bahagia. Merekalah sebagian dari anak-anak yang membuka mata dan hati kami, bahwa kami memang semestinya berada di tempat ini. Belajar bersama anak-anak untuk tumbuh menjadi orang yang baik dan mengubah dunia.

Hari ini, saya merasa sebagai orang paling beruntung di dunia karena mendapat kesempatan menjadi bagian dan melihat dari dekat tumbuh kembang kalian. Lebih lagi, kami belajar banyak dari orang tua kalian untuk ayah dan ibu yang baik. Ayah dan ibu yang menularkan rasa bahagia dan berharga bagi anak-anaknya.

Pergilah, terbang. Jadilah orang-orang yang mengubah wajah dunia menjadi lebih ramah dan penuh harapan.

Friday, June 12, 2009

Reminder

Do not then train youths to learning by force and harshness, but direct them to it by what amuses their minds so that you may be better able to discover with accuracy the peculiar bent of the genius of each

Plato

Wednesday, May 27, 2009

Belajar Sepanjang Hayat

Saya punya kesulitan menjelaskan bahwa suka belajar tidak sama dengan suka mengulang pelajaran aka duduk manis dan menghafalkan pelajaran. Ini, barangkali membantu menjelaskan.

Saya dan beberapa murid saya terhubung melalui facebook. Dari posting mereka, saya jadi ikut tahu apa yang mereka lakukan. Saya tahu mereka sedang suka sebuah film berlatar belakang Vatikan yang sedang diputar di bioskop sekarang. Yah, sebenarnya tidak perlu facebook untuk tahu ini, hehehe.

Suatu ketika mereka membagi beberapa foto saat main di rumah teman. Kegiatannya? Memasak, menonton, dan ... bermain kamera. Beberapa foto yang mereka ambil berasal dari buku sejarah mengenai Roma dan peta dunia.

Tampaknya rasa senang pada film itu menggelitik mereka untuk mencari tahu lebih banyak. Istilah hebatnya, they do some research. Tetap saja, sambil bermain.


Inilah belajar sepanjang hayat itu. Terus menerus tertarik pada sesuatu yang baru, terangsang untuk mencari tahu, bertanya, mencoba, membaca. Bukan hanya hal maha besar, tapi juga hal-hal kecil yang (kelak) jadi besar juga.

Keren.

Melihat mereka bersikap seperti ini menjelang kelulusannya, sungguh melegakan hati. Mengingatkan saya kembali bahwa tujuan akhir lulus sekolah bukan nilai yang tinggi, tetapi kecakapan hidup. Mereka sudah punya ketrampilan belajar yang mengesankan. Apakah kelak suatu hari mereka memutuskan untuk sekolah lagi hingga mendapat sederet gelar, atau mereka memilih menjadikan hidup sebagai sekolah, saya bisa merasa yakin bahwa mereka akan terus belajar sepanjang hidupnya.

Monday, May 11, 2009

Pulang Ujian : Hari 1

Siang itu, topik pembicaraan kami di ruang makan adalah insomnia dan maag yang kumat semalam. Iya, rasanya pengen muntah juga pagi tadi.

Itu kami, guru-guru dengan pengalaman pertama mengantar muridnya ujian (iya nak, pengalaman pertama kalian ujian juga). Guru-guru yang sibuk menyuruh semua anak tenang, istirahat, jangan tegang, sementara dalam hati justru cemas setengah mati.

Saya datang sebelum pukul 6.30 dan sekolah sudah ramai. Ramai dengan para orang tua dan anak-anak yang... berseragam merah putih. Hohoho, khusus untuk ujian, anak-anak akhirnya pakai seragam SD. Lucu melihatnya. Mendadak wajah-wajah yang nyaris dewasa itu kembali jadi anak-anak lagi.

Melihat anak-anak bercanda-canda, cemas saya berkurang sedikit. Tidak lama, pasukan kami sudah lengkap. Sebagian anak-anak perempuan membawa tas lengkap dengan papan jalan, pensil cadangan, dan lain-lain.

Leo dan Adam melompat keluar dari mobil dengan tangan kosong. Kata Bu Nanda," Lho, kalian tidak bawa apa-apa?"

"Kan, alat tulisnya sudah dibawakan Bu Nanda, kartunya juga."

Bu Nanda geleng-geleng kepala. Di punggungnya dan di tangannya sudah ada tas berisi perlengkapan perang hari ini; kartu ujian, pensil cadangan, rautan, file anak-anak berisi nomor telepon dan nama orang tua, papan jalan, tisu basah, tisu kering, minuman dan makanan kecil.

Di mobil, mereka masih bisa tertawa dan membicarakan twilight. Saya jadi lebih lega.

Sampai di sekolah tetangga, cemas saya naik lagi setengah senti. "Jangan lupa ya, kalau bertemu guru-guru memberi salam."

"Cium tangan, bu?" Anak-anak ingat ajaran Bu Andin.

Saya diam sebentar. "Ya, boleh saja."

Maklum, di sekolah kami yang sering terjadi adalah "HAI BUUU!" "PAGI BUU!" dari lantai dua atau seberang lapangan.

Kami mengintip kelas sebentar, dan anak-anak dipanggil untuk pengarahan di lapangan. Iya! Pengarahan seperti apel pagi di lapangan bersama anak-anak SD tetangga.

Kikuk anak-anak disuruh berbaris. Lencang kanan itu ke mana, semua celingukan.
Tapi mereka bersikap cukup manis, senyum-senyum simpul pada saya yang terpaksa ikut baris di depan, mendengarkan apa kata Pak Kepala sekolah dan ikut berdoa.

Saya dan Bu Nanda menunggu di kantor sekertariat. Sekali-kali cemas, uh, anak-anak bisa tidak ya, berdoa sendiri di kelas. Aduh, lupa tidak ya, memberi salam pada guru pengawas?

Ya,ya, kalau sudah seperti ini akal sehat saya untuk percaya pada anak-anak mulai menipis. Padahal, ternyata anak-anak baik-baik saja.

Pak Kepala Sekolah SD Tetangga bilang, kami boleh melihat sekali-kali. Jadi tiap setengah jam saya atau Bu Nanda mengintip. Bilang hai saja dari jauh. Sampai lima belas menit terakhir mereka masih membolak-balik kertas. Pulang ujian, kalau ditanya, "Tadi diperiksa lagi atau tidak?"

Jawabannya, "Aku sudah lima kali, dan dia sepuluh kali."

Itu betulan, lho, Bu.

Begitu ujian selesai, anak-anak sudah berdiri di depan pintu ruang sekertariat.

"Bagaimana, tadi?"

Dan semua langsung cerewet bercerita bahwa ada kupu-kupu masuk kelas, Leo jadi takut. Ada suara anak menangis, ada lagu Rayuan Pulau Kelapa terdengar. Ibu pengawasnya baik hati, dan cantik sekali. Soal yang susah nomor 7,8, dan 12. Tadi Putu diajak mengobrol sama pengawasnya. Dito juga.

Semua senyum-senyum saja, ceria-ceria saja.

Pfiuh. Cukup lega.

Tinggal berdoa, semoga perjalanan si kertas lembar jawaban sampai menjadi nilai tanggal 30 Juni nanti lancar-lancar saja dan tidak kurang suatu apa.

Percaya tidak, tadi anak-anak sempat mengelap meja dulu pakai tisu sampai bersih. Sempat juga bercanda lempar-lemparan sampah plastik sebelum para pengawas datang.

Hm. Saya ternyata membawa rombongan sirkus ujian.


Semoga besok tetap lancar ya!

Monday, April 27, 2009

My Comfort Zone

Teaching is always be my passion. Saya masih harus banyak belajar, pengalaman mengajar 3 tahun itu bukan apa-apa. Saya harus mengakui bahwa tahun ini saya bukan guru yang baik. Saya tidak mengajar dan memperhatikan anak-anak dengan baik. Entahlah, pikiran saya terbang bercabang-cabang. Saya punya sifat buruk ingin melakukan semua hal sekaligus, dan kadang-kadang, eh, seringkali... kenyataannya tidak bisa seperti itu.

Sekarang, saya harus berpikir lebih panjang. Melihat lebih luas. Menimbang lebih banyak. Saya benci memilih dan dan berpikir jika saya memilih untuk mengajar, saya mengambil pilihan egois.

Sekarang, saya harus sadar bahwa saat ini mengajar adalah zona nyaman, dan tidak apa-apa, tia, menarik diri sebentar dari zona nyaman. Kalau tidak, tak akan pernah naik kelas, bukan?

Tuesday, April 21, 2009

Tidak Siap

Kalau anda sedang memilih nama untuk calon anak anda, coba pikirkan sekali lagi baik-baik. Apalagi kalau atas nama keunikan, anda memilih jalur "sulit dieja".

Sistem pendidikan kita belum siap menerimanya. Mereka tidak bisa mengetikkan nama dengan benar ke dalam daftar nama peserta ujian, misalnya.

Saya tidak yakin sih, dalam 12 - 18 tahun ke depan, sistem pendidikan kita akan siap mengakomodasi nama anak yang unik dan sulit disebut. Yang gampang disebut saja salah ketik.

Asal tahu ya, memperbaiki nama di daftar ujian, ijazah, kartu-kartu lainnya itu benar-benar menguras... emosi. Jauh, lagi.

Oh ya, belum tentu benar lho.

Think about it twice.

Sunday, April 12, 2009

Berenang Melawan Arus



Membuat keputusan atas beberapa pilihan tidak pernah sederhana. Menjelang ujian, beberapa murid saya dan keluarganya mulai mengerucutkan pilihan dan menimbang-nimbang keputusan.

Bimbang tentu saja, mendengar banyak saran dan masukan dari seluruh penjuru mata angin. Mana yang harus dipilih, mana yang terbaik. Terbaik untuk siapa? Saya, dia, kami, atau mereka?

Beberapa malam lalu saya dan salah satu ibu murid saya saling berkirim sms. Anaknya cukup beruntung punya beberapa pilihan untuk melanjutkan sekolah. Mereka masih bimbang memutuskan, sekolah mana yang terbaik.
Saya tak bisa banyak membantu. Saya tahu, si anak mungkin akan lebih senang di sekolah A. Tapi, saya juga tahu bahwa sekolah B mungkin menawarkan lebih banyak kesempatan saat mereka harus memilih lagi tiga tahun ke depan.

Sang ibu menjawab sms saya, " Jika anak saya memilih A, maka kami pun harus siap melawan arus pendapat umum seperti saat kami memilih SD ini."

Jawabannya membuat saya termangu.

Saya sedang berada di sebuah awal perjalanan melawan arus. Pilihan saya (kami) melawan gelombang besar pandangan umum. Tentu tidak mudah untuk berdiri tegak. Capek rasanya menjelaskan alasan berkali-kali, pun belum tentu dimengerti.

Saya mencoba membayangkan apa yang dirasakan keluarga ini sekarang. Enam tahun lalu berenang melawan arus, dan kini, semoga, mereka sudah bisa tersenyum lega dan bangga. Tak perlu lagi menjelaskan mengapa saya berjalan ke sini dan bukan ke sana seperti kalian semua.

Barangkali saya pun perlu berterima kasih pada pilihan berani keluarga-keluarga yang mengirim anaknya ke sekolah kami. Pilihan mereka juga turut mengubah hidup saya. Menyaksikan anak-anak ini berkembang barangkali serupa dengan akhirnya melihat matahari terbit di puncak gunung. Setelah lelah mendaki, nyaris mati barangkali, berpikir untuk berhenti, dan kemudian semua luluh begitu saja.

Keindahan yang tinggal. Kagum, dan merasa kecil.

Sulit dan beresiko tinggi bukan alasan untuk mencoret sebuah pilihan dari hidup kita. Aneh dan tidak umum juga bukan alasanuntuk berkata tidak. Arus yang deras, jalan yang menanjak, sulit dan repot, itu hanya ujian untuk keteguhan hati, untuk sampai di tujuan.

Let us be the last to smile.

Wednesday, April 08, 2009

Moral Cerita

Di awal kuartal, saat menyusun silabus Bahasa Indonesia untuk kelas 5, ibu guru kelas 6 mengingatkan agar saya memasukkan lagi materi tentang memahami amanat cerita. Konon dalam analisis hasil UASBN Bahasa Indonesia, soal mengenai amanat cerita paling rendah poin perolehannya (Padahal menurut saya, soalnya saja yang tidak bisa membedakan mana amanat cerita dan mana ringkasan cerita. Ini terbukti dalam try out nasional kemarin)

Jadi, kemarin saya meminta anak-anak melengkapi sebuah dongeng dengan tanda baca yang tepat. Dongeng ini dongeng Afrika. Ceritanya tentang seeorang perempuan yang ingin diterima oleh anak tirinya. Perempuan ini sudah berlaku penuh kasih sayang, tapi anak laki-lakinya tetap saja tidak menyukainya. Si perempuan minta tolong "orang bijak" untuk membuatkan ramuan agar si anak bisa menyayanginya seperti ia sayang pada anaknya. Si orang bijak menyuruh perempuan ini mencari tiga helai cambang macan. Meski awalnya kebingungan, si perempuan memutuskan untuk mendekati macan setiap hari dengan makanan. Lama kelamaan si perempuan bisa berada di dekat si macan tanpa si macan merasa terancam.
Tiga helai cambang dibawa ke orang bijak. Orang bijak menolak. Kalau mendekati macan yang buas saja, ia berhasil, tentu ia bisa juga mendekati anak laki-lakinya perlahan-lahan.

Dhiadri senang membaca akhir ceritanya.

Saya bertanya pada anak-anak. Jadi, pesan apa yang bisa kita dapat dari cerita itu?

Anak-anak terdiam.

Satu tangan teracung ke atas. "Kalau mau menaklukkan anak-anak kita harus menaklukkan binatang buas dulu."

Adinda ikut angkat tangan. "Oh! Aku tahu! Sebaiknya kita tidak menikah dengan pria yang sudah punya anak."


Jadi, moral cerita dari pelajaran ini adalah....

Tuesday, February 24, 2009

Bangun pagi pagi


Awalnya, Riri bercerita bahwa ia mengerjakan tugas observasinya di teras rumah sehabis subuh.

Sehabis subuh?

Iseng saya bertanya pada anak-anak, apakah mereka perlu dibangunkan orang lain untuk bangun di pagi hari.

Separuh kelas menjawab; tidak.

Serius? Bangun sendiri? Tahukah kalian banyak orang tua bertengkar dengan anaknya tiap pagi karena tidak mau bangun dan lambat bersiap hingga hampir selalu terlambat ke sekolah?

"Iya. But i just got the feeling i have to wake up, Bu."

Wah, bagaimana caranya ya? Bahkan saya yang diyakini The Great Alexander lahir dengan jam dalam perut pun masih perlu alarm, dan bahkan perlu dibangunkan sesekali.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana caranya punya anak yang bisa bangun sendiri kalau pagi?

Saya masih terkagum-kagum.

Wednesday, February 18, 2009

Mencoba Sendiri

Pesawat Sederhana biasanya bukan topik favorit saya. Tahun lalu, kecuali tentang pameran yang hasilnya baik, saya tidak merasa sukses membawa topik ini ke dalam kelas.

Tahun ini, saya memutuskan untuk mengajak anak-anak mencoba sendiri. Minggu lalu, saya meminta anak-anak memanjat "arena panjatan" di aula, dan naik tangga ke lantai dua. Lalu saya minta mereka mengangkat 5 ensiklopedi sekaligus naik tangga, dan mendorong ensiklopedi itu di pegangan anak tangga. Saya juga minta mereka membuat jahitan jelujur dengan jarum yang tajam, dan jarum yang tumpul.

Satu jam kemudian kami berkumpul, dan saya tanyakan pada mereka, "Sekarang apa yang kamu ketahui tentang bidang miring?" Pengalaman satu jam panjat memanjat, angkat mengangkat, dan jahit menjahit sudah membuat anak-anak bisa menyimpulkan bagaimana bidang miring bisa menghemat tenaga. Makan banyak tempat sih, tapi memudahkan kita bekerja.

Hari ini saya mencoba hal yang hampir serupa.

Saya mengeluarkan satu set katrol dan berkata, "Bu Tia tidak pernah memakai alat ini dan belum tahu bagaimana caranya." Itu benar. "Hari ini giliran kalian yang mencari tahu, dan ajari bu Tia bagaimana cara memakai katrol."

Anak-anak langsung berhamburan ke seluruh penjuru kelas untuk mencari barang-barang yang akan mereka gunakan. Mengingat katrol cuma ada tiga dan kami bersembilan, saya memberi dua tugas lain untuk dicoba. Yang pertama membandingkan besar gaya saat menarik benda pada dua bidang miring yang berbeda kecuramannya. Yang lain adalah mencoba mengangkat benda dengan letak titik tumpu yang berbeda-beda.

Sebentar saja semua sudah sibuk. Mengobrol juga sih, tapi bahkan Nina dan Anna tak perlu waktu lama untuk membuat "flying fox" dengan katrol bebas yang berjalan-jalan. Girang sekali mereka naik ke bangku dan merentangkan tali menyeberangi ruangan hanya untuk membuat katrol bebas bergerak.

Adinda sedang mencoba ini.


"Bu, kenapa sih kalau titik tumpunya lebih dekat ke titik kuasa justru tambah berat? Padahal kan lebih dekat dengan tangannya?"

Saya membawa Adinda ke kelompoknya. "Ayo, bagaimana menurut kalian? Mengapa bisa seperti itu?"

Agung berusaha menjelaskan, "Ininya kan jadi panjang bu. Jadi ininya nambah ke situ. Makanya berat."

Maksudmu Gung, lengan bebannya jadi panjang, dan itu menambah berat beban? Saya kagum juga Agung mau mencoba menjelaskan.

Hari ini semua benar-benar mencoba sendiri. Kelas mirip sirkus (sungguh, saya merekamnya dan sampai sekarang masih suka menontonnya sambil senyum-senyum sendiri), tapi yang jelas, kami belajar tanpa disuapi.

Gambar dari The Science of Gears

Friday, February 13, 2009

Bahasa dan Identitas

Language expresses Identity. Language is integral to the development of identity. There is a close link between the ability to control the different functions of language and learner's own personal, social, intellectual, and imaginative development. The ways in which learners view the world are moulded by their language development.

Kurikulum New Zealand


Jadi begini, kalau kita membiarkan anak-anak berbahasa dengan ngawur, apalagi tidak punya akar bahasa yang kuat, bagaimana mereka bisa memahami dunia apalagi mencapai tahap terakhir dalam perkembangan moral Kohlberg?

Partai Kampanye

Ibu Guru Kelas 6 minta ijin agar jam pembuka pagi ini boleh dipakai kelasnya untuk kampenye di kelas 5. Ya, Kelas 6 sedang pura-pura pemilu lengkap dengan KPU dan para partainya.
Ada 4 partai berkampanye di kelas 5. Masing-masing menjelaskan visi dan misi partainya berikut makna simbol-simbol yang mereka jadikan lambang partai.

Saya terkejut melihat partai Mini dan Saras menguraikan visi dan misi dengan benar. Misalnya, visi mereka adalah mengurangi pengangguran, maka misinya jelas menyatakan akan membuka lapangan kerja di sini dan di sana. Mereka masih kelas 6.

Saya memperhatikan bahwa anak-anak menganggap serius isu lingkungan dan identitas sebagai bangsa Indonesia yang beragam. (YEY!)

Saya kagum melihat beberapa kelompok memilih simbol dan menceritakan bagaimana mereka memaknai simbol itu. Misalnya saja, kelompok Lika dan Mita memilih simbol kunci untuk mengatakan "kami tahu hal-hal kunci untuk menyelesaikan banyak permasalahan."

Saya pun menikmati kelompok Adam dan Leo yang dengan kocak menengahi kampanye dengan berkata, "Kami tidak akan mengajukan terlalu banyak visi dan misi. Nanti anda kira kami bohong." Lantas mereka menjelaskan (dengan penuh semangat) tentang visi mereka untuk membangun Disney Land di Jakarta.

Kelas 5 tertarik. Mereka berkomentar, menghitung waktu, dan mulai menimbang-nimbang pilihan mereka untuk pemilu hari Senin besok.

"Bagaimana? Jadi kalian kampanye 2 menit dan kami punya waktu 2 hari untuk berpikir?"

"Bu, aku suka partai itu karena bicara tentang lingkungan. Tapi aku tidak mau pilih mereka, because they are the girls team."

Di dunia nyata nak, BANYAK yang berpikir seperti itu. Hm.

Saturday, February 07, 2009

Hujan Hujan


Minggu ini hujan turun hampir setiap hari. Dinginnya minta ampun. Di kelas, kami sering lupa menyalakan AC sampai siang. Sampai Agung harus memohon, "Bu, can we turn on the AC, please?

Flu membuat tissue dan bunyi srat srot terdengar dari mana-mana.

Adinda menggambarkan keinginan kami (well, mungkin keinginan saya, tepatnya) dengan baik.
"Bu, tahu nggak, sekarang enaknya ngapain?"

"Apa?"

"Di balik selimut, buat cokelat panas, lalu baca buku atau nonton film...."



"..."









Pulang yuk, pulang....

Wednesday, January 14, 2009

Kebenaran itu (tidak) Mutlak

Mulai bulan ini, anak-anak kelas 6 pensiun sementara dari kegiatan bersenang-senang ala ekstrakurikuler. Sebagai gantinya, mereka harus ikut latihan soal ujian. Maaf yaaa...

Saya menawarkan diri pada Ibu Guru Kelas 6 untuk membantunya melatih soal Bahasa Indonesia. Jadi hari ini saya datang ke kelas 6 membawa 25 soal dan 40 bendera 4 warna.

Bendera itu adalah akal-akalan saya untuk bisa melihat semua jawaban anak-anak dalam sekilas pandang. Saya bisa melihat jawaban mayoritas, atau jawaban-jawaban nyeleneh. Saya bisa memanggil siapa saja dan menuntut mereka menjelaskan mengapa memilih jawaban itu.
Lumayanlah, membantu kami tertawa-tawa di tengah kebosanan mengerjakan soal.

Apalagi, bersama mereka saya baru menyadari betapa sulitnya menyimpulkan apa itu "benar" dalam 4 pilihan saja. Beberapa kali anak-anak "terjebak" dalam jawaban-jawaban subjektif, yang bernilai nol dalam soal pilihan ganda.

Contoh! Ada gambar anak-anak sedang upacara bendera. Berbaris berderet-deret, dengan 3 orang di depan menaikkan bendera, dan sebuah meja berisi piala di samping barisan anak-anak. *bu Tia malas memindai gambarnya di sini*

Pertanyaannya adalah ; Kalimat yang paling tepat untuk menceritakan isi gambar di atas adalah...

a. Murid-murid sedang mengibarkan bendera untuk memperingati hari kemerdekaan.
b. Murid-murid sedang berbaris.
c. Petugas pengibar bendera sedang mengibarkan bendera.
d. Murid-murid menunggu piala dibagikan.

Bendera merah berkibar-kibar. Mayoritas menjawab A. Hanya satu bendera kuning muncul, yaitu jawaban C.

Kunci jawaban mengatakan ... C

Kami mendiskusikan mengapa jawaban C yang ada di kunci jawaban. (Iya kan, sebenarnya sih ke-empat jawaban benar juga, tapi nasib nilai mereka ada di lembar kunci jawaban yang harus dipatuhi seperti agama).

Anak-anak segera sadar bahwa mereka mengasosiasikan upacara bendera dengan tujuh belas agustus, karena selama di sekolah kami, itulah satu-satunya hari kami mengadakan upacara bendera. Sementara, gambar itu tidak menunjukkan tanda-tanda (umum) tentang tujuh belas agustus.

Lain soal, mengutip peraturan sekolah untuk "berpakaian sopan dan rapi sesuai ketentuan". Pilihannya adalah, boleh berpakaian bebas tapi rapi, atau berseragam rapi. Anak-anak menjawab pilihan pertama. Kunci jawaban memilih pilihan kedua.

Saya harus probing mereka, "Menurutmu, umumnya bagaimana cara berpakaian di sekolah pada umumnya?"

"Pakai seragam, bu...."

Pertanyaan berlanjut, "Ibu, nanti kalau kita ujian, bagaimana? Seragam kita kan cuma satu, padahal ujiannya tiga hari."

Halah. Benar juga, ya.


Kembali ke soal, kali ini soal gambar lagi. Di gambar ada seorang polisi mencengkeram bagian kerah leher belakang dua orang anak yang wajahnya marah dan tangannya saling mengacung. Soal meminta mereka memberi tanggapan yang tepat untuk gambar itu.

a. Perbuatan anak-anak itu sungguh tercela.
b. yada yada yada
c. Tidak apa-apa, nanti juga baik lagi.
d. lalalalala

ADA LHO yang menjawab c. Alasan mereka, "Iya sih bu, sepertinya A. Tapi kalau di sini, bu, biasanya memang c. Kalau habis berantem kita baikan lagi."

Yah, anak-anak sayang, memang kebenaran itu tidak mutlak. Benar itu seringkali hasil konsensus, tergantung siapa yang membuat konsensus. Bu Tia bangga kalian punya cara pandang dan value sendiri, tapi kalau seperti ini...bagaimana kita bisa dapat nilai sembilan saat ujian?

Mengendalikan Diri

Kelas 5 mendengung seperti sarang lebah. Anak-anak sedang mengerjakan lima soal cerita tentang gaya gesek dalam kelompok-kelompok kecil. Dhiadri, Riri dan Adinda yang mulai lebih dulu, jadi punya lebih banyak waktu luang untuk berkhayal menciptakan klakson berbunyi suara anjing untuk menghalau kucing, atau membuat flashdark instead of flashlight. Don't ask them why, penjelasannya panjang sekali.

Nina dan Dhimas di sudut lain ruangan. Mereka sedang membahas cerita pak Kurcaci sok tahu yang membuat banyak sekali ban yang hitam polos mengilat. Jelas tidak laku dijual. Nina menamai alur ban dengan sebutan gerigi. Tampaknya, mereka sampai pada sebuah simpulan bahwa gaya gesek membantu kita mengontrol gerak.

Nina : Wah, kalau begitu sebaiknya kamu dipasangi gerigi saja, Dhimas.

Dhimas amat mengenal dirinya. Mungkin ia pun terlalu banyak dikomentari guru dan temannya karena banyak bergerak dan banyak berkomentar. Dia cekikikan dan, seperti anak-anak suka berbagi gurauan, langsung memanggil saya.

Dhimas : Ibuuu... hear what she said. Katanya aku dipasangi gerigi saja supaya lebih mudah mengontrol gerak.

Bu Tia hanya bisa tertawa.