Monday, October 24, 2005

Mata Mata

Minggu yang lalu, saya membawa sebuah fishbowl dan setumpuk kertas berukuran 8 x 5 cm. Saya mengumumkan pada anak-anak bahwa sepanjang minggu ini kita akan menjadi mata-mata.

Mata-mata?

Ya, kita akan memata-matai teman-teman satu kelas. Setiap ada yang ketahuan melakukan perbuatan menghargai orang lain, kita tulis namanya dan masukkan dalam fishbowl. Jangan lupa menulis sandi rahasia (dengan kata lain inisial nama masing-masing sebagai pelapor). Kita akan menghitung hasilnya hari Senin minggu depan.

Kami sudah berlatih mengenali apa saja yang termasuk perbuatan menghargai orang lain (sesederhana mendengarkan orang lain, minta ijin sebelum meminjam barang, tidak mengganggu teman yang sedang bekerja, dan sebagainya).

Tugas ini cukup sulit untuk kelas saya yang nyaris tidak punya bayangan tentang apa itu menghargai orang lain, dan sangat kompetitif. Mudah sekali menemukan sesuatu untuk menjatuhkan lawan. Bagaimana dengan tugas sebaliknya?

Hari ini kami membahas hasil tugas memata-matai itu. Anak-anak menikmati sekali ketika tahu bahwa teman-temannya memperhatikan good deeds yang ia lakukan. Juga tak kalah bangga ketika tahu bahwa ia adalah mata-mata paling rajin minggu ini. Anak-anak dengan jumlah catatan sedikit langsung tahu bahwa ada sesuatu yang harus mereka perbaiki.

Satu hasil yang menakjubkan untuk saya. Anak-anak yang mendapat catatan paling banyak dari teman-temannya adalah anak-anak yang selama ini selalu jadi biang kerok keributan di kelas (1). Tampaknya mudah tertangkap mata kalau Zaky yang bisa 'duduk tenang sepanjang kami menonton film' atau Dhimas yang 'bisa menunggu giliran dengan sabar'. Mereka SANGAT bangga melihat hasilnya.

Saya berpikir untuk menghentikan permainan ini hari ini. Tapi, setelah fishbowl saya kosongkan, anak-anak mulai mengisinya lagi. Jadi kami belum bisa berhenti.

Sunday, October 23, 2005

Siapa Saya?

Anak seusia penghuni kelas saya sedang senang-senangnya mengulik pertanyaan "Siapa saya?". Mereka sedang tumbuh menjadi bagian dari lingkaran sosial yang makin hari makin besar. Mereka makin perlu tahu dan bisa menyatakan siapa diri mereka sebenarnya.

Hal yang paling sederhana dari acara eksplorasi identitas diri ini adalah dengan mengelompokkan diri dengan orang lain yang (menurut mereka) sama dengan dirinya. Tiba-tiba saja Bu Tia jadi orang dewasa yang tidak boleh tahu urusan anak-anak.

Anak-anak perempuan jadi lebih senang berkumpul dan membuat permainan versi mereka sendiri. Mereka juga mulai senang duduk-duduk di tempat yang teduh dang ngobrol kian kemari. Anak-anak laki-laki juga memilih untuk berpisah dan main bola tak habis-habis.Sekali waktu mereka masih bermain bersama dan tidak peduli pada perbedaan jender (yang mana saya amat bangga pada mereka tentang ini), tapi saya tidak bisa mungkir bahwa memahami jender juga harus melalui proses membedakan anak laki-laki dan perempuan. Tahun ini saya bisa melihat perbedaan jender ini lebih jelas karena saya punya lima anak laki-laki dan lima anak perempuan. Tahun lalu anak laki-laki harus mengalah dibawah dominasi perempuan karena perbandingannya adalah 1:4.

Mengintip mereka bermain, saya sempat melihat bagaimana anak-anak kelas 2 ini tiba-tiba bersikeras tidak mau bergabung dengan anak kelas 3 untuk bermain lempar bola. Mereka ngotot memakai dua bola sehingga bisa memisahkan kelompok kelas 3 dan kelas 2 .

Setelah atribut-atribut umur, jender, dan kelas, identitas berikutnya yang sedang asyik mereka pertanyakan adalah agama. Jangan lupa bahwa anak-anak ini juga sedang mengembangkan batas-batas untuk diri mereka sendiri. Boleh dan tidak boleh, baik dan buruk, jadi penting untuk mereka mengukur tingkah lakunya sendiri. Tampak luar institusi agama yang jelas berisi tokoh otoritas berikut batas-batas, hadiah, dan hukuman mudah dicerna anak-anak, karena tidak jauh berbeda dengan rumah dan sekolah beserta isinya. Menariknya lagi, di lingkup bermain pun mereka bisa melihat persamaan dan perbedaan.

Karena di sekolah kami tidak ada pelajaran agama secara resmi di kelas, saya justru bisa mengamati perkembangan identitas agama ini dengan lebih alamiah. Semua pelajaran dari rumah masing-masing lebur dalam kelas kami yang beragam. Anak-anak mulai bertanya mengapa Musa tidak puasa, dan menyimpulkan sendiri karena Musa beragama Kristen. Tapi mengapa Mini yang Katolik, atau Chandra dan Agung yang Hindu juga puasa?

Mereka mulai menamai fakta-fakta dasar yang berbeda tentang hari raya, tempat ibadah dan kitab suci. Sampai di sini biasanya saya hanya membantu menjawab pertanyaan, atau membiarkan mereka menjawabnya sendiri. Saya hanya bagian monitoring, sampai mana sih mereka ingin tahu dan sudah tahu.


Riri selalu ingin tahu lebih jauh dan lebih dalam dari teman-teman lainnya. Kemarin kami menonton film tentang seorang anak yang tinggal di Manadotua, dekat Taman Laut Bunaken. Diceritakan dalam film itu bahwa masyarakat Manadotua kebanyakan beragama Kristen (digambarkan dengan sekelompok anak-anak bernyanyi di gereja). Riri bertanya pada saya.

Bu, mengapa mereka pergi ke Gereja, tidak ke Masjid?
Karena kebanyakan beragama Kristen, Ri.

Mengapa di sana agamanya Kristen? Ada Masjid tidak, Bu?
Ada. Memang kebanyakan agamanya Kristen, tapi ada juga yang beragama Islam.

Mengapa begitu, Bu? Mengapa di sana banyak yang agamanya Kristen dan di sini banyak yang agamanya Islam?

Di titik ini saya hanya mampu menunjukkan fakta bahwa di banyak tempat ada kecenderungan mayoritas dan minoritas agama yang berbeda-beda. Saya belum mampu menjelaskan dengan sederhana pada Riri bahwa ini semua terkait dengan sejarah masing-masing daerah. Untung anak saya yang super kritis seperti ini hanya satu.

Pada beberapa kesempatan, saya hanya bisa nguping ketika anak-anak sibuk bicara tentang kegiatan mengaji mereka di luar sekolah. Lain kali mereka berdiskusi apa saja yang bisa dibicarakan dengan Tuhan ketika berdoa. Seperti kata Adinda, "Sebelum tidur aku berdoa lho, aku selalu minta maaf sama Tuhan kalau aku salah hari ini. Kayak gini nih, 'Tuhan... maafin Adinda ya hari ini.." Saya tidak bisa mengikuti pembicaraan selanjutnya sampai ketika Dila menimpali, "Iya tapi waktu aku nonton Takdir Ilahi... katanya gini ..."

INI DIA YANG MEMBUAT PROSES MENCARI IDENTITAS BISA KACAU BALAU! 2)

Selagi anak-anak mengumpulkan potongan-potongan identitasnya, saya sengaja tidak mau melakukan intervensi terlalu banyak. Saya tidak mau membuat mereka memiliki identitas seragam, atau bahkan memaksakan idealisme terlalu awal. Biar saja mereka memahami perbedaan jender mereka dengan alamiah, tanpa buru-buru saja jejali dengan pemahaman tentang feminisme. Toh anak-anak perempuan itu tidak pernah merasa rendah diri dari rekan laki-lakinya. Kadang-kadang saya biarkan saja mereka menolak bermain bersama teman-teman lain kelas. Kami tetap punya kegiatan yang melibatkan semua kelas dalam waktu yang sama sehingga mau tak mau mereka tetap berinteraksi. Ketika Ibu Tia tidak boleh tahu urusan anak-anak, ini justru saat yang baik untuk mengenalkan apa itu menghargai urusan orang lain. Ketika isu agama muncul, saya jadikan perbedaan agama tidak ubahnya dengan perbedaan jenis kelamin, usia, warna kulit, keriting lurusnya rambut, tanpa membuatnya jadi berlebih-lebihan.

Saya jadi ingin tahu, gambar apa yang terbentuk dari potongan-potongan puzzle identitas mereka, nanti ya?


1)
Para orang tua muda, tolong, tolong, tolong, jauhkan anak-anak anda dari televisi. Terutama stasiun televisi Indonesia, sampai suatu hari kelak ada kekuatan gaib atau penerima hadiah Nobel yang bisa mengubah mereka. Otherwise, your children will have a non-sense identity.

Friday, October 21, 2005

Perkalian

Anak-anak kelas 2 sudah menanti-nanti saatnya belajar perkalian. Untuk mereka, perkalian adalah satu bagian matematika yang hanya dipelajari mereka yang sudah mahir dan sudah besar. This is a big milestone.

Tiga minggu terakhir ini anak-anak sudah melakukan banyak sekali permainan, acara tempel menempel dan menyelesaikan puluhan lembar kerja tentang perkalian. Berkat semua itu, mereka sudah memahami konsep dasar bahwa perkalian adalah penjumlahan berulang. Juga bahwa 5 x 4 dan 4 x 5 hasilnya sama saja. Mereka sudah tahu bahwa semua bilangan dikalikan 1 sama dengan bilangan itu sendiri. Semua bilangan jika dikalikan 0 sama dengan 0.

Sekarang sudah saatnya menghafalkan tabel perkalian. Menurut ingatan saya, tabel perkalian adalah momok menakutkan. Dulu saya belajar perkalian di kelas 3. Tidak pernah ada cukup waktu untuk mengerti konsep awal perkalian sebagai bekal. Satu-satunya jalan ya dihafalkan. Kalau tidak hafal, bisa-bisa tidak bisa mengerjakan apa-apa. Guru saya bisa memanggil siapa saja dan meminta anak yang dipanggil itu untuk melafalkan perkalian di depan kelas. Tidak ada kesempatan untuk salah kecuali mau malu!

Di kelas saya sekarang, menghafalkan perkalian adalah tantangan yang perlu ditaklukkan. Anak-anak sudah membuat daftar perkalian dalam kartu kecil sebagai alat bantu. Mereka bisa datang pada guru-guru di kelas atau guru matematikanya untuk membuktikan bahwa mereka sudah hafal dan mendapatkan stiker bintang. Dua stiker kalau kamu bisa melafalkannya dengan cepat. Jadi, bisa dibayangkan bahwa seminggu terakhir ini kelas saya mendengung seperti sekumpulan lebah. Saya bisa ditarik-tarik kapan saja untuk mendengarkan perkalian mereka.

Menarik sekali melihat mereka begitu bersemangat dan bisa menampilkan kemampuan mereka sesuai kecepatan yang mereka inginkan. Agung misalnya, belum berhasil melalui perkalian tiga, dan ia sama sekali tidak cemas. Sebaliknya Riri hari ini membuktikan bahwa ia sudah menguasai perkalian 1 sampai 10. Riri bangga sekali. Adinda langsung panas hati. Ia menemui saya sembilan kali untuk mendengarkan perkalian delapannya.Kami tertawa setiap kali Adinda lupa atau membuat kesalahan. Adinda masih komat-kamit berusaha menghafalkan meski saya sudah menyuruhnya istirahat.

Dhimas dan Dhiadri menggunakan cara lain. Mereka bermain – apa yang mereka sebut dengan – TENIS PERKALIAN. Dengan raket tenis bohongan mereka memukul bola bohongan dengan kalimat “3x8!” dan harus dijawab lawan dengan benar. Begitu seterusnya sampai mereka berkeringat.

Pada kenyataannya Dhiadri masih enggan menghafalkan, “I cannot memorize all of this!” keluhnya. Sepanjang pagi tadi Dhiadri sibuk mendatangi teman-temannya yang berusaha menghafalkan perkalian dengan menceritakan penemuan-penemuannya mengenai pola hasil perkalian. “Lihat ini, kalau perkalian sembilan, yang sebelah kiri ditambah satu, yang sebelah kanan dikurang satu. Very easy!”
“Kalau perkalian lima belakangnya pasti nol atau lima. Bergantian saja!”
Saya merasa egonya sebagai anak pintar dan tukang berpikir agak terganggu ketika mendapati dirinya bisa lupa apa yang sudah berusaha ia ingat. Apalagi dia tidak berhasil menemukan pola menarik untuk hasil perkalian tujuh.


Yah, ngomong-ngomong hari ini jadi menyenangkan gara-gara perkalian. Padahal tadinya saya anti dengan acara hafal menghafal. Anak-anak menunjukkan pada saya, menghafal bisa juga menyenangkan. Mau tidak mau (kadang) acara menghafal harus dilewati juga.

Thursday, October 20, 2005

Biskuit dan Puasa

Sudah beberapa hari, The English Teacher meletakkan satu toples biskuit berbentuk bulan sabit di kelas. Biskuit itu menjadi perhatian Adinda. Ia bahkan dengan khusus mendatangi si ibu guru untuk minta kantong plastik agar bisa membawa beberapa biskuit pulang.

Maklum, Adinda sedang belajar puasa.

Keesokan paginya, di jam istirahat, Adinda mendatangi saya. " Bu, tadi pagi aku sudah nangis, jadi puasaku batal. Aku nggak puasa hari ini." Saya manggut-manggut dan Adinda menghabiskan setengah cadangan makan siang yang disiapkan ibunya. Setelah itu, "Bu, aku minta biskuitnya, dong. Dua ya.."

Dan dua lagi.

Dan satu lagi.

Saya tidak ingat persis bagaimana ceritanya, tapi hari itu si biskuit jadi terkenal. Anak-anak mulai mengatur siasat. Riri dan Dila memilih untuk membungkus beberapa biskuit dengan tissue, lalu mengelemnya hati-hati sekali dengan selotip. Mereka memutuskan untuk memakannya saat buka puasa.

Dhimas, Agung, dan Dhiadri (tidak seperti biasanya) main bola sampai bersimbah keringat. Mereka bilang, "I want to break my fast now!" dan minum beberapa teguk. Beberapa saat kemudian mereka datang ke saya.

"Bu Tia, May I have some biscuits please?"
Hihihi. Saya beri masing-masing empat buah.

Sekarang biskuit itu sudah habis tak bersisa. Anak-anak kembali puasa seperti biasa.


Tuesday, October 18, 2005

A Student to Share

Beberapa minggu belakangan ini saya tertekan oleh dua hal. Satu, selama bulan puasa ini kelas saya luar biasa sulitnya. Saya yang selama bertahun-tahun tidak pernah mengeluh soal pekerjaan hanya karena puasa, tahun ini sepertinya harus menyerah kalah.

Tekanan yang lain berhubungan dengen pementasan operet akhir tahun. Modal saya yang 'kecil tapi galak' dimanfaatkan teman-teman untuk mengurusi masalah latihan. Jadilah saya yang pertama kali histeris melihat alokasi waktu dan banyaknya bahan latihan. Tahun lalu saya masih tertawa-tawa ketika harus latihan bersama 18 anak kelas 1 dan 2. Tahun ini ada 32 anak, bervariasi dari baru ulang tahun ke enam sampai ulang tahun ke sembilan. Dan semua harus siap untuk pertunjukan sepanjang satu jam dan menghafalkan posisi mereka di dua pintu belakang panggung untuk keluar masuk. Kami menamainya Pintu Kanan dan Pintu Kiri.

Kesialan lain adalah, saya selalu gagal melafalkan kanan dan kiri dengan benar.

Hari ini, kembali saya harus latihan bersama sebagian anak. Kali ini saya sendirian. Untungnya saya berlatih bersama sekelompok anak yang sangat koperatif. They did share ideas tentang bagaimana sebaiknya panggung itu tampak oleh penonton. Mereka meneliti naskah dengan baik dan bahkan menegur saya kalau ceroboh menempatkan mereka di panggung.

Senang rasanya, punya teman berbagi ketika bekerja.

Tuesday, October 11, 2005

Laki-laki

Di tengah pembahasan tentang makhluk-makhluk laut dari plankton sampai paus, tiba-tiba Adinda angkat tangan, minta diberi kesempatan bicara.

Adinda : Bu, menurutku laki-laki itu tidak termasuk mamalia.
Saya : Kenapa begitu?
Adinda : Laki-laki kan tidak menyusui dan tidak melahirkan.
Saya : (tidak bisa menjawab), tapi ada kemiripan-kemiripan ciri yang lain, kan?
Adinda : Tapi intinya mamalia itu ya menyusui dan melahirkan, bu! Jadi laki-laki itu bukan mamalia.
Saya : ....

Dila : Lalu apa? Reptil??

Hahahhahahaha.... Saya jadi ingat obrolan sesama teman perempuan tentang kadal dan buaya.

Monday, October 10, 2005

Murah Meriah

Sejak saya kecil, lego adalah salah satu permainan edukatif yang populer. Balok-balok bergerigi warna warni ini tidak ada habis-habisnya dimainkan. Setiap hari ada saja benda baru yang bisa dirancang dari lego. Hari ini rumah, besok pesawat tempur, lusa sudah berubah jadi robot hebat.Selalu ada cerita baru yang bisa dibuat, dan selalu ada pesan untuk siapa saja untuk tidak mengutak-atik si robot sampai diijinkan.

Sampai hari ini mainan rancang bangun sejenis lego masih bisa ditemui di toko-toko mainan. Harganya, cukup mahal.

Anak-anak saya sudah beberapa hari menemukan kesenangan merancang bangun dengan menggunakan penjepit jemuran. Mereka membuat pesawat terbang, robot, capung, dan sebagainya.

Penjepit jemuran warna-warni ini jelas murah meriah. Sebelum semua harga naik dua kali lipat bulan ini, harga penjepit jemuran di pasar sekitar Rp 2500 selusin. Jika harganya Rp 5000 pun, masih jauh lebih murah membeli lima lusin penjepit jemuran daripada sekotak lego.

Terakhir kali saya kepingin sekali menghadiahi keponakan saya satu ember lego ukuran sedang, harganya mendekati Rp 300.000. Mungkin kalau ia ulang tahun kelak, saya belikan satu ember jepit jemuran saja, ya.



Puasa

Puasa bagi anak-anak bisa berarti macam-macam.
Puasa bisa berarti alasan yang baik untuk tidak perlu makan, terutama bagi mereka yang tidak suka makan.
Puasa bisa berarti kesempatan yang baik untuk menambah waktu bermain karena tidak perlu dipotong waktu makan.
Puasa berarti pengakuan, bahwa saya sudah besar.
Puasa berarti prestasi, karena sudah kuat sehari penuh sampai maghrib.

Adalah salah satunya alasan anda juga untuk puasa? :)

Sunday, October 09, 2005

Menjelajah Peta

Saya menempelkan sebuah peta Jakarta di salah satu dinding kelas kami. Cukup besar, sampai untuk melihat di mana Pelabuhan Tanjung Priok atau Taman Impian Jaya Ancol, anak-anak harus memanjat bangku.

Seharian ini (tentunya di jam pelajaran saya) anak-anak sudah mirip dengan cicak di dinding. Semua menempel sampai mata mereka hanya 3 cm dari dinding, semua saling tumpang tindih.

Sebagian besar anak-anak di kelas saya sudah cukup lancar menuliskan alamat rumah mereka sendiri, meski tidak kenal RT/RW, kelurahan dan kecamatan. Saya beri mereka masing-masing sebuah stiker untuk dinamai, dan kemudian menempelkannya di peta Jakarta. It was a very fun hide and seek game.

"Rumahku di dekat Kebun Binatang Ragunan. Aku tahu itu. Sekarang di mana Kebun Binatangnya?"

"Ibu, Ibu, aku tidak bisa menemukan Jalan K.H Ahmad
Dahlan. Harusnya di dekat rumah Dhimas, tapi Dhimas belum menempelkan
stikernya."


"Ini jalan yang aku lewati setiap hari, Bu. Tapi
jalannya habis di sini. Rumahku tidak kelihatan lagi di peta." Hihi. Ya tentu
Nak, rumahmu jauh di Bekasi, sedangkan ini hanya peta Jakarta. Lain kali kita
pasang peta Jabotabek.


"Rumahku di Kebayoran Baru. Tapi Ini Kebayoran Lama.
Kebayoran Baru ada di sebelah mana?"


Setelah 30 menit berlalu, anak-anak masuk ke babak berikutnya. Mereka mulai membandingkan jarak rumah masing-masing. Oh, ternyata rumah Agung dan Musa hanya berjarak beberapa gang saja. Ternyata rumah Dhiadri dan Dhimas dekat dengan Mall Itu. Ternyata tempat latihan baseball itu jauh juga ya dari rumah. Ternyata rumah Ai yang paling dekat dengan sekolah.

Anak-anak terus berlanjut menjadi cicak di dinding sambil bermain 'Saya lihat... MONAS! Saya lihat... STASIUN KOTA!' Seru sekali.

Saya hampir-hampir tidak melakukan apa-apa selain membantu menyiapkan stiker dan menggilir anak-anak bergantian menempelkan stiker-stiker mereka.
Mungkin nanti kalau saya punya 20 murid, saya harus menempel 2 peta.



Monday, October 03, 2005

Cermin, Cermin

Tema tentang Respect, atau Penghargaan adalah salah satu tema yang paling saya gemari di kelas. Dalam tema ini anak-anak punya banyak kesempatan untuk mengeksplorasi konsep dirinya dan cara pandang mereka pada orang lain maupun hubungan mereka dengan orang lain. Saya selalu merasa bersemangat untuk mengamati perkembangan mereka dari hari ke hari dalam bahasan tema ini. Lebih lagi, tema ini selalu berhasil mengalir begitu saja dan tidak pernah membosankan.

Dari buku Living Values for Education Age 3-7 saya menemukan sebuah kegiatan unik yang selalu saya jadikan kegiatan pembuka untuk tema ini. Judulnya, Cermin, Cermin.

Biasanya saya mulai dengan diskusi pagi di karpet. Saya katakan pada anak-anak bahwa ada seseorang yang sangat istimewa yang ingin menemui mereka. Anak-anak selalu excited 'kedatangan tamu'. Saya katakan, orang yang sangat istimewa ini hanya mau menemui mereka satu persatu. To this level, normally my children were halfway to jump. Saya akan menambahkan bahwa saya ingin orang istimewa ini menemui mereka karena orang ini adalah orang yang baik hati, pintar dan banyak tersenyum. Saya minta mereka mencari apa istimewanya orang ini.

Satu per satu anak saya minta pergi ke ruang sebelah. Tanpa sepengetahuan mereka saya sudah memasang sebuah cermin di ruang sebelah yang kosong. Ya, sebenarnya tamu istimewa yang harus mereka temui adalah mereka sendiri. Saya, sebagai dalang atas semua ini akan sangat menikmati suasana di mana ada sekelompok anak yang tegang menunggu giliran, sementara setiap anak yang kembali dari ruang sebelah akan tertawa terkikik-kikik tanpa berani buka mulut. Sudah saya wanti-wanti untuk tidak bercerita sedikitpun mengenai pertemuan itu.

Dhimas tadi memanggil saya sambil berbisik ketika sedang menunggu giliran, "I think I know who he is. A clown."

Kami akan mengakhiri kegiatan ini dengan berkumpul lagi di karpet dan berbagi cerita. Benarkah apa yang Bu Tia katakan tadi, tentang orang yang sangat istimewa? Sambil masih tersenyum-senyum mereka akan mengangguk mengiyakan. Beberapa tampak sumringah, tiba-tiba merasa sangat istimewa.

Apa istimewanya?

Jawaban yang berloncatan dari mulut mereka adalah jawaban serupa; Aku cuma satu. Aku unik. Tidak ada yang sama dengan aku.

Setelah kegiatan seperti ini, tidak pernah sulit bagi anak-anak untuk mulai menggali hal-hal yang baik dari dirinya. Dari hal besar seperti "Aku tahu banyak hal" sampai hal kecil seperti "Aku cepat tenang lagi kalau sedang marah."
Setelah sekian kegiatan, anak-anak akan dengan cepat merefleksikan pemahaman bahwa setiap orang berbeda-beda, tidak ada yang sama. Tidak juga teman sepermainanku, kakak atau adikku. Tak ada lagi yang sulit dengan memahami bahwa kita harus menghargai perbedaan-perbedaan itu setelah sampai di titik ini.




Kembali dari Liburan

Pagi ini, ketika saya membelokkan mobil ke jalan kecil menuju sekolah saya bertemu dengan salah satu murid saya. Saya tidak bisa menahan senyum yang sangat lebar, menyadari hari ini dan hari-hari besok kelas kami akan tetap lengkap, 12 orang.