Thursday, October 30, 2008

Bu Tia Tahu

Adalah hal paling lumrah di seluruh kelas di dunia, kalau ada anak melamun dan ditegur, jawabannya adalah, "Aku lagi mikir, Bu!"

Salah satu alternatif yang juga digunakan anak-anak adalah mengerut-ngerutkan dahi dan bilang, "Aku nggak tahu, aku lagi mikir."

Jengkel, saya katakan pada mereka. "Ada bedanya orang melamun dan berpikir. Orang melamun matanya diam saja, menerawang jauh. Orang berpikir matanya masih bergerak-gerak. Bu Tia tahu itu."


"Bu Tia tahu dari mana."

"I learn it from you."

"She learnt it from her university."

"Well, some of it. AYO KERJAKAN!"

Malu

Dhimas sangat bersemangat tentang kedatangan neneknya ke kelas siang itu. Nenek Dhimas akan bercerita tentang pengalamannya di masa penjajahan Jepang, mengingat anak-anak kelas 5 sedang belajar sejarah tentang penjajahan Jepang dan persiapan Kemerdekaan.

Riri nimbrung berkomentar, "Iya Bu, Aki-ku sebenarnya juga mengalami. Tapi waktu diajak cerita di kelas katanya malu. Padahal umurnya sudah 79 tahun lho, Bu!"

Iya, ya, Ri. Harusnya kalau sudah besar tidak boleh malu-malu lagi...

Tuesday, October 14, 2008

Blogging

Anak-anak sedang menulis tentang tradisi di rumah mereka pada hari-hari istimewa yang mereka rayakan. Isinya menarik, maka saya melontarkan ide, "bagaimana kalau kita membuat blog bersama-sama, jadi kita bisa memasukkan tulisan-tulisanmu?"

Anak-anak di meja Dhimas dan Riri memandangi saya penuh curiga. "You have your OWN blog, right, Bu?"

"Yes I do. But the next blog will be yours."

Anak-anak tidak bilang apa-apa.

"Bu Tia, do you still write something in your blog?"

"Not much Riri. Bu Tia jarang sih bertemu kalian."

"Oh, jadi kalau ada yang seru aja, ya Bu?"


Hm....

Tuesday, October 07, 2008

Hak Setiap Warga Negara

Dan film itu ditutup dengan kutipan Pasal 31 UUD 1945

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.


Saya bisa mendengar gumaman, umpatan, dan kalimat-kalimat ditujukan kepada pemerintah yang dianggap lalai memenuhi tuntutan itu (well, they do). Tetapi tidak perlu waktu lama bagi saya untuk bertanya kembali kepada diri sendiri.

Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita percaya bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan? Apakah kita percaya semua anak kita berhak mendapatkan pendidikan?

Tidak usah jauh-jauh memikirkan mereka yang ada di pelosok nusantara. Pikirkan saja mereka yang ada di jangkauan mata kita. Apakah kita masih berpikir bahwa anak-anak cerdas saja yang berhak mendapatkan beasiswa? Apakah kita masih berpikir lebih baik anak tukang becak masuk STM saja daripada SMA supaya cepat bekerja? Apakah kita masih berpikir bahwa sebaiknya sekolah (dasar) menyeleksi anak-anak berdasarkan kecerdasannya saja?

Siapa yang kita maksud setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan?


Ayu, teman saya, semula adalah sesama guru. Sesuatu membuatnya memilih pekerjaan lain saat ini, meski saya tahu guru masih lekat di hatinya. Sejak ia tidak mengajar bersama kami, saya menyadari satu kualitas kelas berat yang saya pelajari darinya.

Teman saya ini, ia benar-benar guru yang memandang setiap anak sebagai individu yang khas. Tak ada anak yang "impossible" untuknya. Seberapapun kami skeptis dan pesimis memandang seorang anak, ia selalu berhasil membuat kami melihat keistimewaan anak ini di akhir tahun ajarannya.

Teman saya ini suka menyanyi dan ia selalu bisa membuat kelasnya menyanyi. Banyak lagu yang ia ajarkan pada murid-muridnya tapi yang selalu saya ingat adalah ketika murid-murid kelas 1 SD itu menyanyikan lagu "Aku Bisa" sambil berderap berbaris pulang. Tak hanya menyanyi, teman saya ini menghayati betul bahwa setiap anak pasti bisa.


Dari kelas-kelasnya saya belajar bahwa menghayati hak setiap orang atas pendidikan sebenarnya dimulai dari hati kita. Bagaimana kita bisa menyadari bahwa setiap orang, siapapun ia, apapun keadaannya, betapapun ia merepotkan bagi kita, ia berhak atas pendidikan yang layak. Ia berhak mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang optimal, dan berhak mendapat kesempatan dihargai.

Memulainya dari dalam hati akan membuat saya terbuka pada aneka ragam anak-anak di kelas saya. Anak-anak berbakat, anak-anak berkesulitan belajar, anak-anak dengan keluarga penuh dukungan, dan anak-anak yang diabaikan. Kesadaran bahwa pendidikan adalah hak setiap orang akan membuat saya lebih terbuka untuk menerima mereka apa adanya dan memutar otak memikirkan cara agar semua orang bisa belajar di kelas saya.

Setiap kali ada calon murid baru, atau setiap kali ada yang mengeluh punya satu dua murid sulit di kelas, saya selalu ingat "pelajaran" ini. Kadang saya terantuk peraturan, terantuk keterbatasan menangani anak-anak yang istimewa, tapi saya tidak ingin terantuk rasa pesimis dan pandangan bahwa kami terlalu repot untuk memberi kesempatan bagi anak-anak yang istimewa.

Repot memang, capek memang, seringkali jadi ingin pulang saja, tapi melihat setiap anak, bahkan anak-anak yang merasa ditolak di tempat-tempat terdahulu, berkembang menjadi anak yang gembira saja... sudah membayar segalanya.

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Termasuk di dalamnya penerimaan yang tulus dan penuh keyakinan bahwa setiap warga negara berhak menjadi dirinya sendiri dan punya kesempatan mengembangkan diri.