Wednesday, March 30, 2005

Koreografer Mini

Saya selalu berpendapat, Mini lahir di panggung. She is a very excellent singer. Di umurnya yang 7 tahun Mini dapat menyanyi You've Got A Friend dengan suara falsetto. Ia menari balet. Ia juga senang dan bermain peran dengan amat baik. Di atas panggung, di depan seratus penonton, ia bisa mengajak lawan mainnya yang kebingungan, improvisasi dialog. She knows exactly what to do on the stage.

Kami sedang mempersiapkan diri untuk konser musik untuk pertengahan April besok. Kelas 1 dan 2 akan bergabung menyanyikan lagu Getting To Know You (from The King and I) dan Sur Le Pont D'Avignon. Lagu pertama sudah pernah kami pentaskan tiga bulan lalu. Gayanya? Ciptaan anak-anak sendiri. Untuk konser kali ini saya dan rekan guru yang lain tinggal daur ulang. Sementara untuk lagu Perancis itu, kami mati gaya. Saya mendekati Mini.

Mini, menurutmu gaya untuk lagu Sur Le Pont bagaimana ya?

Mini berpikir sebentar. "Begini saja, Bu!"
Mini langsung menyanyi dan bergerak memperagakan les beaux messieurs, les belle dames, dan les militaires

There you go, kita sudah punya gaya untuk lagu Sur Le Pont D'Avignon.
Koreografer Mini memang hebat.

Mata Mini bersinar-sinar, bangga. Well, she should be proud.

Tuesday, March 29, 2005

Teknologi Masa Kini

Topik pertama kami kuartal ini adalah tentang matahari.

Kemarin anak-anak membuat gambar dan karangan pendek tentang "Apa yang terjadi jika tidak ada matahari? Sepanjang pagi anak-anak sibuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan seperti :

- bajuku mungkin bau, karena tidak bisa kering dijemur
- tanaman mati semua dan tidak ada makanan
- bayar listrik jadi mahal karena harus menyalakan lampu setiap waktu
- kalau main di luar harus bawa senter
- tidak tahu kapan harus bangun
- tidak ada burung yang terbang, yang ada hanya kelelawar

Semua anak serius menulis dan suasana jadi sepi sekali. Tiba-tiba Adam nyeletuk
"Wah, kalau tidak ada matahari, aku tidak bisa mandi air panas dari shower!"

Saya sempat bengong sebentar. Sebagai produk masa lalu yang masih harus masak air kalau mau mandi air panas, saya perlu waktu untuk mencerna jawaban cemerlang Adam pagi itu.

Wednesday, March 23, 2005

Sisa Cerita dari Kuartal Lalu

Setiap kuartal saya selalu mengganti-ganti posisi rak, meja, dan kursi di kelas. Biar seru saja, dan ada perubahan suasana.

Kuartal tiga ini, saya membuat formasi baru. Saya pasangkan meja anak-anak untuk saling mencontoh dan memberi contoh. Saya sengaja mendudukkan mereka yang setara, dan bukan yang perlu saling membantu. Adam yang selama dua kuartal kemajuannya cukup baik, saya serahi peran 'menjadi model' untuk Dito. Lagipula, dua laki-laki cilik di kelas saya ini lebih sering berantem daripada berteman karena terlalu sering dipisahkan. Saya ingin mereka ada di satu kelompok untuk membangun perasaan senasib daripada bermusuhan.

Tadinya, formasi ini berjalan cukup lancar. Persis seperti apa yang saya inginkan. Mereka bersaing, tidak mau kalah, tapi juga berteman akrab. Dito yang sering sulit berbicara jadi lebih talkative, cerewet, bicara dengan spontan, dan lebih gembira. Mereka adalah satu tim. Ekses negatifnya, meja itu seringkali keasyikan ngobrol daripada bekerja. Karena menurut saya masih bisa ditoleransi, saya hanya mengingatkan saja. Kadang kalau sudah kelewatan saya panggil dua-duanya. Saya bilang, saya percaya bahwa mereka berdua bisa dipercaya untuk duduk bersama.

Setelah tiga minggu berlalu, Adam (yang sepertinya capek disemprot terus oleh sang ketua kelas karena terlalu berisik) menemui saya.
Adam : Bu Tia, bagaimana kalau aku pindah saja, tidak duduk sama Dito
Saya : Kenapa begitu, Dam?
Adam : Soalnya susah tidak ngobrol kalau duduk sama Dito, bu. Nanti aku ditegur terus.
Saya : Begitu?
Kevin : Iya. Aku sama Dito pisah saja ya?

Saya menyerah. Tapi diam-diam saya kagum juga pada Adam. Saya tahu betapa menyenangkannya duduk dekat Dito, membicarakan hal-hal yang sama-sama mereka suka. Saya senang dia mau mengajukan solusi untuk masalahnya, walaupun itu berarti mengorbankan kesenangannya.

Berapa dari kita yang berani begitu?

Saturday, March 19, 2005

Akhir Kuartal 3

Akhirnya, kuartal tiga sudah habis. Hari terakhir yang jatuh pada hari Jumat kemarin jadi hari yang luar biasa sibuknya buat kami semua.


09.00
Kami memasak Kue Kacamata. Hayo, siapa tahu kue kacamata? Kue kacamata dibuat dari singkong dan kelapa yang diparut, lalu ditengahnya ada pisang. Kalau potongan kue kacamata dijajarkan, memang mirip kaca mata (pisang). Anak-anak belajar memarut singkong dan kelapa. Singkong dan kelapa parut bertaburan di seluruh kelas. Lika dan Mita jarinya ikut terparut sedikit, tapi tidak apa-apa. Adam paling jagoan memarut. Ia memarut paling cepat diantara kami semua. Akhirnya saya dan Bu Novi yang menyelesaikan acara parut memarut. Anak-anak melanjutkan acara 'membuat kuburan pisang'. Hehehe... itu istilah anak-anak ketika harus membungkus pisang dengan adonan singkong kelapa.

9.45
Akhirnya jadi juga. Perut sudah lapar, tapi si kaca mata harus dikukus selama satu jam. Jadi kami makan pagi dulu dengan bekal masing-masing.

10.15
Kami punya waktu satu setengah jam untuk persiapan terakhir sebelum Panggung Boneka. Kelas 1 sudah diberitahu, mereka akan datang ke kelas 2 jam 12.30, setelah makan siang. Sekarang? Hm... kelompok Lika sudah selesai membuat boneka dan percakapan. Tinggal menyelesaikan gambar taman dan rumah sebagai latar belakang. Kelompok Saras masih harus membuat latar belakang. Agak rumit memang, karena setting yang dibutuhkan adalah gambar kamar yang berantakan. Mita, Dara, dan Dito sibuk memilih bahan, mengukur dan menggambar. Di sela-sela waktu yang ada, mereka sempat melatih percakapannya.
Bu Tia dan Bu Novi ikut sibuk juga membuat panggung-panggungan dengan membungkus meja dengan kain hitam.

11.45.
Kue Kacamata sudah jadi! Agak terlalu banyak pewarna, tapi rasanya tetap enak. Adam habis empat potong. Karena jadinya cuma sedikit, Kelas 2 memutuskan untuk makan kuenya sendiri. Tidak jadi menjamu tamu Kelas 1.

12.30
Kelas 1 belum datang. Jadi kami sempat latihan sebentar. Boleh juga jadinya. Sudah tidak ada yang grogi dan sudah tahu bonekanya harus masuk dan keluar lewat mana. Kelompok Lika memutuskan untuk mengganti naskah percakapannya, jadi nanti improvisasi saja. Bu Tia membantu jadi narator. Bu Novi membantu membalik gambar latar belakang.

12.45
Kelas 1 datang, mereka sudah tidak sabar menonton. Kelompok Saras pentas lebih dulu. Semua anak tertawa terpingkal-pingkal melihat Wolly si Robot cerewet yang banyak omong. Kelompok Keshia juga sama mengesankannya dengan tokoh dompet yang bisa ngomong dan background yang bolak balik. It was great, all of us were having fun.

Image hosted by Photobucket.com

Image hosted by Photobucket.com
13.10
It's time to go home and have one week holiday.

Thursday, March 17, 2005

Panggung Boneka

Berhubung minggu ini udah minggu terakhir kuartal 3, Bu Tia udah males banget merencanakan aneka review dan evaluasi pelajaran. Belum lagi kami sedang sibuk latihan untuk konser musik April nanti. Saya mengajukan usul ke anak-anak, bagaimana kalau minggu ini kita membuat panggung boneka saja?

Anak-anak senang dan setuju. Sejak Selasa lalu mereka sudah sibuk membuat cerita, menulis penokohan, mencatat dialog, dan akhirnya membuat boneka. Ini suasana kelas kami waktu kami sedang sibuk membuat boneka dari perca-perca dan kertas kado sisa.

Image hosted by Photobucket.com

Saya sempat memamerkan foto ini pada anak-anak. Kami sepakat, kelas yang berantakan itu membanggakan.

Image hosted by Photobucket.com

Ini salah satu latar belakang yang dibuat kelompok Mini. Dara dengan baik hati memeganginya untuk saya. Dara ada di belakang gambar latar belakang itu.

Monday, March 14, 2005

Seiring Waktu

Kemarin saya membuka-buka file email lama. Lalu saya menemukan email yang pernah saya tulis untuk The Great Alexander waktu saya masih super pemula. (Sekarang saja pemula saja.)

what i hate about myself being a teacher is that i am not able to see from my child's perspective as a child. i keep myself busy walking around the class making sure everything is going right, that my lesson plan is working like it should work and worry about this boy finishing his worksheet or not. Do i ever listen to them, really listen to them? They no need to talk all the time because they cannot. it shouldn't make me ignorant to what they need. Why do i only care about what they SHOULD do? i was angry to cherie because she refused to wash her hand. later on i knew that she didn't want to loose two stickers on his palm. Stickers that she got with a very hard work. i was upset to rubens hugging me too hard that my ribs got hurt. didn't he just want to express his love? why couldn't i appreciate his patience to share me with six friends this whole morning? i am not able to love a newcomer showing huge tantrum everyday. i feel hurt when a mother insist something i thought wrong. and then i become ignorant and frustrated to the child, even to the class. i am putting on prejudice here and there. i perhaps labeling them 'pampered', 'smart' and 'well behaved'.

i reads and judge books of children, curriculum, play, activity, literacy, bilingualism, classroom, ... mention it. i almost forget that it only needs a heart to be fully with my children. not thousands of books.

how many years should i stay in my classes to befriends with these children?


Saya jadi tersenyum sendiri. Ternyata surga tempat saja bekerja ini tidak pop up begitu saja di depan saya. Ternyata, ya, ternyata, saya juga melewati hari-hari yang menyebalkan, bikin sedih, bikin nangis, dan sebagainya.

I just looked back further. Saya sudah mulai mengajar sejak saja semester 2. Mungkin kira-kira umur saya... 19 tahun. Tidak ada yang sukses, percayalah. Saya meninggalkan satu kelas anak-anak pinggir kali di sebuah sekolah informal dalam 4 bulan. Rasa cinta saya sudah tumbuh, tapi komitmen saya belum.

Lalu saya punya Michelle, murid pertama saya. Privat. Umurnya 5 tahun (waktu itu), TK, dan belum bisa membaca. Ayahnya yang single parent pusing berat dan meminta saya jadi guru privat anaknya. Saya cuma tahan enam bulan. Habis sepertinya tidak ada kemajuan. Hehe. Ketertarikan saya belum full time. Jadi saya cepat mati gaya dan kehabisan ide untuk memecahkan permasalahan saya di 'kelas' Michelle.

Kemudian, saya buzzing around di Busy Bee. Apa ya? Sejenis kelas bahasa inggris untuk anak-anak usia dini (aduh bahasa Indonesia itu; maksud saya early years children, about 2 - 8 years old children). Saya belajar dan berlatih banyak tentang merencanakan kelas dan conducting lessons di tempat ini. Saya sudah lupa siapa saja murid-murid saya di sini. Seingat saya, saya sudah jauh lebih senang dan lebih bisa commited. Saya berhenti hanya karena saya ingin mengajar full time, itu berarti saya harus cari tempat lain. Sayang sekali, tempat ini sudah bubar sekarang.

Selanjutnya saya kebagian sebuah kelas kelompok bermain. Usia murid-murid saya sekitar 3 tahun. Kali ini saya serius setengah mati. Saya membaca banyak, saya beli buku dari seluruh penjuru dunia rasanya, browsing aneka bahan, protes soal kurikulum, doing a lot of paperworks, et cetera, et cetera, et cetera. Saya perfeksionis. Full of plan. I was happy, but frustrated. Seperti isi email tadi, saya merasa nggak nyambung sama anak-anak. Cinta saya seperti tidak terbalas. Saya putus asa karena merasa sangat sayang tapi sulit mengerti mereka. Saya memang belum berpengalaman! Siapa yang tidak panik kalau 5 dari 8 anak di kelas menangis jejeritan sampai muntah-muntah? Saya dulu nervous berat kalau ada anak yang temper tantrum. Anehnya, kali ini saya tidak ingin berhenti. Saya juga bisa banting setir hanya karena ada orang tua yang 'request' kepingin anaknya bisa ini dan bisa itu. Padahal dalam hati saya kesal setengah mati. Masa anak segini mau disuruh macam-macam?

Sebenarnya, buat saya sendiri, memperhatikan anak-anak dari sudut pandang mereka juga butuh waktu belajar yang ... lama sekali! Dulu saya lebih mirip ketua panitia atau manajer produksi. Belajar memperhatikan anak-anak saya punya ritme sendiri, punya reaksi yang berbeda dengan orang dewasa, dan lain-lain itu tidak mendadak bisa atau terberi begitu saja.

As time goes by, saya terus berubah. Yang paling saya rasakan, dulu saya malu untuk bilang saya suka mengajar dan saya adalah guru. (Sama sekali tidak keren. Lulusan psikologi UI kok jadi guru). Heheh. Seperti orang yang punya kecenderungan bunuh diri, saya juga punya kecenderungan membunuh minat saya di bidang ini. Kadang-kadang saya berpikir, kenapa saya tidak tertarik ke hal lain yang lebih bisa dibanggakan ya? Kenapa saya tidak tetap ingin jadi psikolog seperti waktu saya masih kecil? Itu sepertinya mendingan. Hari-hari di dalam kelas mengevolusi keinginan bunuh minat itu tadi. The Great Alexander yang selalu pamer dan bangga kalau saya adalah guru SD membuat saya bisa mengangkat dagu dan juga berkata, saya memang guru SD. Teman-teman saya yang selalu ketawa kalau saya ceritakan kelucuan kelas saya, juga membuat saya merasa diterima. Orang tua saya yang punya full pressure karena anak-anaknya jadi bahan perbandingan dan percontohan juga bisa bilang pada orang lain, "Tia memang sukanya seperti itu. Persis Eyang Kakungnya.." - ini membuat saya merasa setidaknya saya tidak mengecewakan mereka. Pelan-pelan saya bisa merasa nyaman dan senang dengan identitas saya yang itu; guru.

This helps me a lot. Keringat dingin yang mengalir di punggung selama saya ada di depan kelas sudah lama menguap.Saya bisa lebih rileks. Saya juga bisa lebih fokus pada anak-anak, bukan pada apa yang saja bawakan ke depan kelas. Saya bisa menangkap kelucuan mereka. Saya cenderung lebih tepat merespon mereka. Saya bisa tersenyum, bisa tertawa, bisa nyengir, bisa cuek, bisa marah, bisa apa saja di depan kelas. Saya sengaja tidak jaga citra, saya ingin tampil apa adanya di depan murid-murid saya. Ini lho, saya. Ini lho, Bu Tia.

Saya tidak lagi terlalu sering mempertanyakan diri mengapa saya melakukan ini. Apa nggak ada yang lebih penting? Sekarang saya bisa bilang ini penting, somehow. Sekarang saya bisa ngeles, biar saja saya melakukan hal kecil. Hal besar dimulai dari yang kecil. Konsisten pada yang kecil juga bisa jadi besar. Ya kan? Konsisten ngemil juga bisa jadi gendut.

Sekarang, saya guru SD kelas 2. Saya masih pemula. Masih haus pengalaman dan masih ingin melakukan eksplorasi gila. Saya juga sudah ingin melangkah ke depan. Itu sebabnya sekarang saya sering tampak online, sebab saya sedang browsing postgraduate program. Hehehe... ini masih cita-cita. Doakan saja terwujud dalam waktu singkat. Habis itu saya akan kembali ke kelas.

Ralat, saya akan kembali ke kelas-kelas.

Wednesday, March 09, 2005

I work in heaven

Dua hari yang lalu
Saya berpapasan dengan Uki anak kelas 1, yang mau pulang. Ia berhenti di depan meja guru matematikanya dan berseru, "ASYIK TADI BU, MATEMATIKANYA!"

Sang guru matematika tertawa dan langsung bercerita pada saya bagaimana anak-anak kelas 1 begitu bersemangat bermain piramida penjumlahan sampai mereka kehabisan waktu.


Hari ini
Siang tadi saya bermain dikte gambar dengan anak-anak. Saya bercerita, lalu mereka harus menggambar perasaan tokoh dalam cerita saya. Anak-anak sangat terlibat. Tentu mudah bagi mereka menggambar wajah yang senang atau wajah yang sedih. Jelas sekali. Ketika tokoh-tokoh berikutnya mengalami perasaan yang lebih kompleks seperti bangga atau perasaan bersalah... gambar yang muncul jadi simpang siur. Ada yang menggambar orang tersenyum lalu menamainya 'lega'. Ada juga yang bisa menggambar ekspresi khawatir yang lucu sekali. Kegiatan tadi penuh acara tertawa, seru sekali.

Setelah itu kami mengerjakan proyek IPA tentang listrik. Minggu lalu anak-anak sudah membuat rangkaian listrik sendiri. Hari ini mereka menjembatani rangkaian yang sudah mereka buat dengan berbagai benda di sekitar, mulai dari pensil, paper clip, kertas, penggaris, baju, dan sebagainya. Mereka mulai bisa memilih mana konduktor dan mana isolator. Serunya, empat puluh lima menit itu kami bekerja di bawah meja. Alasannya sederhana. Rangkaian listrik kami begitu imut-imut sampai cahaya lampunya kecil. Ruangan kami besar dan luar biasa terang walaupun lampunya dimatikan. Jadi kami bekerja di bawah meja supaya agak gelap dan lampunya jadi lebih jelas terlihat menyala.

Begitu semuanya selesai, Dara bilang begini, "Bu Tia, you are the greatest teacher i ever had!'


I think, I work in heaven everyday.

Sunday, March 06, 2005

Saya bangga jadi orang Indonesia

Akhir minggu lalu saya hadir di Educators Conference 2005. Ini adalah sebuah workshop yang diorganisir sebuah badan pelatihan guru dan anak Indonesia serta AECES (Association for Early Childhood Educators Singapore).

Ada empat orang pembicara yang diundang. Tiga orang dari Singapura dengan sederet gelar dan pengalaman di bidangnya. Satu orang lagi adalah Dr. Anggani Soedono, MA; konsultan untuk sebuah sekolah berbasis agama di Jakarta Selatan, dan sekaligus untuk sekolah tempat saya bekerja. Curriculum Vitae beliau sama mengesankannya dengan tiga pembicara lainnya.

Ada sekitar 200 partisipan yang hadir. Kebanyakan guru, kepala sekolah, koordinator, dan pemilik sekolah internasional dan national plus di Jakarta. Ada beberapa guru ekspatriat di sana sini, dan banyak sekali guru Indonesia lincah berbahasa Inggris dengan rekan-rekannya.

Dari sedikit ilustrasi di atas, mudah ditebak bahwa acara berjalan dalam bahasa Inggris, bukan?

Ya, memang demikian dan awalnya saya tidak terlalu memperhatikan (maksud saya, saya sudah tidak memperhatikan lagi bahasa apa yang digunakan karena buat saya rasanya sama saja).

Sampai kemudian pada sesi panel Ibu Anggani. Beliau berdiri, tersenyum, dan "Adakah di antara anda yang tidak mengerti Bahasa Indonesia?" Ia mengulang kalimat tadi dengan bahasa Inggris yang sangat baik.
Beberapa tangan terangkat ke atas.
"Baik, saya butuh bantuan panitia untuk menjadi penerjemah bagi mereka, sebab saya akan menyampaikan materi saya dalam Bahasa Indonesia."

Tiba-tiba saya teringat suara riuh rendah para peserta yang bercakap-cakap in English sebelum acara di mulai. Mungkin, pada saat itu saya lupa saya sedang ada di Indonesia sampai bu Anggani membuat saya sadar tentang itu.

Hm, saya tidak pandai menuliskan dengan baik apa yang saya rasakan saat itu.
Ada sekelumit rasa bangga waktu melihat beberapa partisipan yang butuh mendengarkan apa yang dikatakan Ibu Anggani tadi beringsut mencari penerjemahnya. Sesaat saya merasa menang dari arogansi 'barat yang hebat'.

Seandainya saya adalah seorang PhD dari Michigan State University, fasih berbahasa Inggris dan Belanda, kenyang dengan puluhan tahun pengalaman menangani pendidikan anak usia dini, cerdas, dan dipercaya menjadi pembicara di depan ratusan partisipan berbagai kewarganegaraaan di Indonesia, saya juga akan berbicara dalam bahasa Indonesia.

Saya tidak perlu, kan, menutupi identitas saya sebagai orang Indonesia. Apakah saja jadi kurang hebat, kurang mengesankan, dan kampungan kalau dengan kompetensi seperti yang saya sebutkan tadi saya berbicara dalam bahasa Indonesia? Saya rasa tidak.

Sudahlah cukup saya tahu bobroknya negara ini. Saya sudah kenyang merasa putus asa dan hilang harapan tentang kemajuan negara ini. Tapi, bagaimanapun, saya tidak bisa menutupi identitas saya yang sebenarnya sebagai orang Jawa, orang Indonesia. Kita memang tidak akan pernah pergi ke mana-mana dan jadi bangsa yang punya harga diri kalau kita tidak pernah belajar bangga menjadi diri sendiri; mengakui identitas sendiri.



Tuesday, March 01, 2005

Jam Makan Siang

Saya senang mengajak anak-anak mengobrol di jam makan siang. Kami membicarakan banyak hal, seperti saya sering mengobrol dengan teman-teman saya; film favorit, makanan kesukaan, what would tomorrow be like, dan sebagainya.

Hari ini saya duduk di sebelah Mini. Ia membuka percakapan
(Mini) Bu Tia sudah punya anak?
(Saya) Belum.
(Mini) Kenapa belum?
(Saya) -- tersenyum -- sambil sibuk memotong-motong salaminya menjadi potongan kecil.
(Mini) Kenapa belum, bu?
(Saya) Because i haven't married yet.
(Mini) Kenapa belum menikah?
(Saya ) -- kehilangan kata-kata--

Sialnya saya! Memang tampang saya setua itu ya, sampai ditanya kenapa belum menikah? I thought i have a very baby face that people commonly mistake me as 18 years old?

I am THAT old... ??? Saya sudah sangat sering terjebak percakapan seperti ini dengan teman sebaya, mid twenties people, dan saya tidak berharap bertemu percakapan macam ini dengan anak-anak!

Anak jaman sekarang memang...