Di paruh pagi tadi Bu Evie menemui beberapa orang yang datang berkunjung. Tampaknya mereka tertarik untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah kami.
"Di sini anak-anaknya jumpalitan ya?"
Hihihi.... mungkin saja.
Bu Evie juga bercerita pada saya, bahwa mereka mengagumi tulisan anak-anak tentang cita-citanya di pintu kelas, juga bertanya. Sebuah pertanyaan paling umum di sekolah macam sekolah kami ini,
"Nanti kira kira SMP-nya bisa masuk SMP seperti apa ya?"
Sekarang, saya ingin sekali bertanya kembali, "Sekarang ini, apa yang membuat anda berpikir untuk menyekolahkan anak di sekolah seperti ini?"
Kalau jawabannya adalah karena saya ingin anak saya senang di sekolah, belajar dengan aktif, jadi anak yang kritis, yang percaya diri.... wah, itu tidak akan selesai dalam enam tahun di sekolah kami. Percaya deh...
Perlu dipikirkan juga bagaimana melanjutkannya nanti, di SMP, di SMA, dan entah sampai kapan.
Berpikir bahwa sekolah di sekolah 'jumpalitan' seperti ini membuat anak-anak tidak bisa beradaptasi di sekolah biasa, menurut saya jadi aneh. Maksud saya, agak aneh rasanya kalau saya membiasakan anak-anak melakukan riset dan kritis bertanya, lantas saya menuntut mereka untuk serba nurut kalau disuapi. Setelah kami menebar bibit-bibit untuk berani membuat perubahan, lantas disuruh beradaptasi dengan lingkungan yang menuntut untuk selalu seragam dan konformis. Barangkali memang tak akan nyambung...
It is like this, anda mengajari anak-anak anda supaya selalu berbuat jujur. Dengan harapan, kelak ketika tinggal bersama para pencoleng ia akan tetap jujur.
Mungkin bisa sih, kalau belum keburu digebukin yang lain.
Begini, saya baru sadar bahwa saya memang tak pernah mempersiapkan mereka, murid-murid saya, untuk bisa fit and proper di sekolah-sekolah banyak penggemar di luar sana. Saya tak mengharapkan kelak mereka bekerja di perusahan-perusahaan nyaman. Lebih dari itu, saya menggantungkan harapan agar kelak mereka yang cukup nekat untuk bilang "tidak, yang betul itu seperti ini. Mari ikut saya, kita kerjakan sama-sama."
Ya, saya percaya murid-murid adalah seperti apa yang diharapkan gurunya. Kalau gurunya berpikir mereka hanya bisa mengeja, maka mereka akan hanya bisa mengeja. Kalau gurunya berpikir bahwa murid-muridnya bisa memahami sastra, maka jadilah begitu. Saya tebarkan saja harapan-harapan saya. APapun yang mereka capai tentu lebih dari apa yang sebenarnya bisa diharapkan dari mereka. Saya rasa orangtua manapun juga melakukan hal yang sama untuk anak-anaknya.
Fit dan proper di sekolah negeri unggulan sama sekali tidak pernah menjadi visi saya ketika saya beraktivitas di kelas bersama mereka. Ya, sayangnya saya tidak punya bayangan itu.
Jadi, sepertinya kalau ada yang bertanya lagi pada saya, nanti kalau anak saya sekolah di sini, dia akan sukses tidak ya melanjutkan di sekolah nomor sekian?
Saya akan bilang tidak. Sadly, tidak. Mereka akan stress dan sulit beradaptasi. Kecerdasan mereka memecahkan masalah, menanggapi fakta di lingkungan sekitarnya, melakukan riset, beradu pendapat, mengapresiasi seni, semua akan hilang tanpa dilatih.
Saya tahu kok, energi untuk bisa fit dan proper pada lingkungan yang seragam, konformis, dan interaksinya searah jauh lebih BESAR daripada energi untuk melakukan hal-hal di atas.
Jadi, mengapa anda memilih yang ini?
Monday, October 29, 2007
Sunday, October 28, 2007
Jangan Lupa Nama Saya!
Waktu saya dan anak-anak sedang membahas bagian Sumpah Pemuda dalam sejarah
“Bu, bu, ini pasti isinya orang-orang paling hebat waktu itu, ya.”
Semua kembali menulis lagi.
Memangnya saya pelupa?
Saturday, October 27, 2007
Sampah dari Saya
Berapa banyak sampah yang dihasilkan orang Jakarta setiap harinya? Dari hasil comot sana sini, kami mengira-ngira bahwa setiap hari, setiap orang membuang satu kilogram sampah.
Setelah dikali jumlah orang satu kelas, dikali jumlah hari dalam sebulan dan dikali jumlah bulan dalam setahun, kami menemukan angka yang besar sekali.
Kami pun mulai sadar bahwa sampah yang kami buang ke tempat sampah hari ini, lalu diangkut ke bak sampah di depan sekolah, tidak hilang begitu lenyap dari pandangan. Adam mulai berpikir bahwa suatu hari ia tidak bisa keluar rumah karena semua tempat penuh dengan sampah. Padahal menurutnya, Jakarta saja sudah padat luar biasa.
Mini tertarik sekali dengan cara-cara mendaur ulang sampah plastik menjadi tas. Ia sama hebohnya dengan anak-anak yang membawakan saya aneka cara mengolah sampah mulai dari pemisahan sampah, incinerator, pembuatan kompos, dan berbagai cara daur ulang.
Saya katakan pada mereka bahwa seringkali hal sederhana saja sudah bisa mengurangi jenis sampah.Tidak repot membuat kompos atau membuat tas dari sampah plastik pun tak mengapa. Bagaimana caranya?
Sederhana saja, saya selalu berusaha menolak kantong plastik kalau membeli barang-barang kecil yang muat masuk dalam tas saya. Apalagi saya hobi membawa tas nenek (tas besar berisi aneka barang). Mita langsung mengiterupsi dengan cerita tentang tas neneknya yang berisi segala rupa; permen hingga termos air, buku bahkan gunting kuku. Teman-temannya curiga dalam tas itu juga ada sikat gigi.
Mita bilang, barangkali kantong kertas akan lebih ramah lingkungan. Ia menunjuk sebuah restoran burger cepat saji yang suka memakai kantong kertas sebagai wadah. Saya tertawa. Coba kamu ingat-ingat, bukankah mereka suka mewadahi gelas kertas ke dalam plastik, mengantonginya dengan kantong kertas lalu memasukkannya dalam plastik lain lagi? Pabrik sampah.
Saya tanya lagi, pernahkah kalian belanja di supermarket besar? Belanja beberapa troli dan memasukkannya ke dalam plastik-plastik? Apakah biasanya kalian pergi dengan mobil, atau dengan kendaraan umum? Kalau dengan mobil, bolehkah membawa troli hingga sangat dekat dengan bagasi mobil? Sesampainya di rumah, jauhkah tempat parkir mobil dengan pintu? Akan merepotkan tidak kalau kalian mondar mandir beberapa kali untuk memasukkan barang ke rumah? Bagaimana kalau kita minta agar belanjaan itu tidak lagi dikantongi plastik?
Tak ada yang pernah berpikir begitu sebelumnya.
Anak-anak ikut tertawa dan kami mulai berandai-andai. Saya bilang, saya belum pernah mencoba meminta restoran cepat saji mengisikan minuman soda ke dalam gelas yang saya bawa. Mungkinkah mereka mengijinkan saya mengisikan makanan ke dalam kotak makanan yang saya bawa?
Mata-mata yang menatap saya tertawa dan tertarik di saat yang sama. Mengapa tidak kita yang membuat trend baru? Kalian adalah anak-anak yang sangat mungkin mempengaruhi orang lain. Kalau kalian anggap ini cara yang keren, maka kerenlah cara ini. Seandainya saja, kami bisa mempengaruhi 500 orang (estimasi dari hasil sensus keluarga yang kami buat minggu lalu) anggota keluarga murid sekolah kami untuk punya kebiasaan memilah dan mengurangi sampah, dan barangkali jumlah sampah berkurang jadi setengahnya, kami sudah mengurangi kira-kira 7500 kg sampah sebulan.
Restoran cepat saji yang mengelilingi sekolah kami memang sering jadi pemasok makan siang. Terutama kalau si mbak belum pulang dari kampung, sehingga belum ada yang memasak di rumah. Anak-anak segera sadar kalau hari itu saja, separuh dari mereka membawa masuk kotak-kotak styrofoam berisi makan siang yang akhirnya jadi sampah.
Obrolan ini tampaknya membekas di hati.
Siang ini Saras mengambil makan siangnya, masuk ke kelas dengan wajah merah padam. "Shame on me." Teman-temannya tertawa melihat Saras masuk dengan kotak styrofoam berisi makan siang.
"Ya ampun Saras, kamu menyumbang sampah yang tidak bisa hancur."
Saras malu hati, tapi masih bisa tertawa-tawa menimpali temannya. "Aduh, pakai sumpit kayu lagi!"
Agaknya Saras jadi kehilangan selera makan. Karena merasa bersalah.
Ia bertanya pada saya, "Bu, kalau styrofoam itu butuh berapa lama sampai bisa hancur?"
"Dari informasi yang dibawa Dhara tadi sih, katanya styrofoam tidak bisa hancur."
Saras langsung melenguh.
Kasihan dia hari ini tak enak makan.
Hari ini saya menikmati duduk dan makan siang bersama mereka. Saya menikmati komentar-komentar witty yang mulai muncul. Saya memperhatikan bagaimana mereka mulai bisa menertawakan diri sendiri. Saya juga tahu bahwa mereka mulai sadar bahwa mereka berperan serta dalam lingkungannya.
Mau tidak ya mereka memulai perubahan?
Saturday, October 20, 2007
Friday, October 19, 2007
Takut
Suatu kali, di dalam sesi kelas kami, anak-anak membicarakan rasa takut.
"Aku paling takut meninggal," kata Adam.
"Semua pasti meninggal. Kamu gimana sih," Mini menyahuti.
"Bukan meninggalnya yang aku takut, tapi caranya meninggal," Adam balik menegaskan.
Saya jadi terpicu untuk bertanya pada anak-anak yang lain. Kalau kalian, apa yang kalian takuti?
"Aku takut kehilangan orang-orang yang dekat denganku," kata Saras.
"Aku takut kecanduan," kata Mini. "Aku juga takut tidak punya pekerjaan yang bagus."
"Aku takut kalau ternyata nanti aku bekerja di sebuah tempat yang ternyata terlibat kejahatan,", Bram ikut nimbrung. "Misalnya menjual obat-obatan terlarang, atau pencurian."
"Aku takut perang. Seperti yang di film itu, Bu. " kata Mita.
Ya, kami sedang menonton film Innocent Voices.
Saya katakan pada mereka, ada bagusnya hal-hal yang mereka takuti (kecuali perang dan meninggal) adalah hal-hal yang bisa dikontrol. Berarti ada dorongan untuk melakukan usaha-usaha menghindarinya. Ya, kan?
Untung mereka tidak bertanya, apa yang saya takuti.
"Aku paling takut meninggal," kata Adam.
"Semua pasti meninggal. Kamu gimana sih," Mini menyahuti.
"Bukan meninggalnya yang aku takut, tapi caranya meninggal," Adam balik menegaskan.
Saya jadi terpicu untuk bertanya pada anak-anak yang lain. Kalau kalian, apa yang kalian takuti?
"Aku takut kehilangan orang-orang yang dekat denganku," kata Saras.
"Aku takut kecanduan," kata Mini. "Aku juga takut tidak punya pekerjaan yang bagus."
"Aku takut kalau ternyata nanti aku bekerja di sebuah tempat yang ternyata terlibat kejahatan,", Bram ikut nimbrung. "Misalnya menjual obat-obatan terlarang, atau pencurian."
"Aku takut perang. Seperti yang di film itu, Bu. " kata Mita.
Ya, kami sedang menonton film Innocent Voices.
Saya katakan pada mereka, ada bagusnya hal-hal yang mereka takuti (kecuali perang dan meninggal) adalah hal-hal yang bisa dikontrol. Berarti ada dorongan untuk melakukan usaha-usaha menghindarinya. Ya, kan?
Untung mereka tidak bertanya, apa yang saya takuti.
Subscribe to:
Posts (Atom)