Setiap hari Jumat, saya sering salah menulis. Saya tak bisa mengeja hal-hal sederhana seperti menulis kata giliran.
Setelah beberapa Jumat berlalu dengan kilah saya bahwa saya sudah kepingin libur, anak-anak mulai hafal. Kalau saya salah menulis, mereka akan bilang begini, "Sabar Bu,... tinggal beberapa jam lagi kok."
Setiap Senin pagi, kami juga sering berbagi cerita tentang akhir pekan. Senin pagi ini saya bercerita bahwa saya datang ke Kenduri Kuliner Nusantara, melihat dan mencoba aneka makanan, juga tertarik pada puluhan jenis gasing yang dipamerkan. Saya cerita kalau saya sangat tertarik pada aneka permainan tradisional yang membuat saya ingat pada pesawat sederhana. Pasti seru sekali menyatukan dua tema; permainan tradisional dan pesawat sederhana.
Mendengar semua itu, Saras memasang muka berkerut heran, "Ibu itu aneh deh. Kalau hari Jumat, kepingin libur. Begitu libur, ingat sekolah."
.....
Itulah akibatnya kalau hidup cuma satu.
Monday, November 26, 2007
Sunday, November 25, 2007
Mengolah Sampah
Ini cerita nyaris tiga minggu lalu, ketika saya setengah impulsif mengajak anak-anak pergi ke Kebun Karinda di Lebak Bulus. Setelah ngobrol banyak tentang sampah, saya ingin juga mengajak anak-anak melihat membuat kompos itu seperti apa.
Jadi, Sabtu pagi itu, anak-anak beserta ayah ibunya, juga saya dan Bu Evie beserta suaminya, melewatkan acara bangun siang untuk berkunjung ke Kebun Karinda.
Anak-anak girang luar biasa melihat tanah lapang, bunga dan tanaman di mana-mana. Agak susah juga membuat mereka mau berkumpul di satu tempat, karena semua ingin menjelajah sambil berlari-lari. Ibu Sri dan Pak Djamaludin bercerita banyak tentang kompos dan RT/RW yang berhasil menghijau. Acara presentasi dengan video dan slides berjalan sekitar satu jam. Saya sudah khawatir anak-anak bosan.
Mereka baru "bangun" ketika diminta memilah sampah organik dan anorganik dan memotong-motong sampah organik sebelum dijadikan kompos. Saya heran juga anak-anak tidak mudah jijik. Bahkan ketika saya meminta mereka mencoba membedakan kompos yang belum jadi, sehingga masih terasa hangat, dan yang sudah jadi, mereka langsung merogoh-rogoh bak tanpa ragu.
Anak-anak pulang sambil membawa sebuah gelas bekas air mineral yang berubah fungsi jadi pot bunga (beserta bunganya). Saya belum tanya, bunga mereka masih hidup atau tidak. Saya sendiri pulang sambil membawa sebuah keranjang takakura untuk membuat kompos.
Berhasil lho! Senang sekali, sekarang sampah di rumah saya tinggal setengah. Kalau ditumpuk di bak sampah depan rumah, tidak lagi bau tidak enak, meskipun truk sampah datangnya sesuka hati.
Jadi, Sabtu pagi itu, anak-anak beserta ayah ibunya, juga saya dan Bu Evie beserta suaminya, melewatkan acara bangun siang untuk berkunjung ke Kebun Karinda.
Anak-anak girang luar biasa melihat tanah lapang, bunga dan tanaman di mana-mana. Agak susah juga membuat mereka mau berkumpul di satu tempat, karena semua ingin menjelajah sambil berlari-lari. Ibu Sri dan Pak Djamaludin bercerita banyak tentang kompos dan RT/RW yang berhasil menghijau. Acara presentasi dengan video dan slides berjalan sekitar satu jam. Saya sudah khawatir anak-anak bosan.
Mereka baru "bangun" ketika diminta memilah sampah organik dan anorganik dan memotong-motong sampah organik sebelum dijadikan kompos. Saya heran juga anak-anak tidak mudah jijik. Bahkan ketika saya meminta mereka mencoba membedakan kompos yang belum jadi, sehingga masih terasa hangat, dan yang sudah jadi, mereka langsung merogoh-rogoh bak tanpa ragu.
Anak-anak pulang sambil membawa sebuah gelas bekas air mineral yang berubah fungsi jadi pot bunga (beserta bunganya). Saya belum tanya, bunga mereka masih hidup atau tidak. Saya sendiri pulang sambil membawa sebuah keranjang takakura untuk membuat kompos.
Berhasil lho! Senang sekali, sekarang sampah di rumah saya tinggal setengah. Kalau ditumpuk di bak sampah depan rumah, tidak lagi bau tidak enak, meskipun truk sampah datangnya sesuka hati.
Friday, November 23, 2007
Bawa Kotak Makanmu Sendiri!
Sudah berminggu-minggu anak-anak kelas 5 ingin sekal menjalankan kampanye sampah mereka. Kata mereka, orang tidak melakukan apa-apa pada sampah karena banyak yang tak tahu. Jadi bagaimana? Kita beritahu mereka!
Anak-anak mencanangkan (aduh bahasanya) gerakan membawa kotak makan sendiri untuk mengurangi sampah plastik dari jajan makanan. Suatu hari, anak-anak membuat agar-agar rasa jeruk untuk seisi sekolah, sekaligus 110 pin dari kardus bekas. Mereka juga membuat poster dan undangan untuk semua kelas di sekolah. Selama tiga hari mereka tidak bermain waktu istirahat.
Di hari H kemarin, anak-anak juga berbagi tugas; siapa yang membagikan makanan, siapa yang membagikan pin, dan siapa yang harus mengatur barisan.
Pukul 12 siang, anak-anak dari berbagai kelas datang membawa kotak makanan mereka. Adam mengatur barisan sambil memulai ceramahnya tentang mengurangi sampah bersama Saras. Anak-anak kelas 3 mendengarkan sambil malu-malu.
Selama setengah jam berikutnya, kelas 5 membagikan agar-agar dan sirup markisa sambil berpesan, "Nanti kalau jajan bawa kotak makanan sendiri juga ya, supaya sampahnya tidak tambah banyak..."
Pada adik-adik TK, anak-anak kelas 5 makin ramah, "Halo, namanya siapa? Pinter sekali... nanti kalau jajan jangan lupa bawa kotak sendiri ya? Jadi sampahnya tidak tambah banyak".
Begitu keras usaha mereka agar didengarkan anak-anak TK, sampai di kelas mereka mengeluh, "Bu, punggungku sakit sekali, membungkuk terus."
Semua makanan dan pin habis tak bersisa, semua kelas berpartisipasi. Anak-anak kelas 5 senang sekali. Kami masih kebagian makanan, maka anak-anak memakannya sambil menulis jurnal. Saras dan Leo bahkan menempelkan pin mereka di akhir jurnal, "Untuk kenang-kenangan, Bu. Jangan dibuang ya."
"Kampanye kami bisa sukses karena kami merencanakannya sampai matang. Pertama kami membagi kelompok, yang memasak, membuat pin, dan undangan. Kedua, kami merencanakan poster dan bagaimana cara kami menyampaikan pesan yang memang menjadi tujuannya," tulis Mini dalam jurnalnya.
"Hari ini aku senang sekali, aku berharap aku dan dan teman-teman bisa melakukannya lagi, suatu hari nanti," kata Adam.
"Semoga kampanye ini berguna buat semuanya," begitu Lika mengakhiri tulisan dalam jurnalnya.
Ya, saya juga berharap begitu. Saya tidak tahu kampanye ini berhasil atau tidak. Kami belum tahu apakah anak-anak yang lain mengubah perilakunya atau tidak.
Yang saya tahu anak-anak berusaha luar biasa keras untuk usia mereka. Yang saya rasakan adalah kegigihan mereka. Mereka tahu, berusaha membuat perubahan itu tidak mudah. Ada yang perlu dikorbankan, capek teriak-teriak, capek memasak dan membuat poster dan pin. Agar bisa menjelaskan dengan baik, mereka harus meletakkan kesadaran itu dalam hati. Kita semua bisa berpartisipasi.
Bagaimanapun, mereka tetap merasa senang, dan bangga.
Bagaimanapun, hal besar dimulai dari satu langkah kecil. Seperti langkah mereka.
Anak-anak mencanangkan (aduh bahasanya) gerakan membawa kotak makan sendiri untuk mengurangi sampah plastik dari jajan makanan. Suatu hari, anak-anak membuat agar-agar rasa jeruk untuk seisi sekolah, sekaligus 110 pin dari kardus bekas. Mereka juga membuat poster dan undangan untuk semua kelas di sekolah. Selama tiga hari mereka tidak bermain waktu istirahat.
Di hari H kemarin, anak-anak juga berbagi tugas; siapa yang membagikan makanan, siapa yang membagikan pin, dan siapa yang harus mengatur barisan.
Pukul 12 siang, anak-anak dari berbagai kelas datang membawa kotak makanan mereka. Adam mengatur barisan sambil memulai ceramahnya tentang mengurangi sampah bersama Saras. Anak-anak kelas 3 mendengarkan sambil malu-malu.
Selama setengah jam berikutnya, kelas 5 membagikan agar-agar dan sirup markisa sambil berpesan, "Nanti kalau jajan bawa kotak makanan sendiri juga ya, supaya sampahnya tidak tambah banyak..."
Pada adik-adik TK, anak-anak kelas 5 makin ramah, "Halo, namanya siapa? Pinter sekali... nanti kalau jajan jangan lupa bawa kotak sendiri ya? Jadi sampahnya tidak tambah banyak".
Begitu keras usaha mereka agar didengarkan anak-anak TK, sampai di kelas mereka mengeluh, "Bu, punggungku sakit sekali, membungkuk terus."
Semua makanan dan pin habis tak bersisa, semua kelas berpartisipasi. Anak-anak kelas 5 senang sekali. Kami masih kebagian makanan, maka anak-anak memakannya sambil menulis jurnal. Saras dan Leo bahkan menempelkan pin mereka di akhir jurnal, "Untuk kenang-kenangan, Bu. Jangan dibuang ya."
"Kampanye kami bisa sukses karena kami merencanakannya sampai matang. Pertama kami membagi kelompok, yang memasak, membuat pin, dan undangan. Kedua, kami merencanakan poster dan bagaimana cara kami menyampaikan pesan yang memang menjadi tujuannya," tulis Mini dalam jurnalnya.
"Hari ini aku senang sekali, aku berharap aku dan dan teman-teman bisa melakukannya lagi, suatu hari nanti," kata Adam.
"Semoga kampanye ini berguna buat semuanya," begitu Lika mengakhiri tulisan dalam jurnalnya.
Ya, saya juga berharap begitu. Saya tidak tahu kampanye ini berhasil atau tidak. Kami belum tahu apakah anak-anak yang lain mengubah perilakunya atau tidak.
Yang saya tahu anak-anak berusaha luar biasa keras untuk usia mereka. Yang saya rasakan adalah kegigihan mereka. Mereka tahu, berusaha membuat perubahan itu tidak mudah. Ada yang perlu dikorbankan, capek teriak-teriak, capek memasak dan membuat poster dan pin. Agar bisa menjelaskan dengan baik, mereka harus meletakkan kesadaran itu dalam hati. Kita semua bisa berpartisipasi.
Bagaimanapun, mereka tetap merasa senang, dan bangga.
Bagaimanapun, hal besar dimulai dari satu langkah kecil. Seperti langkah mereka.
Wednesday, November 21, 2007
110
Proyek Sedap Sekejap
Saat duduk gelosoran di lantai venue festival, seorang teman bertanya, "Ada apa di kelas hari ini?"
Hm, apa ya? Oh ya, kami buat pameran.
"Pameran?"
Pameran. Ramai sekali lho, ini foto-fotonya. Saya menyodorkan kamera digital padanya. Sumpah serapah kaget dan kagum darinya membuat saya bercerita lebih lanjut.
Jadi, anak-anak punya tugas untuk membuat alat yang menerapkan prinsip-prinsip pesawat sederhana. Dengan bantuan ayah dan ibu memotong, memaku dan memasang sekrup, anak-anak datang dengan aneka benda seperti kereta dorong, sumur-sumuran, satu set "Taman Bermain", dan lain-lain.
Sekali lagi saya bertanya pada mereka, mau presentasi saja atau mau bikin pameran?
PAMERAAAAN.... begitu jawabnya.
Di sela-sela belajar Bahasa Indonesia, anak-anak mengisi waktu luang dengan membuat empat undangan untuk kelas 1 - 4. Mereka juga membuat spanduk bertuliskan "Pameran Pesawat Sederhana oleh SD5".
Saya menggeser jam istirahat menjadi lebih awal. Pada jam istirahat sekolah, anak-anak membawa meja-meja ke depan kelas, dan menyusun peralatannya di atas meja. Menunggu anak-anak kelas lain keluar main.
Betul saja, begitu kelas-kelas lain keluar, anak-anak kelas 5 kewalahan. Mereka sampai bercucuran keringat menjelaskan cara kerja alat-alatnya, surprisingly, in a simple way, kepada adik-adiknya.
Penjelasan mereka itu sama sekali tak muncul ketika saya yang bertanya.
Saya : Apa yang kamu buat, Dara?
Dara : Bidang miring.
Saya : Untuk apa?
Dara : mmm,... eeeeh,.... mmm,... biar lebih gampang bergerak.
Saya : Cara kerjanya bagaimana?
Dara : (dengan suara makin lirih), ini kalau digeser begini, nanti bisa jalan...
Tapi apa yang terjadi ketika sekumpulan anak kelas 1 mengerumuni Dara?
Dara : Ini, namanya bidang miring. Dengan bidang miring, kita jadi lebih mudah memindahkan benda. Coba ya, kotak ini diisi dengan batu supaya berat. Coba saja diangkat. Coba lagi di tarik pakai ini. Kalau bidang miringnya landai, lebih mudah daripada kalau bidang miringnya curam.
Anak-anak kelas 1 memandang Dara tak berkedip.
Segerombolan anak-anak yang lebih kecil memberi posisi aman untuk mengoceh tanpa takut salah, (ketika ibu kepala sekolah datang, anak-anak terbirit-birit sembunyi di kelas). Kerumunan yang menjadikan mereka pusat perhatian tampak menyenangkan bagi anak-anak yang suka sekali tampil ini.
Tentu saja kejadian-kejadian lucu ada di sana sini. Bram sempat meninggalkan posnya untuk bergabung dengan para penonton melihat atraksi di taman bermain Mita. Lika jadi ikut memberi penjelasan untuk barang ciptaan Putu, karena kadang-kadang Putu panik juga melihat keramaian. Padahal sumur ciptaan Putu sangat menarik.
Belum lagi pertanyaan anak kelas 1, "Bu, mana pesawatnya? Katanya ada pameran pesawat...".
Ketika bel berbunyi, dan halaman sekolah mulai sepi, anak-anak kembali mengangkut semua peralatan dan meja ke dalam kelas.
So, how do you like it?
Capek, Bu. Panas sekali. Anak-anak terkapar di karpet, kecapekan.
Saya tahu mereka senang, meski ada juga yang tak puas dengan alat-alat buatan mereka. They didn't really tell me. Hanya saja sisa pekerjaan kami sepanjang hari tuntas dengan baik. Hal yang hanya terjadi kalau mereka sedang merasa senang pada dirinya sendiri.
Sungguh, persiapan pameran itu seperti bercanda. Membuat undangan, spanduk, menyusun meja, dan selesai.
Senang.
Monday, November 19, 2007
Tantangan dari Sekitarmu
Semula, saya memilih tema Ruang Hijau untuk salah satu pelajaran tentang lingkungan Jakarta. Di minggu ke dua, anak-anak tampak lebih tertarik pada sampah, maka saya menuruti kemauan mereka. Lupakan Ruang Hijau, mari fokuskan diri ke sampah!
Pada suatu pertemuan, anak-anak saya minta menulis lima cara sederhana yang bisa mereka lakukan untuk 3R, Reduce, Reuse, and Recycle.
Di kelas kami ada kotak berisi kertas-kertas bekas, "Kita buat jurnal dari kertas ini saja ya?"
"THAT'S THE POINT, Bu..," Mita jadi heran dengan pertanyaan apologi saya.
Selama dua minggu berikutnya anak-anak membawa pulang jurnal itu. Setiap hari, saya minta mereka mencatat apa saja yang sudah mereka lakukan untuk mengurangi sampah. Lima cara sederhana yang mereka tulis bisa diterapkan. Saya bilang, tak penting jurnalmu penuh. Kalau ada hari-hari di mana kamu tak sempat mengurusi sampah, biarkan saja.
Satu yang saya inginkan, anak-anak membawa urusan sampah ini ke alam sadar mereka.
Dua minggu kemudian, anak-anak mengumpulkan jurnal itu dan mulai bercerita,
"Susah lho Bu, minta agar tidak diberi kantong plastik. Mbaknya keras kepala sekali."
"Kemarin kami pesta Haloween, tahu tidak bu, semua makanannya pakai styrofoam. Urgh, sampahnya masih akan ada sampai 500 haloween lagi!"
"Kemarin waktu aku belanja beli mainan kecil, boleh kok bu dimasukin kantongku!"
"Aku ajak kakakku membawa kantong sendiri waktu ke warung, aku malah ditertawakan,"
Anak-anak sudah melalui fase buang sampah di tempatnya.
Saya melanjutkan lebih jauh lagi. Mengapa orang lain tidak melakukan hal yang sama? Karena mereka tidak tahu? Tidak peduli? Apa yang bisa kita lakukan?
Hasil brainstorming anak-anak melesat hingga ke langit. Mereka ingin membuat kegiatan berkala untuk adik-adik kelasnya, mereka ingin menulis surat untuk produsen-produsen makanan yang boros membekali plastik pada pelanggannya, dan mereka ingin membuatkan tempat sampah organik dan anorganik untuk setiap kelas. Ketika saya (ikut brainstorming) dan mengatakan kemungkinan untuk mengirim surat-surat itu ke surat kabar, mereka pikir mereka akan terkenal. Hehehe.
Hari ini, keluhan mulai datang, "Bu, ibuku bilang hasil brainstormingnya keterlaluan. Di sekolah saja kampanyenya."
Saya tertawa. Itulah tujuannya brainstorming, melepaskan diri melihat semua kemungkinan. Kalau tidak masuk akal, bisa kita coret belakangan. Dan menurut saya, tak ada salahnya betulan mengirim surat-surat itu.
Apalah gunanya saya menyuruh anak-anak menulis surat berisi saran, kalau berakhir di kotak penilaian saja?
It's the spirit i love. Memulai kebiasaan baru, mengajak orang melakukan sesuatu yang baru dan "aneh" memang tidak mudah. Tantangannya banyak. Galileo Galilei dibunuh karena bilang bumi itu bulat, apakah kita harus berhenti hanya karena ditertawakan?
Anak-anak ingin bersuara, maka biarlah. Didengar atau tidak, kini tak lagi masalah besar. Berani bicara saja sudah besar. Lebih jauh lagi, saya sudah senang kalau anak-anak bisa menuliskan "suara" mereka.
Boy, we are really into this theme.
Sunday, November 18, 2007
Mari Berfestival!
Festival Film Pendek Konfiden mulai lagi. Sudah bisa dipastikan minggu depan saya akan sibuk juggling antara mengajar, menyelesaikan proyek, tidur, dan nonton diantara hujan dan macetnya Jakarta.
Kali ini, ada sebuah program berisi film-film dari Swedish Institute. Keempat filmnya mengusung tema anak-anak. Kata Ibu Manajer Festival, filmnya bagus-bagus. Nah, seringkali selera bagus saya dan Ibu Manajer tak jauh beda, kami sering menangisi film atau buku yang sama, hehehehe.
Saya sudah bertanya pada Pak Koordinator Dewan Program, film-film ini semua umur, tidak? (Saya tahu, mereka anti sensor tapi peduli sekali pada batasan umur penontonnya)
Ternyata, ya.
Pak Deputi Direktur Festival langsung memberi segepok buku program khusus. Buat anak-anak di kelas, katanya.
Saya jadi kepingin mengajak anak-anak nonton...
Ada yang mau ikut, tidak????
Kali ini, ada sebuah program berisi film-film dari Swedish Institute. Keempat filmnya mengusung tema anak-anak. Kata Ibu Manajer Festival, filmnya bagus-bagus. Nah, seringkali selera bagus saya dan Ibu Manajer tak jauh beda, kami sering menangisi film atau buku yang sama, hehehehe.
Saya sudah bertanya pada Pak Koordinator Dewan Program, film-film ini semua umur, tidak? (Saya tahu, mereka anti sensor tapi peduli sekali pada batasan umur penontonnya)
Ternyata, ya.
Pak Deputi Direktur Festival langsung memberi segepok buku program khusus. Buat anak-anak di kelas, katanya.
Saya jadi kepingin mengajak anak-anak nonton...
Ada yang mau ikut, tidak????
Saturday, November 17, 2007
Rumah Kami
Jumat siang itu, anak-anak sedang melanjutkan kegiatan membuat lampion. Ada yang melukisi lampionnya, ada yang sedang menjulurkan lidah sambil berusaha memotong karton dengan cutter.
Bentuk kelas seperti apa, sudah jangan ditanya. Anak-anak mengoceh tak berhenti sementar tangannya terus bekerja. Saya matikan komputer, lalu bergabung duduk di dekat mereka. Tak ingin mengganggu, saya ambil sebuah buku tentang Darwin yang dipinjam Mita dari perpustakaan. Saya membaca sambil sekali-kali menjawab "wawancara" anak-anak tentang masa sekolah saya.
Riuh rendah suara mereka di telinga saya, rasa nyaman dan santai di dalam hati, pandangan yang menyapu ruang berantakan, buku di tangan, memicu saya bertanya pada Mini,
"Kelas kita, seperti rumah ya?"
"Yep. And that's why i like it. "
"Hm, mungkin tidak seperti rumah juga. Kamu tidak bisa selalu melakukan apa yang kamu ingin."
"Di rumah juga begitu, tidak bisa semauku." Saras menimpali gumaman saya dan tetap tersenyum.
Ya, di rumah juga begitu. Tak bisa sesuka hati. Tapi ada rasa ini, ada rasa... apapun yang kamu lakukan kamu akan tetap dicintai. Meskipun menumpahkan air bekas cat, terlambat mengumpulkan tugas, pakai celana pendek, tak suka IPS dan matematika, tak suka membuat soal evaluasi, suka marah-marah....
...tidak apa-apa. Kan, kita ada di rumah.
*gambar dari www.rmhccolumbia.org *
Tuesday, November 13, 2007
Meledak 2
Dengan jadwal buatan sendiri, tetap saja lho, tugas-tugas itu berceceran.
Saya mengajak anak-anak bicara dengan nada putus asa (bukan marah, tapi putus asa), kalian itu maunya apa sih. Diberi tenggat waktu, tidak selesai, disuruh membuat tenggat waktu sendiri, tetap tidak selesai juga.
Adam baru saja menghukum dirinya sendiri dengan berdiri di sudut kelas sepanjang istirahat.
Aduh, saya sudah tidak ingat ngomel apa lagi, tapi saya benar-benar hilang akal. Masa, ketika saya tanya, "Siapa yang sudah siap presentasi tentang pesawat sederhana?"
Bram menatap ragu kepada teman-temannya, "Kalau tidak salah sih, sudah."
Saya hanya bisa menghela nafas. Salah saya, lahir dengan kalender dan jam di dalam perut. Kalau jadwal terganggu sedikit saya langsung gatal-gatal.
Untungnya, hari ini anak-anak lumayan koperatif. Mereka sedang mengisi TTS tentang hukum dan undang-undang ketika Mini berseru, "Bu, gemes nggak sih kalau lihat ada orang nggak bisa padahal jawabannya jelas sekali. "
"Hoho, tebak apa yang Bu Tia rasakan sepanjang hari?"
Mini nyengir.
Ketika siang itu saya dan Bu Andin mengadakan briefing tentang pertunjukan sekolah, Riri yang akan memerankan Annie bertanya penuh semangat, "Asyik nggak sih Bu, jadi guru?"
Saya dan Bu Andin terdiam dan saling pandang.
Lalu menghela nafas (lagi, dan lebih panjang dari sebelumnya).
Friday, November 09, 2007
Meledak 1
Sejak awal, kelas kami sepakat bahwa anak-anak akan selalu mengumpulkan tugasnya tepat waktu. Saya, juga akan selalu memberi waktu yang cukup untuk setiap tugas, tidak semena-mena minta dikumpulkan besok pagi.
Minggu lalu saya minta anak-anak mengumpulkan sebuah dongeng yang menggambarkan salah satu jalan kebenaran dalam ajaran Buddha. Ya, mereka sedang belajar tentang sejarah Buddha, dan saya ingin membantu mereka lebih mengerti delapan jalan yang agak rumit itu.
DELAPAN HARI KEMUDIAN...
Saras membawa sesobek kertas berisi tulisannya tentang moral cerita dari sebuah dongeng.
"Tukang fotokopi tutup, bu, dan aku tidak boleh menyobek dongengnya dari buku."
Dara menunjukkan sesuatu yang ia unduh dari internet. Penjelasan panjang lebar tentang delapan jalan kebenaran, ... dalam bahasa Melayu.
Adam bilang ia tak punya dongeng di rumah.
Saya hampir meledak marah. Pernahkah kalian tahu yang namanya perpustakaan? Apa saya menyuruh kamu menulis sendiri sebuah dongeng? Bagaimana ceritanya, setelah setiap minggu selama tujuh tahun terakhir selalu pinjam buku dari perpustakaan tapi dongeng itu apa saja tidak tahu? Saya katakan bahwa sepanjang pagi saya sedang memikirkan tugas presentasi dan revisi tulisan yang sedang mereka kerjakan untuk minggu depan. Saya berpikir keras bagaimana caranya membuat tenggat waktu yang masuk akal untuk semua anak, di mana separuhnya sibuk setengah mati akhir pekan ini. Saya hapus semua perubahan jadwal dan menjadikan semua tugas dikumpulkan hari Senin dan Selasa. Masa bodoh.
Lima belas menit itu saya tunjukkan setumpuk koran anak di sudut kelas, tak tersentuh. Perpustakaan. Waktu delapan hari. Saya benar-benar nggak ngerti. Semangat saya memulai kelas langsung lenyap seketika. Saya minta anak-anak mengerjakan terserah apa saja (saya tahu mereka punya tugas-tugas) dan saya bertukar jam pelajaran dengan Bu Evie.
Saya menghilang dan menggantikan guru yang absen di kelas 1, tertawa-tawa dan mendongengi mereka. Saya baru muncul lagi di kelas pukul 11 siang, setelah pelajaran matematika. Anak-anak tak berani menatap saya.
Saya juga sedang malas bercanda.
Siang itu saya membagikan kertas dan meminta anak-anak menulis apa saja yang jadi tugasnya dan kapan mereka mau kumpulkan tugas-tugas itu. Terserah. Atur sendiri. Oh ya, tentukan juga konsekuensinya kalau tidak mengumpulkan tepat waktu.
Saya tempel semua kertas itu dekat meja saya.
Setelah sore menjelang, saya baru bisa tersenyum melihat Adam menulis, "Jika saya tidak mengumpulkan tugas tepat waktu, saya tidak boleh main di luar dan akan berdiri di sudut kelas."
Minggu lalu saya minta anak-anak mengumpulkan sebuah dongeng yang menggambarkan salah satu jalan kebenaran dalam ajaran Buddha. Ya, mereka sedang belajar tentang sejarah Buddha, dan saya ingin membantu mereka lebih mengerti delapan jalan yang agak rumit itu.
DELAPAN HARI KEMUDIAN...
Saras membawa sesobek kertas berisi tulisannya tentang moral cerita dari sebuah dongeng.
"Tukang fotokopi tutup, bu, dan aku tidak boleh menyobek dongengnya dari buku."
Dara menunjukkan sesuatu yang ia unduh dari internet. Penjelasan panjang lebar tentang delapan jalan kebenaran, ... dalam bahasa Melayu.
Adam bilang ia tak punya dongeng di rumah.
Saya hampir meledak marah. Pernahkah kalian tahu yang namanya perpustakaan? Apa saya menyuruh kamu menulis sendiri sebuah dongeng? Bagaimana ceritanya, setelah setiap minggu selama tujuh tahun terakhir selalu pinjam buku dari perpustakaan tapi dongeng itu apa saja tidak tahu? Saya katakan bahwa sepanjang pagi saya sedang memikirkan tugas presentasi dan revisi tulisan yang sedang mereka kerjakan untuk minggu depan. Saya berpikir keras bagaimana caranya membuat tenggat waktu yang masuk akal untuk semua anak, di mana separuhnya sibuk setengah mati akhir pekan ini. Saya hapus semua perubahan jadwal dan menjadikan semua tugas dikumpulkan hari Senin dan Selasa. Masa bodoh.
Lima belas menit itu saya tunjukkan setumpuk koran anak di sudut kelas, tak tersentuh. Perpustakaan. Waktu delapan hari. Saya benar-benar nggak ngerti. Semangat saya memulai kelas langsung lenyap seketika. Saya minta anak-anak mengerjakan terserah apa saja (saya tahu mereka punya tugas-tugas) dan saya bertukar jam pelajaran dengan Bu Evie.
Saya menghilang dan menggantikan guru yang absen di kelas 1, tertawa-tawa dan mendongengi mereka. Saya baru muncul lagi di kelas pukul 11 siang, setelah pelajaran matematika. Anak-anak tak berani menatap saya.
Saya juga sedang malas bercanda.
Siang itu saya membagikan kertas dan meminta anak-anak menulis apa saja yang jadi tugasnya dan kapan mereka mau kumpulkan tugas-tugas itu. Terserah. Atur sendiri. Oh ya, tentukan juga konsekuensinya kalau tidak mengumpulkan tepat waktu.
Saya tempel semua kertas itu dekat meja saya.
Setelah sore menjelang, saya baru bisa tersenyum melihat Adam menulis, "Jika saya tidak mengumpulkan tugas tepat waktu, saya tidak boleh main di luar dan akan berdiri di sudut kelas."
Wednesday, November 07, 2007
Rencana
Sejak Bu Evie mengajar Art and Craft, ia selalu meminta anak-anak membuat sketsa rencana mereka di atas kertas sebelum benar-benar mulai membuat sesuatu.
Ketika kemarin saya minta mereka membuat poster untuk kampanye sampah kami, saya memperhatikan kalau -tanpa disuruh- mereka mencari-cari kertas bekas lalu menggambar rencana isi poster mereka. Dito menunjukkan rancangannya dan bertanya, "Kalau aku buat kalimatnya seperti ini, bagaimana?"
Kami membahasnya sedikit, lalu Dito kembali ke meja dan melanjutkan posternya.
Plan, do, and review.
Ketika kemarin saya minta mereka membuat poster untuk kampanye sampah kami, saya memperhatikan kalau -tanpa disuruh- mereka mencari-cari kertas bekas lalu menggambar rencana isi poster mereka. Dito menunjukkan rancangannya dan bertanya, "Kalau aku buat kalimatnya seperti ini, bagaimana?"
Kami membahasnya sedikit, lalu Dito kembali ke meja dan melanjutkan posternya.
Plan, do, and review.
Skeptis
Tuesday, November 06, 2007
Belajar Undang-Undang
Pagi ini saya mengeluarkan beberapa set UUD 1945 dan memasang wajah gembira.
"Pernah lihat UUD 45, tidak?"
Anak-anak membalas dengan tatapan, "Tolong kasihani kami.."
"Ini akan jadi hari yang panjang sekali...," keluh mereka.
Saya memulai kuliah pagi. Ini kan tentang negara kalian. Ini cara menjalankan negara. Nanti kalau giliran kalian yang mengurus negara ini, bagaimana?
"Siapa juga bu yang mau jadi presiden, repot. Tidak salah pun tetap diomeli rakyatnya."
Saya melanjutkan kuliah yang lain. Tentu saja tidak akan menyenangkan kalau dari awal kalian sudah menutupi kepala dengan pikiran ini tak akan menyenangkan. Yah, kira-kira lanjutannya adalah himbauan untuk berpikir positif.
Ketika wajah-wajah itu makin memelas, barulah saya mengeluarkan kartu terakhir. "Kita akan lakukan kegiatan ini, atau kita hafalkan saja UUD ini?"
"Ok, bu, kita kerjakan saja!", semua cepat menukas.
Semua berdiri dan mulai duduk dengan teman sekelompoknya sambil membawa-bawa sebundel UUD dan kertas kerja. Saya meminta mereka mencari sebenarnya kita punya hak apa saja sebagai warganegara. Nilai tambah untuk yang bisa mencari kewajiban kita sebagai warga negara dan kewajiban pemerintah.
Pertanyaan mulai muncul di sana-sini. "Berserikat itu apa, Bu?", "Hak Asasi maksudnya apa bu?", "Diskriminasi itu seperti apa sih?"
"Wah! Ternyata kita berhak berkeluarga dan memiliki keturunan!", Adam gembira sekali.
"... melalui perkawinan yang SAH!" sahut Mini dari meja sebelah.
"Oh, aku pikir tidak boleh mencuri itu cuma peraturan saja. Ternyata ada di UUD, bahwa kita boleh punya hak milik dan tidak boleh diambil dengan sewenang-wenang." Saras serius memahami kalimat demi kalimat dari balik kacamatanya.
Di meja lain, Lika dan Bram saling pandang, "Hei, harusnya kita sekolah dibayari pemerintah!"
Dara mendatangi saya, "Kenapa membela negara itu hak dan kewajiban juga? Boleh aku tulis (sebagai) dua-duanya?"
"Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara? Mana? Nggak pernah!"
"Banyak sekali yang tidak dikerjakan pemerintah itu!"
Setelah tiga puluh menit berlalu saya bertanya, "Berapa menit lagi?"
"Belum, Bu, belum! Aku masih mencari. Tunggu dulu!"
Ketika akhirnya saya meminta mereka untuk kembali berkumpul di karpet dan menceritakan apa saja yang mereka dapatkan, saya tahu mereka sudah terserap dalam UUD 1945. Lancar mereka bercerita bahwa kita berhak atas pendidikan, berhak mendapat informasi, berhak hidup yang layak, berhak menyampaikan pendapat, dan berhak memiliki benda pribadi dan berhak bebas dari penyiksaan.
Pertanyaan!
"Bu, pemerintah juga banyak tugasnya, seperti mengurusi fakir miskin dan menyediakan sekolah. Kenapa tidak? Kenapa orang diam saja?"
"Mengapa menurutmu? Bagaimana kamu bisa menuntut hakmu kalau kamu tidak tahu apa hakmu? Makanya tadi Bu Tia memintamu melakukan kegiatan itu."
Semua terdiam.
"Boleh kita fotokopi UUD itu untuk dibagikan pada orang-orang?"
"Iya Bu, aku mau tunjukkan pada ibuku. Bisa tidak sih dibeli di toko buku?"
Teman di sebelahnya berbisik agak keras, "Kamu mau tunjukkan pasal bebas dari penyiksaan itu ya?"
Saya tertawa sampai keluar air mata.
Saya rasa saya tak perlu lagi meminta mereka menghafalkan pasal dan ayat UUD. Saya tak perlu memaksa. Mereka sudah terpancing untuk ingin tahu, dan besok akan saya sodorkan lagi UUD itu agar mereka tahu lebih banyak. Sekarang, cukup tahu dulu. Dari tahu, banyak hal bisa dimulai.
"Pernah lihat UUD 45, tidak?"
Anak-anak membalas dengan tatapan, "Tolong kasihani kami.."
"Ini akan jadi hari yang panjang sekali...," keluh mereka.
Saya memulai kuliah pagi. Ini kan tentang negara kalian. Ini cara menjalankan negara. Nanti kalau giliran kalian yang mengurus negara ini, bagaimana?
"Siapa juga bu yang mau jadi presiden, repot. Tidak salah pun tetap diomeli rakyatnya."
Saya melanjutkan kuliah yang lain. Tentu saja tidak akan menyenangkan kalau dari awal kalian sudah menutupi kepala dengan pikiran ini tak akan menyenangkan. Yah, kira-kira lanjutannya adalah himbauan untuk berpikir positif.
Ketika wajah-wajah itu makin memelas, barulah saya mengeluarkan kartu terakhir. "Kita akan lakukan kegiatan ini, atau kita hafalkan saja UUD ini?"
"Ok, bu, kita kerjakan saja!", semua cepat menukas.
Semua berdiri dan mulai duduk dengan teman sekelompoknya sambil membawa-bawa sebundel UUD dan kertas kerja. Saya meminta mereka mencari sebenarnya kita punya hak apa saja sebagai warganegara. Nilai tambah untuk yang bisa mencari kewajiban kita sebagai warga negara dan kewajiban pemerintah.
Pertanyaan mulai muncul di sana-sini. "Berserikat itu apa, Bu?", "Hak Asasi maksudnya apa bu?", "Diskriminasi itu seperti apa sih?"
"Wah! Ternyata kita berhak berkeluarga dan memiliki keturunan!", Adam gembira sekali.
"... melalui perkawinan yang SAH!" sahut Mini dari meja sebelah.
"Oh, aku pikir tidak boleh mencuri itu cuma peraturan saja. Ternyata ada di UUD, bahwa kita boleh punya hak milik dan tidak boleh diambil dengan sewenang-wenang." Saras serius memahami kalimat demi kalimat dari balik kacamatanya.
Di meja lain, Lika dan Bram saling pandang, "Hei, harusnya kita sekolah dibayari pemerintah!"
Dara mendatangi saya, "Kenapa membela negara itu hak dan kewajiban juga? Boleh aku tulis (sebagai) dua-duanya?"
"Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara? Mana? Nggak pernah!"
"Banyak sekali yang tidak dikerjakan pemerintah itu!"
Setelah tiga puluh menit berlalu saya bertanya, "Berapa menit lagi?"
"Belum, Bu, belum! Aku masih mencari. Tunggu dulu!"
Ketika akhirnya saya meminta mereka untuk kembali berkumpul di karpet dan menceritakan apa saja yang mereka dapatkan, saya tahu mereka sudah terserap dalam UUD 1945. Lancar mereka bercerita bahwa kita berhak atas pendidikan, berhak mendapat informasi, berhak hidup yang layak, berhak menyampaikan pendapat, dan berhak memiliki benda pribadi dan berhak bebas dari penyiksaan.
Pertanyaan!
"Bu, pemerintah juga banyak tugasnya, seperti mengurusi fakir miskin dan menyediakan sekolah. Kenapa tidak? Kenapa orang diam saja?"
"Mengapa menurutmu? Bagaimana kamu bisa menuntut hakmu kalau kamu tidak tahu apa hakmu? Makanya tadi Bu Tia memintamu melakukan kegiatan itu."
Semua terdiam.
"Boleh kita fotokopi UUD itu untuk dibagikan pada orang-orang?"
"Iya Bu, aku mau tunjukkan pada ibuku. Bisa tidak sih dibeli di toko buku?"
Teman di sebelahnya berbisik agak keras, "Kamu mau tunjukkan pasal bebas dari penyiksaan itu ya?"
Saya tertawa sampai keluar air mata.
Saya rasa saya tak perlu lagi meminta mereka menghafalkan pasal dan ayat UUD. Saya tak perlu memaksa. Mereka sudah terpancing untuk ingin tahu, dan besok akan saya sodorkan lagi UUD itu agar mereka tahu lebih banyak. Sekarang, cukup tahu dulu. Dari tahu, banyak hal bisa dimulai.
Subscribe to:
Posts (Atom)