Bagi saya anak-anak yang sehat dan gembira di ruang kelas adalah anak-anak yang mau bertanya. Dulu, di kelas-kelas awal, saya menikmati kepolosan pertanyaan anak-anak dan masih bisa menjawab dengan mudah.
Di kelas lima, saya sempat khawatir anak-anak sudah kehilangan kesenangan untuk belajar (berarti memahami hal-hal baru) karena mereka sudah mengenal konsep belajar sebagai mengulang materi supaya dapat nilai bagus.
Kekhawatiran saya tidak beralasan. Anak-anak tetap menghujani saya dengan pertanyaan yang makin hari makin kritis dan makin seru mempertanyakan hidup. Makin sulit bagi saya untuk menjawab dengan ringkas. Makin cemas saya kalau tidak banyak-banyak meng-update diri dengan membaca segala sesuatu.
Dua hari kemarin kami duduk di halaman sekolah. Anak-anak mendengar saya bercerita tentang Ramayana. Nanti mereka punya tugas membuat wayang untuk mementaskan sebagian cerita Ramayana ini. Saya merasa saya ngebut habis-habisan untuk menuturkan Ramayana dalam waktu 90 menit saja.
Komentar anak-anak?
Aku masih nggak ngerti bagaimana ada monyet yang darahnya putih. (Ketika saya bercerita tentang perseteruan Subali dan Sugriwa)
Bagaimana caranya mengubur raksasa sebesar itu. Siapa yang bisa menggali kuburannya? (Ketika saya bercerita tentang kematian Kumbakarna)
Benar, Bu, Rama itu tidak ada iseng-isengnya sedikitpun? (Mita tampak kecewa).
Jadi sepertinya Rama itu orang yang ganteng, calon raja, dan baik hati sekali. Bu Tia mau nggak jadi istrinya Rama?
Tidak, jawab saya.
Kenapa?
Tunggu sampai ceritanya selesai, kata saya.
Sebagian dari mereka langsung mengangguk-angguk mengerti setelah saya selesai bercerita tentang Sita Obong.
Dulu di kampus, saya dan teman-teman sering mempertanyakan dan menggugat kepahlawanan Rama dan sikapnya pada Sita. Saya agak tidak siap ketika pertanyaan tentang ini sudah muncul di Kelas 5 saya yang masih kecil.
Saat saya bercerita tentang bagaimana Rama memenangkan sayembara dan oleh sebab itu berhak memperistri Sita, Mita sudah berkomentar dari tempatnya duduk, "Kenapa sih perempuan jaman dulu dianggap barang dan dijadikan hadiah?"
Ketika siang harinya mereka meneliti gambar-gambar wayang untuk dijadikan contoh saat mereka menggambar wayang, anak-anak menemukan bahwa semua tokoh perempuan selalu menunduk ke bawah. Mereka juga bertanya, mengapa semua wayang perempuan mukanya menghadap ke bawah?
Dengan kalem, beberapa anak membantu temannya dengan menjawab, "Iyalah, perempuan jaman dulu kan nggak dianggap ada. Harus nurut."
Mempertanyakan hal-hal seperti ini ketika saya sudah cukup umur saja rasanya hidup itu berat. Banyak hal yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan nilai yang saya pahami tentang siapa itu perempuan. Bagaimana dengan anak-anak ini? Semoga mereka tidak terlalu frustrasi di dunia nyata sana.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
perkenalkan saya adityawan. dulu anak saya sekolah di tk kembang,
wah menarik sekali diskusi siswa kelas 5 yang anda bimbing. Apa di kelas ibu ada semacam mata pel. ttg gender? harusnya ada kurikulum ttg gender dari sd ya, sebagaimana harusnya ada kurikulum ttg multikultural.
sy pernah baca buku: anak2 pun berfilsafat. sy juga jadi inget anak saya pernah tanya kesaya wkt dia kelas 2 kalo gak salah. skr kelas 4. dia tanya kenapa harus ada orang miskin di dunia? sehingga mrk ga bisa sekolah. Kalo dia jadi Tuhan dia pingin menghilangkan kemiskinan spy semua anak bisa sekolah.
Salam kenal, Pak Arif,
seharusnya saya sempat bertemu dengan anak bapak ya? meskipun mungkin hanya sekilas di taman bermain.
jender, multikultur, toleransi, tidak pernah kami ajarkan dalam satu mata pelajaran khusus (kasihan mereka, jumlah pelajarannya sudah banyak sekali), tetapi semua itu tercakup dalam kegiatan kami sehari-hari.
Memang, value yang mereka bentuk tentang semua itu masih tergantung (setidaknya terpengaruh besar) pada value orangtua dan gurunya. Jadi tinggal peka-pekanya kita saja menemani mereka.
Ya, kalau saya perhatikan, anak-anak pada dasarnya adalah pengamat yang sangat baik. Mereka juga ilmuwan yang baik karena kritis sekali menanyakan apa saja (kalau dibiarkan terus). Tidak heran kita juga bisa belajar filsafat dari mereka, hehehehe...
Selamat menikmati kelas kami.
Post a Comment